BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ini selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi, non ekonomi dan demografi. Faktor ekonomi antara lain pendapatan rumah tangga, kekayaan rumah tangga, tingkat bunga dan ekspektasi tentang masa depan terhadap ekonomi rumah tangganya. Faktor non ekonomi terkait dengan sosial budaya masyarakat, sedangkan faktor demografi berdasarkan pada komposisi penduduk yang didasarkan pada klasifikasi usia, pendidikan, dan wilayah tempat tinggal. Berbeda dengan konsumsi pemerintah yang bersifat eksogeneus, konsumsi rumah tangga bersifat endogenous. Dalam arti, besarnya konsumsi rumah tangga berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhinya. Prinsip dasar konsumsi adalah bagaimana memperoleh kepuasan maksimum dengan mengoptimalkan penggunaan pendapatan. Konsumsi yang diinginkan dikaitkan dengan pendapatan yang siap dibelanjakan. Keynes menyatakan jika pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) meningkat maka konsumsi juga akan meningkat (Raharja, 2004). Namun rasio konsumsi terhadap pendapatan atau yang
disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume) turun ketika pendapatan naik, sedangkan proporsi tabungan meningkat. Banyak alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi perlu memperhatikan tentang konsumsi rumah tangga secara mendalam. Diantaranya adalah perkembangan masyarakat yang begitu cepat menyebabkan perilaku konsumsi juga berubah cepat, hal ini dapat dilihat pada pengeluaran konsumsi masyarakat yang memiliki porsi besar dalam total pengeluaran agregat mencapai 60 persen sebelum krisis ekonomi (1996), bahkan pada tahun tahun 1970-an mencapai angka sekitar 70 persen. Keputusan konsumsi adalah krusial untuk jangka pendek karena peranannya dalam menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua pertiga dari GDP, sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari ledakan dan resesi ekonomi. Perubahan dalam rencana pengeluaran konsumsi bisa menjadi sumber goncangan terhadap perekonomian, dan kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah determinan dari pengganda kebijakan fiskal. Mengingat porsinya yang besar maka konsumsi rumah tangga berpengaruh cukup kuat terhadap stabilitas perekonomian. Dalam jangka panjang keputusan mengkonsumsi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa tingkat tabungan adalah determinan penting dari persediaan modal dalam kondisi-mapan dan tingkat kesejahteraan ekonomi. Tingkat tabungan mengukur seberapa besar dari pendapatan generasi sekarang disisihkan untuk generasinya sendiri dan generasi mendatang. Fisher menyatakan bahwa konsumsi akan berubah jika tingkat bunga riil
berubah (Mankiw, 2003). Dampak kenaikan tingkat bunga riil atas konsumsi dapat dianalisis dalam efek pendapatan dan efek substitusi. Efek pendapatan melihat perubahan dalam konsumsi yang disebabkan oleh pergerakan ke kurva indifference yang lebih tinggi, kenaikan tingkat bunga riil menyebabkan konsumen akan mengadakan perbaikan kesejahteraan selama dua periode yaitu ketika garis anggaran berotasi akibat perubahan tingkat bunga. Efek ini cenderung membuat konsumen menginginkan lebih banyak konsumsi pada periode tersebut. Efek substitusi adalah perubahan dalam konsumsi yang disebabkan oleh perubahan dalam harga relatif konsumsi pada kedua periode tersebut. Biasanya konsumsi dalam periode dua relatif lebih murah terhadap konsumsi dalam periode satu ketika tingkat bunga naik. Jika tingkat bunga riil yang diterima pada tabungan lebih tinggi, maka konsumen harus mengurangi konsumsi pada periode pertama untuk mendapatkan satu unit tambahan dari konsumsi periode kedua. Efek ini cenderung membuat konsumen memilih lebih banyak konsumsi dalam periode dua dan lebih sedikit pada periode satu. Secara umum efek substitusi bagi kenaikan tingkat bunga adalah rumah tangga cenderung menurunkan pengeluaran konsumsi dan menambah tabungan, sedangkan efek pendapatan bagi kenaikan tingkat bunga adalah meningkatnya pengeluaran konsumsi dan mengurangi tabungan. Efek totalnya tergantung dari mana efek yang lebih kuat (dominan). Bagi golongan kaya yang mempunyai APC lebih rendah dari pada golongan miskin, kenaikan tingkat bunga menghasilkan efek pendapatan mungkin lebih kuat dari pada efek substitusi. Akibatnya rumah tangga cenderung menambah pengeluaran
konsumsinya. Sebaliknya bagi golongan miskin, kenaikan tingkat bunga menghasilkan efek substitusi lebih kuat dari efek pendapatan, sehingga pada kondisi ini rumah tangga cenderung akan menabung lebih banyak. Jadi, secara teoritis tidaklah mudah membuktikan kenaikan tingkat bunga menyebabkan seseorang melakukan konsumsi lebih banyak atau lebih sedikit. Konsumsi Periode II, C 2 Batas anggaran baru B C 2 A Y 1 IC 2 IC 1 Batas anggaran awal Sumber: Mankiw (2003) Y 1 Konsumsi periode I, C 1 Gambar 1.1. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga terhadap Konsumsi Model Fisher mengasumsikan bahwa konsumen bisa meminjam dan menabung. Kemampuan untuk meminjam membuat konsumsi sekarang dapat melebihi pendapatan sekarang, esensinya ketika konsumen meminjam ia mengkonsumsi sebagian dari pendapatan masa depannya hari ini. Sehingga fungsi konsumsinya menjadi C = Y1 + [ Y2/(1+r) ], sedangkan bagi konsumen yang tidak dapat meminjam karena berbagai faktor maka konsumsi hanya bergantung pada pendapatan sekarang atau C1 = Y1 dan C2 = Y2. Dalam model ini konsumen
menghadapi batas anggaran antarwaktu dan memilih konsumsi saat ini dan masa depan untuk mencapai kepuasan tertinggi. Selama konsumen dapat menabung dan meminjam, konsumsi bergantung pada sumber daya kehidupan konsumen. Rumah tangga menabung agar kekayaannya bertambah, dengan mengasumsikan faktor lain tetap, naiknya kekayaan cenderung mengurangi rangsangan untuk menambah kekayaan lagi, hal ini mengurangi hasrat untuk menabung. Nilai riil kekayaan akan berubah jika nilai uang yang ada pada kekayaan dan tingkat harga berubah. Jika perubahannya pada proporsi yang sama maka kekayaan riil tidak berubah, rangsangan untuk menabung di kalangan rumah tangga juga tidak akan berubah. Bertambahnya kekayaan cenderung mengakibatkan semakin besarnya bagian dari pendapatan disposable yang akan dibelanjakan untuk konsumsi. Kenaikan kekayaan yang terencana sebagai akibat akumulasi kekayaan yang lalu, bisa menjadi unsur penting bagi seluruh masyarakat dan dapat menggeser naik fungsi konsumsi makro. Keputusan konsumsi juga didasarkan pada pandangan konsumen tentang masa depan yang berkaitan dengan pendapatan yang diharapkan pada masa depan (ekspektasi rasional). Asumsi ekspektasi rasional mendasarkan pada penggunaan seluruh informasi yang ada untuk membuat ramalan optimal tentang masa depan. Asumsi ini secara potensial memiliki implikasi yang sangat besar terhadap konsumsi dan terhadap biaya untuk menghentikan inflasi. Robert Hall menderivikasikan implikasi dari ekspektasi rasional terhadap konsumsi (Mankiw, 2003). Hall menyatakan dengan hipotesis pendapatan permanen dan ekspektasi rasional yang
dimiliki oleh konsumen, perubahan-perubahan dalam konsumsi sepanjang waktu tidak dapat diprediksi. Kombinasi hipotesis pendapatan permanen dan ekspektasi rasional menunjukkan bahwa konsumsi mengikuti jalan acak (random walk). Pendekatan ekspektasi rasional atas konsumsi memiliki implikasi tidak hanya terhadap peramalan, tapi juga terhadap analisa kebijakan ekonomi. Jika konsumen mematuhi hipotesis pendapatan permanen dan memiliki ekspektasi rasional, maka hanya perubahan kebijakan yang tidak diharapkan yang akan mempengaruhi konsumsi. Perubahan kebijakan ini berpengaruh bila mereka mengubah ekspektasinya. Jika konsumen mempunyai ekspektasi rasional, pembuat kebijakan dapat mempengaruhi perekonomian melalui ekspektasi masyarakat. Keterkaitan konsumsi dengan jumlah uang beredar juga dapat dilihat dari pandangan kaum moneteris yang menganggap bahwa faktor dominan dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi adalah sektor keuangan. Pertumbuhan jumlah uang beredar sangat berpengaruh dalam memperbesar pembelanjaan masyarakat sehingga output meningkat, memperbesar kesempatan kerja dan tingkat harga. Dalam keseimbangan umum bertambahnya jumlah uang beredar dapat mempengaruhi output (PDB). Pendapatan nasional yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita sering digunakan sebagai indikator ekonomi mengenai taraf hidup (levels of living) dan tingkat kemajuan pembangunan suatu negara (development progress). Secara regional gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dilihat pada PDRB
perkapita. PDRB perkapita terbentuk melalui perubahan-perubahan variabel makro, salah satunya adalah konsumsi. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yang diukur dari perubahan PDRB menunjukkan adanya peningkatan dari Rp. 118.100.512 pada tahun 2004 menjadi Rp. 181.819.737 pada tahun 2007 (berdasarkan harga berlaku). Sementara berdasarkan harga konstan tahun 2007 Rp. 99.792.273 meningkat dari tahun 2004 yang sebesar Rp. 83.328.949. Tabel 1.1. Perkembangan Aggregat PDRB Sumut (Milyar Rp) Rincian 2004 2005 2006 2007 PDRB (ADH 118.100,512 139.618,314 160.376,799 181.819.737 Berlaku) PDRB (ADH 83.328.949 87.897.791 93.347.404 99.792.273 Konstan) PDRB per kapita 6.873.420 7.130.696 7.383.039 7.775.393 Jumlah Penduduk 12.123.360 12.326.678 12.643.494 12.643.499 Sumber: BPS, Sumut Dalam Angka, berbagai terbitan. Berdasarkan alokasi penggunaannya dapat dipaparkan sebagian barang dan jasa di Sumut dikonsumsi oleh rumah tangga yaitu mencapai Rp. 105.449,56 milyar (58,00%), untuk pembentukan modal tetap Rp. 29.127,33 milyar (16,02%), ekspor neto sebesar Rp. 28.070,06 milyar (15,43%), konsumsi pemerintah sebesar Rp. 16.595,80 milyar (9,13%), serta untuk konsumsi lembaga nirlaba sebesar Rp. 835,28 milyar (0,46%).
Tabel 1.2. Alokasi Penggunaan PDRB Sumut Jenis Penggunaan Nominal (Milyar Rp) Persentase Konsumsi RT 105.449,56 58,00 Pembentukan modal 29.127,33 16,02 Konsumsi pemerintah 16.595,80 9,13 Ekspor neto 28.070,06 15,43 Lembaga nirlaba 835,28 0,46 Sumber: BPS (2008) Sesuai dengan pendekatan pengeluaran dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terlihat peranan konsumsi sangat besar. Masyarakat Sumut yang berjumlah 12 juta jiwa lebih merupakan faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi di samping faktor-faktor lain. Perkembangan konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara dari tahun 1988 sampai dengan 1997 mengalami peningkatan. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan masyarakat atas barang dan jasa juga menunjukkan peningkatan. Pada pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1998, konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara mengalami penurunan karena rupiah mengalami tekanan (depresiasi), kemudian disusul dengan krisis moneter dan pada akhirnya berubah menjadi krisis ekonomi yang menimbulkan konsekuensi terhadap ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan negatif, nilai tukar berfluktuasi tidak terkendali. Akibat krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 adalah inflasi yang meningkat tajam pada tahun 1998 yang mencapai angka 83,56%. Inflasi yang tinggi berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat, karena harga barang dan jasa naik. Untuk menjaga pelarian modal keluar maka tingkat suku bunga
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini membuat konsumsi masyarakat mengalami degradasi, karena masyarakat lebih memilih menyimpan uangnya di bank dengan kompensasi bunga. Pada tahun 1999 laju inflasi mulai terkendali. Upaya pemulihan moneter melalui penetapan kebijakan moneter ketat (tigh money policy) yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional mulai memberikan hasil yang positif. Pada tahun 2000 sampai 2005, inflasi sempat mengalami kenaikan yang bersumber dari nilai tukar yang bergejolak karena berbagai perubahan kondisi sosial politik yang terjadi serta meningkatnya harga BBM dan barang-barang yang dikendalikan oleh pemerintah sehubungan dengan dikuranginya subsidi. Suku bunga mengalami kenaikan dan penurunan setiap tahunnya. Akibat dari meningkatnya harga BBM, harga-harga kebutuhan pokok masyarakat juga ikut naik. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 perekonomian mulai membaik dengan penurunan inflasi dan tingkat suku bunga sehingga pengeluaran konsumsi masyarakat mulai menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi saat ini bertumpu pada konsumsi karena berkurangnya peranan sektor investasi dan ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis perlu membatasi permasalahan yang akan dianalisis meliputi:
1. Bagaimana pengaruh PDRB Riil terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara? 2. Bagaimana pengaruh PDRB riil tahun lalu terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara? 3. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara? 4. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk (populasi) terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh PDRB riil terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. 2. Menganalisis pengaruh PDRB riil tahun lalu terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. 3. Menganalisis pengaruh tingkat suku bunga terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. 4. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap konsumsi masyarakat di Propinsi Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah: 1. Sebagai pengembangan ilmu bagi peneliti, khususnya yang berkaitan dengan materi penelitian. 2. Sebagai bahan kajian bagi pengambil kebijakan untuk dapat merencanakan kebijakan yang tepat dalam merespon pengeluaran konsumsi masyarakat, karena konsumsi merupakan variabel makro yang sangat signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang berminat dalam kajian konsumsi.