I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Nilai rata-rata konsumsi cabai per kapita di Indonesia adalah 2,9 kg.tahun -1 (Putranto et al., 2011). Sayuran ini biasanya dimanfaatkan sebagai bumbu atau bahan baku sambal dalam masakan Indonesia (Djarwaningsih, 2005). Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwa Indonesia adalah penghasil cabai terbesar keempat dunia dengan potensi produksi yang tinggi dan terus meningkat. Hal ini terlihat dari peningkatan luas panen dan produksi cabai nasional pada rentang 2004-2013. Luas panen cabai di Indonesia pada tahun 2004 adalah 194.588 Ha dengan produksi 1.100.514 ton. Sementara, pada tahun 2013, luas panen adalah 232.807 Ha dengan produksi 1.726.382 ton. Produktivitas cabai juga turut meningkat dari 5,66 ton.ha -1 pada tahun 2004 menjadi 7,42 ton.ha -1 pada tahun 2013. Sekalipun demikian, produktivitas cabai Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas cabai dunia yang mencapai 16,11 ton.ha -1 (http://faostat3.fao.org/download/q/qc/e). Produktivitas yang rendah diduga terjadi karena kehilangan produksi akibat serangan hama dan penyakit. Seperti halnya tanaman yang lain, produktivitas cabai sangat dipengaruhi faktor biotik dan abiotik. Penyakit busuk batang Phytophthora yang disebabkan oleh Phytophthora capsici Leon. adalah salah satu penyakit utama pada tanaman cabai (Suryaningsih et al., 1996). Penyakit ini telah menyebabkan kerusakan lebih dari 60% pertanaman cabai di Tegal (Yunianti, 2007). Fakta ini membuat busuk batang Phytophthora menjadi salah satu penyakit paling merusak di Indonesia. Permasalahan ini menimbulkan tantangan baru bagi para pemulia tanaman cabai. Kebutuhan terhadap kultivar tahan P. capsici dirasa penting karena dianggap paling efektif untuk mengurangi risiko kerusakan akibat busuk batang Phytophthora. Tantangan tersebut tampaknya akan segera terjawab pada saat ditemukan aksesi cabai dengan ketahanan tinggi terhadap P. capsici, yaitu CM334. Namun, aksesi ini tidak mempunyai sifat hortikultura yang cukup menarik untuk petani. Oleh karena itu, sasaran program pemuliaan ini bertambah lagi menjadi perakitan kultivar tahan P. capsici yang juga memiliki sifat hortikultura menguntungkan. Sampai sejauh ini kemajuan yang dicapai masih dirasa lambat. Hambatan utama program pemuliaan ini adalah kurangnya pemahaman pada pola pewarisan serta kendali genetik ketahanan sehingga strategi pemuliaan yang diterapkan tidak 1
berhasil memindahkan sifat ketahanan CM334 ke aksesi lain. Pemahaman lengkap bentuk pewarisan ketahanan CM334 terhadap busuk batang Phytophthora akan mempermudah pemulia tanaman dalam menentukan strategi paling efektif untuk memindahkan sifat tersebut ke dalam aksesi cabai yang lain. Apabila ketahanan ini dikendalikan oleh satu gen dominan, hanya diperlukan satu kali persilangan untuk memindahkan gen tersebut. Namun, jika ekspresi sifat ini adalah hasil interaksi dari banyak gen, diperlukan beberapa kali silang balik untuk dapat memindahkan gengen tersebut. Keberhasilan introgresi ketahanan ditentukan oleh ketepatan metode pemuliaan yang digunakan. Pembatas lain adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan introgresi ketahanan tersebut sehingga memunculkan ide tentang pengembangan penanda ketahanan. Penggunaan penanda ketahanan tersebut diharapkan mampu mempersingkat waktu penapisan yang biasanya dilakukan dalam seleksi berulang untuk memindahkan ketahanan. Apabila gen pengendali ketahanan tersebut bersifat resesif, diperlukan penapisan berulang untuk memastikan bahwa gen tersebut telah dipindahkan dan mampu terekspresi pada aksesi penerimanya. Penapisan berulang juga diperlukan jika ketahanan tersebut bersifat kuantitatif atau poligenik sehingga program pemuliaan ketahanan ini membutuhkan waktu lama. Menurut Thabuis et al. (2004a), metode seleksi dengan bantuan penanda akan dapat mempercepat waktu pemuliaan ketahanan kuantitatif. Penanda ini dapat berupa penanda biokimia atau molekuler yang bertaut erat dengan sifat ketahanan tersebut. Salah satu wacana yang muncul adalah penggunaan tingkat aktivitas enzim peroksidase atau ekpresi gen penyandi kelompok enzim peroksidase sebagai penanda tersebut. 2. Permasalahan 1. Model pewarisan dan kendali genetik ketahanan tanaman cabai terhadap busuk batang Phytophthora belum diketahui. 2. Bentuk interaksi antara gen-gen yang berperan dalam ketahanan tanaman cabai terhadap busuk batang Phytophthora belum diketahui. 3. Bentuk genotipe dari tetua cabai yang tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora belum diketahui. 4. Perbedaan pola aktivitas enzim peroksidase pada aksesi cabai yang tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora belum diketahui. 5. Perbedaan level ekspresi gen kelompok enzim peroksidase pada aksesi cabai tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora belum diketahui. 2
3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun strategi pemuliaan ketahanan cabai terhadap P. capsici melalui introgresi dari sumber ketahanan, yaitu kultivar CM334. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menentukan model pewarisan dan jumlah gen pengendali ketahanan dari aksesi cabai CM334 terhadap busuk batang Phytophthora. 2. Menentukan bentuk interaksi di antara gen-gen yang berperan dalam ketahanan tanaman cabai terhadap busuk batang Phytophthora. 3. Menentukan bentuk genotipe tetua cabai yang tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora. 4. Menentukan perbedaan pola aktivitas enzim peroksidase pada aksesi tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora. 5. Menghitung perbedaan level ekspresi gen kelompok enzim peroksidase pada aksesi tahan dan rentan terhadap busuk batang Phytophthora. 6. Menentukan penanda ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit busuk batang Phytophthora dengan ekspresi gen kelompok enzim peroksidase. 4. Manfaat Penelitian Sampai saat ini, busuk batang Phytophthora masih menjadi pembatas bagi produksi cabai di Indonesia. Pengendalian patogen ini secara biologis dan kimiawi juga belum memberikan hasil yang memuaskan. Akibatnya, biaya produksi cabai, terutama pada musim hujan, menjadi sangat tinggi. Hal itu juga berimbas kepada harga jual cabai di pasar yang bisa melonjak sangat tinggi dan melampaui daya beli masyarakat Indonesia. Penanaman kultivar tahan menjadi alternatif terbaik untuk pemecahan masalah ini. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada varietas yang dilaporkan tahan terhadap busuk batang Phytophthora. Pemindahan sifat ketahanan tersebut masih menghadapi kendala, karena terjadi kegagalan pemindahan sifat ini dari aksesi sumber ketahanannya ke aksesi lain yang memiliki keunggulan hasil. Penelitian ini bertujuan menjawab permasalahan tersebut. Bagian pertama penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan sifat ketahanan terhadap busuk batang Phytophthora. Pemahaman lengkap terhadap kendali genetik sifat ketahanan ini akan memudahkan pemulia tanaman cabai dalam merancang strategi introgesi sifat ini. Bagian kedua penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi potensi penggunaan penanda ekspresi dari sifat ketahanan. Harapannya, melalui seleksi berbantuan penanda ini, introgresi sifat ketahanan akan dapat dicapai lebih cepat 3
dan akurat, sehingga kultivar cabai tahan busuk batang Phytophthora lebih cepat diperoleh. Melalui penemuan kultivar tahan busuk batang Phytophthora, diharapkan bahwa petani yang menggunakannya akan memiliki kepastian hasil yang lebih tinggi dan menerima keuntungan yang lebih besar. Penggunaan kultivar tahan juga akan berpeluang menekan biaya produksi dan menurunkan harga jual cabai, sehingga masyarakat Indonesia tetap dapat menikmati cabai dengan harga yang terjangkau. 5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pola pewarisan ketahanan cabai terhadap busuk batang Phytophthora dimulai oleh Kimble & Grogan (1960) dan masih berlangsung hingga 45 tahun setelahnya. Penelitian terakhir tentang topik ini dilaporkan Reeves et al. (2013) yang mengusulkan model dua lokus untuk pewarisan sifat ini. Sayangnya, model ini masih belum sepenuhnya dapat menjelaskan pola pewarisan ketahanan terhadap busuk batang Phytophthora, karena model ini tidak dapat diaplikasikan untuk persilangan dengan aksesi tetua betina yang lain. Gil-Ortega et al. (1991) juga telah melaporkan kemungkinan bahwa sifat ketahanan tersebut dikendalikan secara poligenik, oleh tiga gen, namun kurang dapat menjelaskan bentuk interaksi di antara gen-gen tersebut. Berpijak pada hal ini, dirasa perlu untuk mengkaji kemungkinan adanya interaksi epistasis pada sifat ketahanan ini serta menjelaskan pola interaksi di antara gen-gen tersebut agar kegagalan introgresi sifat ketahanan bisa dihindari. Upaya untuk menemukan penanda sifat ketahanan terhadap busuk batang Phytophthora juga telah dilakukan sejak lama. Penelitian terakhir oleh Rehrig et al. (2014) dan Liu et al. (2014), masing-masing menemukan QTL mayor ketahanan cabai terhadap P. capsici. Sekalipun demikian, masih terdapat permasalahan yang dihadapi oleh kedua kelompok peneliti tersebut. Rehrig et al. (2014) melaporkan bahwa QTL mayor yang ditemukan juga teridentifikasi pada beberapa aksesi rentan, mengindikasikan bahwa QTL tersebut masih belum sepenuhnya bisa mewakili sifat ketahanan dan ada QTL lain yang belum teridentifikasi. Sementara, Liu et al. (2014) melaporkan bahwa QTL mayor yang ditemukan hanya mampu digunakan untuk mengidentifikasi ketahanan terhadap isolat P. capsici dengan virulensi yang rendah. Selain itu, beberapa penanda ketahanan yang diajukan beberapa kelompok peneliti (Truong et al., 2013; Rehrig et al., 2014) masih gagal untuk memisahkan genotipe tahan dan rentan di luar populasi yang mereka gunakan dalam penelitian tersebut. Semua penanda tersebut adalah penanda genomik. Oleh karena itu muncul wacana 4
untuk mengeksplorasi penanda ketahanan berbasis ekspresi gen, dengan asumsi bahwa ekspresi gen tertentu yang bekerja dalam mekanisme ketahanan tersebut akan juga menggambarkan tingkat ketahanan dari suatu individu. Penanda ekspresi ini diharapkan memiliki tingkat ketepatan dan kepercayaan lebih tinggi dari pada penanda genomik. 5