BAB V P E N U T U P 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terbentuknya Otoritas Jasa keuangan (OJK) sebagaimana Undang- Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2011 tentang OJK: a. Kewenangan pengaturan dan Pengawasan sektor perbankan beralih ke OJK, sehingga Bank Indonesia bertanggung jawab penuh pada pengelolaan sistim moneter dan sistim pembayaran. Kedua kewenangan Bank Indonesia tersebut merupakan faktor stabilnya sistem keuangan sehingga Bank Indonesia tetap membutuhkan sektor perbankan sebagai saluran transmisi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. b. Kewenangan Bank Indonesia pada sektor perbankan bukan tingkat kesehatan individual bank namun kondisi industri keuangan perbankan secara menyeluruh dan berinteraksi dengan kebijakan moneter. Dengan tidak dapat sepenuhnya dapat melakukan pengaturan dan pengawasan ke bank-bank, pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial melalui penelitian atas 79
kondisi dan risiko sistem keuangan serta faktor-faktor yang berpotensi memicu terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan dari sudut pandang makroprudensial. Tujuan penelitian untuk mengetahui efektivitas kebijakan makroprudensial yang umumnya ditujukan untuk meredam pembentukan risiko sistemik yang berlebihan pada masa ekspansi, serta memberikan ruang untuk penyerapan risiko di masa kontraksi. c. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 Tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, kewenangan Bank Indonesia adalah melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam rangka mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. 2. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial: a. Luasnya lingkup bidang makroprudensial dan saling beririsan dengan bidang mikroprudensial. Cakupan bidang makroprudensial meliputi kondisi, data dan informasi sektor jasa keuangan pada bidang mikroprudensial yang sesungguhnya menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Begitupun sebaliknya, di bidang makroprudensial sesungguhnya OJK memiliki kewenangan dan akses atas seluruh sektor jasa keuangan (perbankan, pasar modal, pembiayaan, asuransi), 80
sehingga OJK memiliki informasi dan data secara makro kondisi sektor jasa keuangan di seluruh Indonesia sekaligus dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dan kebijakan atas sistim keuangan nasional. Terkait hal-hal tersebut di atas, berpotensi menimbulkan permasalahan adanya tumpang tindih dalam hal kewenangan, pengelolaan serta pengambilan keputusan pada sistim keuangan nasional. b. Dari sisi aspek hukum, Bank Indonesia memiliki keterbatasan dalam pelaksanaan kewenangannya di bidang makroprudensial. Hal ini berkaitan, Penjelasan Pasal 40 ayat (1) bukanlah norma hukum. Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Kedudukan Penjelasan dalam produk perundang-undangan merupakan tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang- Undang tentang OJK hanya untuk memperkuat atau memperjelas norma dalam Pasal 40 Undang-Undang tentang OJK, dan tidak dapat dijadikan landasan atau dasar untuk melakukan tindakan hukum. Penjelasan tidak dapat dijadikan dasar membuat peraturan baru termasuk sebagai landasan atau dasar membentuk suatu peraturan yang merugikan atau menguntungkan. 81
c. Beralihnya pengawasan perbankan ke OJK, fungsi lender of the last resort dari Bank Indonesia berpotensi tidak optimal. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki keterbatasan akses pada sektor perbankan sebagai akibat terbatasnya informasi tentang kondisi perbankan secara individual. d. Lemahnya koordinasi dan sinergitas menjadi hambatan dan tantangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial. Ketidak satu paduan antar otoritas dalam memutuskan atau melaksanakan suatu kebijakan sebagai akibat arogansi sektoral berpotensi krisis tidak cepat terseselesaikan dan reputasi menurun. e. Ditinjau validitas (keabsahan) hukum, Penjelasan Pasal 40 ayat (1) terutama kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential menegaskan bahwa Bank Indonesia memiliki keabsahan dalam mengelola ekonomi makro dan moneter sebagaimana fungsi dan tugas Bank Indonesia yang diamanatkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Walaupun terdapat Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 Tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, namun kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial hanya di Penjelasan Pasal 40 ayat (1) sesungguhnya keberlakuannya (gelding) akan berlaku preposisi empirik atau sebatas informatif serta memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya. 82
3. Mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewenangannya di bidang makroprudensial, upaya dilakukan Bank Indonesia: a. Melakukan perubahan/amandemen atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan yang lebih konkrit terkait fungsi dan tugasnya di bidang makroprudensial. Selain itu, menyelesaikan dan mensahkan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Hal ini berkaitan, ruang lingkup JPSK meliputi koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilistas sistem keuangan, penanganan kondisi tidak normal serta penanganan permasalahan bank, baik dalam kondisi keuangan stabil dan normal maupun tak normal. b. Sebagai otoritas sistim pembayaran dan moneter, Bank Indonesia bersama-sama OJK dan LPS untuk terus meningkatkan fungsi koordinasi dan kerjasama diantaranya melalui sistem Pengaturan dan Pengawasan secara terintegrasi. Melalui sistim Pengawasan bersama dan terintegrasi dapat terbangun data dan informasi sektor perbankan terutama pada bank-bank karena ukuran aset, modal, kewajiban, dan luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial. 83
5.2. Saran 1. Bank Indonesia untuk melakukan perubahan/amandemen atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan memberikan definisi secara rinci tentang makroprudensial sekaligus memperkuat kewenangan dan kedudukannya di bidang makroprudensial. 2. Segera menyelesaikan pembahasan dan mensahkan Rancangan Undang- Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum dan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilistas sistem keuangan, penanganan kondisi tidak normal serta penanganan permasalahan bank, baik dalam kondisi keuangan stabil dan normal maupun tak normal. 3. OJK dan Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam pengelolaan dan pengambilan kebijakan sistem keuangan nasional. Terintegrasinya peraturan antara pengawasan microprudential dengan pengawasan macroprudential diperlukan mengantisipasi risiko yang ditimbulkan akibat terjadinya tumpang tindih peraturan. 4. Melakukan koordinasi melalui forum Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) terhadap pemantauan dan pengelolaan sistem keuangan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang- Undang tentang OJK. 84