BAB IV ENDAPAN BATUBARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI GEOLOGI DAN ENDAPAN BATUBARA DAERAH PASUANG-LUNAI DAN SEKITARNYA KABUPATEN TABALONG, KALIMANTAN SELATAN

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

PENGANTAR GENESA BATUBARA

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Petrologi Batuan Sedimen

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan IV 2016 ISBN Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN USGS CIRCULAR No.891 TAHUN 1983 PADA CV. AMINDO PRATAMA. Oleh : Sundoyo 1 ABSTRAK

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

By : Kohyar de Sonearth 2009

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

Gambar Batubara Jenis Bituminous

JGP (Jurnal Geologi Pertambangan) 50

GEOLOGI DAN ENDAPAN BATUBARA DAERAH MANDIANGIN, KABUPATEN SAROLANGUN, PROVINSI JAMBI TUGAS AKHIR A. Disusun oleh: MUHAMMAD ARDHAN RAFSANJANI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1. PENDAHULUAN...

BAB II TINJAUAN UMUM

Ciri Litologi

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian.

BAB II TINJAUAN UMUM

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN

EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BANKO TENGAH, BLOK NIRU, KABUPATEN MUARA ENIM, PROPINSI SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN UMUM

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II METODE PENELITIAN

GEOLOGI DAN EKSPLORASI BATUBARA DAERAH ASAM-ASAM, KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYUSUNAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ANALISIS KIMIA PROKSIMAT BATUBARA

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori

Studi Kualitas Batubara Secara Umum

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA

BAB II TINJAUAN UMUM

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

BAB II TINJAUAN UMUM

PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

Oleh: Sigit Arso W., David P. Simatupang dan Robert L. Tobing Pusat Sumber Daya Geologi Jalan Soekarno Hatta No. 444, Bandung

BAB IV PEMODELAN DAN PENGHITUNGAN CADANGAN ENDAPAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi

KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Pembentukan batubara diawali dengan proses peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika, maupun kimia yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupinya (over burden), temperatur, tekanan, dan waktu. (Gambar 4.1) Gambar 4.1 Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002) Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh berkembangnya ditambah dengan lingkungan pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam). Pembentukan batubara dimulai sejak Periode Karbon (periode pembentukan karbon atau batubara) sehingga dikenal sebagai zaman batubara 41

pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignit (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat), ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandinngkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap. 4.1.1 Pembentukan Batubara dan Lingkungan Pengendapannya 4.1.1.1 Proses Pembentukan Batubara Ada dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara, yaitu: 1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification) 2. Proses Pembentukan batubara dari gambut (coalification) 4.1.1.1.1 Proses Pembentukan Gambut (Peatification) Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan, hancuran, atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup dari udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 70 % berat dan kandungan mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002) Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (di bawah air, tidak seluruhnya berhubungan dengan udara) dan kandungan oksigennya sangat rendah, sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob hidup, sisa tumbuhan tersebut tidak akan mengalami proses pembusukkan dan penghancuran sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri anaerob yang melakukan proses dekomposisi membentuk gambut (peat). Moor merupakan lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm (Anggayana, 2002). Berdasarkan morfologi permukaannya, moor dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan. Morfologi permukannya datar dan atau cekung. Pasokan air untuk 42

gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), tidak tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun lebar dan tumbuhan perdu dengan ph berkisar antara 4,8 sampai 6,5 2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor iini tidak tergantung pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lowmoor, sehingga jenis tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah beriklim sedang, highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis ditumbuhi hutan lokal dengan bermacam jenis tumbuhan ph pada highmoor berkisar antara 3,3 sampai 4,6. 4.1.1.1.2 Proses Pembentukan Batubara (Coalification) Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya terkena proses fisika dan kimia, serta mengakibatkan pengayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Sementara itu proses pembatubaraan merupakan perkembangan gambut melalui lignit, subbituminous, dan bituminous menjadi antrasit serta meta antrasit (Anggayana, 2002) Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, bakteri anaerob akan mati, maka lapisan gambut akan mengalami peningkatan tekanan seiring penambahan beban dan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang besar mengakibatkan peningkatan temperatur. Selain itu, temperature juga dapat meningkat dengan pertambahan kedalaman, kehadiran intrusi magma, proses vulkanisme, dan proses tektonisme. Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengubahnya menjadi batubara, seiring terjadinya proses pengurangan kandungan lengas (moisture), pelepasan gas (CO 2, H 2 O, CO, CH 4 ) peningkatan kepadatan dan kekerasan serta peningkatan kadar kalori. Reaksi pembentukan batubara dapat dijelaskan sebagai berikut: 43

5(C 6 H 10 O 5 ) C 20 H 22 O 4 + 3CH 4 + 8H 2 O +6CO 2 + CO cellulose lignit gas metan Keterangan: Cellulose (zat organic) yang merupakan zat pembentuk batubara Semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka kadar karbon (C) akan meningkat sedangkan oksigen dan hidrogen akan berkurang Semakin banyak CH 4, lignit semakin baik kualitasnya Berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut, terdapat dua macam batubara (Sudarsono, 2000), yaitu: 1. Batubara Autochtone, lapisan gambut terbentuk dari tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil. 2. Batubara Allochtone, lapisan gambut yang terbentuk berasal dari bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai, serta terendapkan di daerah hilir sungai. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. 4.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara Batubara terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu, dan sangat berpengaruh pada penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, serta kualitasnya. Analisa lingkungan pengendapan menggunakan pendekatan yang dikemukakan 44

oleh Horne (1978). Horne (1978) memberikan criteria cara untuk mengenali lingkungan pengendapan antara lain barrier, back-barrier, lower delta plain, transitional lower delta plain, dan upper delta plain fluvial (Gambar 4.2). Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978), yaitu: 1. Lingkungan back barrier : lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sistem penghalang atau sejajar jurus lapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barrier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya akan material organic, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin kea rah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan kea rah daratan terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial deltaic. 2. Lingkungan lower delta plain : lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butrian mengkasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark. 3. Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing. 45

4. Lingkungan upper delta plain fluvial : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh podshaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai dengan hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan wash out oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung, serta batubara. Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan backbarrier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya. Sebaliknya pada lingkungan transitional lower delta plain dan upper delta plain fluvial, lpaisan batubaranya relatif tebal. 4.1.2 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara 4.1.2.1 Analisis Kualitas Batubara Terdapat dua jenis analisis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis proksimat terdiri atas empat parameter utama, yaitu kadar lengas (moisture), kadar abu (ash), zat terbang (volatile matter), dan karbon tertambat (fixed carbon). Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan partikel batubara. Ada tiga jenis kadar lengas, yaitu bebas (free moisture), kadar lengas inheren (inheren moisture) dan kadar lengas total (total moisture). Kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara digerus sampai ukuran 3 mm, lalu dipanaskan dalam tungku dengan suhu 105 o 110 o C disebut kadar lengas total. Lengas bebas akan terlepas ke udara apabila batubara dibiarkan di dalam ruangan pada suhu kamar. Kehilangan berat selama sampel berada dalam ruangan disebut kadar lengas bebas. Kadar lengas inheren diperoleh dari 46

kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa lengas bebas dipanaskan dalam tungku pada suhu 105 o 110 o C. Kadar abu didefiniskan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah batubara dibakar pada suhu 815 o C dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah bagian dari batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada suhu 900 o C. Karbon tertambat (fixed carbon) diperoleh dari 100 % dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu, dan zat terbang. Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsure pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya dengan menentukan unsure kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama yang membentuk batubara yaitu karbon, hydrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan fosfor. Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu: 1. Pirit (FeS 2 ), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint). 2. Sulfur Organik, jumlahnya 20 % - 80 % dari sulfur total. Secara kimia terikat dalam batubara. 3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah yang kecil. 4.1.2.2 Klasifikasi Batubara Rank (peringkat) digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Hamper setiap Negara penghasil batubara dengan jumlah besar mempunyai istilah sendiri untuk menyatakan rank. Sebagai contoh, rank batubara di amerika menggunakan standarisasi dari ASTM (American Society for Testing Material) dan di Jerman menggunakan standarisasi dari DIN. Berdasarkan rank yang dicapai, batubara dapat diklasifikasikan. Di Indonesia, umumnya digunakan klasifikasi ASTM. 47

Tabel 4.1 Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 op. cit. Wood et al., 1983) 4.2 Endapan Batubara Daerah Penelitian 4.2.1 Keberadaan dan Penyebaran Batubara Berdasarkan hasil pemetaan geologi yang telah dilakukan pada daerah penelitian, endapan batubara berada pada Satuan Batupasir atau dengan nama lain, Satuan Batupasir ini merupakan satuan pembawa batubara (coal bearing) yang merupakan bagian dari Formasi Muara Enim. Batubara ditemukan sebagai sisipan, berwarna coklat coklat kehitaman, kilap dull dull banded, kekerasan hard moderate, gores coklat hitam kecoklatan, belahan subconchoidal irregular, dengan pengotor berupa resin dan pirit. Penyebaran batubara pada daerah penelitian ini sangat terbatas, cenderung tidak menerus, dan relatif tidak terlalu tebal dengan kemiringan lapisan yang 48

tergolong landai. Pada daerah penelitian ditemukan 11 titik singkapan batubara dengan ketebalan berkisar antara 50 350 cm dan pola jurus lapisan relatif berarah Timurlaut Baratdaya dengan kisaran kemiringan lapisan antara 12 0 21 0. Singkapan batubara terdapat pada sungai-sungai yang berada di bagian tengah daerah penelitian dan bagian lainnya ditemukan di dalam hutan-hutan (Lampiran H-1). PT. Geoservices (Ltd.) pada tahun 2008 pernah melakukan pemboran pada daerah penelitian sebanyak 23 titik bor dengan kedalaman 25 m 42 m. Pemboran tersebut bertujuan untuk mengetahui penyebaran batubara lebih rinci sehingga dapat memastikan jumlah sumberdaya batubara secara akurat. No. Seam Lokasi Pengamatan Kedudukan Lapisan Ketebalan (m) 1 1 PRGN011 N 222 E / 20 1,05 m 2 1 PRGN037 N 260 E / 21 1,30 m 3 1 PRGN041 N 173 E / 14 0,72 m 4 1 PRGN012 N 217 E / 15 0,35 m 5 2 PRGN013 N 210 E / 19 4,20 m 6 2 PRGN014 N 200 E / 18 3,00 m 7 2 PRGN038 N 210 E / 14 2,30 m 8 2 PRGN053 N 217 E / 19 1,80 m 9 2 PRGN052 N 203 E / 14 1,70 m 10 2 PRGN053a N 218 E / 18 3,50 m 11 4 PRGN051 N 197 E / 13 1,20 m 12 5 PRGN036 N 185 E / 14 0,50 m Tabel 4.2 Data singkapan batubara daerah penelitian 49

No. Bor Elevasi (m) Kedalaman (m) Ketebalan (m) Seam M-01 66,41 25 0,50 5 M-02 51,29 25 6,95 2 0,02 M-02A 48,56 25 3,70 4 M-02B 46,06 25 0,40 0,75 5 M-02C 50,48 25 7,00 2 1,95 1 M-02D 45,90 30 1,45 3 6,70 2 M-02G 45,90 25 - - M-03 51,30 40 1,24 1 M-03A 41,38 23,5 3,55 4 M-03A-1 42,46 10 3,95 4 M-03B 40,64 25 0,55 0,45-0,70 5 M-03C 43,08 25 0,68 1 M-03D 54,67 30 6,98 2 0,05-0,05 - M-04 33,40 20 0,10-0,10 - M-04A 35,45 25 0,20 M-05 34,55 30 - - M-06 30,46 20 M-13 51,59 16 1,10 4 M-13 RD 51,40 25 3,20 4 M-13B 61,93 15 5,90 2 M-13C 52,62 10 4,60 2 0,05 M-14 59,42 25 1,50 1 0,10 M-14A 47,44 42 0,32 1,80 4 0,55 3 Tabel 4.3 Data pemboran batubara daerah penelitian (PT. Geoservices (Ltd.)) 50

Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan batubara yang diamati di lapangan dan pemboran, disimpulkan bahwa di daerah penelitian ditemukan lima lapisan (seam) batubara (Lampiran H-5) dengan variasi ketebalan antara 50 cm 700 cm dengan urutan tua ke muda yaitu Seam 1, Seam 2, Seam 3, Seam 4, dan Seam 5. Semua seam batubara menjanjikan untuk dihitung jumlah sumberdayanya ditinjau dari segi ketebalan lapisannya (lebih dari 50 cm). 4.2.1.1 Seam Batubara 1 Batubara pada seam ini ditemukan pada empat singkapan yaitu lokasi pengamatan PRGN011, PRGN037, PRGN041, dan PRGN012 serta pada empat titik bor yaitu M-02C, M-03, M-03C, dan M-14. Pola penyebaran pada seam ini agak sulit dikorelasikan karena jarak yang berjauhan antar singkapan. Secara umum, ketebalan batubara pada seam ini mencapai 1,80 m dengan ciri kilap dull, berwarna hitam kecoklatan, gores hitam kecoklatan, berat light moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan subconchoidal irregular, dan mempunyai pengotor berupa resin dan sulfur. Seam ini mempunyai kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung karbonan (Lampiran E). Foto 4.1 Singkapan batubara pada lokasi PRGN037 51

4.2.1.2 Seam Batubara 2 Batubara pada seam ini ditemukan pada lima singkapan yaitu lokasi pengamatan PRGN013, PRGN038, PRGN053, PRGN052, dan PRGN053a serta pada enam titik bor yaitu M-02, M-02C, M-02D, M-03D, M-13B, M-13C. Lapisan batubara ini merupakan lapisan yang tebal baik pada singkapan maupun pada pemboran. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 7 m (Lampiran E) dengan kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung karbonan. Secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull dull banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat coklat kehitaman, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan subconchoidal uneven irregular, dan mempunyai pengotor berupa resin, pirit, mineral lempung, dan sulfur. Foto 4.2 Singkapan batubara pada lokasi PRGN038 4.2.1.3 Seam Batubara 3 Batubara pada seam ini ditemukan pada dua titik bor yaitu M-02D dan M- 014A. Pola penyebaran pada seam ini agak sulit dikorelasikan karena jarak yang berjauhan serta tidak ditemukannya singkapan pada seam ini, sehingga korelasi lapisn dilakukan hanya pada data bor. 52

Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 1,45 m (Lampiran E) dengan ciri kilap dull, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal uneven, dan mempunyai pengotor berupa pirit dan resin. Seam ini mempunyai kontak atas berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir. 4.2.1.4 Seam Batubara 4 Batubara pada seam ini ditemukan pada satu singkapan yaitu lokasi pengamatan PRGN051 dan pada enam titik bor yaitu M-02A, M-03A, M-03A-1, M-14A, M-13, M-13RD. Lapisan batubara ini merupakan lapisan yang relatif tebal pada singkapan maupun pada pemboran. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 3,80 m (Lampiran E) dengan kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung karbonan. Secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur massive blocky banded, belahan subconchoidal uneven. Foto 4.3 Singkapan batubara pada lokasi PRGN051 53

4.2.1.5 Seam Batubara 5 Batubara pada seam ini ditemukan pada satu singkapan yaitu PRGN036 dan tiga titik bor yaitu M-01, M-02B dan M-03B. Pola penyebaran pada seam ini agak sulit dikorelasikan karena jarak antar titik bor yang berjauhan serta hanya ditemukan satu singkapan. Secara umum, lapisan batubara pada seam ini relatif tipis dengan ketebalan mencapai 0,75 m (Lampiran E) dengan ciri kilap dull banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal uneven. Seam ini mempunyai kontak atas lapisan berupa batulempung dan bagian bawah lapisan berupa batupasir. Foto 4.4 Singkapan batubara pada lokasi PRGN036 Secara ringkas, posisi relatif seam batubara pada Satuan Batupasir di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 yang menunjukkan urut-urutan relatif posisi lapisan batubara. 54

Gambar 4.2 Posisi seam batubara di daerah penelitian pada Satuan Batupasir (warna kuning) Dari pola penyebaran seam batubara dengan ketebalan bervariasi pada beberapa singkapan dan ketebalan umum relatif tebal yaitu 0,75 7 m, lingkungan pengendapan dari endapan batubara daerah penelitian diinterpretasikan berada di lingkungan transitional lower delta plain lower delta plain. 55

Gambar 4.3 Model lingkungan batubara (Horne, 1978) 4.2.2 Analisis Kualitas Batubara Analisis proksimat untuk menentukan kualitas batubara dilakukan pada seluruh sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian. Hasil analisis yang dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan air dried basis (adb). Untuk klasifikasi rank ASTM digunakan basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Pada basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara terbuka, kadar lengasnya secara perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara. Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni. Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf yaitu: { FC 0,15 x S 100} FC (dmmf) = [100 M+1,08 x A+0,55 x S ] VM (dmmf) = 100 - FC (dmmf) { BTU 50 x S 100} CV (dmmf) = [100 1,08 x A+0,55 x S ] 56

Keterangan: FC = Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb) VM = Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb) M = Moisture (Kadar Lengas) % (adb) A = Ash (Abu) % (adb) S = Sulphur (Sulfur) % (adb) BTU = British Thermal Unit ; per pound = 1,8185 CV (adb) Hasil analisis proksimat tercantum dalam Lampiran F, dapat disimpulkan bahwa rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM termasuk dalam Lignit Sub Bituminous B. 4.3 Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat dimanfaatkan dan dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara merupakan sumberdaya yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya, kuantitas, kualitas, dan ekonomis untuk ditambang. Dalam menghitung sumberdaya batuabara ada empat metode yang umum digunakan, yaitu: 1. Metode Penampang 2. Metode Circular USGS 3. Metode Blok 4. Metode Poligon Pemakaian metode di atas disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut penambangan). Karena minimnya data yang diperoleh pada daerah penelitian, yakni data yang digunakan dalam perhitungan hanya berupa data singkapan, dan kemudahan perhitungan maka metode yang digunakan untuk perhitungan sumberdaya penelitian adalah metode circular USGS. Selain itu digunakan faktor koreksi 30% sebagai faktor pengontrol hasil perhitungan sumberdaya batubara sehingga hasil perhitungan menjadi lebih realistis. 57

Secara umum, langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara dengan menggunakan metode circular USGS (Wood et. al., 1983) adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara 2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.4) dimana: a. Daerah yang berada pada jarak datar radius 0 400 m merupakan sumberdaya terukur (measured resources) b. Daerah yang berada pada jarak datar radius 400-1200 m merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated resources) c. Daerah yang berada pada jarak datar radius 1200-4800 m merupakan sumberdaya terkira (inferred resources) 3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode circular USGS (Wood et al., 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik perpotongan pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan tersebut akan menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah sumberdayanya. 4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian mengacu pada metode circular USGS (Wood et al., 1983) dimana aturan perhitungan di atas berlaku untuk kemiringan lapisn batubara lebih kecil atau sama dengan 30 0, sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih dari 30 0 aturannya adalah harga proyeksi radius lingkaran tersebut ke permukaan (Gambar 4.5) 5. Adapun rumus perhitungan adalah: a. Untuk dip (α) < 30 0 Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal (m) x Berat Jenis (Ton/m 3 ) b. Untuk dip (α) > 30 0 Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal (m) x cos α x Berat Jenis (Ton/m 3 ) 58

Gambar 4.4 Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS (Wood et. al, 1983) Gambar 4.5 Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya (Wood et. al, 1983) 59

Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan sumberdaya tertunjuk dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang meliputi sesar normal dan luas daerah penelitian yang tidak terlalu luas, sehingga jika dilakukan perhitungan sumberdaya terkira akan menghasilkan jumlah yang tidak valid. Dari perhitungan yang dilakukan terhadap lima seam yang terdapat di daerah penelitian (Lampiran G), diperoleh sumberdaya batubara terukur sebesar 10.694.508,49 ton dan sumberdaya batubara tertunjuk sebesar 28.641.787,84 ton. 4.4 Prospek dan Pengembangan Batubara Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, ditemukan 11 singkapan batubara dan dilakukan pemboran pada 23 titik. Dari data tersebut, lapisan batubara daerah penelitian dibagi dalam 5 lapisan, yaitu Seam 1, Seam 2, Seam 3, Seam 4, Seam 5 dengan ketebalan berkisar 50 700 cm. Batubara tersebut hadir sebagai sisipan pada Satuan Batupasir Formasi Muara Enim. Prospek pengembangan batubara daerah penelitian masih harus dipertimbangkan, mengingat ketebalannya relatif tidak terlalu tebal dan sebarannya yang cukup terbatas. Selain itu, berdasarkan pertimbangan parameter untuk dapat ditambang suatu cadangan batubara yang dikenal dengan Stripping Ratio, yaitu perbandingan antara volume insitu endapan batubara (dalam Ton) dan volume insitu overburden (dalam m3), nilai Stripping Ratio (SR) daerah penelitian relatif besar. Stripping Ratio (SR) = Vo lume Batubara x BJ (Ton /m3 ) Volume Overburden (m 3 ) Hal ini didukung dengan penyebaran batubara yang mempunyai kemiringan lapisan landai walaupun kenampakan morfologi daerah penelitian yang berbukit-bukit. Namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap besarnya volume overburden yang relatif kecil jika dilakukan penambangan. Dari segi infrastruktur, pada daerah penelitian telah dirintis jalan logging, yang sudah menjangkau dan dekat dengan beberapa singkapan batubara. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bila selanjutnya dilakukan penambangan yang memudahkan dan menurunkan biaya produksi. Nilai kalori daerah penelitian yang 60

berkisar pada 5000 6000 Cal/gr (adb) yang relatif tidak terlalu tinggi dijadikan pertimbangan lain karena nilai kalori tersebut tidak memenuhi standar batubara kualitas ekspor, namun dapat memenuhi kebutuhan batubara domestik. Hal-hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan apabila selanjutnya akan dilakukan penambangan. 61