INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perkembangan Hukum Laut Internasional

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hukum Laut Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1977

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1978 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK-PETUNJUK PENGARAHAN BAGI DELEGASI REPUBLIK INDONESIA KE KONFERENSI TINGKAT TINGGI ISLAM DI LAHORE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1985 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1969 TENTANG KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION DI MONTREUX 1965

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1972 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 10 TAHUN 1969 (10/1969) Tanggal: 1 AGUSTUS 1969 (JAKARTA)

PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1985 Tanggal 11 April 1985

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1957 TENTANG SUSUNAN KEMENTERIAN PERTAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PETUNJUK-PETUNJUK PENGARAHAN BAGI DELEGASI REPUBLIK INDONEESIA KE KOPERENSI KEPENDUDUKAN DUNIA DI BUKHAREST

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1957 TENTANG SUSUNAN KEMENTERIAN PERTAHANAN. Presiden Republik Indonesia,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang: PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA REPUBLIK INDONESIA MALAYSIA. PERJANJIAN PERSAHABATAN.

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

STRATEGI GEOPOLITIK DAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 1996 TENTANG PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

KEWARGANEGARAAN WAWASAN NUSANTARA : GEOPOLITIK-GEOSTRATEGI. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: 11Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

2017, No Perjanjian Perdagangan Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang dibuat secara tertulis untuk meningkatka

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2017 TENTANG TIM PERUNDING PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 c.bahwa...

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

DAFTAR PUSTAKA. Abdulgani, H. Roeslan, Ganyang Setiap Bentuk Neo-Kolonialisme yang Mengepung Republik Indonesia, dalam Indonesia, 1964-B

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNIVERSITAS INDONESIA POTENSI ANCAMAN DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) DALAM PERSPEKTIF KETAHANAN NASIONAL TESIS

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1975 TENTANG PENYEMPURNAAN SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah laut terbesar di

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

xii hlm / 14 x 21 cm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa berhubung dengan akan diselenggarakannya Sidang ke III Konperensi Hukum Laut di Geneva, Swiss, pada, tanggal 17 Maret hingga 10 Mei 1975, dipandang perlu untuk memberikan petunjuk-petunjuk pengarahan kepada Delegasi Pemerintah Republik Indonesia. Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. M E N G I N S T R U K S I K A N Kepada : Delegasi Pemerintah Republik Indonesia untuk Sidang ke III Konperensi Hukum Laut di Geneva, Swiss. Untuk : PERTAMA : Menggunakan petunjuk-petunjuk sebagaimana terlampir pada Instruksi Presiden ini sebagai landasan dan pedoman dalam menghadapi masalah masalah yang dibahas pada Sidang ke III Konperensi Hukum Laut di Geneva, Swiss, pada tanggal 17 Maret hingga 10 Mei 1975. KEDUA : Memberikan laporan kepada Presiden tentang perkembangan Konperensi selama berlangsungnya Konperensi tersebut. KETIGA : Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden. KEEMPAT : Instruksi Presiden ini berlaku selama Delegasi Pemerintah Republik Indonesia menghadiri Sidang ke III Konperensi Hukum Laut di Geneva, Swiss, pada tanggal 17 Maret hingga 10 Mei 1975. KELIMA : Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Di tetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 Maret 1975.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd S O E H A R T O JENDERAL TNI PETUNJUK PENGARAHAN UNTUK DELEGASI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA KE SIDANG KE III KONPERENSI HUKUM LAUT DI GENEVA, SWISS I. PENDAHULUAN 1. Sidang ke III Konperensi Hukum Laut yang diselenggarakan di Geneva, Swiss, adalah kelanjutan dari pada sidang-sidang Konperensi Hukum Laut sebelumnya dan dimaksudkan untuk menyelesaikan beberapa masalah Hukum Laut yang belum terselesaikan selama ini serta mengadakan penyesuaian pengaturan atas penggunaan/pemanfaatan laut berikut segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya, didasarnya ataupun yang ada didalam tanah dibawahnya, dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dibidang tehnologi dan kesadaran umat manusia. 2. Kenyataan dewasa ini menunjukkan, terutama sejak tercetusnya gagasan penyelenggaraan Konperensi, semakin kerasnya sikap, suara dan tuntutan negara-negara yang sedang berkembang yang menghendaki perobahan serta penyesuaian pengaturan dibidang Hukum Laut yang berlaku selama ini, yang bukan saja dianggap tidak lagi sesuai dengan rasa keadilan, tetapi lebih dari itu tidak cukup menjamin kepentingan-kepentingan mereka, khususnya terhadap negara-negara besar, yang pada umumnya adalah negara-negara yang sudah maju. 3. Sejalan dengan itu, telah semakin umum dianut bahwa laut, yaitu laut yang berada diluar yurisdiksi nasional, harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk semaksimal mungkin bagi kesejahteraan umat manusia, dan bahwa hasil-hasil yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan yang dikandungnya hendaknya dapat dimanfaatkan untuk membantu pembangunan negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. 4. Dengan memperhatikan hasil-hasil yang dicapai didalam sidang-sidang selama ini, khususnya dalam sidang ke II di Caracas, Venezuela, yang baru lalu, dan

perkembangan keadaan serta sikap beberapa negara terhadap kepentingan utama Indonesia setelah itu, Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk menyempurnakan pokok-pokok posisinya baik secara taktis ataupun strategis didalam masalah pengaturan Hukum Laut ini. II. UMUM 1. Sesuai dengan cita-cita luhur yang terkandung dalam Pancasila, Indonesla menginginkan terciptanya suatu sistim dan pengaturan Hukum Laut yang menuju dan mampu menunjang terwujudnya tata kehidupan Internasional yang sempurna, yang memenuhi rasa keadilan semua bangsa di dunia dan yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional, tanpa perkecualian atau perbedaan apapun. 2. Seiring dengan cita-cita di ataslah, sebagaimana halnya dengan sidang sidang Konperensi Hukum Laut sebelumnya, kepentingan pokok Indonesia adalah terwujudnya dan diterimanya prinsip-prinsip wawasan Nusantara, Indonesia sangat berkepentingan agar masyarakat Internasional menerima : a. Prinsip-prinsip Wawasan Nusantara. b. Posisi dan pandangan Indonesia mengenai berbagai masalah Hukum Laut lainnya seperti : (1). Pengaturan lalu-lintas melalui Selat. (2). Hak negara pantai atas kekayaan yang terkandung dalam landas kontinen. (3). Hak negara pantai atas "Economic Zone". (4). Wewenang atas perairan/laut yang berbatasan/terletak diluar laut wilayahnya, baik untuk keperluan pemeliharaan lingkungan laut maupun penelitian ilmiah. 3. Agar kepentingan pokok diatas dapat terwujud, perlu diusahakan kembali adanya kesatuan sikap diantara negara-negara kepulauan ("archipelago") sebagai bahan perundingan lebih lanjut dengan negara-negara maritim dan negara-negara besar lainnya, sehingga tercapai pengertian bersama mengenai prinsip-prinsip pokok "archipelago" yang apabila perlu menyisihkan terlebih dahulu hal-hal yang sifatnya lebih terperinci/ mendetail. 4. Didalam pengertian ini pula, apabila perlu dapat disetujui adanya klausula dimana kepentingan pihak ketiga, khususnya negara tetangga disekitar perairan nusantara ("archipelago waters") dapat diakomodasikan kemudian secara bilateral dan atau regional. Delegasi Pemerintah Republik Indonesia dapat tetap bersikap luwes ("flexible") terhadap posisi dan kepentingan negara-negara lain, sejauh hal itu tidak merugikan kepentingan Indonesia sendiri dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan norma-norma hukum yang layak. 5. Untuk keperluan diatas, Delegasi Pemerintah Republik Indonesia hendaknya

memperhatikan dan mempergunakan "Posisi Pokok Indonesia" hasil pembahasan rapat persiapan Delegasi Pemerintah RI dan Panitia Koordinasi wilayah Nasional dan pendirian-pendirian yang pernah dikemukakan dalam sidang-sidang Konperensi Hukum Laut sebelumnya, disamping hasil-hasil penjajagan dengan beberapa negara yang baru lalu serta hasil-hasil pertemuan Menteri-menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia dan Singapura mengenai pengaturan pelayaran di Selat Malaka yang diselenggarakan di Singapura baru-baru ini. Terhadap masalah-masalah lainnya, Delegasi Pemerintah Republik Indonesia dapat menggunakan hasil-hasil Lokakarya Hukum Laut di Bandung dan Cipari, selama hal itu tidak bertentangan dengan posisi-posisi pokok yang diberikan dalam Instruksi ini. III. KHUSUS 1. Dalam sidang ke III ini, Delegasi Pemerintah Indonesia hendaknya mengusahakan agar sidang dapat mendukung secara lebih kongkrit Wawasan Nusantara. Berkenaan dengan itu, sikap Indonesia didalam masalah Hukum Laut lainnya termasuk masalah selat, economic zone, "passage", perikanan dan lain-lainnya perlu senantiasa diusahakan agar sejauh mungkin dapat berfungsi sebagai unsur pendukung dalam memperjuangkan terwujudnya dan diterimanya Wawasan Nusantara. 2. Khusus didalam masalah selat, kiranya perlu mendapatkan perhatian Delegasi, karena masalah ini merupakan "kunci" bagi pengakuan negara-negara maritim besar terutama Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap Wawasan Nusantara. Menghadapi masalah ini, apabila dirasakan perlu dapat dipertimbangkan regime passage yang lebih liberal daripada innocent passage yang biasa, selama regime tersebut tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia yang pokok sifatnya. Karena itu apabila perlu Indonesia dapat menerima suatu regime "strait passage" yang isinya ditetapkan bersama-sama dalam/oleh Konperensi. Dalam hubungan ini perlu ditempuh taktik "slkap tidak menonjol"( low profile ). 3. Tanpa mengorbankan kepentingan nasional, Delegasi Pemerintah Republik Indonesia hendaknya dapat mengusahakan secara maksimal : a. Kesatuan sikap negara-negara archipelago yang tetap ingin berstatus sebagai archipelagic states. b. Keserasian sikap dan akomodasi kepentingan dengan negara-negara tetangga. c. Akomodasi kepentingan dengan negara-negara maritim besar dan, d. Meningkatkan kerjasama dengan negara-negara Kelompok 77, sehingga simpati dan dukungan mereka terhadap konsepsi "archipelago" pada umumnya dan Wawasan Nusantara pada khususnya dapat dipertahankan. 4. Untuk itu, Delegasi Pemerintah Republik Indonesia hendaknya :

a. Tetap mengadakan kerjasama seerat mungkin dan saling pengertian sebaik-baiknya dengan negara-negara archipelago, negara-negara ASEAN dan negara-negara yang tergabung dalam Kelompok 77 serta sejauh mungkin menghindari pertentangan-pertentangan terbuka. b. Mencari akomodasi dengan negara-negara Economic zone, patrimonial sea dan landas kontinen. c. Mengadakan pendekatan-pendekatan khusus kepada negara-negara "Land-locked" dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung, untuk menarik simpati serta dukungan mereka terhadap Wawasan Nusantara. d. Meningkatkan secara intensive dialoog dengan negara-negara maritim besar, termasuk Jepang. 5. Didalam menliai pertimbangan kekuatan yang simpai kini terlihat dalam sidang, Delegasi Pemerintah Republik Indonesia agar bersikap sbb : a. Dalam pertentangan antara pendukung-pendukung Economic zone (termasuk soal penelitian ilmiah dan pemeliharaan lingkungan laut ) dengan negara-negara maritim, Delegasi agar lebih mendekati negara-negara Economic zone. b. Dalam pertentangan antara negara-negara yang sedang berkembang dengan negara-negara yang telah maju dalam soal International Seabed Authority, Delegasi agar lebih mendekati negara - negara yang sedang berkembang. c. Dalam pertentangan antara negara-negara Selat dan Negara-negara super-powers dalam soal selat, Delegasi agar mengambil sikap "sikap tidak menonjol" (low profile) dalam hal terjadinya perkembangan yang menguntungkan perjuangan Wawasan Nusantara sikap ini dapat ditinggalkan menurut cara yang ditetapkan untuk keperluan itu. d. Dalam pertentangan antara negara-negara pantai dengan negara-negara land-locked dan "Negara-Negara yang letak geografinya tidak menguntungkan" (Geographically Disadvantege State) tentang hak access ke dan dari laut, Delegasi supaya memberikan simpati kepada negaranegara land-locked dan Negara-negara yang letak geografisnya tidak menguntungkan (Geographically Disadvantage State). Sebaliknya dalam pertentangan soal resources, Delegasi agar lebih mendekati negara-negara pantai. e. Dalam pertentangan antara konsepsi Landas Kontinen dan konsepsi Exclusive Economic Zone tentang soal batas, Delegasi agar mempertahankan konsepsi Landas Kontinen tetapi bersikap "sikap tidak menonjol" (low profile) mengenai batasnya (untuk tidak menyulitkan hubungan dengan negara-negara Exclusive Economic Zone). IV. HAL - HAL LAIN Terhadap masalah-masalah lain yang mungkin timbul dan dihadapi Delegasi selama persidangan berlangsung, diserahkan kepada kebijaksanaan Ketua

Delegasi untuk memutuskannya. Jakarta 19 Maret 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd S O E H A R T O JENDERAL TNI