1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat Lampung. Letak kawasan yang memiliki wilayah seluas 22.244 hektar tersebut dikelilingi oleh wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung. Karakteristik bentang alam yang demikian spesifik menjadikan wilayah tersebut sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Di sisi lain, karakteristik demografi di sekitar kawasan adalah penduduk dari 34 desa sehingga tidak dapat dihindari bahwa pengelolaan ekosistem di dalam kawasan turut dipengaruhi olehnya. Setidaknya terdapat lebih kurang 5000 kk di luar dan di dalam kawasan yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem Tahura Wan Abdul Rachman. Belum lagi adanya aktivitas perkotaan dengan berbagai macam bentuk sarana maupun prasarana seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), transportasi, infrastruktur irigasi dan lain sebagainya, secara langsung maupun tidak langsung turut mempengaruhi bentuk perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman telah mengalami kerusakan sebesar 72% dan hanya 28% yang diperkirakan masih utuh berupa hutan alam atau primer (Dishut Lampung, 2004). Dari 72% areal di kawasan yang rusak tersebut telah terkonversi menjadi pemukiman (talang-talang), perkebunan coklat, kopi, dan tanaman hortikultura lainnya. Bahkan ada yang dibiarkan kosong dan berupa padang rumput. Para penduduk melakukan kegiatan-kegiatan perambahan dan pengrusakan hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ditambah lagi dengan tidak efektifnya pola pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah yang disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana dan juga sumberdaya manusia, sehingga laju kerusakan semakin bertambah. Sebelum menjadi kawasan konservasi, Tahura Wan Abdul Rachman merupakan kawasan hutan lindung dengan nama Gunung Betung Register 19
2 Berdasarkan Besluit Resident Lampung Distrik No. 307 tanggal 31 Maret 1941. Walaupun dengan status kawasan lindung, hutan tersebut mengalami kerusakankerusakan yang sangat parah yang dilakukan oleh para penduduk. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/KPTS-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993, kawasan lindung tersebut berubah status menjadi kawasan konservasi yang berupa Taman Hutan Raya (Tahura) dengan nama Wan Abdul Rachman atau disingkat dengan WAR. Hal ini dilakukan untuk menekan laju kerusakan yang ditimbulkan. Adapun kriteria penunjukkan dan penetapan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai kawasan taman hutan raya adalah karena (UU N0. 5/1990 pasal 1): 1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; 2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; dan 3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli. Arah dan tujuan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai kawasan konservasi dimaksudkan untuk melestarikan kawasan hutan alam yang memiliki koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli (endemik) atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Dishut Lampung, 2004). Walaupun telah terjadi perubahan status kawasan menjadi kawasan konservasi, diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat setempat serta kegiatan pembangunan di sekitar kawasan, memunculkan berbagai permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam Tahura Wan Abdul Rachman menyangkut aspek pemanfaatan sumberdaya hutan, sumberdaya lahan, daerah aliran sungai, dan sebagian kecil sumberdaya pesisir. Adapun kerusakan yang timbul adalah diakibatkan adanya kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan dengan cara melakukan perambahan dan konversi lahan menjadi areal pemukiman dan budidaya.
3 Dengan sistem pengelolaan yang tidak serius dan apa adanya yang dilakukan oleh pemerintah setempat menyebabkan laju kerusakan kawasan tersebut semakin parah dan tak terkendali, dimana berdasarkan hasil pengamatan citra terlihat bahwa sebagaian besar kawasan hutan primer di kawasan tersebut telah rusak, dan berganti menjadi areal perkebunan dan permukiman bahkan menjadi areal rumput yang kosong dan tidak ditanami apa-apa. Sebagai kawasan konservasi, hendaknya pengelolaan yang dilakukan harus berbasis ekologi, ekonomi dan sosial-budaya (ekososiosistem). Sehingga dengan pengelolaan yang terintegrasi dimana memadukan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya diharapkan dapat meminimalisir kerusakan. Adapun Rencana pengelolaan taman hutan raya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Secara ekologis, keutuhan dan kelangsungan proses-proses ekologis dari masing-masing ekosistem harus tetap dijaga dan terpelihara, sehingga fungsi dan manfaat ekologis dari ekosistem tersebut tetap baik bagi berlangsungnya proses kehidupan hayati (flora dan fauna), maupun manfaat ekologis bagi kehidupan manusia dapat tetap berlangsung dan berkelanjutan. Secara ekonomis, dapat memberikan solusi yang sehat atas permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh penduduk pada saat ini, setidaknya pemerintah daerah memberi alternatif sumber pendapatan kepada para penduduk sebagai alternatif ekonomi yang memungkinkan para penduduk untuk tidak kembali ke hutan. Secara sosial budaya, dimana prilaku masyarakat selama ini tergantung dari usaha melakukan budidaya di dalam kawasan dan pesimis terhadap peluang untuk mencari tingkat penghidupan yang layak di luar kawasan, sehingga dengan adanya pengelolaan yang memadukan ketiga aspek tersebut pemerintah dapat melakukan perubahan dari prilaku masyarakat tersebut, sehingga beralih ke prilaku berusaha di luar kawasan. Untuk menanggulangi kerusakan fisik habitat dan sumberdaya lebih lanjut dari praktek pemanfaatan sumberdaya kawasan yang cenderung tidak terkendali, serta tetap terpeliharanya keberadaan dan kelestarian ekosistem dengan segenap
4 fungsi utama kawasan, maka sangat diperlukan langkah-langkah kebijakan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman secara lebih terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan baik antar sektor maupun antar pengguna (user/stakeholders) terutama mencakup aspek perlindungan fungsi ekologis kawasan, dan aspek pemanfaatan terbatas dengan nilai ekonomi optimal, serta pemberdayaan dan pelibatan masyarakat setempat sesuai dengan fungsi dan daya dukung Tahura sebagai kawasan konservasi. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang analisis Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung berbasis Eko-Sosio-Sistem sangat relevan untuk dilakukan. 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (1) Mengetahui karakteristik permasalahan di Tahura Wan Abdurrahman, (2) Membuat strategi yang tepat dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang komprehensif dan berbasis ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, (3) Menyajikan peta kesesuaian ruang pemanfatan dalam kaitan pengelolaan tahura WAR berkelanjutan. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi bagi pemerintah daerah Propinsi Lampung dalam pengelolaan wilayah Tahura Wan Abdul Rachman secara lebih baik. 1.3. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, maka sebelum kerusakan ekosistem dan sumberdaya di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berlanjut, langkah yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebijakan pengelolaan secara terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pemanfaatan dari berbagai sektor dan stakeholders melalui kebijakan pengelolaan pendekatan model ekososiosistem, sehingga nantinya akan diperoleh konsep pengelolaan tahura yang berkelanjutan.
5 Secara umum, kebijakan pengelolaan berbasis ekososiosistem dibangun berdasarkan pada tiga aspek (sistem), yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Aspek ekologi ditekankan pada faktor-faktor kesesuaian peruntukkan dan daya dukung lingkungan yang mencirikan kondisi ekologi suatu kawasan berdasarkan kondisi biogeofisik, sosial, ekonomi dari sumberdaya dan lingkungan di kawasan tersebut. Aspek ekologi terkait pula dengan aspek sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat sebagai pelaku dan pengguna (pemanfaat) kawasan. Kajian aspek sosial ekonomi di bangun dari faktor pemberdayaan dan partisipasi masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan yang merupakan indikator bagi tingkat keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tahura secara terpadu dan berkelanjutan. Upaya pemberdayaan dan pelibatan masyarakat sangat penting, karena masyarakat sebagai pengguna kawasan akan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan tahura. Oleh karena itu, masyarakat juga harus peduli dan dapat terlibat aktif dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kawasan adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya perlindungan lingkungan dan pola pemanfaatan yang berkelanjutan, pengembangan keterampilan, peningkatan aksesibilitas di bidang ekonomi, dan penyediaan wadah organisasi kelembagaan sosial kemasyarakatan. Berdasarkan atas kajian kebijakan pengelolaan melalui pendekatan ekososiosistem dan dengan mengintegrasikan aspek kelembagaan, kebijakan pengelolaan dan program yang sebelumnya telah ditetapkan baik oleh pemerintah daerah, maupun lembaga pengelola kawasan, maka disusunlah analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tahura tersebut, yang hasilnya merupakan konsep atau desain pengelolaan tahura yang secara teknis memungkinkan, secara ekonomi menguntungkan, sosial dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ekologi berkelanjutan. Secara skematik, kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada gambar 1.
6 Kawasan Tahura WAR Kepentingan Masyarakat Stakeholder Kebijakan Pemerintah Konflik Pengelolaan Analisis Kebijakan Aspek Ekologi Aspek Ekonomi Aspek Sosial-budaya Analisis Ekososiosistem Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman Berbasis Eko-Sosio-Sistem 1.4. Rumusan Masalah Dalam proses mengusahakan perlindungan suatu sumberdaya alam, sering kali usaha tersebut terganjal oleh dinamika masyarakat yang berada di sekitar suatu sumberdaya tersebut. Dimana kecenderungan dari dinamika tersebut adalah perlunya ruang untuk dimanfaatkan dalam proses pengembangan dan peningkatan kualitas hidup. Sehingga sering terjadi benturan antara kepentingan masyarakat yang menginginkan adanya penghidupan yang layak dan kepentingan pemerintah yang menginginkan lingkungan yang lestari.
7 Seiring dengan perkembangan waktu dimana populasi manusia semakin meningkat, terdapat fakta bahwa kawasan tersebut mengalami kerusakan akibat ketidakjelasan proses pengelolaannya, tercatat lebih dari 72% lahan di kawasan telah mengalami kerusakan dan hanya 28% yang masih utuh menjadi hutan primer. Sehingga permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Bagaimana membangun strategi yang harus diterapkan dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman yang berkelanjutan ditinjau secara ekologi, ekonomi dan sosial budaya.