BAB I PENDAHULUAN. seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Kualitas suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya para siswa di tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

2015 PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung sejak lama dan sudah dilalui beberapa pembuat kebijakan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu tidak terlepas kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Balitbang Depdiknas (2003) menyatakan bahwa Mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan wadah bagi masyarakat untuk memperoleh

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran matematika dalam kurikulum pendidikan nasional selalu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno : 2009) menyatakan tanpa disadari

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat bersaing dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI

1. PENDAHULUAN. perkembangan ilmu dan teknologi suatu negara. Ketika suatu negara memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan suatu landasan dan kerangka perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam pendidikan matematika yang pertama kali diperkenalkan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam menghadapi era globalisasi itu diperlukan sumber daya manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Putri Hidayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kenyataannya sampai saat ini mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. butuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sains, teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan. Pendidikan adalah segala kegiatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dengan cepat dari berbagai belahan dunia manapun. Untuk mempelajari informasi

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aspek penting yang menjadi salah satu prioritas utama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm Syaiful Bahri Djamarah, Guru & Anak Didik Dalam Interaksi

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah bidang pendidikan. Sesuai pendapat Trianto(2011:98)

Senada dengan standar isi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006, The National Council of Teachers of Mathematics

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika di jenjang Pendidikan Dasar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Padahal metode ceramah memiliki banyak kekurangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006:145),

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sosial, teknologi, maupun ekonomi (United Nations:1997). Marzano, et al (1988)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. menjadi salah satu ilmu yang mendasari perkembangan kemajuan ilmu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan. Apalagi, seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat, terutama di bidang informasi, yang mengakibatkan jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam memperoleh informasi. Kemajuan ini membawa kita pada suatu masa atau era yang disebut dengan Era Globalisasi. Akan ada banyak hal yang terjadi dalam era ini. Salah satu contoh yang mulai terlihat adalah pasar bebas yang menuntut peningkatan sumber daya manusia (SDM). Harus diakui, pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, seharusnya kita dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia agar tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Seperti yang tertulis dalam sebuah situs, yang meyebutkan data UNESCO (2011) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia jauh dibawah negara-negara lain dan mendapat peringkat ke 124 dari 187 negara. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Selain itu, matematika adalah pelajaran yang 1

2 mulai diperkenalkan sejak Taman Kanak-kanak. Berbeda dengan Fisika dan Kimia misalnya, yang baru dipelajari di tingkat SMP. Ini menunjukkan, pemerintah juga setuju, bahwa matematika sangat diperlukan dalam kehidupan, terutama untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan (Permen No.22 tahun 2006). Meskipun demikian, ada hal yang justru sangat ironis yang mungkin telah menjadi rahasia umum. Matematika ternyata belum bisa menjadi pelajaran yang difavoritkan. Justru sebaliknya, phobia matematika masih kerap menghinggapi perasaan sebagian besar siswa. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi (2001:15) bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi. Ketidaksukaan siswa terhadap matematika tentu patut dipertanyakan, apalagi bagi kalangan pendidik yang terlibat secara langsung dengan pendidikan. Meskipun guru bukanlah satu-satunya faktor penyebab dalam hal tersebut, namun guru memiliki peranan besar dalam pendidikan. Diduga, ketidaksukaan siswa tersebut menjadi salah satu penyebab utama yang membuat rendahnya kualitas pendidikan matematika, seperti yang ditunjukkan oleh data TIMSS (2007) yang mencatat bahwa Indonesia berada di posisi ke-36 dari 49 negara peserta untuk Matematika dengan nilai rata-rata 405 dan pada PISA tahun 2009, Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496. Hasil belajar siswa di SMA Negeri 1 Salapian sendiri juga masih tergolong rendah. Hal tersebut terlihat dari data nilai ujian semester yang belum mencapai nilai yang diharapkan. Dari 40 siswa, hanya 9 siswa yang mendapat nilai cukup, selebihnya masih dibawah standar yang seharusnya dan proses penyelesaian siswa

3 dalam memecahkan masalah belum menunjukkan adanya komunikasi atau koneksi matematis. Rendahnya hasil belajar matematika siswa ini tentunya tidak terlepas dari peran guru dalam mengelola pembelajaran. Menurut Marpaung (2004) guru cenderung memindahkan pengetahuan yang dimilki ke pikiran siswa, mementingkan hasil dari pada proses, mengajarkan secara urut halaman per halaman tanpa membahas keterkaitan antara konsep-konsep atau masalah. Hal yang sama dikemukakan oleh Hadi (2010) yang menyatakan: Beberapa hal yang menjadi ciri pembelajaran matematika di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru, pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Untuk mengatasi hal di atas, proses pembelajaran di kelas perlu diubah, dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran dan guru bertindak sebagai sutradara dan fasilitator untuk dapat mengembangkan kemampuan siswa berpikir matematika. Dengan demikian, nantinya siswa diharapkan memiliki kemampuan bernalar, representasi, berpikir kritis dan kreatif, mampu mengkoneksikan semua pengetahuan yang didapat sebelumnya, mampu berkomunikasi, memiliki rasa percaya diri untuk memecahkan masalah secara matematika, yang juga dikenal dengan standar proses daya matematika atau NCTM menyebutnya dengan istilah mathematical power process standards. Mulyasa (2003: 21) menjelaskan bahwa acuan kurikulum berbasis kompetensi menjadikan sosok manusia Indonesia dalam jenjang pendidikan menengah salah

4 satunya adalah memiliki kemampuan berkomunikasi. Ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam matematika perlu ditumbuh kembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), matematika tidak hanya sebagai alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai alat yang berharga untuk mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity: artinya matematika sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa (Baroody dalam Ansari, 2009: 4). Namun, faktanya penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak pada penguasaan ketrampilan dasar (basic skills) namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis dan bernalar secara matematis. Seperti yang dikemukakan Shadiq (2007: 2), proses belajar yang selama ini masih menggunakan pembelajaran konvensional membuat siswa hanya sebagai penerima informasi, membuatnya cenderung bersikap pasif. Siswa dianggap telah berhasil dalam belajar, apabila dapat menghafal rumus sebanyak mungkin, dan mampu menggunakannya dalam mengerjakan soal tanpa tahu apa kegunaan dari semua yang dipelajarinya. Ketika bertemu dengan soal, siswa cenderung langsung memperhatikan angka yang tertera, dan menghitung mengikuti contoh yang telah diberikan guru tanpa terlebih dahulu memahami apa masalah yang terkandung dalam soal tersebut. Tentu saja, hal tersebut menghilangkan makna dari pembelajaran matematika yang sebenarnya. Oleh sebab itulah, permasalahan tentang komunikasi

5 matematis siswa ini menjadi sebuah permasalahan serius yang harus segera ditangani. Selain komunikasi, kemampuan koneksi matematis siswa juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Permen Diknas No.22 tahun 2006 mencantumkan salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah diantaranya adalah menjelaskan keterkaitan antar konsep. Hal ini menunjukkan pentingnya hubungan atau koneksi dalam matematika, baik antar materi dalam matematika itu sendiri, maupun dengan ilmu lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan proses pembelajaran yang berlangsung selama ini, kemampuan koneksi siswa dalam matematika semakin terlihat memudar. Berkutatnya pembelajaran kepada rumus-rumus dan hafalan, membuat siswa tidak menyadari adanya keterkaitan antara apa yang sedang dipelajarinya dengan apa yang telah dipelajarinya, atau dengan kehidupannya seharihari. Yang terpikir hanyalah bagaimana mendapatkan jawaban dengan cepat tanpa proses yang panjang, apalagi mengingat-ingat materi sebelumnya. Padahal, setiap bagian matematika bukanlah bagian yang terpisah-pisah, melainkan satu kesatuan yang tetap memiliki keterkaitan dan tak dapat berdiri sendiri tanpa bagian yang lain. Dari pengalaman langsung peneliti terhadap siswa kelas XI, dapat dikatakan bahwa siswa-siwa tersebut tidak pernah berpikir bahwa apa yang telah dipelajarinya di kelas X memiliki keterkaitan terhadap materi yang sedang dipelajarinya. Kebanyakan dari mereka sibuk mengotak-atik rumus yang diberikan pada topik tersebut. Pada topik lingkaran misalnya, siswa-siswa tidak tahu bahwa nilai Diskriminan yang mereka pelajari di kelas X pada topik Persamaan Kuadrat digunakan juga dalam topik lingkaran untuk mempelajari hubungan garis lurus terhadap lingkaran. Lebih dari 50% siswa bahkan tidak ingat bagaimana menghitung

6 nilai Diskriman dari sebuah persamaan kuadrat. Bukanlah suatu kebetulan yang sempurna jika mencantumkan kemampuan koneksi dalam standar proses daya matematika. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah dengan menerapkan Pendekatan Matematika Realistik (PMR), yang diketahui telah berkembang sejak tahun 1970-an. Menurut Tarigan (2006) ada lima karakteristik PMR, yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) kontribusi siswa, (4) kegiatan interaktif, (5) keterkaitan materi. Kelima karakteristik tersebut wajib terlihat pada Pendekatan Matematika Realistik. Penggunaan model dan keterkaitan materi inilah, yang akan menunjang perbaikan kemampuan siswa dalam koneksi dan berkomunikasi. PMR didasari oleh filosofi bahwa matematika dipandang sebagai aktivitas manusia, sehingga matematika seharusnya tidak diberikan dalam bentuk jadi kepada siswa, melainkan siswa harus mengkonstruk sendiri isi pengetahuan melalui penyelesaian masalah-masalah kontekstual secara interatif, baik secara informal maupun secara formal, sehingga mereka menemukan sendiri atau dengan bantuan orang dewasa/guru (guided reinvention), apakah jawaban mareka benar atau salah. Hal tersebut sesuai dengan yang diutarakan dalam Permen Diknas No.22 tahun 2006, yang mengatakan bahwa Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Beberapa penelitian pendahuluan di beberapa negara menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan

7 realistik sekurang-kurangnya dapat membuat matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal, dan tidak terlalu abstrak, mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa, menekankan belajar matematika pada learning by doing, memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku, menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Kuiper dan Kuiner 1993). Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of ready-made mathematics). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Indonesia pun mulai mengadaptasi dan menerapkan PMR di beberapa sekolah tingkat SD/MI dan diberi nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah seperti berikut: 1. Hasil belajar siswa masih rendah dan belum sesuai dengan yang diharapkan. 2. Kemampuan siswa berkomunikasi matematis masih rendah. 3. Kemampuan koneksi matematis siswa masih rendah. 4. Proses penyelsaian siswa dalam memecahkan masalah belum menunjukkan adanya komunikasi dan koneksi matematis. 5. Proses pembelajaran selama ini kurang relevan dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik matematika di sekolah. 6. Aktivitas siswa selama ini cenderung pasif.

8 7. Sikap siswa terhadap pelajaran matematika cenderung tidak menyukainya, karena menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit. 8. Pendekatan yang digunakan oleh guru masih menggunakan pendekatan konvensional. 9. Kurangnya keterkaitan matematika yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari. 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, pada penelitian ini, dibatasi hanya pada: 1. Kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. 2. Kemampuan koneksi matematis siswa masih rendah. 3. Aktivitas siswa selama pembelajaran cenderung pasif. 4. Sikap siswa yang kurang menyukai pelajaran matematika. 5. Proses penyelesaian siswa dalam memecahkan masalah. Dari beberapa pendekatan pembelajaran yang ada, banyak pendekatan pembelajaran yang mungkin digunakan, tetapi khusus dalam penelitian ini penulis akan membatasi pada penggunaan metode PMR, dan materi yang akan digunakan adalah Fungsi Kuadrat. 1.4 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan PMR lebih tinggi dibanding dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional? 2. Apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan PMR lebih tinggi dibanding dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional?

9 3. Bagaimana kadar aktivitas aktif siswa dengan pembelajaran PMR? 4. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan PMR? 5. Bagaimana proses penyelesaian siswa yang diajar dengan PMR dan Konvensional? 1.5 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan yang diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dalm penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa dengan PMR lebih tinggi dibanding dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional. 2. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematis siswa dengan PMR lebih tinggi dibanding dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional. 3. Untuk mendeskripsikan bagaimana kadar aktivitas aktif siswa dengan pembelajaran PMR. 4. Untuk mendeskripsikan respon siswa terhadap pembelajaran dengan PMR. 5. Untuk mendeskripsikan proses penyelesaian siswa yang diajar dengan PMR dan Konvensional? 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi usaha memperbaiki proses pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan juga memberikan : 1) Manfaat bagi Siswa. Memberikan motivasi dan aktivitas dalam kegiatan belajar mengajar, dapat membantu siswa dalam menggali konsep-konsep matematika dan memudahkan

10 siswa untuk dapat memiliki kemampuan komunikasi dan koneksi matematis melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR). 2) Manfaat bagi Guru. Meningkatkan kemampuan guru dalam perencanaan kegiatan belajar mengajar dan membiasakan guru menggunakan metode mengajar serta meningkatkan profesionalitas guru dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah. 3) Manfaat bagi Sekolah. Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisien pegelolaan pendidikan dalam mengambil kebijakan dalam penerapan inovasi pembelajaran baik matematika maupun pelajaran lain sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas guru. 4) Perangkat pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas khususnya pada pokok bahasan turunan. 1.7 Definisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap penafsiran istilah-istilah yang digunakan, akan dijelaskan beberapa istilah yang didefenisikan secara operasional dengan tujuan penelitian ini menjadi lebih terarah. Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Matematika Realistik (PMR) adalah prosedur yang digunakan dalam membahas bahan pelajaran matematika yang memiliki karakteristik (a) menggunakan konteks, (b) menggunakan model, (c) kontribusi siswa, (d) kegiatan interaktif, (e) keterkaitan materi. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa adalah kompetensi siswa dalam mengkomunikasikan matematika secara tulisan berdasarkan aspek. (1) Kemampuan

11 mengekspresikan ide-ide matematika secara tertulis serta menggambarnya secara visual. (2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematik secara tertulis maupun dalam bentuk visual lainnya. (3) Kemampuan menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi. 3. Kemampuan koneksi matematis siswa adalah kemampuan siswa memahami hubungan antar topik matematika, koneksi terhadap mata pelajaran lain serta koneksi dalam kehidupan sehari-hari. 4. Pendekatan konvensional adalah prosedur yang biasa digunakan guru dalam membahas bahan pelajaran matematika dengan tahapan guru menjelaskan materi pelajaran, siswa diberikan kesempatan bertanya, siswa mengerjakan latihan, guru dan siswa membahas latihan. 5. Kadar aktivitas aktif siswa adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan diamati oleh dua orang observer dan diukur berdasarkan pencapaian waktu ideal yang meliputi: (1) mendengar, memperhatikan penjelasan guru, (2) membaca/memahami masalah kontekstual di LAS, (3) menyelesaikan masalah/menemukan cara dan jawaban dari masalah, (4) menulis penyelesaian masalah, merangkun dan meyimpulkan suatu prosedur/konsep, (5) memperagakan hasil/presentasi, (6) berdiskusi/bertanya kepada teman/bertanya pada guru, (7) menarik kesimpulan suatu prosedur/konsep, (8) mencatat hal-hal yang relevan dengan proses belajar mengajar, (9) kegiatan yang tidak relevan dengan pembelajaran. 6. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui pendapat atau komentar siswa terhadap pembelajaran PMR. Angket tersebut akan diberikan kepada siswa dan diisi

12 setelah pembelajaran, yang berisi meliputi: pendapat siswa terhadap komponen materi pelajaran, LAS, buku siswa, cara belajar dan cara guru mengajar. 7. Fungsi Kuadrat adalah materi yang diajarkan pada kelas X berdasarkan KTSP tahun 2006. Adapun materi yang diajarkan dalam materi tersebut meliputi: (1) merancang model matematika dari masalah autentik/nyata yang berkaitan dengan persamaan kuadrat, menyelesaikan modelnya dan menafsirkan hasilnya; (2) menggunakan sifat dan aturan tentang akar-akar persamaan kuadrat dan diskriminan dalam memecahkan masalah; (3) melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan sifat dan aturan dalam persamaan kuadrat; (4) merancang model matematika dari masalah kontekstual yang berkaitan dengan fungsi kuadrat, menyelesaikan modelnya dan menafsirkan hasilnya; (5) menggambar grafik fungsi kuadrat; (6) menggunakan sifat dan aturan tentang koefisien, diskriminan, sumbu simetri, titik puncak grafik fungsi kuadrat dalam memecahkan masalah kontekstual dan mampu melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan fungsi kuadrat. 8. Kemampuan prasyarat siswa adalah kemampuan siswa yang diukur melalui pre-test. 9. Pre-test adalah tes yang diberikan pada siswa sebelum dilakukan perlakuan, di mana pre-test tersebut dikembangkan dari materi prasyarat yaitu Operasi Aljabar, Persamaan Kuadrat di kelas IX dan Persamaan Linier. 10. Post-test adalah tes yang diberikan pada siswa setelah diberikan perlakuan, di mana post-test tersebut dikembangkan dari materi Persamaan dan Fungsi Kuadrat.