BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Batasan Usia Remaja (Hurlock 1980:206)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. nonformal (Pikiran Rakyat, 12 November 1998). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang undang Pemerintahan Negara Republik Indonesia tahun 2003 pasal

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. studi di Perguruan Tinggi. Seorang siswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa Kelas X SMA X Bandung

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. maka kualitas individu yang terlibat dalam pendidikan tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB IV LAPORAN PENELITIAN. A. Orientasi Kancah Penelitian Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, perlu ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi anak usia sekolah tidak hanya dalam rangka pengembangan individu, namun juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal penting bagi generasi muda bangsa untuk

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. education). Pendidikan sangat penting bagi peningkatan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan kuat. Selayaknya pula seorang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. ilmunya dalam dunia pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dalam jenjang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dan hak setiap manusia dari segala

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa menuju pembangunan negara yang lebih berkualitas. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu bentuk jenjang pendidikan formal di Indonesia adalah sekolah menengah atas (SMA). SMA X merupakan SMA swasta favorit di Kota Bandung yang memfasilitasi berbagai minat siswa yang beragam. Visi SMA X adalah menjadi lembaga pendidikan Kristen unggul dalam iman, ilmu, dan pelayanan. Misinya adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan nilainilai Kristiani. Kekhasan sekolah ini dibandingkan dengan sekolah lain, yaitu memiliki program-program berbeda untuk memersiapkan masa depan siswanya sesuai dengan variasi minat dan potensi mereka. Program yang ada di SMA X terdiri atas dua bagian, yakni program reguler (national programme) dan program khusus (special programmes). Program reguler (national programme) merupakan program sekolah yang menggunakan kurikulum nasional dengan pemilihan jurusan IPA dan IPS. Sedangkan program khusus (special programmes) terdiri atas empat program berbeda yaitu Program Bilingual, Program Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI), Dual Certificate Programme 1

2 (DCP), dan Life Skill Programme (LSP). Penelitian ini berfokus pada siswa yang berada di program khusus LSP. LSP merupakan program terbaru di SMA X yang baru dibentuk tiga tahun silam, yaitu pada tahun 2012. Program ini menggunakan kurikulum national plus dengan pemilihan jurusan IPA dan IPS. Siswa belajar dalam kurun waktu tiga tahun dan mengikuti Ujian Nasional sebagai ujian kelulusannya. Bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah Bahasa Indonesia. Kekhasan LSP dibandingkan program lainnya adalah selain memelajari mata pelajaran wajib, siswa diberikan kesempatan mengembangkan bakat dan minatnya yang beragam dengan memilih kelas life skill pilihan sebanyak tiga kelas, dan siswa akan menerima sertifikat sebagai tanda kelulusannya. Mata pelajaran wajib pada LSP yaitu Pendidikan Agama Kristen, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Olahraga (untuk jurusan IPA dan IPS), Fisika, Kimia, dan Biologi (untuk jurusan IPA) serta Sejarah, Sosiologi dan Geografi (untuk jurusan IPS). Siswa juga memelajari empat mata pelajaran secara bergantian setiap minggunya (collaboration subjects), yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Sunda, Seni Budaya dan Teknik Ilmu Komunikasi (TIK). Pilihan kelas life skill yang ada di LSP yaitu kelas Life Skill Architecture, Ilustration & Entertainment Design, Desain Komunikasi Visual, Fashion Design, Modelling, Photography, Aerobic and Modern Dance, Medical Education, Information Technology, Medical Education, Business & Entrepreneurship, Japanese Language & Culture Photography, Mandarin Language & Culture Photography, Public Speaking, Band, Vocal, Event Organizer, Film Production, Cullinary, Fashion Graphics, dan Commercial Cookery. Untuk masuk ke dalam kelas life skill yang ada, mereka mengikuti tes seleksi yang meliputi tes kemampuan sesuai pilihannya dan wawancara, yang disesuaikan dengan guru pengajarnya masing-masing. Siswa kelas 10 memelajari mata pelajaran wajib pada hari Senin

3 sampai Kamis dan mengikuti kelas life skill pada hari Jumat, sedangkan siswa kelas 11 memelajari mata pelajaran wajib pada hari Senin, Selasa, Kamis, Jumat serta mengikuti kelas life skill pada hari Rabu. Sedangkan kelas 12 tidak dijaring datanya karena sekolah menghendaki agar mereka mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Pembagian waktu pelajaran untuk 1 hari di kelas life skill yaitu sebagai berikut : kelas life skill pertama pada pukul 06.30-09.30 (termasuk pembacaan renungan dan doa melalui speaker di kelas masing-masing sekitar 10-15 menit) kemudian istirahat 20 menit. Lalu kelas life skill kedua pada pukul 09.50-12.05, kemudian istirahat 20 menit dan kelas life skill ketiga pada pukul 12.25-14.40. Siswa-siswi yang memilih kelas LSP memiliki alasan-alasan tertentu, antara lain ialah ingin mengembangkan bakat dan minat, sebagai sarana persiapan saat berkuliah nanti, serta karena pelajaran yang diberikan lebih sedikit daripada program lain; Dengan demikian membuat siswa lebih fokus saat belajar dan lebih santai. Ada juga siswa yang memilih masuk ke LSP karena agar sekelas dengan teman yang mengambil program yang sama. Dalam kegiatan belajar mengajar, keterlibatan siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah atau yang dikenal dengan istilah school engagement memiliki peranan penting agar mereka dapat belajar secara aktif, antusias dan memeroleh manfaat pembelajaran dengan maksimal di sekolah. School engagement adalah seberapa besar tindakan siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, Blummenfeld, Paris, 2004). Komponen pertama yaitu behavioral engagement, merupakan tindakan siswa yang positif, terlibat aktif dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Komponen kedua yaitu emotional engagement, mencakup reaksi emosi siswa terhadap sekolah, guru, mata pelajaran,

4 dan teman sekelas. Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Survei awal dilakukan pada 20 orang siswa LSP di kelas 10 dan kelas 11 SMA X. Dilihat dari behavioral engagement yang berkenaan dengan keaktifan siswa, sebanyak 65% (13 siswa) mengaku bahwa mereka terlibat aktif ketika belajar di kelas, seperti membantu teman atau guru yang memerlukan bantuan, aktif bertanya, aktif berdiskusi dengan teman, mengerjakan tugas yang diberikan, dan menjawab pertanyaan dari guru. Sedangkan 35% (7 siswa) lainnya mengaku pasif saat pembelajaran berlangsung, seperti malas, jarang bertanya mengenai pelajaran, tidur, atau memainkan alat tulis. Siswa yang engaged secara behavioral mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam pembelajaran seperti dipercaya mengikuti perlombaan dan penilaian yang lebih positif dari gurunya daripada siswa yang disengaged secara behavioral. Emotional engagement siswa merupakan reaksi emosi siswa terhadap guru, teman, mata pelajaran dan sekolah, ditemukan beragam. Sebanyak 50% (10 siswa) antusias terhadap sebagian besar mata pelajaran yang ada, sedangkan 50% (10 siswa) lainnya menganggap sebagian besar pelajaran di kelas tidak penting, monoton, dan melelahkan. Siswa yang engaged secara emotional akan merasa senang dan nyaman ketika belajar di sekolah. Sedangkan siswa yang disengaged secara emotional akan merasa enggan bersekolah dan membuatnya merasa stres. Cognitive engagement siswa dilihat dari upaya siswa mencari informasi yang lebih dalam. Ditemukan bahwa 65% (13 siswa) mencari informasi lebih lanjut mengenai mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Sebaliknya, 35% siswa (7 siswa) lainnya tidak mencari informasi lebih lanjut mengenai mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Hal ini membuat siswa berusaha memahami ide-ide kompleks, menguasai keterampilan yang memerlukan latihan dan menggunakan strategi kognitif untuk menguasai materi pelajaran.

5 Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti gambaran komponen-komponen school engagement yang dimiliki siswa LSP SMA X di Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Ingin mengetahui bagaimanakah gambaran komponen-komponen school engagement pada siswa LSP SMA X di Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memeroleh gambaran mengenai komponen-komponen school engagement pada siswa LSP SMA X di Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Memeroleh gambaran mengenai derajat komponen-komponen school engagement pada siswa LSP SMA X di Bandung yaitu engaged atau disengaged, dan keterkaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Memberikan informasi bagi bidang Psikologi Pendidikan mengenai komponenkomponen school engagement pada siswa. 2. Memberi masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai komponen-komponen school engagement.

6 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada pihak sekolah yaitu kepala sekolah, guru-guru serta guru BK siswa LSP SMA X mengenai gambaran komponen-komponen school engagement siswa LSP, yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi dan merancang metode belajar-mengajar. 2. Memberikan informasi kepada siswa LSP mengenai gambaran komponen-komponen school engagement mereka untuk evaluasi diri dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal. 1.5 Kerangka Pemikiran Siswa SMA merupakan remaja akhir yang pada umumnya berusia 15-18 tahun. Masa remaja adalah masa perkembangan transisi dari masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Proses biologis (biological processes) mencakup perubahan-perubahan dalam fisik individu. Gen yang diwariskan orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormonal pada pubertas, semuanya merefleksikan proses biologis dalam perkembangan remaja. Proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi, dan bahasa individu. Proses sosial-emosional (socioemotional processes), meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran konteks sosial. Proses biologis, kognitif, dan sosial saling terjalin secara erat. (Santrock, 2003). Salah satu sekolah di Indonesia yang ada di kota Bandung, SMA X, merupakan sekolah yang memiliki program-program berbeda untuk memersiapkan masa depan siswasiswanya. Salah satu program yang memfasilitasi berbagai minat dan bakat siswa adalah Life Skill Programme (LSP). Dalam kegiatan belajar mengajar, keterlibatan siswa LSP di sekolah,

7 yang dikenal dengan istilah school engagement sangat diperlukan agar mereka dapat belajar secara aktif, antusias dan memeroleh manfaat pembelajaran dengan maksimal di sekolah. School engagement adalah seberapa besar tindakan siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks et al., 2004). School engagement secara akademik dapat dilihat dari kegiatan siswa LSP ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas baik mata pelajaran wajib maupun kelas life skill pilihan mereka, sedangkan secara non-akademik, dapat dilihat ketika siswa LSP mengikuti kegiatan ekstrakurikuler serta berpartisipasi pada perlombaan, acara-acara tertentu di sekolah dan OSIS. Komponen pertama yaitu behavioral engagement, merupakan tingkah laku siswa LSP SMA X yang positif, terlibat dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Siswa LSP yang engaged secara behavioral akan terlihat pada kontribusi siswa dalam kegiatan kelas seperti tidak membolos, mengikuti setiap pelajaran wajib dan kelas life skill di sekolah, mengikuti kegiatan belajar dengan baik, aktif bertanya kepada guru dan terlibat dalam aktivitas kelas seperti diskusi. Siswa LSP yang disengaged dalam behavioral engagement kurang memerlihatkan kontribusi dalam kegiatan sekolah seperti sering membolos, jarang mengerjakan tugas, kurang berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, lebih sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tidak memerhatikan pelajaran yang diberikan. Komponen kedua yaitu emotional engagement, mencakup reaksi emosi siswa terhadap sekolah, guru juga teman-teman seperti ketertarikan, kebosanan, kesenangan, dan kecemasan. Siswa LSP yang engaged secara emotional akan memerlihatkan ketertarikan terhadap pelajaran yang diajarkan baik dalam mata pelajaran wajib maupun dalam kelas life skill pilihan mereka, merasa senang dan menyukai teman, guru serta sekolah, antusias dalam kegiatan dan merasa menjadi bagian dari sekolah, serta menganggap sekolahnya itu penting

8 (belonging) dan bangga terhadap prestasi sekolahnya (value), siswa juga memiliki hubungan sosial yang baik. Mereka berminat terhadap pelajaran yang diberikan sehingga menikmati pembelajaran di kelas. Siswa LSP yang disengaged secara emotional kurang memerlihatkan ketertarikan terhadap pelajaran yang diajarkan baik dalam mata pelajaran wajib maupun dalam kelas life skill pilihan mereka. Mereka akan mudah bosan dalam belajar baik dalam mata pelajaran, kurang bersemangat, tidak antusias dalam belajar, cemas, takut, sedih ketika bersekolah dan merasa sekolah sebagai beban. Mereka acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi pada guru, teman, kelas maupun sekolahnya. Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa LSP yang engaged secara cognitive menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang lebih optimis, lebih fleksibel dalam mencari pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, menyukai tantangan yang melebihi standar yang telah ditetapkan, mengerahkan kemauannya untuk menguasai lebih banyak pelajaran, mencari strategi belajar yang sesuai dengan dirinya, berupaya yang diperlukan untuk memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang memerlukan latihan serta tidak akan menghiraukan distraksi di sekeliling mereka. Siswa LSP yang disengaged secara cognitive akan menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang pesimis sehingga mudah menyerah, cenderung menghindari tugas yang diberikan, mudah teralihkan ketika belajar, hanya memelajari apa yang diajarkan di kelas tanpa mengusahakan pengetahuan yang lebih dalam. Ada tiga faktor yang memengaruhi school engagement, yaitu school level factors, classroom context dan individual need. School level factors terdiri atas pilihan sukarela (voluntary choice), partisipasi siswa dalam kebijakan sekolah, pengembangan akademis,

9 ukuran sekolah, tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten, serta usaha kooperatif terhadap sekolah (Fredricks et al., 2004). School level factors yang pertama, pilihan sukarela (voluntary choice) menyangkut kebebasan siswa dalam memilih apa yang disukainya. Pilihan sukarela memengaruhi behavioral, emotional dan cognitive engagement. Pilihan sukarela pada siswa LSP dapat dilihat ketika mereka memilih mata pelajaran life skill yang diberikan. Siswa LSP memiliki kesempatan memilih tiga mata pelajaran life skill secara sukarela yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mata pelajaran life skill yang dipelajari sesuai dengan pilihannya pribadi yang membuat mereka belajar dengan antusias dan tanpa paksaan emotional engagement. Kemudian siswa juga cenderung memiliki keinginan untuk memelajari lebih dari sekedar yang diterangkan di kelas cognitive engagement. Selain itu, siswa cenderung lebih berpartisipasi dalam memperhatikan dan menjawab pertanyaan dari guru behavioral engagement. School level factors yang kedua, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah menyangkut keikutsertaan siswa dalam menyalurkan pendapat mengenai peraturan sekolah. Dalam penelitian ini, school level factors kedua tidak dijaring datanya karena siswa tidak memiliki kewenangan untuk memberi masukan atau perbaikan terhadap peraturan sekolah. School level factors yang ketiga, tugas akademik yang mengembangkan siswa menyangkut tugas yang mengembangkan kemampuan dan prestasi siswa. Tugas akademik yang mengembangkan siswa memengaruhi komponen behavioral, emotional, dan cognitive engagement. Siswa LSP mendapatkan tugas akademik yang mengembangkan kemampuannya untuk berprestasi. Tugas-tugas akademik yang diberikan antara lain tugas sekolah, PR, kuis, presentasi di kelas serta diskusi kelompok. School level factors yang keempat yaitu ukuran sekolah, menyangkut besar atau kecilnya sekolah. Ukuran sekolah memengaruhi behavioral dan emotional engagement

10 (Fredricks et al., 2004). Kesempatan siswa untuk berpartisipasi dan mengembangkan hubungan sosial lebih besar di sekolah yang berukuran kecil daripada sekolah yang ukurannya besar (Barker dan Gump, 1964 dalam Fredricks et al., 2004). Ukuran sekolah yang dihayati kecil cenderung membuat para siswa saling mengenal teman dari berbagai kelas, jurusan maupun angkatan. Hal ini dapat meningkatkan valuing learning dan belongingness mereka yang berdampak pada emotional engagement mereka. Selain itu, hal ini dapat meningkatkan behavioral engagement mereka. Sedangkan ukuran sekolah yang dihayati besar cenderung membuat para siswa yang tidak saling mengenal teman dari berbagai kelas, jurusan maupun angkatan. Hal ini dapat menurunkan valuing learning dan belongingness mereka yang berdampak pada emotional engagement mereka. Selain itu, hal ini dapat menurunkan skor behavioral engagement mereka. School level factors yang kelima yaitu tujuan yang jelas dan konsisten menyangkut peraturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah. Natriello (1984) menemukan siswa yang mendapat perilaku kurang adil dalam penerapan aturan yang ada cenderung lebih disengaged secara behavioral. Namun, Finn dan Voelkl menemukan bahwa aturan yang ketat dan penekanan terhadap disiplin tidak berdampak buruk terhadap behavioral engagement (Fredricks et al., 2004). SMA X mensosialisasikan peraturan sekolah beserta sanksinya secara lisan dan tertulis. Siswa yang kedapatan melanggar peraturan akan diberi hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Tujuan yang jelas dan konsisten menyangkut peraturan yang ditetapkan oleh SMA X dapat mengurangi resiko siswa LSP disengaged secara behavioral atau tidak berdampak buruk terhadap behavioral engagement. School level factors yang keenam, kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah menyangkut keikutsertaan siswa dalam mendukung usaha yang dikelola sekolah. Subfaktor ini memengaruhi behavioral, emotional dan cognitive engagement. Dalam acaraacara yang diadakan oleh sekolah, siswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di

11 dalamnya. Acara yang memungkinkan siswa turut serta di dalamnya antara lain berpartisipasi dalam persembahan pujian di kebaktian sekolah, perlombaan maupun bazaar. Classroom context terdiri atas teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, dan task characteristic. Classroom context yang pertama, teacher support menyangkut dukungan guru terhadap siswa dalam kegiatan belajar. Dukungan guru dapat memengaruhi behavioral, emotional dan cognitive engagement. Dukungan dan perhatian guru berkorelasi dengan berbagai aspek behavioral engagement, termasuk partisipasi yang lebih tinggi dalam pembelajaran dan perilaku mengerjakan tugas, perilaku mengganggu yang lebih rendah, dan kemungkinan yang lebih rendah untuk drop out (putus sekolah). Jika guru hanya berfokus pada akademik, tetapi menciptakan lingkungan sosial yang negatif, siswa akan mengalami emotional disengagement dan lebih khawatir dalam membuat kesalahan. Sebaliknya, jika guru hanya fokus pada dimensi sosial tetapi gagal untuk menghadiri ke dimensi intelektual, siswa secara cognitive akan cenderung kurang engaged dalam pembelajaran (Fredricks et al., 2004). Dukungan guru LSP di SMA X dapat berupa pujian dan bantuan kepada siswa. Guru memberikan pujian ketika siswa LSP mau berusaha dan mampu untuk menyelesaikan tugas atau mendapat prestasi memuaskan. Dukungan dan perhatian guru dapat meningkatkan behavioral engagement siswa LSP, termasuk partisipasi yang lebih tinggi dalam pembelajaran dan perilaku mengerjakan tugas, perilaku mengganggu yang lebih rendah, dan kemungkinan yang lebih rendah untuk drop out (putus sekolah). Jika guru hanya berfokus pada akademik, tetapi menciptakan lingkungan sosial yang negatif, siswa LSP akan mengalami emotional disengagement dan lebih khawatir dalam membuat kesalahan. Sebaliknya, jika guru hanya fokus pada dimensi sosial tetapi gagal untuk menghadiri ke dimensi intelektual, siswa LSP secara cognitive akan cenderung kurang engaged dalam pembelajaran.

12 Classroom context yang kedua, yaitu peers. Peers menyangkut relasi dengan temanteman sekelas. Penerimaan teman sebaya pada anak-anak dan remaja berhubungan dengan kepuasan di sekolah, yang merupakan komponen emotional engagement, dan perilaku sosial yang sesuai dan usaha akademik, yang merupakan aspek behavioral engagement (Berndt & Keefe, 1995; Ladd, 1990; Wentzel, 1994 dalam Fredricks et al., 2004). Cognitive engagement meningkat ketika anggota kelas aktif mendiskusikan ide-ide, mendebatkan sudut pandang, dan saling mengkritik tugas mereka. (Guthrie, McGough, Bennett, & Rice, 1996 dalam Fredricks et al., 2004) Relasi siswa LSP yang baik dengan teman-teman sekelasnya membuat siswa merasa diterima, sehingga menumbuhkan rasa senang dalam belajar di kelas. Hal ini menunjang siswa LSP engaged secara emotional. Relasi yang baik juga membuat siswa bekerja kelompok secara kooperatif serta dapat memberikan atau meminta bantuan kepada temanteman mereka. Hal ini menunjang siswa LSP engaged secara emotional. Sebaliknya, ketika siswa LSP memiliki relasi yang kurang baik dengan teman sekelasnya, siswa merasa tidak nyaman ketika belajar di kelas, siswa merasa tidak menyukai atau tidak disukai temantemannya. Hal ini mengakibatkan siswa disengaged secara emotional. Beberapa siswa dengan relasi yang kurang baik berperilaku mengganggu, seperti tidak menghormati guru, berkelahi dengan teman sebaya atau mengejek teman lainnya (Fredricks et al., 2004). Hal ini membuat siswa disengaged secara behavioral. Cognitive engagement siswa SLP dapat meningkat ketika anggota kelas LSP aktif berdiskusi dalam mengerjakan tugas kelompok serta berdebat dalam memberikan pandangan terhadap suatu masalah. Classroom context yang ketiga, classroom structure menyangkut aturan yang dibuat oleh guru. Fredricks, Blumenfeld, Friedel, dan Paris (2002 dalam Fredricks et al., 2004) menemukan bahwa persepsi siswa tentang aturan di kelas berkorelasi positif dengan behavioral, emotional, dan cognitive engagement. Aturan yang dibuat oleh guru memudahkan

13 guru dalam menangani kelas dan membuat siswa LSP patuh serta tidak melakukan tindakan yang mengganggu suasana kelas yang membuat siswa menjadi engaged secara behavioral. Ketika guru memberikan norma dan aturan dalam kelas yang jelas dan efisien bagi siswa LSP, pengaturan kelas baik dan harapan terhadap siswa jelas, dapat mengurangi masalah kedisiplinan, harapan yang jelas akan memengaruhi performa dan tujuan belajar siswa. Persepsi siswa LSP mengenai norma pembelajaran yang jelas di kelas menunjang siswa untuk engaged secara behavioral, emotional, dan cognitive. Classroom context yang keempat, autonomy support menyangkut kebebasan yang diberikan guru bagi siswa untuk menentukan pilihan dan berpendapat di kelas. Konteks yang mendukung kemandiran berpengaruh untuk dapat meningkatkan engagement (Connell, 1990 dalam Fredricks et al., 2004). Ruang kelas yang mendukung kemandirian dikarakteristikkan berdasarkan pilihan, pengambilan keputusan bersama, dan alasan untuk melakukan tugas sekolah atau berperilaku baik bukan karena nilai atau imbalan dan hukuman, melainkan motivasi diri sendiri (Connell, 1990; Deci & Ryan, 1985 dalam Fredricks et al., 2004). Siswa LSP memiliki kesempatan memilih kelas life skill secara mandiri sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini dapat membuat mereka mengerahkan usaha sebaik mungkin dalam mengerjakan tugas karena mereka menyukai tugas tersebut. Di samping itu, siswa LSP berkesempatan berdiskusi mengenai acara kelas apa yang ingin ditampilkan saat diadakan kegiatan di sekolah. Hal ini membuat siswa merasa dihargai dan dipercaya oleh guru. Hubungan yang positif ini membuat siswa menjadi engaged. Classroom context yang kelima, task characteristic menyangkut jenis tugas yang diberikan oleh guru. Tugas-tugas menantang terkait dengan behavioral, emotional, dan cognitive engagement yang engaged. (Blumenfeld, dalam Pers; Fredricks, 2002; Marks, 2000 dalam Fredricks et al., 2004). Ketika tipe tugas yang diberikan menuntut siswa mengerti dan memahami lebih mendalam, dapat membuat siswa mengasumsikan konsep, mengeksekusi

14 dan mengevaluasi tugas juga meningkatkan perilaku belajar yang lebih positif, daripada tugas yang hanya memerlukan menghafal dan mengingat kembali. Tugas yang sulit yang diberikan guru melatih siswa LSP berpikir dan mencari jalan keluar dalam menyelesaikannya. Hal ini menunjang siswa engaged secara cognitive. Ketika siswa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang cukup sulit, siswa akan merasa puas. Hal ini menunjang siswa engaged secara emotional. Tugas-tugas yang diberikan ini membuat mereka berpartisipasi dalam belajar, berdiskusi dengan teman ataupun bertanya kepada guru. Hal ini menunjang siswa engaged secara behavioral. Individual needs terdiri atas need for relatedness, need for autonomy dan need for competence. Need for relatedness menyangkut kebutuhan mereka untuk merasa diterima dan menjadi bagian dari sekolah. Furrer dan Skinner (2003) dalam Fredricks, et al (2004) menemukan bahwa relatedness dengan guru, orang tua, dan teman sebaya merupakan kontribusi yang unik terhadap emotional engagement, memiliki perasaan positif terhadap relasi yang dimilikinya dan juga memberikan peningkatan positif pada engagement siswa di sekolah. Need for autonomy menyangkut kebutuhan untuk mandiri, atau keinginan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendak pribadi, daripada melakukan sesuatu karena dikendalikan oleh orang lain (Ryan & Connell, 1989 dalam Fredricks et al., 2004). Siswa yang memiliki pilihan sendiri dan mampu mengambil keputusan atau mengeluarkan pendapat tanpa ada paksaan membuat mereka terlibat. Diasumsikan bahwa kebutuhan mandiri kemungkinan besar harus dipenuhi dalam konteks dimana siswa memiliki pilihan, pengambilan keputusan bersama, dan kebebasan relatif dari kontrol eksternal. Ketika siswa LSP memilih kelas life skill berdasarkan keputusan sendiri, SMA X membantu memenuhi need for autonomy siswa dan menunjang siswa untuk lebih engaged.

15 Need for competence menyangkut siswa percaya bahwa mereka dapat menentukan keberhasilan mereka (kontrol keyakinan), dan dapat memahami apa yang diperlukan untuk melakukannya dengan baik (kepercayaan strategi), dan berhasil (keyakinan kapasitas). Ketika need for competence siswa LSP terpenuhi, mereka akan merasa yakin akan kemampuannya sendiri dan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan atau diperbuat, sehingga membuat mereka menjadi engaged. Ketika kebutuhan individu untuk berkompetensi terpenuhi, mereka percaya bahwa mereka dapat menentukan keberhasilan mereka (kontrol keyakinan), dapat memahami apa yang diperlukan untuk melakukannya dengan baik (kepercayaan strategi), dan berhasil (keyakinan kapasitas) sehingga meningkatkan peran kognitif siswa dalam mencapainya. SMA X memfasilitasi need for competence siswa LSP dengan cara memberikan berbagai tugas, Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS). Selain itu, sebelum masuk kelas life skill, siswa LSP diseleksi terlebih dahulu sehingga ketika siswa diterima dalam kelas life skill, secara tidak langsung mereka dipercaya bahwa mereka mampu memelajari mata pelajaran tersebut.

16 Komponen School Engagement Siswa LSP SMA X di Bandung Behavioral Engagement Emotional Engagement Cognitive Engagement Engaged Disengaged Engaged Disengaged Engaged Disengaged Faktor yang memengaruhi : 1. School level factors a. Pilihan sukarela (voluntary choice) b. Partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah c. Tugas akademik yang mengembangkan siswa d. Ukuran sekolah e. Tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten f. Kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah 2. Classroom context a. Teacher support b. Peers c. Classroom structure d. Autonomy support e. Task characteristic 3. Individual needs a. Need for relatedness b. Need for autonomy c. Need for competence Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir 1.6 Asumsi 1. Kesediaan siswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah (school engagement) berperan penting dalam optimalisasi belajar siswa.

17 2. School engagement siswa LSP SMA X di Bandung terdiri atas komponen behavioral, emotional dan cognitive engagement. 3. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi school engagement siswa LSP SMA X di Bandung adalah school-level factors, classroom context dan individual needs.