BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina

BAB I PENDAHULUAN. urgensinya terhadap pemeliharaan integritas wilayah. wilayah secara komprehensif dengan negara-negara tetangganya.

Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

SISTEMATIKA PEMAPARAN

TATA KELEMBAGAAN PENANGANAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA PELINTAS BATAS DI WILAYAH PERAIRAN AUSTRALIA

JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JURNAL EFEKTIFITAS MOU BOX 1974 TERHADAP HAK PERIKANAN TRADISIONAL NELAYAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA TIMUR

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

JURNAL KEABSAHAN STATUS KEPEMILIKAN PULAU PASIR OLEH AUSTRALIA BERKAITAN DENGAN KEGIATAN NELAYAN TRADISIONAL BERDASARKAN UNCLOS 1982.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

HAK EKONOMI NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA DI WILAYAH PERBATASAN. Akhmad Solihin

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

BAB III PENUTUP. penerapan MoU Box 1974 saat ini menjadi tidak efektif lagi terutama sejak

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT PERIKANAN TRADISIONAL STUDI KASUS INDONESIA-AUSTRALIA PUSPITA ANDINI

SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Materi Kuliah. Modul 12. Oleh :

Mengelola Batas Maritim Indonesia: Delimitasi dan Administrasi

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KONFLIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-AUSTRALIA Illegal Fishing Conflict at Indonesia-Australia Border Area

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UPAYA PENYELESAIAN MASALAH PERBATASAN LAUT INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DI LAUT ARAFURU PERIODE Septian Rulianto 1 NIM.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam rangka Melindungi Nelayan Tradisional Indonesia yang Berhak Mencari Ikan di Perairan Laut Australia degan alasan-alasan sebagai mana dikemukakan di bawah ini. Daerah perairan laut dimana nelayan-nelayan Indonesia mencari sumber daya laut seringkali memumculkan masalah mengenai pelanggaran batas wilayah negara yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai transborder fishing. Satu permasalahan yang berkaitan dengan itu dalam skripsi ini adalah adanya tudingan illegal fishing, dilakukan nelayan Indonesia di perairan yang belakangan diklaim sebagai wilayah Australia. Adapun permasalahan dimaksud adalah penangkapan nelayan-nelayan Indonesia yang mencari ikan di daerah perairan laut bagian Utara Australia oleh aparat berwenang atau otoritas Australia. Alasan di balik penangkapan oleh otoritas Australia tersebut adalah antara lain demi melindungi lingkungan yang menjadi tempat pemancingan dan tuduhan bahwa nelayan Indonesia melakukan illegal fishing atau pencurian ikan 1. Kelanjutan dari penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh pihak Australia adalah ketika para nelayan tersebut menjalani proses hukum di Australia 1 Sementara alasan lain masih ada, yaitu bahwa para nelayan Indonesia tersebut ada yang diduga membawa atau menyelundupkan imigran gelap kedalam wilayah kedaulatan negara Australia. 1

kapal-kapal atau peralatan para nelayan tradisional itu, yang dipakai untuk mencari nafkah, disita dan banyak yang dibakar atau ditenggelamkan. Sementara, nilai rupiah dibalik kapal-kapal tersebut sangat banyak bagi ukuran orang Indonesia kebanyakan. Padahal, dalam MoU 1974 antara Indonesia dan Australia telah menyepakati daerahdaerah perairan laut yang dapat dijadikan titik pemancingan ikan oleh nelayan Indonesia. Dalam MoU itu diakui hak perikanan tradisional harus dihormati, dimiliki nelayan-nelayan Indonesia karena hukum mendikte, unsur historis. Berkaitan dengan apa yang telah Penulis kemukakan di atas, daerah yang boleh dijadikan titik pemancingan nelayan Indonesia di sebut Eksklusif Fishing Zone, disebut diartikan sebagai, the zone of waters extending twelve miles seaward off baseline from which the territorial sea of Australia is measured. 2 Daerah-daerah yang termasuk dalam zona perikanan eksklusif atau exclusive fishing zone tersebut adalah Ashmore Reef (Pulau Pasir) (Latitude 12 15 South, Longitude 123 03 East), Cartier Islet (Latitude 12 32 South, Longitude 123 33 East), Scott Reef (Latitude 14 03 South, Longitude 121 47 East), Seringapatam Reef (Pulau Datu) (Latitude 11 37 South, Longitude 122 03 East), Browse Islet (Latitude 14 06 South, Longitude 123 32 East) 3. 2 Appendix B: Memorandum of Understanding Between the Government of Australia and the Government of Republic of Indonesia Regharding the operation of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shelf. 3 Ibid. 2

Berikut di bawah ini penulis visualisasikan daerah yang diperbolehkan oleh MoU kepada para nelayan tradisional Indonesia untuk melaksanakan hak mereka melanjutkan tradisi nenek moyang mereka yang telah berlangsung turun-temurun mencari ikan di wilayah perairan tersebut. Gambar dari wilayah (peta) dimaksud dapat dilihat di bawah ini. Gambar 1 : Co-ordinates of MOU Area ( The Box ) 4 Dalam MoU tersebut, nelayan-nelayan Indonesia diperbolehkan, dan dengan demikian dapat Penulis katakan sebagai berhak, mengambil sumber daya laut di Zona Perikanan Eksklusif. Menurut MoU tersebut, para nelayan Indonesia yang disebut sabagai nelayannelayan yang tergolong dalam kategori nelayan tradisional adalah: the fisherman who have traditionally taken fish and sedentary organism in Australian waters by methods which have been the tradition over decades of times. 5 4 Appendix C: Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries (29 April 1989). 5 Ibid. Penulis belum menemukan MoU 1974 dalam penelitian, pengumpulan data, kecuali Appendix dari MoU tersebut suatu hal yang janggal. Namun, dalam UNCLOS 1982 Pasal 51, Indonesia maupun Australia sudah meratifikasi, menyatakan secara tegas bahwa negara kepulauan berkewajiban menghormati hak nelayan tradisional untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah teritorialnya. 3

Banyak catatan sejarah menunjukan bahwa jauh sebelum MoU, nelayan-nelayan Indonesia sudah mempunyai kebiasaan melaut hingga memasuki daerah sekitar wilayah perairan laut Indonesia Australia. Nelayan-nelayan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti nelayan yang berasal dari Madura, Sulawesi Selatan (Bugis Makasar), Nusa Tenggara Timur, terutama nelayan dari pulau Rote dan masih banyak lagi, sering melaut hingga sekitar Perairan Utara Australia. Kegiatan mencari hasil laut itu, hingga saat ini masih sering dilakukan oleh para nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Sampai akhirnya, beberapa daerah menjadi titik pemancingan nelayan Indonesia 6 ditetapkan secara definitive menjadi termasuk dalam yurisdiksi yang dikuasai di bawah kedaulatan negara Australia. Namun demikian, meskipun sudah ada kesepakatan tadi, yaitu kesepakatan (kontrak) antara kedua negara mengenai hak nelayan tradisional tersebut, tetapi lambat laun, hal itu menjadi masalah bagi nelayan-nelayan Indonesia untuk melaut atau melakukan aktifitas penangkapan ikan ke daerah Utara Australia karena batas negara. Adapun ketentuan Pasal 51 secara lengkap telah dinyatakan sebagai berikut. Existing agreements, traditional fishing rights and existing submarine cables 1. Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS tanpa klasula reserfasi, sehingga Indonesia mempunyai beban yang sangat besar untuk melindungi nelayan tradisionalnya berdasarkan konvensi di atas. Seharusnya, secara timbal balik, kewajiban tersebut juga adalah hal yang harus dilakukan oleh Australia untuk menghormati hukum Internasional. 6 Lihat gambar satu di atas. 4

Masalah mengenai apa yang telah sementara kalangan dianggap sebagai pencurian ikan 7 ini pun semakin lama mengusik pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia sehingga sekitar pada tahun 1974 kedua pemerintah tesebut bersepakat untuk mengatur hal-hal yang selama ini menjadi masalah. Melalui instrument berupa Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell, Pemerintah Indonesia dan Australia bersepakat mengatur mengenai daerah-daerah di sekitar Perairan Utara Australia yang boleh disinggahi untuk kegiatan mencari dan menangkap ikan oleh nelayan tradisional Indonesia dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama, antara Indonesia dan Australia. Sejak berlakunya MoU tersebut, secara jelas Pemerintah Australia mengakui hak perikanan tradisional yang dimiliki oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Namun seiring dengan perkembangan jaman khususnya perkembangan teknologi di bidang perikanan, hal itu diikuti dengan sangat pesat dan banyaknya alat bantu penangkap ikan yang dapat memperbesar tangkapan para nelayan Indonesia. Perkembangan teknologi tersebut lambat laun menjadi permasalahan bagi pemerintah Australia, karena mereka (Pemerintah Australia) menganggap akan terjadi over fishing di daerah perairan mereka yang dapat mengganggu ekosistem yang ada. Menjadi permasalahan menurut pemerintah Australia adalah penyelundupan nelayan besar yang menggunakan kapal bermesin serta alat penangkap ikan modern. 7 Belum tentu, dari prespektif MoU sebagai Pencurian, dan dalam perspektif yang demikianlah skripsi ini disusun. 5

Dalam kaitan dengan uraian di atas, selain MoU 1974, kedua Negara juga telah menandatangani Perjanjian Ekstradisi pada tanggal 22 April 1992. Kedua instrumen tersebut di atas, mestinya merupakan instrument-instrumen yang diharapkan dapat menjadikan pedoman dalam mengatasi masalah-masalah perbatasan wilayah laut negara dan dalam hal ini meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi meningkatnya pelanggaran hukum serta ketegangan antara dua negara yaitu ; Indonesia Australia. Khusus yang berkaitan dengan alasan pemilihan judul penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan Penulis ini, apakah kedua instrument hukum internasional tersebut di atas di dalamnya mengandung asas-asas hukum, spesifikasinya, terdapat manifestasi asas nasional pasif? Pertanyaan seperti inilah yang telah menjadi alasan, yang pertama mengapa Penulis memilih judul sebagaimana telah di kemukakan di atas. Alasan kedua, mengapa Penulis memilih judul sebagaimana dikemukakan di atas adalah bahwa selama ini, belum ada skripsi kesarjaan di Fakultas Hukum UKSW Salatiga yang secara khusus ditulis dan membicarakan atau mengkaji manifestasi asas nasional pasif dan juga asas protektif dalam instrument-instrumen internasional, khususnya, kedua instrument sebagaimana telah dikemukakan yaitu; Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia yang ditandatangani Pada 22 April 1974 dan MoU Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell. 6

1.2. Latar Belakang Masalah Sebagai penyelenggara negara, Pemerintah mendapat mandat dari Undang- Undang Dasar 1945 8 yang tertuang pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk melindungi seluruh hak rakyatnya. Kaitannya dengan itu, hak perikanan tradisional juga merupakan hak yang telah diakui oleh pemerintah dan dalam prakteknya, rakyat, dalam hal ini para nelayan Indonesia yang sering melaut sampai ke luar wilayah NKRI memasuki wilayah laut Australia harus mendapatkan perlindungan dari Pemerintah dalam kondisi apapun. Tugas pemberian perlindungan tersebut dengan demikian adalah suatu tugas kontraktual ( konstitusional), yaitu Pemerintah mempunyai tugas untuk selalu melindungi dan memberi bantuan hukum kepada seluruh warga negaranya. Pada Pasal 28 I Ayat (4) Ketetapan MPR RI tentang Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kemudian Pasal 28 I Ayat (5) disebutkan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin dan diatur dalam perundang-undangan. 9 Salah satu hak yang dimaksud pada Pasal 28 I adalah hak hak yang disebutkan pada ketentuan Pasal 28 D Ayat (1) Ketetapan Mpr-RI tentang Perubahan UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan yang sama dihadapan hukum. Sebagai tambahan, dalam Pasal 28 G diatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri 8 Mestinya, yang benar adalah ketetapan MPR RI tentang Amandemen Keempat atas UUD 1945. 9 Ketetapan MPR RI tentang Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945. 7

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi. 10 Para nelayan merupakan warga negara Indonesia yang sah serta memiliki hubungan timbal balik secara langsung dengan negara. Hubungan negara serta warga negara dapat diibaratkan ikan dan air; keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. 11 Negara Indonesia sesuai dengan Konstitusi memiliki kewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Sebaliknya sebagai warga negara juga harus dapat memenuhi kewajibannya sebagai warga negara kepada negaranya. Dengan kata lain rakyat Indonesia sesuai dengan apa yang telah diatur dalam hukum internasional kontenporer, individu-individu dalam hal-hal tertentu, juga dipandang sebagai subyek hukum internasional, dalam arti menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional. 12 Hal tersebut negara pun memperoleh yurisdiksi terhadap individu yang bergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara atau negara-negara menjalankan yurisdiksinya apabila orang itu dalam kekuasaan negara, dan proses peradilan dapat dilaksanakan 10 Ibid. 11 Azra Azyumardi, Hidayat Komaruddin, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, hlm. 93. 12 Arie Siswanto SH.MHum., Jumiarti SH., MHum., Lazarusli Budi SH. MH., Hukum Internasional Bagian 1, Salatiga : FH UKSW. 2009, hlm. 50. Sistem penulisan catatan kaki dalam skripsi ini sengaja Penulis sertakan gelar akademik untuk menunjukan bahwa rujukan yang dikutip adalah mereka yang secara akademik mumpuni, dilihat dari gelar akademik. Penulisan tanpa gelar dilakukan Penulis dalam Daftar Kepustakaan. 8

terhadapnya. Hal ini umumnya terjadi apabila seorang individu memasuki wilayah negara tersebut baik secara sukarela maupun akibat ektradisi. Dalam hukum internasional dewasa ini salah satu prisnsip yurisdiksi yang dianut sebuah negara adalah prinsip nasional pasif. 13 Prinsip ini membenarkan suatu negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Hukum internasional mengakui prinsip ini tetapi dengan beberapa pembatasan. 14 Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas maka Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri bertugas memberikan perlindungan hak dan bantuan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia yang terkena proses hukum, Biro Pelayanan dan Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Dalam Undang-Undang tentang Hubungan Luar Negeri, khususnya Pasal 19 huruf (b) dikatakan bahwa kewajiban perwakilan Republik Indonesia adalah memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional. 15 Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 huruf (b) disebutkan bahwa perlindungan dan bantuan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal tersebut termasuk pembelaan terhadap warganegara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan, termasuk perkara di pengadilan. 13 Starke,J.G., Pengantar Hukum Internasional. edisi kesepuluh. Jakarta. Sinar Grafika : 1989. hlm 302-303. 14 Ibid 303. 15 Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 9

Begitu pula ketentuan Pasal 21 disebutkan bahwa dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, perwakilan Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun meraka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. 16 Kewajiban Pemerintah Indonesia melindungi warga negaranya dengan menggunakan prinsip nasional pasif 17, melindungi warga negara Indonesia yang menjadi korban tindak pidana di luar Indonesia oleh warga negara lain, dengan utilasi asas nasional pasif berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.3. Rumusan Masalah Bagaimana manifestasi asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia yang berhak mencari ikan di wilayah perairan laut Australia? 1.4. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui manifestasi asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia yang berhak mencari ikan di wilayah perairan laut Australia. 16 Ibid. 17 Definisi asas nasional pasif dapat dilihat pada halaman 16 BAB II, infra. 10

1.5. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah metode penelitian hukum. Tidak lain, metode demikian digunakan dengan maksud untuk mencari dan menemukan asas-asas dan kaedah-kaedah hukum, terutama asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi, maupun MoU dan lain-lain, misalnya UNCLOS yang telah diratifikasi dengan Udang-Undang No 17 tahun 1985 diadakan dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia. Adapun yang menjadi satuan amatan adalah Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia tanggal 22 bulan April tahun 1992 yang ditandatangani oleh Ali Alatas dan Philip Flood serta Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell tahun 1974, dalam rangka melindungi seluruh warga negara Indonesia yang terkena permasalahan hukum di luar negeri. Menjadi unit analisa adalah asas-asas dan kaedah-kaedah hukum, termasuk manifestasi asas nasional pasif dan asas protektif dalam rangka perlindungan nelayan tradisional Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan laut Australia. 11