POLRI KONSITITUSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA, BERKEYAKINAN DAN BERIBADAH

dokumen-dokumen yang mirip
LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN KEGIATAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA BARAT

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI KOTA BANJAR

PENGELOLAAN KERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA DAN PERAN FKUB

KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN ISU KEBEBASAN BERAGAMA

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Disampaikan dalam TRAINING POLMAS DAN HAM BAGI TARUNA AKADEMI KEPOLISIAN DEN 47 TAHUN 2015 oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerjasama dengan AKPOL

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

PEMANTAPAN KERUKUNAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM MENCEGAH BERKEMBANGNYA FAHAM RADIKAL PUSAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KEMENTERIAN AGAMA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 032 TAHUN 2016 TENTANG

PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Jakarta, 6 Agustus Kepada Yang Terhormat:

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara

Ancaman Kebebasan Beragama Ahmadiyah Achmad Fanani Rosyidi

1. BAB I PENDAHULUAN. tentang kebebasan umat beragama dalam melaksanakan ibadahnya. Dasar hukum

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

PROSEDUR TETAP KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PROTAP/ 1 / X / 2010 TENTANG PENAGGULANGAN ANARKI

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Konflik Antar Agama dan Intra Agama di Indonesia

Bupati Pandeglang PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS AHMADIYAH DI KABUPATEN PANDEGLANG

SOSIALISASI SKB 3 MENTERI DAN SEB TERKAIT JAI DAN GAFATAR

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia

HAM DAN PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN. Oleh: Johan Avie, S.H.

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

SURAT EDARAN Nomor: SE/ 06 / X /2015. tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pemasyarakatan yang berperan penting dalam proses penegakan hukum. Untung S. Radjab (2000 : 22) menyatakan:

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XV/2017 Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Aliran Kepercayaan Terlarang

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

I. PENDAHULUAN. sehingga banyak teori-teori tentang kejahatan massa yang mengkaitkan dengan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG PETA JALAN (ROAD MAP) SISTEM PEMBINAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

PENGARUSUTAMAAN HAM DALAM PELAYANAN PUBLIK DI POLRES METRO JAKARTA UTARA

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

Agama Resmi dalam RUU PUB: Solusi konflik agama? Tobias Basuki

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDO... NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS. Disusun Oleh: KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT [KKB]

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA UNTUK PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

MAKALAH KEBEBASAN BEREKSPRESI, BERKUMPUL DAN BERSERIKAT. Oleh: Ifdhal Kasim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

KONFLIK AGAMA. Thomas Santoso

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

MAKALAH PERAN POLISI DALAM PEMBINAAN KEAMANAN SWAKARSA DI WIL DIY. Oleh: Dewi Emiliana Sakti, SH.

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

Oleh: Robi Dharmawan, S. IP. Pusat Studi HAM Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia adalah

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemantauan Pelaksanaan KIP di Institusi Polri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

SIARAN PERS. Catatan Akhir Tahun 2011: Arus Balik Penikmatan HAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. harmoni kehidupan umat beragama di Indonesia. 1. Syiah di Sampang pada tahun 2012 yang lalu.

1. Membangun kemitraan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan

RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KABUPATEN KOTA SE-INDONESIA TAHUN 2018

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

Transkripsi:

SEMINAR Peran Polisi, Masyarakat dan Tokoh Agama dalam Penanggulangan Isu Keamanan: Studi Kasus Kekerasan Bernuansa Keagamaan Jogjakarta Plaza Hotel, 23 September 2013 MAKALAH POLRI KONSITITUSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA, BERKEYAKINAN DAN BERIBADAH Oleh: Haris Azhar Direktur Kontras

POLRI KONSITITUSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA, BERKEYAKINAN DAN BERIBADAH Haris Azhar Direktur Kontras

Pendahuluan Isu hak asasi manusia yang paling bermasalah di Indonesia belakang ini adalah hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah. Dulu, Indonesia sering dianggap sebagai negeri yang plural dan toleran, namun saat ini ditandai oleh ketegangan antar komunitas agama atau keyakinan, khususnya menyangkut tekanan dan serangan terhadap kelompok minoritas keyakinan atau agama.

Kondisi tersebut ditandai dengan serangan terhadap komunitas keyakinan atau agama minoritas, khususnya komunitas Ahmadiyah di banyak tempat di Indonesia Upaya pembatasan dan pelarangan pembangunan tempat ibadah atau aktivitas beribadah kelompok minoritas dengan berbagai bentuk mulai dari ancaman verbal atau tertulis hingga jatuhnya korban jiwa.

Persoalan Masalah hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok minoritas agama merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Di satu sisi berbagai kebijakan formal, termasuk konstitusi dan undangundang nasional banyak yang pro-ham sebagai buah gerakan reformasi. Di sisi lain, pemerintah pusat nampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsipprinsip HAM dan kebebasan berkeyakinan. Kebijakan politik pusat tentang kebebasan beragama/berkeyakinan yang tidak tegas ini kemudian mendorong berbagai kepentingan politik untuk terus-menerus melakukan manuver dengan menggunakan sentimen agama, khususnya seruan atau hasutan yang bisa memprovokasi serangan terhadap kelompok minoritas keyakinan. Eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante dengan mengatasnamakan agama ini menimbulkan rasa intoleransi di antar masyarakat.

Kebijakan legal terkait pembatasan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah terletak di berbagai level. Antara lain: 1. Di tingkatan undang-undang nasional terdapat UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama; 2. Di tingkatan peraturan menteri ada SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 3/2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat, Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah; 3. Di tingkatan lokal terdapat Perda-Perda (dan bahkan Peraturan atau SK Gubernur/Bupati) yang sangat membatasi hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah, padahal jelas aturan-aturan lokal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak memberikan kewenangan daerah untuk urusan agama [Pasal 10(3)f].

Masalah di tingkat hilir ditandai oleh meningkatnya kekerasan fisikinstitusi negara yang terdepan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Polri dituntut untuk bisa memaksimalisasi perannya agar keamanan individual warga negara terjamin dan tidak dibenarkan atas dasar apapun memperlihatkan posisi yang tidak netral terhadap suatu kelompok masyarakat apa pun. Sayangnya terlihat dengan gamblang bahwa dalam kasus-kasus kekerasan berlatar belakang agama, Polri cenderung gamang bila menghadapi sekelompok massa dengan beratribut agama, cenderung tidak sensitif terhadap kebutuhan akan perlindungan kelompok minoritas rentan, dan penegakan hukum yang minim. Polri sendiri sebagai hasil reformasi- telah dilengkapi oleh kebijakan internal yang lebih akomodatif terhadap HAM seperti Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dan berbagai aturan lainnya (khususnya terkait pengendalian massa dan penggunaan kekuatan) yang seharusnya bisa memperkuat peran polisi sebagai pelindung HAM warga negaranya.

Instrumen tentang standar pemolisian ideal : Code of Conduct for Law Enforcement Officials (Etika Berperilaku Bagi Penegak Hukum), diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 34/169 tertanggal 17 Desember 1979; Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum), diadopsi oleh Kongres Kedelapan PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba tertanggal 27 Agustus-7 September 1990. Di internal Polri, sebenarnya juga memiliki suatu instrumen khusus tentang HAM, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

POLRI dan KBBB Untuk mempertautkan prinsip dan standar pemolisian yang ideal dengan isu kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadat, kinerja Polri akan diukur sejauh mana berhasil atau gagal dalam memenuhi kewajiban HAM-nya. Kewajiban HAM dalam konteks ini adalah konsepsi standar state obligation to respect, to protect and to fulfill. Ketiga kewajiban negara ini secara jelas menunjukkan bahwa implementasi hak asasi manusia mengandaikan adanya kombinasi kewajiban negara (polisi) baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif.

Meski konsepsi reformasi sektor keamanan beragam tergantung konteks nasional atau regional, terdapat kesepakatan umum bahwa terdapat tiga orientasi utama yang harus diacu, yaitu prinsip democratic oversight, rule of law, dan hak asasi manusia. Pertautan ketiga orientasi di atas juga akan menentukan karakter dari institusi polisi, apakah merupakan alat negara atau alat rakyat/publik.

Pemantauan KontraS terhadap Peran Polri dalam Perlindungan KBBB Dari beberapa kasus polisi masih belum memiliki kesepahaman dalam membangun sensitivitas jaminan perlindungan hak-hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah. Meski dalam konteks kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor dan Kebayoran Lama, inisiatif polisi untuk mengintegrasikan unsur deteksi dini, penegakan hukum dan langkah-langkah lanjutan yang diambil dalam meredam gejolak penolakan atas sebuah aliran agama dan/atau kepercayaan patut diapresiasi; Hal serupa tidak mampu diterapkan pada konteks kasus teror dan kekerasan yang dialami Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Cikeusik, maupun komunitas Kristiani di HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin.

KontraS juga menemukan ketidakpatuhan aparat kepolisian di lapangan dalam menggunakan perangkat-perangkat instrumen internal Polri. Model perangkat-perangkat ini sesungguh dapat dijadikan panduan dalam memetakan kasus, potensi kekerasan, dan bagaimana polisi harus bertindak sesuai dengan fungsi yang diembannya. Temuan spesifik sebagai berikut : Pertama, polisi belum mampu mengoptimalisasikan peran Pemolisian Masyarakat (Polmas) untuk melakukan deteksi dini ketegangan sosial di antara masyarakat. Padahal Polmas juga bisa dijadikan ruang untuk mensosialisasikan dan sekaligus menegaskan tanggung jawab Polri dalam menjamin perlindungan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah. Di level ini, polisi sebenarnya bisa melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kredibilitas tinggi dalam konteks hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah. Tokoh-tokoh masyarakat ini juga diharapkan mampu mendukung konsep pemolisian demokratik yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, rule of law dan hak asasi manusia.

Kedua, polisi juga belum mampu mengelola sejumlah pedoman penting terkait pengendalian massa, penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, hingga penanggulangan potensi tindak anarki dalam konteks jaminan perlindungan hak asasi manusia. Adanya kerusakan fasilitas organisasi keagamaan dan/atau keyakinan yang fatal dan signifikan hingga menimbulkan korban jiwa (dalam kasus Jamaah Ahmadiyah Cikeusik), maupun ketidakmampuan Jemaat HKBP Ciketing dan Jemaat GKI Taman Yasmin untuk menjalankan ibadahnya harus menjadi catatan khusus tersendiri. Ketiga, belum nampak terobosan penting dalam konteks penegakan hukum untuk isu hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah di Indonesia. Jikapun ada, biasanya pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama dan/atau keyakinan hanya divonis rendah (lihat kasus Cikeusik). Selebihnya para pelaku teror dan kekerasan atas nama agama dan/atau keyakinan masih bebas dan berpeluang besar untuk melakukan tindakan-tindakan serupa di masa depan. Keempat, masih minimnya proses penegakan disiplin dan kode etik internal, termasuk proses penegakan hukum pidana atas tindakantindakan aparat kepolisian yang tidak sesuai dengan konteks peraturan internal Polri.

Kelima, sesungguhnya polisi memiliki kemampuan untuk menggunakan instrumen kekuatan dan kekerasan secara absah dalam menegakkan hukum dan menjamin perlindungan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah, sesuai dengan prinsipprinsip hak asasi manusia. Di tingkat ini, polisi sesungguhnya bisa bertindak sesuai dengan kapasitasnya, baik pada tahap deteksi dini, pemetaan aktor-aktor yang potensial melakukan kekerasan, hingga pada tahap penegakan hukum. Adanya temuan atas praktik-praktik pelanggaran tindak disiplin, kode etik dan pidana di internal kepolisian untuk isu perlindungan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah seharusnya bisa mendorong kepolisian dalam meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitasnya. Hal ini penting, mengingat Polri merupakan institusi negara dan sekaligus institusi publik yang wajib tunduk dan terikat pada nilai-nilai konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, sejumlah produk perundangundangan dan sejumlah peraturan internal lainnya.

Rekomendasi Dari hasil pemantauan ini juga menunjukkan adanya kebutuhan khusus untuk menghadirkan pelatihan pemolisian yang disinkronisasikan dengan isu hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah di bawah institusi Polri. Pelatihan ini juga bisa dijadikan pintu masuk untuk mensosialisasikan instrumen-instrumen hak asasi manusia yang memiliki keterkaitannya dengan konsep pemolisian. Utamanya pada perlindungan hak-hak fundamental di atas. Pentingnya mendorong gagasan pembentukan alat ukur internal penegakan hukum dan jaminan perlindungan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah di lingkungan kepolisian. Diharapkan alat ukur internal ini juga bisa berfungsi sebagai parameter akuntabilitas institusi Polri dalam membangun sensitivitas perlindungan kelompok minoritas agama dan keyakinan.