GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA SALURAN NAPAS BAWAH INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERI PAPARAN API

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA SALURAN NAPAS BAWAH INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERI PAPARAN API

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan panas, api, bahan kimia, listrik, atau radiasi. 1. mortalitas yang tinggi, terutama pada usia dibawah 40 tahun.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi

BAB III METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, Ilmu Farmakologi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG KENCUR (Kaempferia YANG DIINDUKSI ASAM ASETAT ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

Bab I. Pendahuluan. Luka bakar adalah trauma pada jaringan yang disebabkan oleh suhu tinggi,

PERBANDINGAN ANTARA DURASI WAKTU PEMBEKUAN TERHADAP TERJADINYA PEMBUSUKAN JARINGAN PARU-PARU PADA KELINCI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB III METODE PENELITIAN

PERBANDINGAN ANTARA DURASI WAKTU PEMBEKUAN TERHADAP TERJADINYA PEMBUSUKAN JARINGAN HEPAR PADA KELINCI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu kedokteran forensik dan

PENGARUH PEMBERIAN METHANIL YELLOW PERORAL DOSIS BERTINGKAT SELAMA 30 HARI TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT BALB/C

ABSTRAK. Stefany C.K, Pembimbing I : Laella Kinghua Liana, dr., Sp.PA, M.Kes. Pembimbing II: Endang Evacuasiany, Dra., MS., AFK.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang farmakologi.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan

PENGARUH PEMBERIAN BORAKS DOSIS BERTINGKAT TERHADAP PERUBAHAN GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS HEPAR SELAMA 28 HARI (Studi pada tikus wistar)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

GAMBARAN MIKROSKOPIS GINJAL TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI ETANOL DAN SOFT DRINK

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

PENGARUH LAMA WAKTU KEMATIAN TERHADAP KEMAMPUAN PERGERAKAN SILIA BRONKUS HEWAN COBA POST MORTEM YANG DIPERIKSA PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN

PENGARUH LAMA WAKTU KEMATIAN TERHADAP KEMAMPUAN PERGERAKAN SILIA NASOPHARYNX HEWAN COBA POST MORTEM YANG DIPERIKSA PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

PERBANDINGAN ANTARA DURASI WAKTU PEMBEKUAN TERHADAP TERJADINYA PEMBUSUKAN JARINGAN GINJAL PADA KELINCI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan eksperimental murni, dengan rancanganpost-test control

BAB IV METODE PENELITIAN

Gambar 6. Desain Penelitian

Perbandingan Pemberian Brodifakum LD50 dan LD100 terhadap Perubahan Gambaran Patologi Anatomi Gaster Tikus Wistar

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS BERTINGKAT MADU TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS HEPAR PADA MENCIT STRAIN Balb/c JANTAN YANG DIBERI PAPARAN ASAP ROKOK

BAB IV METODE PENELITIAN. Tempat : Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum

PENGARUH PEMBERIAN BORAKS DOSIS BERTINGKAT TERHADAP PERUBAHAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS GASTER TIKUS WISTAR SELAMA 4 MINGGU

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Ilmu Patologi Anatomi dan

PENGARUH PEMBERIAN RHODAMINE B PERORAL DOSIS BERTINGKAT SELAMA 12 MINGGU TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL TIKUS WISTAR

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu

PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP FUNGSI HATI TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

ABSTRAK. EFEK GASTROPROTEKTIF JUS BUAH JERUK LEMON (Citrus limon (L.) Burm.f.) PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI ASPIRIN

PENGARUH PROPOLIS SECARA TOPIKAL TERHADAP FIBROBLAS PASCA LUKA BAKAR PADA MENCIT (MUS MUSCULUS) Oleh : RAUZATUL FITRI

PENGARUH EKSTRAK BIJI SIRSAK (Annona muricata L) DALAM MENGURANGI KERUSAKAN TESTIS MENCIT (Mus musculus) YANG DIPAPAR ASAP ROKOK SKRIPSI

ABSTRAK. EFEK SARI KUKUSAN KEMBANG KOL (Brassica oleracea var. botrytis DC) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS KOLON PADA MENCIT MODEL KOLITIS

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh iritan, inhalasi alergen dan toksik obat-obatan yang menyebabkan

EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH. (Zingiber officinale Roscoe var. rubrum) TERHADAP CACING. Ascaris suum Goeze SECARA IN VITRO

ABSTRAK. Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Hartini Tiono, dr., M.Kes

ABSTRACT THE EFFECT OF CALCIUM AND VITAMIN D TOWARDS HISTOPATHOLOGICAL CHANGES OF WISTAR MALE RAT S KIDNEY WITH THE INDUCED OF HIGH LIPID DIET

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

PERBEDAAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI OTOT JANTUNG TIKUS WISTAR AKIBAT PAPARAN ARUS LISTRIK MELALUI MEDIA AIR TAWAR DAN AIR LAUT

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETHANOL BUAH STRAWBERRY

Maria Caroline Wojtyla P., Pembimbing : 1. Endang Evacuasiany, Dra., MS., AFK., Apt 2. Hartini Tiono, dr.

EFEKTIVITAS ANALGETIK PREEMTIF TERHADAP KEDALAMAN ANESTESI PADA ODONTEKTOMI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendekatan post-test only control group design. Hewan uji dirandomisasi baik

ABSTRAK. EFEK PROPOLIS INDONESIA MEREK X DALAM MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR Swiss-Webster

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness.) PADA MENCIT Swiss Webster YANG DIINDUKSI Oleum ricini

BAB 4 METODE PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only

BAB V HASIL PENELITIAN

PENGARUH PAPARAN PER ORAL FLUORIDA DALAM PASTA GIGI DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN MIKROSKOPIS HEPAR MENCIT BALB/C USIA 3-4 MINGGU

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

BAB IV METODA PENELITIAN. designs) dengan rancangan randomized post-test control group design, 56 yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Histologi, Mikrobiologi, dan Farmakologi.

BAB 4 METODE PENELITIAN

ABSTRAK PERBANDINGAN PENINGKATAN KAPASITAS VITAL PARU ANTARA PEROKOK DAN NON PEROKOK SETELAH LATIHAN FISIK AEROBIK

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006 HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK. GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG MENCIT GALUR Swiss Webster JANTAN PASCA PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.

PENGARUH PEMBERIAN ASAP CAIR PADA BERBAGAI KONSENTRASI TERHADAP PERTUMBUHAN Streptococcus mutans PENYEBAB KARIES GIGI

Kata kunci: perlemakan hati, rosela, bengkak keruh, steatosis, inflamasi lobular, degenerasi balon, fibrosis

DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING PENETAPAN PANITIA PENGUJI PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ABSTRAK ABSTRACT RINGKASAN SUMMARY KATA PENGANTAR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada ilmu Farmakologi dan Biokimia.

PERBEDAAN EFEKTIVITAS LATIHAN HEXAGON DRILL DAN ZIG-ZAG RUN

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan pre-post test with

UJI TOKSISITAS AKUT MONOCROTOPHOS DOSIS BERTINGKAT PER ORAL DILIHAT DARI GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT BALB/C

LAJU TRANSPOR MUKOSILIAR MUKOSA NASAL PADA PETUGAS SPBU LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran DISUSUN OLEH : WAHYU FAIZAL SULAIMAN J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Disiplin ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu Biokimia dan Farmakologi.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Animal Care Universitas Negeri

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design

The Effect of Ultraviolet (UV) C Lamp Exposure on Organ Weights and Histopathology Appearance Liver in Male Mice (Mus musculus L.)

ABSTRAK EFEK PAJANAN GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK TELEPON SELULER GSM DAN CDMA TERHADAP MOTILITAS DAN JUMLAH SPERMATOZOA MENCIT GALUR BALB/C

ABSTRAK. Lius Hariman, Pembimbing I : Kartika Dewi, dr., M.Kes., Sp.Ak. Pembimbing II : Khie Khiong, M.Si., M.Pharm.Sc., Ph.

ABSTRAK. EFEK GASTROPROTEKTIF AIR PERASAN DAUN PISANG (Musa paradisiaca L.) PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI ASPIRIN

PERBANDINGAN PEMBERIAN BRODIFAKUM DOSIS LD 50 DAN LD 100 TERHADAP RESIDU BRODIFAKUM PADA HEPAR TIKUS WISTAR LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PROTEKTIF PEMBERIAN MADU PERSONDE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI METANOL

ABSTRAK. Charles, Pembimbing I : Sylvia Soeng, dr., M. Kes., PA(K). Pembimbing II : Daniel Wirawan Purwadisastra, dr., PA.

Gambaran Histopatologis Saluran Pernapasan Bawah Mencit (Mus muscullus) Akibat Paparan Asap Obat Nyamuk Bakar

PENGARUH PEMBERIAN BORAKS DOSIS BERTINGKAT TERHADAP PERUBAHAN GAMBARAN MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS HEPAR SELAMA 28 HARI (Studi pada tikus wistar)

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

ABSTRAK. EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL RIMPANG KUNYIT (Curcuma domestica Val.) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN

Transkripsi:

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA SALURAN NAPAS BAWAH INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERI PAPARAN API Qhastalani Aurima F.S 1, Intarniati Nur Rohmah 2, Ika Pawitra Miranti 3 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 2 Staf Pengajar Forensik, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 3 Staf Pengajar Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro JL. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang-Semarang 50275, Telp.02476928010 ABSTRAK Latar Belakang : Luka bakar merupakan salah satu cedera yang paling luas yang berkembang di dunia dan merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kejadian luka bakar yang semakin luas menimbulkan tantangan bagi investigator, ahli forensik dan penegak hukum untuk membedakan apakah luka bakar terjadi saat korban masih hidup, sesaat setelah korban meninggal atau saat korban sudah meninggal. Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi saluran napas bawah intravital, perimortem, dan postmortem mencit Balb/c yang diberi paparan api. Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 49 mencit Balb/c jantan yang terbagi menjadi 7 kelompok. Kelompok K tidak diberi perlakuan. Kelompok P1 diberi paparan api intravital selama 10 detik. Kelompok P2 diberi paparan api intravital selama 20 detik. Kelompok P3 diberi paparan api perimortem selama 10 detik. Kelompok P4 diberi paparan api perimortem selama 20 detik. Kelompok P5 diberi paparan api postmortem 10 detik. Kelompok P6 diberi paparan api postmortem 20 detik. Setelah intervensi, dilakukan pembuatan preparat paru dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Uji analisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna pada seluruh kelompok dilatasi vaskuler dengan nilai p bronkus = 0,022; nilai p bronkiolus = 0,010; dan nilai p alveolus = 0,000. Pada kelompok sel radang menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; nilai p bronkiolus = 0,024; dan nilai p alveolus = 0,002. Pada kelompok jelaga menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; dan nilai p alveolus = 0,002, dan tidak bermakna pada bronkiolus yaitu dengan nilai p = 0,709. Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada bronkus, bronkiolus dan alveolus untuk parameter dilatasi vaskuler dan sel radang, sedangkan untuk parameter jelaga didapatkan perbedaan bermakna pada bronkus dan alveolus, namun tidak bermakna pada bronkiolus. Kata Kunci : Luka bakar, dilatasi vaskuler, sel radang, jelaga, saluran napas bawah ABSTRACT HISTOPATHOLOGICAL CHANGES OF LOWER RESPIRATORY TRACT IN INTRAVITAL, PERIMORTEM AND POSTMORTEM BALB/C MICE EXPOSURED- FIRE Background: A burn is the most common injury occured in the world and it is a type of trauma which have high morbidity and mortality. A high incidence of burns become a challenge to the investigators, forensic experts, and law enforcement officers to distinguish wether the burns occured before death, around the time of death, or after death. 1507

Aim: to know the difference of intravital, perimortem and postmortem histopathological changes of lower respiratory tract in Balb/c mice with fire exposure. Methods: This study was an experimental study with Post Test-Only Control Group Design. Samples were 49 Balb/c mice that devided into 7 groups. Group K was a control (without fire exposure). Group P1 was given intravital fire exposure for 10 seconds. Group P2 was given intravital fire exposure for 20 seconds. Group P3 was given perimortal fire exposure for 10 seconds. Group P4 was given perimortal fire exposure for 20 seconds. Group P5 was given postmortal fire exposure for 10 seconds. Group P6 was given perimortal fire exposure for 20 seconds. After the intervension, the lungs were taken for microscopic. The data was analysed using Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. Results: Kruskal-Wallis test showed significant difference of all groups in vascular dilatation parameter (p bronchial=0,022; p bronchioles=0,010; p alveolar=0,000) and inflammatory cells parameter (p bronchial=0,005; p bronchioles=0,024; p alveolar=0,002). In soot parameter, there was significant different of bronchial and alveolar group (p bronchial=0,005; p alveolar=0,002), but in bronchioles group showed no significant difference (p bronchioles=0,709). Conclusions: There was significant difference of bronchial, bronchioles, and alveolar group in vascular dilatation and inflammatory cells parameter. In soot parameter, significant difference was showed in bronchial and alveolar group, but not in bronchiolus group. Keywords: burn, vascular dilatation, inflammatory cells, soot, lower respiratory tract PENDAHULUAN Luka bakar merupakan salah satu cedera yang paling luas yang berkembang di dunia dan merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 1 Masalah medikolegal utama dalam penilaian cedera akibat panas biasanya adalah bagaimana cedera itu disebabkan, apakah akibat tindakan yang disengaja atau karena kecelakaan. 2 Karena ketika seseorang meninggal akibat kecelakaan, aspek-aspek tertentu seperti adanya jelaga di saluran udara, kerongkongan dan lambung menegaskan bahwa saat terjadi kebakaran orang tersebut masih hidup. 3 METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan rancangan post test only control group design. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Forensik dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang pada bulan Mei 2016. Sampel penelitian adalah mencit Balb/C jantan dengan berat badan 20-30 gram, usia 2 bulan, dan aktif. Kriteria eksklusinya adalah sampel dalam keadaan sakit, memiliki kelainan anatomi serta mati saat mendapatkan perlakuan. Berdasarkan perhitungan, besar sampel yang dibutuhkan untuk penelitian adalah 49 ekor mencit. 1508

Variabel bebas penelitian adalah paparan api, dengan duras 10 detik dan 20 detik. Variabel terikat penelitian adalah gambaran histopatologi saluran napas bawah mencit dengan parameter yang dinilai adalah dilatasi vaskuler, sel radang dan jelaga. Uji hipotesis menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk melihat apakah distribusi data normal atau tidak, distribusi data normal apabila p > 0,05, dan tidak normal apabila p < 0,05. Bila distribusi data tidak normal, maka di transformasi, apabila setelah transformasi distribusi data tidak normal, maka dilakukan uji beda menggunakan statistic non-parametrik Kruskal- Wallis, jika didapat p 0,05 maka dilanjutkan uji Mann Whitney. Nilai p dianggap bermakna apabila p 0,05. Analisis data menggunakan program komputer SPSS (Statistical Program for Social Science) for Windows. HASIL Penelitian ini dilakukan pada sampel mencit berjumlah 49 ekor yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan dimana sampel telah memenuhi kriteria penelitian. Dari uji normalitas menggunakan Saphiro Wilk dan uji homogenitas menggunakan Lavene Statistic, diperoleh distribusi data tidak normal pada parameter dilatasi vaskuler, sel radang maupun jelaga. Tabel 1. Uji normalitas dan homogenitas parameter dilatasi vaskuler Kelompok Normalitas Homogenitas Keterangan Bronkus Kontrol 0,006 P1 0,006 P2 0,006 0,020 Distribusi tidak normal P3 0,000 Bronkiolus Kontrol 0,006 P1 0,000 P3 0,000 0,000 Distribusi tidak normal P4 0,000 P6 0,000 Alveolus P1 0,000 P2 0,000 0,001 Distribusi tidak normal P3 0,000 P6 0,006 1509

Kemudian dilanjutkan uji beda seluruh kelompok menggunakan Kruskal Wallis dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada semua kelompok penelitian dengan nilai p bronkus = 0,022; nilai p bronkiolus = 0,010; dan nilai p alveolus = 0,000. Sehingga analisis dilanjutkan dengan uji beda antar dua kelompok dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney dan hasil nilai p tercantum pada tabel 2, 3 dan 4. Tabel 2. Hasil uji statistik Mann Whitney dilatasi vaskuler pada bronkus K 0,549 0,549 0,221 0,050* 0,020* 0,050* P1 1,000 0,513 0,134 0,031* 0,134 P2 0,513 0,134 0,031* 0,134 P3 0,317 0,042* 0,317 P4 0,050* 1,000 P5 0,050* Tabel 3. Hasil uji statistik Mann Whitney dilatasi vaskuler pada bronkiolus K 0,513 0,134 0,093 0,093 0,031* 0,014* P1 0,317 0,180 0,180 0,042* 0,015* P2 0,317 0,317 0,050* 0,014* P3 1,000 0,221 0,072 P4 0,221 0,072 P5 0,513 Tabel 4. Hasil uji statistik Mann Whitney dilatasi vaskuler pada alveolus K 0,317 0,014* 0,004* 0,003* 0,003* 0,005* P1 0,072 0,015* 0,014* 0,014* 0,014* P2 0,180 0,317 0,317 0,093 P3 0,317 0,317 0,513 P4 1,000 0,134 P5 0,134 1510

Tabel 5. Uji normalitas dan homogenitas parameter sel radang Kelompok Normalitas Homogenitas Keterangan Bronkus P1 0,314 P2 0,006 0,000 Distribusi tidak normal P3 0,000 Bronkiolus Kontrol 0,006 P1 0,046 P3 0,000 0,003 Distribusi tidak normal P4 0,000 P6 0,000 Alveolus P1 0,046 P2 0,000 0,000 Distribusi tidak normal P3 0,000 P6 0,006 Kemudian dilanjutkan uji beda seluruh kelompok menggunakan Kruskal Wallis dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada semua kelompok penelitian dengan nilai p bronkus = 0,005; nilai p bronkiolus = 0,024; dan nilai p alveolus = 0,002. Sehingga analisis dilanjutkan dengan uji beda antar dua kelompok dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney dan hasil nilai p tercantum pada tabel 6,7 dan 8. Tabel 6. Hasil uji statistik Mann Whitney sel radang pada bronkus K 0,053 0,050* 0,014* 0,003* 0,005* 0,003* P1 0,729 0,905 0,519 0,118 0,519 P2 0,513 0,134 0,031* 0,134 P3 0,317 0,042* 0,317 P4 0,050* 1,000 P5 0,050* 1511

Tabel 7. Hasil uji statistik Mann Whitney sel radang pada bronkiolus K 0,077 0,050* 0,042* 0,042* 0,020* 0,011* P1 0,232 0,488 0,488 0,811 0,439 P2 0,317 0,317 0,050* 0,014* P3 1,000 0,221 0,072 P4 0,221 0,072 P5 0,513 Tabel 8. Hasil uji statistik Mann Whitney sel radang pada alveolus K 0,232 0,014* 0,004* 0,003* 0,003* 0,005* P1 0,439 0,095 0,136 0,136 0,059 P2 0,180 0,317 0,317 0,093 P3 0,317 0,317 0,513 P4 1,000 0,134 P5 0,134 Tabel 9. Uji normalitas dan homogenitas parameter jelaga Kelompok Normalitas Homogenitas Keterangan Bronkus P1 0,000 P2 0,314 P3 0,325 0,020 Distribusi tidak normal P4 0,000 Bronkiolus P1 0,000 P2 0,000 P3 0,006 0,000 Distribusi tidak normal P4 0,000 P6 0,000 Alveolus P2 0,314 P3 0,000 0,001 Distribusi tidak normal P5 0,000 P6 0,000

Kemudian dilanjutkan uji beda seluruh kelompok menggunakan Kruskal Wallis dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada semua kelompok penelitian dengan nilai p bronkus = 0,005; nilai p bronkiolus = 0,709; dan nilai p alveolus = 0,002. Sehingga analisis dilanjutkan dengan uji beda antar dua kelompok dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney dan hasil nilai p tercantum pada tabel 10,11 dan 12. Tabel 10. Hasil uji statistik Mann Whitney jelaga pada bronkus K 0,014* 0,053 0,017* 0,317 0,005* 0,003* P1 0,905 0,606 0,072 0,042* 0,317 P2 0,650 0,189 0,118 0,519 P3 0,065 0,166 1,000 P4 0,011* 0,014* P5 0,050* Tabel 11. Hasil uji statistik Mann Whitney jelaga pada bronkiolus K 0,317 0,317 0,134 0,317 0,134 0,317 P1 1,000 0,513 1,000 0,366 1,000 P2 0,513 1,000 0,366 1,000 P3 0,513 0,635 0,513 P4 0,366 1,000 P5 0,366 Tabel 12. Hasil uji statistik Mann Whitney jelaga pada alveolus K 0,003* 0,053 0,004* 0,003* 0,004* 0,004* P1 0,519 0,317 1,000 0,014* 0,317 P2 0,343 0,519 0,054 0,343 P3 0,317 0,072 1,000 P4 0,014* 0,317 P5 0,072 1513

PEMBAHASAN Pada penelitian ini gambaran mikroskopis saluran napas bawah untuk parameter dilatasi vaskuler dan sel radang semuanya didapatkan perbedaan, namun pada parameter jelaga, tidak didapatkan perbedaan pada bronkiolus. Gambaran mikroskopis bronkus, bronkiolus dan alveolus pada kelompok K terlihat sedikit adanya dilatasi vaskuler, hal ini dapat disebabkan oleh jejas yang terjadi sebelum mencit mati. Gambaran mikroskopis memberikan hasil bahwa dilatasi vaskuler paling banyak pada kelompok postmortem, hal tersebut bertentangan dengan teori, karena setelah mati tidak terdapat perbedaan tekanan antara atmosfer dan paru, hal ini menjadi dasar bahwa asap hasil dari paparan api tidak dapat masuk ke saluran pernapasan. 4 Dari stadium anestesi, memungkinkan bahwa mencit postmortem belum mati saat diberikan paparan api, tetapi masuk ke stadium III dimana pernapasan sudah regular dan tidak ada gerakan dari anggota gerak. Sedangkan kelompok perimortem adalah mencit yang masuk ke stadium II yaitu pernapasan ireguler, yang membuat asap hasil paparan api tidak bisa masuk ke saluran pernapasan secara maksimal. Pada kelompok intravital tidak memberikan hasil yang bermakna dibandingkan dengan kontrol karena tubuh memiliki kompensasi apabila ada produk beracun yang terhirup yaitu dengan mensekresi lendir secara berlebihan dan terjadi bronkospasme 5, hal ini dapat mendasari mengapa pada kelompok intravital tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol. Perbedaan dilatasi vaskuler antara kelompok perimortem atau antara kelompok postmortem dimungkinkan karena perbedaan durasi paparan api, sebagaimana pada kelompok P6 dilatasi vaskuler banyak terdapat sampai di alveolus, sedangkan pada kelompok P5 dilatasi vaskuler di alveolus jumlahnya sedang atau tidak sebanyak kelompok P6. Hal ini juga karena pada kelompok P5 paparan api dilakukan selama 10 detik dan pada P6 durasi paparan api dilakukan selama 20 detik. Untuk parameter sel radang, sel radang paling banyak ditemukan pada kelompok postmortem, kemudian kelompok perimortem, intravital dan paling sedikit pada kelompok kontrol. Kelompok K untuk parameter sel radang menunjukkan adanya sedikit sel radang, hal tersebut dapat disebabkan karena jejas sebelum mencit mati. Pada kelompok postmortem menunjukkan sebaran sel radang terbanyak, hal tersebut bertentangan dengan teori, karena seharusnya setelah 30 menit sel-sel dalam tubuh mulai mengalami kerusakan dan tidak terdapat proses pertukaran udara pernapasan karena tidak terdapat perbedaan tekanan antara 1514

atmosfer dan intra-alveolus atau tekanan intra paru. 4 Mencit yang belum benar-benar mati saat diberikan paparan api memungkinkan bahwa mencit yang diberi paparan api 30 menit setelah anestesi overdosis ini masuk ke dalam stadium III anestesi yaitu stadium pembedahan. 6 Pernapasan regular membuat mencit menghirup asap dari paparan api secara maksimal dan menimbulkan reaksi inflamasi akut di sepanjang saluran napas, termasuk di alveolus yang merupakan saluran napas terminal. Mencit yang belum benar-benar mati setelah diberikan anestesi overdosis, setelah 10 menit memungkinkan mencit masuk ke stadium II dimana terjadi pernapasan ireguler, hal ini membuat asap hasil paparan api tidak dapat masuk ke saluran napas secara maksimal dan reaksi inflamasi tidak sebanyak pada kelompok postmortem. Sedangkan pada kelompok intravital, gambaran sel radangnya paling sedikit dibanding dengan kelompok perimortem dan postmortem. Hal ini didasari bahwa apabila ada produk beracun yang masuk ke saluran napas, akan terjadi bronkospasme sebagai kompensasi dari tubuh, ini yang membuat reaksi inflamasi terjadi paling sedikit pada kelompok intravital. Untuk parameter jelaga, tidak didapatkan jelaga sama sekali pada kelompok kontrol, karena pada kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan apapun. Kelompok kontrol hanya dianestesi overdosis kemudian dilakukan pembedahan tanpa diberi paparan api. Setiap partikel asap memiliki ukuran yang berbeda-beda, partikel asap yang berukuran kurang dari 0,5 mikron dapat mencapai saluran napas bawah paling terminal, yaitu alveolus. Jika berukuran 0,5-2,0 mikron maka bisa mencapai permukaan alveolus, dan ukuran selebihnya akan tersangkut di bronkus atau bronkiolus. 7 Di dalam salurannya, saluran napas dilapisi oleh suatu lapisan tebal mukus kental lengket yang dikeluarkan oleh sel epitel di lapisan dalam saluran napas. Mukus ini, yang dipenuhi oleh partikel kotoran yang terhirup dan melekat padanya, terus-menerus dialirkan ke atas menuju tenggorokan oleh kerja silia. Mukus kotor dibatukkan keluar atau, pada umumnya ditelan tanpa disadari, partikel asing yang tidak tercerna kemudian dieliminasi melalui tinja. Paparan asap menekan berbagai pertahanan pernapasan normal. Asap tersebut dapat melumpuhkan silia selama beberapa jam, dan pajanan berulang akhirnya menyebabkan kerusakan silia. Selain itu, paparan asap melumpuhkan makrofag alveolus, mengurangi kemampuan sel ini menelan benda asing. 4 1515

Alasan mengapa pada kelompok postmortem jumlah jelaga paling banyak dibanding kelompok perimortem dan intravital karena dimungkinkan pada kelompok postmortem merupakan mencit yang masih hidup dan memasuki stadium III anestesi, dan pada kelompok perimortem adalah mencit yang masih hidup dan memasuki stadium II anestesi, sedangkan pada kelompok intravital terjadi bronkospasme sebagai upaya kompensasi tubuh seperti halnya pada pembahasan parameter dilatasi vaskuler dan sel radang. Pada kondisi ini ada beberapa keterbatasan yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian, antara lain kondisi kandang yang kurang ideal, faktor stress mencit yang tidak dapat dikendalikan peneliti, serta pengaruh penyakit lain pada mencit. Kelemahan dalam menentukan tanda-tanda kematian juga menjadi keterbatasan penelitian sehingga dimungkinkan terdapat bias dalam menentukan waktu kematian. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat perbedaan bermakna pada bronkus, bronkiolus dan alveolus untuk parameter dilatasi vaskuler dan sel radang, sedangkan untuk parameter jelaga didapatkan perbedaan bermakna pada bronkus dan alveolus, namun tidak bermakna pada bronkiolus. Saran Pada penelitian berikutnya, peneliti memiliki saran diantaranya yaitu, lebih memperhatikan kondisi kandang mencit, sehingga meminimalisir terjadinya stres pada mencit. Diharapkan lebih teliti dalam menentukan tanda-tanda kematian untuk memastikan mencit sudah benar-benar mati. Mengurangi jumlah mencit cadangan dari 2 ekor menjadi 1 ekor saja. DAFTAR PUSTAKA 1. Moenadjat. Luka Bakar. 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2003. 2. Rutty GN, ed. Essentials of Autopsy Practice: Current Methods and Modern Trends. Springer, 2006; 2006. 3. Perimortem D, Burning P. Differentiating Perimortem and Postmortem Burning. 2015;2(3):269 271. 4. Sherwood L. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. 6th ed. (Yesdelita N, ed.). Jakarta: EGC; 2011. 5. Choi W-I, Syrkina O, Kwon KY, Quinn D a, Hales C a. JNK activation is responsible for mucus overproduction in smoke inhalation injury. Respir Res. 2010;11(1):172. 6. Munaf, S. 2008. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.Indeks. 7. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. 1st ed. Jakarta: TIM; 2010. 1516