BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

BAB 1. PERLAKUAN PANAS

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE

II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

PERANCANGAN ALAT UJI IMPAK METODE CHARPY KAPASITAS 100 JOULE. Yopi Handoyo 1)

Perlakuan panas (Heat Treatment)

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom)

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

Uji impak. Proses penyerapan energi ini akan diubah menjadi berbagai respon material, yaitu. Deformasi plastis Efek Hysteresis Efek Inersia

ANALISIS SIMULASI UJI IMPAK BAJA KARBON SEDANG (AISI 1045) dan BAJA KARBON TINGGI (AISI D2) HASIL PERLAKUAN PANAS. R. Bagus Suryasa Majanasastra 1)

BAB I PENDAHULUAN. Suhu mempengaruhi sifat mekanik material, yaitu ketangguhan material

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

PROSES PENGERASAN (HARDENNING)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Logam Ferro

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C)

MODUL PRAKTIKUM BAHAN TEKNIK 2

Di susun oleh: Rusdi Ainul Yakin : Tedy Haryadi : DIAGRAM FASA

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena

Audio/Video. Metode Evaluasi dan Penilaian. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam.skor:0-100(pan)

PRAKTIKUM UJI KETANGGUHAN BAHAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen,

PERUBAHAN SIFAT MEKANIK BAJA KONSTRUKSI JIS G4051 S17C SETELAH DILAKUKAN HARDENING DAN TEMPERING

PERUBAHAN KETANGGUHAN BAHAN ST.40 YANG TELAH MENGALAMI PROSES DOUBLE HARDENING DENGAN CARBURIZING

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN HEAT TREATMENT

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA

II. LANDASAN TEORI. Dalam penggunaannya, logam yang digunakan akan mengalami gaya luar atau

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *)

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO

PROSES NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

ANALISIS STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK BAJA MANGAN AUSTENITIK HASIL PROSES PERLAKUAN PANAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon :

LAPORAN PRAKTIKUM PRAKTIKUM PENGUJIAN MATERIAL MODUL 3 - PENGUJIAN IMPAK DELIANA RAMDANIAWATI KELOMPOK: 7

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM

yang tinggi, dengan pencelupan sedang dan di bagian tengah baja dapat dicapai kekerasan yang tinggi meskipun laju pendinginan lebih lambat.

PRAKTIKUM METALURGI FISIK LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan

UNIVERSITAS MERCU BUANA

PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PADA PROSES HARDENING TERHADAP KEKERASAN, STRUKTUR MICRO BAJA AISI DENGAN MEDIA PENDINGIN Oleh: DEDI SUPRIANTO

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

ANALISA QUENCHING PADA BAJA KARBON RENDAH DENGAN MEDIA SOLAR

UJI KEKERASAN BAJA KONSTRUKSI ST-42 PADA PROSES HEAT TREATMENT

KEKUATAN IMPAK BAJA ST 60 DI BAWAH TEMPERATUR EKSTRIM

09: DIAGRAM TTT DAN CCT

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL

Audio/Video. Metode Evaluasi dan Penilaian. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam.skor: 0-100(PAN)

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

PENGARUH MEDIA PENDINGIN MINYAK PELUMAS SAE 40 PADA PROSES QUENCHING DAN TEMPERING TERHADAP KETANGGUHAN BAJA KARBON RENDAH

TUGAS METALURGI II PENGUJIAN METALOGRAFI BAJA 1020

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO

MODUL 9 PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

Simposium Nasional RAPI XII FT UMS ISSN

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA AAR-M201 GRADE E

Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No.

ANNEALLING. 2. Langkah Kerja Proses Annealing. 2.1 Proses Annealing. Proses annealing adalah sebagai berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bagian kedua dalam tulisan ini yaitu tinjauan pustaka. Pada bab ini akan

PERBEDAAN STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN, DAN KETANGGUHAN BAJA HQ 705 BILA DIQUENCH DAN DITEMPER PADA MEDIA ES, AIR DAN OLI

PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING

03/01/1438 KLASIFIKASI DAN KEGUNAAN BAJA KLASIFIKASI BAJA 1) BAJA PEGAS. Baja yang mempunyai kekerasan tinggi sebagai sifat utamanya

PROSES THERMAL LOGAM

BAB III METODE PENELITIAN. oleh pengelola program studi sampai dinyatakan selesai yang direncanakan

BAB IV HASIL PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Baja adalah logam paduan, logam besi sebagai unsur dasar dengan karbon sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PEMBUATAN BESI COR MAMPU TEMPA UNTUK PRODUK SAMBUNGAN PIPA

FERIT, PERLIT, SEMENTIT, MARTENSIT, DAN BAINIT

Impact Toughness Test. Sigit Ngalambang

Melalui sedikit kelebihan gas dalam api dapat dicegah terjadinya suatu penyerapan arang (jika memang dikehendaki) dicapai sedikit penambahan

BAB VI L O G A M 6.1. PRODUKSI LOGAM

Kekuatan tarik komposisi paduan Fe-C eutectoid dapat bervariasi antara MPa tergantung pada proses perlakuan panas yang diterapkan.

TINGKAT KETELITIAN PADA REDESIGN ALAT UJI IMPAK TERHADAP SKALA LABORATORIUM METALURGI FISIK Agus Suyatno 1), Suriansyah S 2) ABSTRAK

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Alat Pengujian Impak Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal perang dan tanker. Diantara fenomena patahan tersebut ada yang patah sebagian dan ada yang benar benar patah menjadi dua bagian, Fenomena ini terjadi terutama pada musim dingin, Ketika kapal di laut bebas ataupun sedang berlabuh. Contoh yang sangat terkenal tentang fenomena patah getas adalah teragedi Kapal Titanik yang melintasi samudra Atlantik. Fenomena yang terjadi terhadap kapal tersebut yang berada pada suhu rendah di tengah laut, Sehingga menyebabkan materialnya menjadi getas dan mudah patah. Dimana laut memiliki banyak beban ( tekanan ) dari arah manapun. Kemudian kapal tersebut menabrak gunung es ( menerima beban impak ), Sehingga tegangan yang sebelumnya terkonsentrasi disebabkan pembebanan, Menyebabkan kapal tersebut terbelah dua. Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat ( rapid loading ). Dalam pengujian mekanik terdapat perbedaan dalam pemberian jenis beban kepada material. Uji tarik, uji tekan dan uji puntir adalah pengujian yang menggunakan beban statik. Sedangkan uji impak menggunakan jenis pembebanan dinamik. Pada pembebanan impak, Terjadi proses penyerapan energi yang besar dari energi kinetik suatu beban ke spesimen. Proses penyerapan energi ini akan diubah dalam berbagai respon material seperti deformasi plastis, Efek Histerisis, Gesekan dan Efek inersia.

Pada masa kini pengujian impak sudah lebih diperhatikan, Karena material yang digunakan sebagian besar adalah material logam (besi). Kekutan tarik bahan memiliki standarisasi sedangkan kekuatan impak harus terlebih dahulu di uji untuk mengetahui besar kekuatan impaknya. Sehingga material yang diproduksi disamping memiliki kekutan tarik yang baik juga kekuatan impak yang baik pula. Material jenis ini akan memiliki ketangguhan pada saat dipergunakan. Material yang baik sangat di inginkan oleh para produsen dalam menjaga kualitas hasil produknya di pasaran. Produsen harus memperhatikan letak dan fungsi dari material yang digunakan. Apakah ada pengaruh temperatur, beban dinamik, gesekan dan lainnya. Sehingga dapat diketahui material yang tepat, dalam hal ini kekuatan impaknya. Untuk itu pada proses produksinya dapat menentukan komposisi material, Perlakuan panas atau proses yang lain untuk mendapatkan material dengan kekuatan impak yang baik. 2.2 Jenis Jenis Metode Uji Impak Secara Umum Metode Pengujian Impak Terdiri Dari Dua Jenis, yaitu: 1. Metode Charpy merupakan pengujian impak dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan posisi horizontal / mendatar dan arah pembebanan berlawanan dengan arah takikan. 2. Metode Izod merupakan pengujian impak dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan posisi dan arah pembebanan searah dengan arah takikan. Pada umumnya metode Charpy banyak digunakan di Amerika sedangkan metode Izod digukan di Eropa.

a. b. a. Metode Charpy, b. Metode Izod. Gambar 2.1 Metode Charpy Dan Metode Izod Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode charpy. Pada metode charpy, Spesimen uji diletakkan mendatar dengan ditahan di bagian ujung ujungnya oleh penahan, Kemudian pendulum ditarik ke atas sesuai posisi yang diinginkan. Setelah itu pendulum dilepaskan dan mengenai tepat pada bagian belakang takikan atau sejajar dengan takikan. Pada saat pendulum dinaikkan sampai pada ketinggian h 1, kemudian dari posisi ini pendulum dilepaskan dan berayun bebas memukul spesimen hingga patah dan pendulum masih terus berayun sampai ketinggian h 2, maka energi yang dibutuhkan untuk mematahkan spesimen dapat dihitung dengan rumus: E = P ( h 1 h 2 ) sumber ( Sears, Zemansky, 1997 )

a b¹ Gambar 2.2. Bahan Uji Specimen ( Standar ASTM E23 Manual Book ASTM, 1996 ) Dapat juga dinyatakan dengan sudut yaitu: E = P x D ( cosβ cosα ) L ( Sears, Zemansky, 1997 ) Dimana : E = Energi yang dibutuhkan untuk mematahkan spesimen ( kg.m ). P = Berat pendulum ( kg ). D = Jarak sumbu pendulum dengan pusat gaya berat pendulum (m). Cos α = Sudut pendulum sebelum dijatukan ( max =144 0 ) Cos β = Sudut pendulum setelah mematahkan spesimen. a = luas penampang bahan uji dari sudut takikan b = luas penampang bahan uji tanpa sudut takikan ( normal ) A = luas a x b b¹ = luas bagian tengah patahan bahan uji AK = angka Charpy ( energi setelah bahan uji dipukul ) L = Energi yang hilang

Energi yang hilang ( lose energy = L ) adalah disebabkan oleh gesekan pendulum dengan udara dan juga adanya gesekan batang pendulum dengan bantalan ( bearing ). Energi yang hilang dapat dihitung dengan cara mengangkat pendulum sampai tinggi maksimum dan dilepaskan ( tanpa ada spesimen ), maka energi yang hilang adalah: L = P x D ( cosβ cosα ) Gambar 2.3. Skematik Penggunaan Alat Uji Impak ( Charpy ) Apabila luas permukaan patahan spesimen adalah A cm 2, Maka kekuatan impak ( Impact streangth ) Atau disebut juga angka charpy dapat dicari dengan rumus: a k = E / A dimana : a k = Kekuatan impak ( kgm.cm -2 ). A = Luas permukaan patahan spesimen ( cm 2 ).

Perpatahan Impak Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Perpatahan berserat ( fibrous fracture ), yang melibatkan mekanisme pergeseran bidang bidang kristal di dalam bahan logam yang ulet ( ductile ) dan ditandai dengan pemukaan patahan yang berserat yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. 2. Perpataan granular / kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan pada butir butir dari bahan logam yang rapuh ( brittle ) serta ditandai dengan permukaan patahan yang datar dan mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi sehingga kelihatan mengkilap. 3. Perpatahan campuran ( berserat dan granular ) merupakan kombinasi dari dua jenis perpatahan di atas. 2.3. Ketangguhan Bahan Ketangguhan suatu bahan adalah kemampuan suatu bahan /material untuk menyerap bahan energi pada daerah palstis atau ketahanan bahan teradap beban tumbukan atau kejutan. Penyebab ketangguhan bahan adalah pencampuran antara satu bahan dengan bahan lainnya, misalnya baja dicampur karbon akan lebih tangguh dibandingkan dengan baja murni. Adalah: Adapun Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Ketangguhan Bahan 1. Bentuk Takikan Bentuk takikan sangat berpengaruh pada ketangguhan suatu material, karena adanya perbedaan disrtibusi dan konsentasi tegangan pada masing

masing takikan tersebut yang mengakibatkan energi impak yang dimilikinya berbeda beda pula. Ada beberapa jenis takikan berdasarkan kategori masing masing. Berikut ini adalah urutan energi impak yang dimiliki oleh suatu bahan berdasarkan bentuk takikannya : Takkikan segitiga Memiliki kekuatan impak yang paling kecil, sehingga paling mudah patah. Hal ini disebabkan karena disrtibusi tegangan hanya terkonsentarasi pada satu titik saja, yaitu pada ujung takikan. Takikan segi empat Memiliki kekuatan impak lebih besar dibandingkan pada takikan segitiga, karena tegangan terdistribusi pada dua titik sudutnya. Takikan setengah lingkaran Memiliki kekutan impak yang terbesar, karena distribusi tegangan tersebar pada setiap sisinya sehingga tidak mudah p Gambar 2.4. Jenis Jenis Takikan. 2. Beban Semakin besar beban yang diberikan, Maka energi impak semakin kecil yang dibutukan untuk mematahkan spesimen dan demikian pula sebaliknya. Hal ini

diakibatkan karena suatu material akan lebih mudah patah apabila dibebani oleh gaya yang sangat besar. 3. Temperatur Semakin tinggi temperatur dari spesimen, Maka ketangguhan semakin tinggi dalam menerima beban impak, Demikian sebaliknya dengan temperatur yang lebih rendah. Namun temperatur memiliki batas tertentu dimana ketangguhan akan berkurang dengan sendirinya. 4. Efek Komposisi Ukuran Butir Ukuran butir berpengaruh pada kerapuhan, Sesuai dengan ukuran besarnya. Semakin halus ukuran butir maka bahan tersebut akan semakin rapuh sedangkan ukurannya besar maka bahan akan ulet. 2.4. Pengetahuan Umum Logam Besi Pada umumnya besi yang ada dipasaran adalah baja yang merupakan suatu campuran dari besi (Fe) dan karbon (C), Dimana unsur karbon (C) menjadi dasar. Disamping unsur Fe Dan C, Baja juga mengandung unsur campuran lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi. Baja karbon adalah baja yang mengandung karbon antara 0,1% - 1,7%. Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, Baja digolongkan menjadi tiga tingkatan : 1. Baja Karbon Rendah Yaitu baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon rendah dalam perdagangan dibuat dalam bentuk pelat, profil, batangan untuk keperluan tempa, pekerjaan mesin, dan lain-lain.

2. Baja Karbon Sedang Baja ini mengandung karbon antara 0,30% 0,60 %. Didalam perdagangan biasanya dipakai sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol, roda gigi, ragum, pegas dan lain-lain. 3. Baja Karbon Tinggi Baja karbon tinggi ialah baja yang mengandung kerbon antara 0,6% 1,5%. Baja ini biasanya digunakan untuk keperluan alat-alat konstruksi yang berhubungan dengan panas yang tinggi atau dalam penggunaannya akan menerima atau mengalami panas, misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir, bor, bantalan peluru, dan sebagainya (Amanto,1999). Beberapa Jenis Baja Karbon Tinggi: 1) Baja Konstruksi Umum Baja konstruksi umumnya terdiri atas baja karbon dan baja kualitas tinggi tanpa paduan yang dipertimbangkan atas tegangan tarik yang tinggi. Baja jenis ini banyak digunakan dalam kontruksi bangunan, gedung, jalan, poros mesin dan roda gigi. 2) Baja Otomat Baja otomat terdiri dari baja paduan tinggi, baja ini mengandung 0,07-0,65% Karbon, 0,18-0,% Belerang, 0,6-1,5% Mangaan, 0,05-0,4% Silisium. 3) Baja Case Hardening Baja jenis ini diperoleh dengan cara menaruh baja karbon rendah dalam bahan yang kaya akan kandungan karbon dan dipanaskan bersama dalam oven sampai

suhu kritis atas, baja case hardening tetap liat pada bagian inti namun keras pada bagian permukaan. Berdasarkan hasil pemaduan antara besi dengan karbon, karbon berada di dalam besi dapat berbentuk larutan atau berkombinasi membentuk karbida besi (Fe3C). Diagaram fasa menggambarkan diagram fasa besi karbon untuk seluruh rentang paduan besi dengan karbon yang mencakup baja dan besi cor. Kadar karbon pada diagram tersebut bervariasi dari nol sampai 2%. Seperti pada tabel atau diagram fasa besi karbon. Gambar 2.5 Diagram Fasa Fe-C ( Rochim Suratman,1994:93 ) Karbon adalah unsur penstabil austenit. Larutan maksimum dari karbon pada austenit adalah sekitar 1,7% (E) pada 11400C. sedangkan larutan karbon pada ferrit naik dari 0% pada 9100C menjadi 0,025% pada 7230C. Pada pendinginan lanjut, larutan karbon pada ferrit menurun menjadi 0,08% pada

temperatur kamar. Pada saat presentase karbon mencapai 0,8% pada temperatur 7230C, titik ini disaebut titik autectoid. Baja untuk kadar karbon 0,8% disebut baja autectoid dan sedangkan baja dengan kadar karbon lebih dari 0,8% disebut baja hypereutectoid. Baja autectoid didinginkan dari temperatur austenitisasinya, maka pada saat titik-titik sepanjang garis tersebut akan bertransformasi menjadi satu campuran autectoid yang disebut pearlit. Jika baja hypoeutectoid didinginkan dari temperatur austenitisasi, pada saat garis GS, ferrit akan terbentuk disepanjang batas butir austenit. Jika baja hypereutectoid didinginkan dari temperature austenitisasinya akan terjadi pemisahan cementit pada batas butir austenit disepanjang garis SE. Besi merupakan logam allotropik, artinya besi akan berada pada lebih dari bentuk kristal tergantung dari temperaturnya. Pada suhu kurang dari 912 0 C (1674 0 F) berupa besi alfa (a). Besi gamma (g) pada suhu antara 912-1394 0 C (1674-2541 0 F). Besi delta (d) berada pada suhu 1394 o C 1538 o C (2541 o F-1538 o F). Penambahan unsur karbon ke besi memberikan perubahan yang besar pada fasafasa yang ditunjukan oleh diagram keseimbangan besi karbon. Selain Karbon pada baja terkandung juga unsur-unsur lain seperti Si, Mn dan unsur pengotor lain seperti P, S dan sebagainya. Unsur-unsur ini tidak memberikan pengaruh utama kepada diagram fasa sehingga diagram tersebut dapat digunakan tanpa menghiraukan adanya unsur-unsur tersebut. (Surdia dan Saito, 1999: 69). Sifat allotropik dari besi memungkinkan adanya variasi struktur mikro pada berbagai jenis baja. Pengertian allotropik adalah adanya transformasi dari satu bentuk susunan atom (sel satuan) ke bentuk susunan atom yang lain. Besi

sangat stabil pada temperatur di bawah 910 o C dan disebut sebagai besi alfa (Fe α). Pada temperatur antara 910 o C dan 1392 o C, besi dikenal dengan besi gamma (Fe γ) dan pada temperatur di atas 1392 o C disebut sebagai besi delta ( Fe δ ). Gambar 2.6 Diagram Transformasi Besi (Rochim Suratman 1994:92) 2.4.1 Keseimbangan Besi Karbon ( Fe-C ) Menurut George Krauss (1995: 1-4), Diagram keseimbangan besi karbon dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan perlakuan panas. Penggunaan diagram ini relatif terbatas karena beberapa metode perlakuan panas digunakan untuk menghasilkan struktur yang non-equilibrium. Akan tetapi pengetahuan mengenai perubahan fasa pada kondisi seimbang memberikan ilmu pengetahuan

dasar untuk melakukan perlakuan panas. Bagian diagram Fe-C yang mengandung karbon dibawah 2 % menjadi perhatian utama untuk perlakuan panas baja. Metode perlakuan panas baja didasarkan pada perubahan fasa austenit pada sistem Fe-C. Transformasi austenit selama perlakuan panas ke fasa lain akan menentukan struktur mikro dan sifat yang didapatkan pada baja. 2.4.2 Pengerasan ( Hardening ) Hardening atau pengerasan dan disebut juga penyepuhan merupakan salah satu proses perlakuan panas yang sangat penting dalam produksi komponenkomponen mesin. Untuk mendapatkan struktur baja yang halus, keuletan, kekerasan yang diinginkan, dapat diperoleh melalui proses ini. Menurut Kenneth Budinski (1999: 167), pengerasan baja membutuhkan perubahan struktur kristal dari body-centered cubic (BCC) pada suhu ruangan ke struktur kristal face-centered cubic (FCC). Dari diagram keseimbangan besi karbon dapat diketahui besarnya suhu pemanasan logam yang mengandung karbon untuk mendapatkan struktur FCC. Logam tersebut harus dipanaskan dengan sempurna sampai daerah austenit. Gambar 2.1 menunjukkan daerah temperatur pengerasan untuk baja karbon. Pengerasan meliputi pekerjaan pendinginan yang menyebabkan karbon terbentuk dalam struktur kristal. Pendinginan dilakukan dengan mengeluarkan dengan cepat logam dari dapur pemanas (setelah direndam selama waktu yang cukup untuk mendapatkan temperatur yang dibutuhkan) dan mencelupkan kedalam media pendingin air atau oli.

2.4.3 Pelunakan (Annealing) Selain untuk tujuan pengerasan perlakuan panas dapat dilakukan untuk tujuan pelunakan. Hal ini diperlukan untuk perlakuan baja-baja yang keras, Sehingga dapat dikerjakan dengan mesin. Disamping itu juga pelunakan di lakukan untuk tujuan meningkatkan keuletan dan mengurangi tegangan dalam yang menyebabkan material berperilaku getas. Secara umum proses pelunakan dapat berupa proses full annealing dan spheroidizing. 1) Full Annealing. Full annealing merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk melunakkan logam yang keras sehingga mampu dikerjakan dengan mesin. Proses ini banyak dilakukan pada baja medium. Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan material baja pada temperatur 15 hingga 40 0 C di atas temparatur A 3 atau A 1 tergantung kadar karbonnya. Pada temperatur tersebut pemanasan ditahan untuk beberapa lama hingga mencapai kesetimbangan. Selanjutnya material didinginkan dalam dapur pemanas secara perlahan-lahan hingga mencapai temperatur kamar. Struktur mikro hasil full annealing berupa pearlit kasar yang relatif lunak dan ulet. 2) Spheroidizing. Baja karbon medium dan tinggi memiliki kekerasan yang tinggi dan sulit untuk dikerjakan dengan mesin dan dideformasi. Untuk melunakkan baja ini dilakukan proses spheroidizing. Proses spheroidizing dilakukan dengan cara memanaskan baja pada temperatur sedikit dibawah temperatur eutectoid, yaitu sekitar 700 0 C. Pada temperatur tersebut ditahan selama 15 hingga 25 jam.

Kemudian didinginkan secara perlahan-lahan di dalam tungku pemanas hingga mencapai temperatur kamar. 2.4.4. Proses Queching. Perlakuan panas yang memiliki siklus pemanasan sampai temperatur austenit, penahanan selama waktu tertentu pada temperatur austenit, dan kemudian didinginkan dengan cepat, Queching. Salah satu ciri dari perlakuan ini adalah produk menjadi sangat keras, Karenanya sering disebut sebagai proses pengerasan, hardening. Perlakukan panas akan menghasilkan produk yang optimal, jika selama transformasi seluruh fasa austenit dapat dikonversi ke fasa martensit. Siklus perlakuan panas Quench dan Tempering Untuk Baja dapat dilihat pada gambar 2.7. Gambar 2.7. Siklus Perlakuan Panas Pada Baja Tahap pertama adalah pemanasan sampai temperatur austenite, akan terjadi perubahan fasa dari fasa ferrit dan pearlite menjadi fasa austenite ferit + perlit > austenit

Tahap kedua adalah menahan temperatur beberapa saat untuk memberikan kesempatan fasa logam bertransformasi seluruhnya. Pada tahap ini akan terjadi pertumbuhan butir austenit. Target tahapan ini adalah untuk homogenisasi temperatur dan fasa, batasan waktu yang digunakan adalah homogennya fasa dan ukuran butir austenit. Tahap ketiga adalah mendinginkan sesegera mungkin dari temperatur austenit ke temperatur ruang. Terjadi transfomasi fasa dari fasa austenite menjadi fasa martensite. Sifat akhir produk perlakuan ini sangat ditentukan oleh siklus selama perlakuannya. Ketiga tahapan akan sangat menentukan apakah logam akan memiliki sifat-sifat yang sudah dirancang atau tidak. 2.4.5 Pengaruh Temperatur Terhadap Besar Butir Austenite. Pengaruh dari temperatur terhadap besar butir austenit dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8. Tampak bahwa pada temperatur yang lebih tinggi butir austenit lebih besar. Pada temperatur yang lebih tinggi, tumbuh butir-butir yang relatif besar dari butir-butir tetangganya. Ukuran butit austenit menjadi tidak homogen. Perbedaan struktur mikro ini tentunya dapat memicu perbedaan sifat akhir produk. Yang pada akhirnya, produk menjadi tidak sesuai dengan desain dan persyaratan aplikasinya.

Gambar 2.8. Besar Butir Fasa Austenite 2.4.6 Pengaruh Temperatur Terhadap Kekerasaan. Temperatur pemanasan, austenisasi juga berpengaruh terhadap nilai kekerasan yang dimiliki oleh produk hasil proses quenching, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9.dibawah ini Baja dengan kandungan karbon 0,3 % yang dipanaskan pada temperatur yang lebih tinggi, maka setelah quenching akan memiliki kekerasan yang lebih tinggi. Gambar 2.9. Pengaruh Temperatur Austenisasi Terhadap Kekerasan Baja Dengan Karbon 0.3 % Setelah Quenching

Pada temperatur austenisasi yang lebih tinggi butir-butir austenit akan tumbuh membesar. Pada butiran austenit yang lebih besar, luas batas butir atau jumlah titik sebagai tempat pengintian untuk terjadinya dekomposisi fasa austenit menjadi pearlit semakin rendah. Dekomposisi dan pertumbuhan perlit akan menjadi terhambat, hal ini akan memudahkan transformasi austenit menjadi martensit, sehingga dengan membesarnya butiran austenit, maka baja akan mempunyai kemampukerasan yang lebih tinggi. Artinya austenite akan lebih mudah terdekomposisi menjadi martenisit pada austenite yang berukuran besar. Struktur Martensit yang terbentuk dari temperatur pemanasan yang lebih tinggi akan memilki kerapatan dislokasi yang tinggi. Sehingga baja yang mengalami pendinginan yang cepat dengan temperatur pemanasan yang lebih tinggi akan memilikii fasa martensit dengan kekerasan yang tinggi pula. 2.4.7 Pengaruh Temperatur Terhadap Struktur Mikro Martensit. Pada Gambar 2.10. Dapat dilihat pengaruh temperatur austenisasi terhadap struktur martensit yang terbentuk pada baja dengan karbon 0,3 persen. Gambar 2.10. Struktur Martensite Baja Setelah Quenching Dengan Temperatur Austenisasi Yang Berbeda