BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA DAN PELAKSANAAN PLA

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV)

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa indikasi dari meningkatnya muka air laut antara lain adalah :

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Pemrosesan Data DEM. TKD416 Model Permukaan Digital. Andri Suprayogi 2009

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

III. METODOLOGI PENELITIAN

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rp) 1) Skala 1:10.000, 7 (tujuh) layer Per Nomor (NLP) ,00. Per Km² 20.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

Home : tedyagungc.wordpress.com

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

BAB I PENDAHULUAN I.1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV UJI PENENTUAN POSISI TIGA DIMENSI BUAH JERUK LEMON PADA TANAMANNYA

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b...

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB I PENDAHULUAN I-1

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Artikel. Pemanfaatan Pesawat Nir-Awak untuk Pemetaan Garis Pantai. Kerjasama BIG dan LAPAN

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang sudah terdaftar dan berkoordinat (BIG, 2014). Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih 5.180.053 km 2, yang terdiri atas 1.922.570 km 2 wilayah daratan dan 3.257.483 km 2 wilayah perairan (BIG, 2013). Wilayah perairan yang menghubungkan antar pulau menjadikan Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km (BIG, 2015). Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Garis pantai yang panjang menggambarkan bahwa Indonesia memiliki daerah pesisir yang luas. Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri dkk, 2001). Daerah pesisir Indonesia khususnya Kabupaten Karawang, merupakan daerah padat penduduk. Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753.27 km 2 (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2006) dengan jumlah penduduk 2.250.120 jiwa pada tahun 2014 (BPS Kabupaten Karawang). Pertumbuhan penduduk tentu akan disertai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi, sehingga kebutuhan terhadap pemanfaatan ruang dan sumber daya semakin besar. Secara fisik masalah yang dihadapi oleh daerah pesisir Kabupaten Karawang adalah rusaknya ekologi pantai karena tidak adanya vegetasi pelindung daerah pesisir, sehingga secara umum kondisi bibir pantai Kabupaten Karawang mayoritas mengalami abrasi. Dengan kepadatan penduduk yang dimiliki, terjadinya abrasi menjadi salah satu permasalahan yang krusial di Kabupaten Karawang. Abrasi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang terjadi hampir di sepanjang bibir pantai utara, dalam 5 tahun abrasi telah menggerus hingga 3000 meter pesisir pantai Kabupaten Karawang yang 1

2 berdampak pada hancurkan ratusan hektar tambak ikan, pemukiman, dan jalan raya (Karawangnews.com, 2010). Bencana alam ini menyebabkan aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan politik Kabupaten Karawang terganggu. Pada permasalahan tata ruang daerah pesisir, pemodelan tiga dimensi dapat digunakan dalam memberikan visualisasi daerah pesisir yang dapat menggambarkan kondisi sebenarnya. Pemodelan tiga dimensi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Light Detecting and Ranging (LiDAR). LiDAR merupakan salah satu sistem dari Airborne Laser Scanning (ALS). Sistem ini merupakan perpaduan antara Laser Range Finder (LRF), Positioning and Orientation System (POS), yang diintegrasikan dengan Differential Global Positioning System (DGPS), Inertial Measurement Unit (IMU) dan Control Unit (Wehr dan Lohr, 1999). Laser pada LiDAR akan mengukur jarak ke permukaan tanah atau obyek dan bila dikombinasikan dengan hasil posisi dan orientasi dari sensor, akan menghasilkan point clouds dengan koordinat X,Y,Z. Pemodelan tiga dimensi khususnya Model Terain Digital (MTD) dapat di bentuk dengan berbagai macam metode, salah satu metode yang dapat digunakan adalah Hydro Enforcement. Pembentukan MTD dengan menggunakan metode Hydro Enforcement merupakan hal baru yang sekarang digunakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dalam kerangka acuan kerja pembuatan peta rupa bumi khusunya pada skala besar. Penggunaan Hydro Enforcement akan mempermudah pengolahan dan penyimpanan data, karena memori yang terpakai tidak terlalu besar, sehingga pengolahan dan penyajiannya dapat dilakukan tanpa menggunakan komputer dengan spesifikasi tinggi (komputer dengan ram diatas 32 giga). Pemodelan tiga dimensi daerah pesisir yang up to date dapat menyediakan model yang memiliki unsur spatial dengan akurasi posisi yang tinggi. Model ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi posisi, situasi, dan bentuk terkait dengan daerah kajian yang di modelkan. Pemodelan tiga dimensi daerah pesisir dapat digunakan untuk beberapa keperluan yang berkaitan dengan manajemen perencanaan, manajemen kebencanaan dan studi lingkungan.

3 I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan merupakan acuan kerja dan batasan yang akan dilaksanakan. Berikut merupakan lingkup kegiatan dalam kegiatan aplikatif ini : 1. Data yang digunakan berupa data LiDAR dan Ortofoto pada Daerah Pesisir Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat dengan luas kurang lebih 532 hektar. 2. Pengolahan data mentah LiDAR dan Ortofoto tidak dibahas dalam kegiatan aplikatif ini. 3. Pembuatan data vektor dari proses stereoplotting antara data LiDAR dengan Ortofoto. 4. Hasil kegiatan aplikatif ini berupa visualisasi tiga dimensi Model Terain Digital (MTD) tanpa tinggi obyek diatasnya. 5. Dalam pembentukan Model Terain Digital (MTD) menggunakan metode Hydro Enforcement. I.3. Tujuan Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah pembuatan model tiga dimensi Model Terain Digital (MTD) daerah pesisir yang dihasilkan dari data LiDAR dan Ortofoto dengan metode Hydro Enforcement. I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah pembuatan visualisasi Model Terain Digital (MTD) daerah persisir yang dapat digunakan untuk beberapa keperluan yang berkaitan dengan manajemen perencanaan, manajemen kebencanaan dan studi lingkungan.

4 I.5. Landasan Teori I.5.1. Light Detecting and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh sensor aktif dengan menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan tanah dalam posisi horisontal dan vertikal. Sinar laser memiliki gelombang tidak tampak atau infra merah yang dapat menembus celah dedaunan dan mencapai permukaan tanah untuk dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor laser. Sensor laser dilengkapi dengan pengukur waktu untuk mencatat beda waktu ketika gelombang tersebut dipancarkan dan ketika gelombang tersebut diterima kembali. Hasil pengukuran dengan teknologi LiDAR berupa titik-titik yang disebut sebagai point clouds. Point clouds berupa kumpulan koordinat geometri secara tiga dimensi yang memiliki koordinat X,Y dan Z. Akurasi vertikal teknologi LiDAR yaitu 15 25 cm dan untuk akurasi horisontal 30 50 cm atau dua kali dari akurasi vertikalnya (Sithole, 2005). Koordinat point clouds dikombinasi dengan Global Positioning System (GPS) untuk memberikan informasi posisi wahana terbang saat akuisisi dan informasi orientasi yang diperoleh dari Inertial Measurement Unit (IMU) sehingga menghasilkan akurasi titik koordinat yang tinggi dalam ruang tiga dimensi (Liu, dkk., 2007). I.5.1.1. Komponen LiDAR. Secara teoritis LiDAR terdiri dari tiga komponen utama yaitu : 1. Sensor Laser Sensor laser LiDAR berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek. Sensor LiDAR mempunyai kemampuan multiple return capability yang digunakan untuk pengambilan data pada daerah dengan vegetasi cukup lebat, pulse yang ditembakkan pada daerah vegetasi cukup lebat dapat menembus cela-cela pepohonan hingga ke bagian dasar atau tanah. 2. Global Positioning System (GPS) GPS merupakan sistem penentuan posisi tiga dimensi yang dapat menghasilkan koordinat X, Y, dan Z serta t sebagai unsur waktu.

5 GPS receiver dipasang pada titik referensi sebagai base station di permukaan bumi. Pada wahana terbang yang berupa pesawat juga dipasang GPS sebagai rover. Receiver GPS berfungsi untuk merekam posisi lintasan pesawat (trajectory) dari sistem dan peralatan LiDAR pada pesawat secara realtime selama penerbangan. Hasil perekaman dari GPS disimpan dalam bentuk raw data. (Liu, 2008). 3. Inertial Navigation System (INS) INS adalah sistem navigasi berbasis seperangkat sensor yang memiliki komponen Inertial Measurement Unit (IMU) yang dapat mendeteksi pergeseran rotasi wahana terbang berupa pitch, roll, dan yaw terhadap sumbu-sumbu sistem referensi terbang, sehingga dihasilkan besar sudut gerak rotasi sumbu-sumbu koordinat wahana udara terhadap sumbu-sumbu koordinat sistem referensi terbang. IMU juga dapat mendeteksi perubahan percepatan pada wahana terbang (Vannesyardi, dkk., 2011). Komponen LiDAR disajikan pada gambar I.1. INS Gambar I.1. Komponen LiDAR (USACE,2002)

6 Hubungan antara sensor laser, GPS, dan IMU serta sistem koordinat tanah diwujudkan dalam persamaan (I.1) berikut ini (Habib, 2008) : 0 X G = X O + R yaw,pitch,roll P G + R yaw,pitch,roll R ω, φ, k R αβ [ 0 ]...(I.1) ρ Keterangan : X G X O P G ρ R yaw,pitch,roll R ω, φ, k R αβ : Posisi titik obyek : vektor antara origin di tanah dengan sistem koordinat IMU : bore-sighting offset : jarak dari laser scanner ke titik obyek : matrik rotasi hubungan sistem koordinat tanah dan IMU : matrik (angular bore-sighting) : matrik rotasi hubungan laser unit dan sistem koordinat laser beam dengan α dan β merupakan mirror scan angle I.5.1.2. Prinsip Kerja LiDAR. Pada sistem LiDAR terdapat dua sensor yang berfungsi sebagai transmitter dan receiver. Pada transmitter sensor memancarkan sinar langsung ke obyek, selanjutnya sinar tersebut dipantulkan kembali setelah mengenai obyek dan receiver sensor merekam pantulan tersebut. Sensor laser melakukan pengukuran jarak antara sensor terhadap permukaan tanah (Baltsavias, 1999). Prinsip kerja LiDAR diilustrasikan pada gambar I.2. Gambar I.2. Prinsip Kerja LiDAR (Baltsavias, 1999)

7 Pengukuran jarak dihitung dengan prinsip beda waktu seperti pada persamaan berikut : R = C t (I.2) 2 Dimana : R : Jarak antar sensor dengan titik yang diukur. c : Konstanta kecepatan cahaya (3.10 8 m/s) t : Waktu tempuh sinyal I.5.2. Ortofoto Ortofoto merupakan sebuah produk foto yang memiliki proyeksi ortogonal (Habib, 2007). Pada dasarnya sebuat foto memiliki karakteristik tertentu diantaranya : memiliki proyeksi perspektif, skala tidak seragam pada keseluruhan obyek yang tergambar, terdapat perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di lapangan. Karakteristik foto disajikan pada gambar I.3. e d c b a Image Plane Perpective Center A B C D E A B C D E Gambar I.3. Proyeksi pada foto (Habib, 2007) Sedangkan karakteristik peta : terproyeksi secara ortogonal, skala beragam, tidak adanya perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek dilapangan. Karakteristik peta disajikan pada gambar I.4.

8 a b c d e Map A B C D E A B C D E Datum Gambar I.4. Proyeksi pada peta (Habib, 2007) Menurut Habib (2007), dengan dibentuknya Ortofoto maka akan diperloleh beberapa keuntungan dalam pekerjaan yang dilakukan, diantaranya : 1. Hasil Ortofoto akan memiliki karakteristik yang sama seperti peta tetapi dengan lebih banyak fitur. 2. Pengguna dapat menggambar garis dan mengukur jarak tanpa memerlukan stereoplotter. 3. Salah satu alternatif pembentukan peta dengan biaya renda karena Ortofoto dapat dilakukan secara otomatis. Pembuatan Ortofoto membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah apabila dibandingkan dengan pembuatan peta vektor. Foto yang dijadikan Ortofoto dapat dimanipulasi sehingga kualitas foto dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan konsistensi, kontras, sharpening, filtering dan lain sebaginya (Habib, 2007). Proses Ortofoto lebih dipilih dalam pekeraan perencanaan tata ruang dan kota dalam pembentukan sistem geoinformasi. I.5.3. Model Terain Digital (MTD) MTD merupakan model digital permukaan tanah berupa bidang yang menggabungkan fitur tertentu seperti sungai, garis punggungan, break lines, dan lain-

9 lain ke dalam model yang terbentuk dari titik-titik yang diketahui koordinat tiga dimensinya (Li dkk, 2005). MTD memuat data informasi permukaan bumi tanpa tutupan lahan diatasnya (Istarno, 2004). Ilustrasi MTD disajikan pada gambar I.5. Gambar I.5 Ilustrasi Model Terain Digital (Sumber : http://www.charim.net/datamanagement/32) Menurut Djurdjani (1999), MTD dapat disimpan dalam berbagai metode : a. Data berdistribusi teratur yaitu data disimpan dengan spasi yang teratur antar titik sehingga membentuk suatu grid. Data elevasi direkam pada tiap spasi tertentu, sesuai dengan resolusi spasial dari grid tersebut. Bentuk dasar dari grid yang paling sering digunakan adalah bentuk persegi seperti gambar I.6. Gambar I.6 Data distribusi teratur (Nugroho, 2003) b. Data berdistribusi semi teratur. Pada metode ini, distribusi penyimpanan data hanya teratur pada salah satu unsur datanya, sedangkan unsur data lainnya berbentuk acak. Contohnya garis kontur pada peta yang merepresentasikan ketinggian yang sama pada permukaan bumi dengan interval ketinggian tertentu yang konstan mempunyai keteraturan pada koordinat Z, tetapi pada koordinat X dan Y acak (gambar I.7).

10 Gambar I.7. Data berdistribusi semi teratur (Nugroho, 2003) c. Data berdistribusi acak adalah distribusi penyimpanan data yang tidak ada keteraturan pada setiap unsur datanya. Salah satu bentuk struktur data acak adalah Triangulated Irregular Networks (TIN) dengan segitiga-segitiga tidak beraturan sebagai satuan datanya. d. Fungsi permukaan. Pada metode ini menggunakan model matematis tertentu, namun metode ini cenderung hanya memberikan gambaran umum permukaan (trend surface) serta menghilangkan detil-detil lokal pada permukaan bumi karena detil-detil yang terdapat pada permukaan bumi sangat kompleks sehingga sulit disajikan dalam model matematis secara tepat. Nilai ketinggian pada dasarnya dapat direpresentasikan dengan titik, garis, dan bidang yang disusun berdasar algoritma berbasis jaringan segitiga, grid, maupun gabungannya (Atunggal, 2010) seperti ilustrasi pada gambar I.8. Gambar I.8 Representasi nilai ketinggian dengan point, triangle,grid dan hybrid (Atunggal, 2010)

11 Sebagaian perangkat lunak dalam penarikan kontur pada model terrain yang dibangun menggunakan algoritma TIN dan grid. Pada kegiatan aplikatif ini akan digunakan metode TIN untuk pembentukan MTD. I.5.3.1. Triangulated Irregular Network (TIN). TIN adalah salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk pembentukan MTD dan penarikan garis kontur. TIN merupakan algoritma yang berdasarkan pada jaring segitiga yang menghubungkan tiga titik (Wilson dan Gallant, 2000). Gambar I.9 berikut menggambarkan bentuk TIN dari beberapa titik sampel. Gambar I.9 TIN yang terbentuk dari 5 titik sampel (Atunggal, 2010) Ada dua metode yang dapat digunakan untuk generalisasi TIN yaitu secara manual dan otomatis. Generalisasi secara manual dilakukan dengan memilih secara manual titik-titik yang akan digunakan dan menggabungkannya sehingga membentuk jaring segitiga. Generalisasi secara otomatis dilakukan sepenuhnya dengan menggunakan software. Proses pembuatan TIN dikaitkan dengan tiga proses dasar : 1. Elemen berurutan 2. Mencari titik terdekat atau titik dalam segitiga 3. Melakukan pengecekan pada garis yang bersimpangan Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan terrain dengan kualitas yang baik diperlukan data elevasi yang rapat dengan ketelitian tinggi. Titik-titik pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki koordinat tiga dimensi (X, Y, Z), permukaan segitiga tersebut menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Hasil interpolasi akan semakin baik jika bentuk segitiga penyusun TIN model sistematis, yakni mendekati bentuk segitiga sama sisi, dan hasil interpolasi semakin buruk jika perbandingan panjang salah satu sisi segitiga tidak mendekati panjang sisi-sisi lain dari segitiga tersebut.

12 I.5.4. Model Permukaan Digital (MPD) MPD merupakan dataset ketinggian yang dibentuk dari koordinat teliti X, Y, dan Z yang memuat semua data informasi topografi, planimetris, dan vegetasi, baik buatan manusia maupun alam. Wujud koordinat dapat membentuk pola garis kontur, titik dengan lokasi acak atau dapat dibentuk segitiga-segitiga, dan (raster) grid. Data hasil MPD mencakup vegetasi, jalan, bangunan, dan fitur terrain alami, sehingga dapat dibentuk model tiga dimensi dari berbagai sudut pandang dengan tutupan lahannya (Istarno, 2004). Ilustrasi MPD disajikan pada gambar I.10. Gambar I.10 Ilustrasi Model Permukaan Digital (Sumber : http://www.charim.net/datamanagement/32) I.5.5 Interpolasi Linier Interpolasi adalah proses pencarian dan penghitungan nilai suatu titik berdasarkan titik-titik terdekat yang sudah ada atau diketahui nilainya (Rianto, S., 2010). Titik-titik tersebut mungkin merupakan hasil eksperimen dalam sebuah percobaan, atau diperoleh dari suatu fungsi yang diketahui. Interpolasi linier adalah interpolasi dua buah titik dengan sebuah garis lurus. Apabila diketahui dua buah titik (X 0, Y 0 ) dan (X 1, Y 1 ). Polinom yang menginterpolasi kedua titik itu adalah persamaan garis lurus yang berbentuk : P(x) = a 0 + a 1 x.....(i.3) Gambar I.11 dan I.12 memperlihatkan garis lurus yang menginterpolasi titik-titik (X 0, Y 0 ) dan (X 1, Y 1 ).

13 Y (X 1, Y 1 ) Y (X 0, Y 0 ) Gambar I.11 Interpolasi Linier X (X 0, Y 0 ) (X 1, Y 1 ) Gambar I.12 Interpolasi Linier X Koefisien a 0 dan a 1 didapat dengan proses substitusi dan eliminasi. Dengan mensubstitusikan (X 0, Y 0 ) dan (X 1, Y 1 ) ke dalam persamaan P(x) = a 0 + a 1 x akan diperoleh dua persamaan linier : y 0 = a 0 + a 1 x 0. (I.4) y 1 = a 0 + a 1 x 1.(I.5) Dari persamaan (I.4) dan (I.5), dengan eliminasi akan diperoleh : y 0 y 1 = (a 0 + a 1 x 0 ) (a 0 + a 1 x 1 ) y 0 y 1 = a 1 x 0 a 1 x 1 y 0 y 1 = a 1 (x 0 x 1 ) a 1 = y 0 y 1 x 0 x 1...(I.6)

14 Substitusikan nilai a 1 ke dalam persamaan (I.4), akan diperoleh : y 0 = a 0 + a 1 x 0 y 0 = a 0 + ( y 0 y 1 x 0 x 1 ) x 0 y 0 = a 0 + x 0y 0 x 0 y 1 x 0 x 1 y 0 = a 0 + x 0y 0 x 0 y 1 x 0 x 1 a 0 = y 0 x 0y 0 x 0 y 1 x 0 x 1 a 0 = y 0(x 0 x 1 ) x 0 y 0 +x 0 y 1 x 0 x 1 a 0 = x 0y 0 x 1 y 0 x 0 y 0 +x 0 y 1 x 0 x 1 a 0 = x 0y 1 x 1 y 0 x 0 x 1...(I.7) Dengan melakukan manipulasi aljabar untuk menentukan nilai p 1 (x) dapat dilakukan sebagai berikut : p 1 (x) = a 0 + a 1 x p 1 (x) = x 1y 0 x 0 y 1 + y 1 y 0 p 1 (x) = x 1y 0 x 0 y 1 + xy 1 xy 0 p 1 (x) = x 1y 0 x 0 y 1 + xy 1 xy 0 + (x 0 y 0 x 0 y 0 ) p 1 (x) = x 1y 0 x 0 y 0 x 0 y 1 + xy 1 xy 0 +x 0 y 0 p 1 (x) = y 0( )+ y 1 (x x 0 ) y 0 (x x 0 ) p 1 (x) = y 0( )+ (y 1 y 0 )(x x 0 ) p 1 (x) = y 0 + (y 1 y 0 )(x x 0 ) x.. (I.8) Dalam menentukan persamaan dari interpolasi linier juga dapat dilakukan memalui cara, menetukan titik-titik diantara dua buat titik dengan menggunakan garis lurus (Haryanto, A.,). Interpolasi dengan menggunakan garis lurus disajikan pada gambar gambar I.13.

15 Y P 2 (x 1,y 1 ) (x,y) P 1 (x 0,y 0 ) X Gambar I.13 Interpolasi Linier Persamaan garis lurus yang melalui dua titik P 1 (x 0, y 0 ) dan P 2 (x 1, y 1 ) dapat dituliskan dengan persamaan : y y 0 y 1 y 0 = x x 0.(I.9) Sehingga diperoleh persamaan interpolasi linier sebagai berikut : y = y 1 y 0 (x x 0 ) + y 0...(I.10) I.5.6. Stereoplotting Stereoplotting merupakan metode pengumpulan data vektor yang dilakukan dengan cara digitasi pada obyek dari model stereo secara tiga dimensi (Aprilana, 2010). Sebelum melakukan proses stereoplotting dilakukan proses stereomate terlebih dahulu. Stereomate adalah kompilasi data yang dibentuk untuk menghasilkan model stereo. Stereomate dilakukan sebelum melakukan plotting pada model stereo, pada dasarnya pembentukan model stereo dilakukan dengan menggabungkan dua foto udara yang saling bertampalan, namun stereomate dapat pula dibentuk menggunakan data foto udara yang diintrodusir dengan data LiDAR sehingga menghasilkan model stereo tiga dimensi dengan ketinggian semu. Dalam proses stereoplotting dilakukan digitasi pada unsur alam dan unsur buatan model stereo, dan menghasilkan data vektor yang memiliki nilai elevasi (Z). Stereoplotting dilakukan dengan menggunakan software DAT/EM Summit Evolution. Urutan pengerjaan dalam stereoplotting meliputi :

16 1. Garis Pantai 2. Perairan 3. Breakline 4. Masspoint dan spotheight 5. Transportasi dan Utilitas 6. Bangunan dan fasilitas umum 7. Tutupan lahan Proses stereoplotting dapat dilakukan dengan metode otomatis maupun interaktif. Stereoplotting interaktif dilakukan dengan cara menentukan sendiri titiktitik obyek yang akan didigitasi pada model stereo, posisi titik dapat ditentukan dengan mengatur posisi X,Y dan Z kursor plotter serta ketinggian dari kursor plotter. Terdapat kelebihan dan kekurangan dari ke dua metode tersebut. Pada metode stereoplotting otomatis, proses pembentukan data vektor dapat dilakukan dalam waktu yang singkat tetapi ketelitian pemilihan obyek yang didigitasi kurang baik. Sedangkan untuk metode Stereoplotting interaktif, proses pembentukan data vektor membutuhkan waktu yang lebih lama, karena penetuan titik obyek dilakukan sendiri oleh operator sehingga hasil stereoplotting interaktif memiliki ketelitian yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan teknik stereoplotting otomatis. I.5.7. Hydro Enforcement Hydro Enforcement merupakan metode untuk memodifikasi nilai elevasi dari suatu data LiDAR yang memiliki point clouds sangat rinci dalam menggambarkan topografi. Metode hydro enforcement dilakukan secara paksa dengan menurukan atau menaikan elevasi suatu wilayah agar dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Obyek-obyek yang menghambat dalam pembentukan unsur perairan dihilangkan dan dilakukan pengeditan pada data yang dihilangkan tersebut, supaya dapat mengisi tempat kosong dari obyek-obyek penghambat unsur perairan. Ilustrasi Hydro Enforcement disajikan pada gambar I.14 dan I.15.

17 Gambar I.14 MTD LiDAR dengan jalan menutupi gorong-gorong dari aliran hidrogafi (Poppenga dkk, 2014). Gambar I.15 MTD LiDAR dengan perlakukan Hydro Enforcement (Poppenga dkk, 2014) Dalam pemetaan topografi, Hydro Enforcement digambarkan sebagai praktik standar untuk memaksa sungai, danau, kolam ataupun unsur perairan lainnya menjadi datar, dengan ketinggian yang sesuai di sepanjang garis unsur perairan, sehingga akan menghasilkan kontur yang tidak akan memasuki permukaan air. Pada data LiDAR, point yang ditangkap sepanjang unsur perairan akan memiliki variasi ketinggian yang berbeda, hal ini disebabkan oleh kehadiran vegetasi dan ketidak rataan alami dari permukaan tanah. Metode Hydro Enforcement diberlakukan dengan menganggap bahwa ketinggian yang diandalkan merupakan ketinggian dari sekitar permukaan air itu sendiri. Cara termuda untuk menjalankan metode Hydro Enforcement yaitu dengan

18 menggabarkan secara manual point-point tiga dimensi di sekitar badan air, mengklasifikasikan semua point clouds LiDAR yang berada di dalam unsur perairan sebagai "air", dan menetapkan semua simpul di point-point tersebut ke nilai elevasi tunggal. Kontur yang dihasilkan dari TIN proses ini akan konsisten dengan standar pemetaan topografi. Proses pengumpulan dan menambahkan breaklines tambahan sepanjang tepi danau, kolam, sungai, dan garis pantai, disajikan pada gambar I.16 dan I.17, yang disebut Hydro Enforcement. Gambar I.16 TIN data LiDAR (Schuckman, K., 2014) Gambar I.17 TIN data LiDAR dengan metode Hydro Enforcement (Schuckman, K., 2014)

19 Alogaritma kerja dari metode Hydro Enforcement yaitu menghilangkan point clouds yang berada di dalam perairan, melakukan pembentukan MTD dari point clouds hasil plotting dengan mengikut sertakan breakline seperti punggung bukit, sungai (garis tepi sungai), unsur perairan lainnya (garis tepi danau,dsb), serta garis batas darat dan laut. Hydro Enforcement dilakukan terhadap MTD yang telah terbentuk, sehingga aliran sungai berbentuk logis dengan tubuh air memiliki ketinggian yang sesuai. Melakukan editing terhadap noise atau spike juga harus dilakukan pada hasil pembentukan MTD. Menambahkan informasi ketinggian untuk unsur transportasi, utilitas dan penutup lahan dari data MPD yang ada. I.5.8. Key Point Key Point merupakan sebuah model koordinat yang dibuat dalam sebuah lembar pekerjaan. Model key point berisikan point-point acak yang memiliki nilai koordinat tiga dimensi berupa X,Y dan Z. Nilai Koordinat Z dibuat dengan nilai 0 meter karena nilai Z ini akan diisikan dengan data elevasi dari data-data lain dalam pengaplikasiaannya. Pada kegiatan aplikatif ini data key point tersebut akan diberikan nilai elevasi dari data LiDAR. Model key point digunakan sebagai sebuah kerangka dalam pengolahan data yang akan membentuk TIN. Dengan menggunakan model koordinat acak dapat dimiliki point-point nilai koordinat X,Y dan Z acak namun teratur, sehingga dalam pembentukan TIN akan menghasilkan TIN yang baik karena keterikatan antar titiknya seimbang. Contoh bentuk Key Point disajikan pada gambar I.18. Gambar I.18 Key Point