OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN Oleh Muhammad Siddiq Armia, MH, PhD (msiddiq@ar-raniry.ac.id, muhammad.siddiq.armia@gmail.com) 1 Di presentasikan pada Fakultas Hukum Universitas Jember 5 Oktober 2016
2 Isi slide: 1. Mengapa Ada Otonomi Hukum di Aceh? 1.1. Latar Belakang Sejarah 1.2. Konflik Bersenjata DI/TII (1953), GAM (1974-2005) 2. Legalitas Nasional 2.1. UU NO.44/ 1999-Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 2.2. UU NO. 18/ 2001- OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 3. MoU Helsinki 2005 dan Restrukturisasi Hukum Aceh Dalam Hukum Nasional 3.1. MoU Helsinki dan Konsekuensi Hukum 3.2. Kehadiran UU.No.11/2006-Pemerintah Aceh 4. Tantangan Masa Depan 4.1. Sistem Pengujian Peraturan Daerah 4.2. Ketidaksinkronan Regulasi Keuangan Nasional 4.3. Transformasi Hukum di Daerah 5. Kesimpulan
1. Mengapa Ada Otonomi Hukum di Aceh? 3
1.1. Latar Belakang Sejarah Sebagai provinsi pertama di Indonesia yang menjalankan hukum Islam pra kolonial. 4 Pertarungan panjang dengan kolonial dalam menerapkan hukum Islam, yang dilemahkan dengan teori receptie in complexu.
1.2. Konflik Bersenjata DI/TII (1953), GAM (1974-2005) 5 Masih belum bisa menjalankan hukum Islam setelah kemerdekaan. Belum ada komitmen secara nasional (legalitas hukum) untuk menerapkan hukum Islam di Aceh. Konflik bersenjata bergeser ke isu-isu sosial ekonomi.
6 2. Legalitas Nasional
2.1. UU NO.44/ 1999-Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 7 Berwenang: a.penyelenggaraan kehidupan beragama; b.penyelenggaraan kehidupan adat (Lahirnya Majelis Adat Aceh-MAA) c.penyelenggaraan pendidikan; dan d.peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah (Lahirnya Majelis Permusyawaratan Ulama-MPU)
2.2. UU NO. 18/ 2001- OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 8 Berwenang: a. Pembagian hasil alam yang lebih dominan; b. Alokasi dana otonomi khusus yang lebih besar; c. Otonomi pelaksanaan adat, pendidikan, dan ulama; d. Pembentukan Lembaga Wali Nanggroe
2.2. berwenang... (1) 9 Perobahan nomenklatur Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar iyah, penambahan Kewenangan menjadi: hukum keluarga (al-akhwal al-syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata) hukum jinayat (pidana)
2.2. berwenang... (2) 10 Qanun Pendukung; Qanun No.11/2002-Pelaksanaan Syari ah Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Qanun No.12/ 2003 - Larangan Khamar dan sejenisnya. Qanun No.13/ 2003 - Larangan Maisir (judi). Qanun No.14/ 2003 - Larangan Khalwat (mesum). Qanun No. 7/ 2004 - Pengelolaan Zakat
3. MoU Helsinki 2005 dan Restrukturisasi Hukum Aceh Dalam Hukum Nasional 11
3.1. MoU Helsinki dan Konsekuensi Hukum 12 Membutuhkan Norma Hukum Baru Terhadap Otonomi Aceh, sebagai akibat dari prinsip Self Government. Merestrukturisasi regulasi yang telah ada sebelumnya, bahkan menghapus qanun-qanun yang ada sebelumnya. Kebutuhan akan UU baru sebagai implementasi MoU Helsinki merupakan suatu keharusan.
3.2. Kehadiran UU.No.11/2006-Pemerintah Aceh 13 Menormakan beberapa butir MoU Helsinki sebagai bagian hukum positif Memperkuat kedudukan self government Menghapuskan keberlakuan UU.No.18/ 2001 Merestrukturisasi Hukum Jinayah Aceh yang pernah ada sebelumnya.
3.2. Kehadiran.. (1) 14 Memperkuat hukum acara dan hukum materil Pidana Islam di Aceh, yang terdiri dari Qanun NO. 7/ 2013 - Hukum Acara Jinayat, dan Qanun NO. 6/2014- Hukum Jinayat. Merobah sistem pembayaran denda dari tunai ke dalam emas. Mempertegas kembali bahwa hukum Pidan Islam di Aceh hanya untuk muslim, bukan untuk non-muslim. Non-muslim diberikan pilihan sukarela, boleh menundukkan diri ataupun tidak.
3.2. Kehadiran.. (2) 15 Menambah klasifikasi Pidana Islam menjadi: a. Khamar (Minuman Keras) b. Maisir (Perjudian) c. Khalwat (bersunyi-sunyian bagi bukan pasangan sah) d. Ikhtilath (bermesraan bagi bukan pasangan sah) e. Zina; f. Pelecehan seksual; g. Pemerkosaan; h. Qadzaf (Menuduh Berzina) i. Liwath (Gay) j. Musahaqah. (Lesbian)
16 4. Tantangan Masa Depan
17 4.1. Sistem Pengujian Peraturan Daerah Eksekutive Review telah menghambat pembentukan regulasi daerah. Konflik norma dalam peraturan daerah seharusnya diselesaikan dengan pendekatan peradilan (judicial review), bukan dg pendekatan politik (eksekutive review). Peraturan Daerah daerah otonomi khusus memang rentan berseberangan dg asas hierarki, kalau tidak disikapi dengan bijaksana.
18 4.2. Ketidaksinkronan Regulasi Keuangan Nasional Aceh berwenang mengelola zakat dan harta agama lainnya. Zakat menurut hukum Islam harus segera disalurkan kepada yang berhak. Akan tetapi secara sistem keuangan nasional, karena Zakat merupakan PAD maka dia harus dimasukkan dahulu ke kas negara, baru setelah itu boleh disalurkan. Proses yang tidak segera ini telah menyalahi prinsip penyaluran zakat dalam hukum Islam.
19 4.3. Transformasi Hukum di Daerah Konflik berkepanjangan mengakibatkan kecurigaan terhadap pemerintah pusat Kurangnya pemahaman anggota legislative daerah (berasal dari partai lokal) terhadap proses legislasi dan teori-teori perundangundangan. Perencanaan pembentukan hukum di daerah yang kurang matang, sehingga tidak ada skala prioritas. Hal ini terlihat dari pengesahan APBD yang sering terlambat. Kerap kali memakai pendekatan politik dalam menyelesaikan konflik regulasi di daerah, sedangkan pilihan pendekatan judicial masih terbuka. Spt konflik Qanun Bendera, yang seharusnya bisa dipakai jalur PTUN.
20 5. Kesimpulan Otonomi hukum Aceh masih terikat dengan segala ketentuan perundang-undangan di Indonesia, spt hirarki hukum, jumlah ketentuan hukuman, maksimal denda, peniadaan hukuman mati, dan lain-lain. Masih terbuka ruang diskusi dan riset terhadap hukum Jinayat Aceh, yang bisa dilihat dari sudut fiqih, sosiologi-antropologi, hukum normative, putusan peradilan, dan lain-lain.
21 WASALAM TERIMA KASIH
22 Biographi: Muhammad Siddiq Armia,MH, PhD, S1 UIN Ar- Raniry, S2 FH Univesitas Indonesia, S3 Anglia Ruskin University, Cambridge, UK. Dosen Comparative Constitutional Law Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Spesifikasi riset tentang Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, Public Law, Teori Perundang-Undangan, dan otonomi hukum Aceh.