MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPNAKERTRANS. Badan Usaha. Transmigrasi. Pelaksanaan. Peran Serta. Perubahan.

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.10/MEN/V/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.09/MEN/V/2008 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER. 17/MEN/VII/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER. 17/MEN/VII/2007

REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI NO. 17 TH 2007 PERATURAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Tata Car

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER. 02 / MEN /III / 2008 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/V/2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN KANTOR CABANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG JUAL BELI TENAGA LISTRIK LINTAS NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 23/MEN/XII/2008 TENTANG ASURANSI TENAGA KERJA INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/III/2008 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 27 TAHUN 2009 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERIZINAN BURSA KERJA LUAR NEGERI DI KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER. /MEN/ /2008 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.

NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN

2016, No Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintaha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-20/MEN/X/2007. TENTANG ASURANSI TENAGA KERJA INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VI/2007 TENTANG PENYIAPAN PERMUKIMAN TRANSMIGRASI

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA NOMOR :... TENTANG DIVESTASI SAHAM

PERATURAN MENTERI NO. 20 TH 2007

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN USAHA WARALABA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAVA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 28 TAHUN 2012

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 348/Kpts/TP.240/6/2003 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA HORTIKULTURA MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 8 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2009

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 406 /KMK.06/2004 TENTANG USAHA JASA PENILAI BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 13 TAHUN 2009

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

M E M U T U S K A N : : PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

2012, No.73 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin un

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

i a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan di perusahaan perlu diterapkan Sistem Manajemen Keselarnatan dan Kesehatan Kerja di perusahaan;

BERITA NEGARA. No.970, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Penempatan. Perlindungan. TKI. Sanksi Administrasi.

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 357/Kpts/HK.350/5/2002 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN MENTERI PERTANIAN,

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG JUAL BELI TENAGA LISTRIK LINTAS NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA BATU

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 71/PMK.03/2010 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG BADAN KEBIJAKSANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN NASIONAL

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP-204/MEN/1999 TAHUN 1999 TENTANG PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERIZINAN USAHA JASA KONSTRUKSI

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NO: PER-23/MEN/V/2006 TENTANG ASURANSI TENAGA KERJA INDONESIA

Transkripsi:

Beberapa ketentuan diubah dengan Permenakertrans Nomor PER.12/MEN/VI/2009 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/III/2008 TENTANG PERAN SERTA BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN TRANSMIGRASI MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan lingkungan stratejik yang menuntut layanan publik yang efektif dan efisien, perlu memberikan peluang yang lebih besar kepada badan usaha dalam penyelenggaraan transmigrasi; b. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.216/MEN/2003 tentang Tata Cara Kemitraan Badan Usaha Dengan Transmigran Dalam Pelaksanaan Transmigrasi, sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan saat ini, sehingga perlu dicabut; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3800); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan; 1

8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007; 9. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 10. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007; 11. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah; 12. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PERAN SERTA BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN TRANSMIGRASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Peran serta badan usaha adalah keikutsertaan badan usaha untuk melaksanakan sebagian atau seluruh kegiatan proses pelaksanaan transmigrasi. 2. Badan usaha adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi atau kelembagaan ekonomi yang berbadan hukum dan bergerak dalam bidang usaha ekonomi yang berpartisipasi dalam pelaksanaan transmigrasi. 3. Kemitraan usaha transmigrasi yang selanjutnya disebut kemitraan adalah kerjasama usaha antara badan usaha dengan masyarakat transmigrasi dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, setara, adil, transparan, dan saling menguntungkan. 4. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. 5. Wilayah Pengembangan Transmigrasi yang selanjutnya disingkat WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. 6. Lokasi Permukiman Transmigrasi yang selanjutnya disingkat LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau yang sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. 7. Masyarakat transmigrasi adalah transmigran dan penduduk di WPT dan/atau LPT. 8. Izin Pelaksanaan Transmigrasi yang selanjutnya disingkat IPT adalah izin yang diberikan oleh Menteri kepada badan usaha untuk melaksanakan kegiatan usaha pada tahapan proses pelaksanaan transmigrasi. 2

9. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh orang atau lembaga yang akan berperanserta pada tahapan proses pelaksanaan transmigrasi. 10. Lahan adalah bidang tanah yang diperuntukkan sebagai tempat usaha transmigrasi. 11. Tim Penilai Permohonan Izin Pelaksanaan Transmigrasi yang selanjutnya disingkat TP2IPT adalah Tim yang dibentuk oleh Menteri dan Tim yang dibentuk oleh Gubernur yang selanjutnya disingkat TP2IPT-Provinsi, mempunyai tugas melakukan penelitian dan penilaian permohonan badan usaha untuk berperanserta dalam pelaksanaan transmigrasi. 12. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. BAB II PERAN SERTA BADAN USAHA Pasal 2 (1) Peran serta badan usaha dalam pelaksanaan transmigrasi dilakukan atas dasar hubungan hukum tertentu. (2) Peran serta badan usaha yang dilakukan atas dasar hubungan hukum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan di bidang ekonomi. Pasal 3 Peran serta badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat dilaksanakan pada kegiatan : a. penyiapan permukiman transmigrasi; b. perpindahan dan penempatan transmigrasi; dan/atau c. pengembangan masyarakat di kawasan transmigrasi. Pasal 4 (1) Badan usaha yang berperanserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat menggunakan : a. tanah pencadangan transmigrasi; b. tanah Hak Pengelolaan (HPL) Transmigrasi; dan/atau c. tanah yang dikuasai badan usaha yang bersangkutan. (2) Penggunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 5 Badan usaha yang berperanserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, menggunakan fasilitas yang dikuasai oleh badan usaha yang bersangkutan atau dapat menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 6 Badan usaha yang berperanserta dalam pelaksanaan transmigrasi dapat mengembangkan pola Inti-Plasma, Bapak-Anak Angkat, dan/atau pola lain yang disepakati para pihak, melalui hubungan kemitraan dengan transmigran. 3

BAB III PERSYARATAN Pasal 7 Setiap badan usaha yang melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib memperoleh IPT dari Menteri. Pasal 8 Untuk memperoleh IPT, badan usaha wajib memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkan. Pasal 9 (1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi : a. akte pendirian dan/atau akte perubahan badan usaha dan tanda bukti pengesahan dari departemen/instansi yang berwenang; b. neraca perusahaan yang dibuat oleh akuntan publik; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan; d. Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP) dari departemen/instansi yang berwenang; e. surat keterangan domisili; f. bukti kepemilikan atau penguasaan sarana dan prasarana perkantoran; g. surat pernyataan kebenaran dan keabsahan dokumen dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi : a. surat persetujuan penanaman modal dari BKPM/BKPMD; b. izin prinsip atau rekomendasi bidang usaha dari instansi teknis terkait; c. izin lokasi dari Bupati/Walikota. Pasal 10 (1) Badan usaha wajib menyusun rencana investasi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkan berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat ketentuan sebagai berikut: a. latar belakang; b. tujuan dan sasaran; c. lokasi kegiatan; d. manajemen usaha; e. rencana pengembangan usaha; f. produksi; g. legalitas lahan; h. model kerjasama yang akan dikembangkan; i. biaya investasi; j. sumber pembiayaan; k. peta lokasi skala 1 : 50.000, untuk usaha konstruksi dengan skala 1 : 5.000. 4

BAB IV KEWENANGAN PEMBERIAN IPT Pasal 11 (1) Menteri memberikan IPT kepada badan usaha untuk berperanserta dalam pelaksanaan transmigrasi. (2) Menteri dapat melimpahkan pemberian IPT kepada Gubernur dalam hal badan usaha: a. berinvestasi skala menengah ke bawah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan b. menggunakan tanah pencadangan; atau c. menggunakan tanah yang dikuasai oleh badan usaha. Pasal 12 (1) Untuk memberikan IPT kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Menteri membentuk TP2IPT, yang keanggotaannya terdiri dari unsur : a. Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi; b. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi; c. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas; d. Sekretariat Jenderal; e. Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi; f. lintas sektor terkait. (2) Gubernur dalam memberikan IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat membentuk TP2IPT-Provinsi yang keanggotaannya terdiri dari Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian dan satuan kerja terkait. BAB V TATA CARA MEMPEROLEH IPT Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Untuk memperoleh IPT dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1), badan usaha harus menyampaikan permohonan tertulis kepada Menteri. (2) Untuk memperoleh IPT dari Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), badan usaha harus menyampaikan permohonan tertulis kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dokumen persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 14 Dalam pengurusan IPT badan usaha tidak dikenakan biaya. 5

Bagian Kedua IPT Bagi Badan Usaha yang Menggunakan Tanah Pencadangan Transmigrasi Pasal 15 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dilakukan penelitian oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja. (3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (4) Penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja. (5) Penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada badan usaha dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. (6) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, badan usaha wajib mengajukan permohonan izin lokasi kepada Bupati/Walikota. Pasal 16 (1) Badan usaha yang telah memperoleh izin lokasi dari Bupati/Walikota wajib : a. menyusun rencana investasi; b. memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Rencana investasi dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai izin lokasi dari Bupati/Walikota disampaikan kepada TP2IPT dengan tembusan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterima izin lokasi. (3) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rencana investasi diterima TP2IPT, Badan Usaha wajib memaparkan rencana investasi kepada TP2IPT. (4) TP2IPT melakukan penilaian terhadap hasil pemaparan rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pemaparan. (5) Hasil penilaian oleh TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari keseluruhan TP2IPT. (6) Berita Acara penilaian TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak ditandatangani oleh TP2IPT. (7) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Menteri. (8) Penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja, dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. 6

Pasal 17 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan penelitian oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi selambatlambatnya 1 (satu) hari kerja. (3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. (4) Penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja. (5) Penolakan permohonan atau pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sejak ditetapkan disampaikan kepada badan usaha dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. (6) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, badan usaha wajib mengajukan permohonan izin lokasi kepada Bupati/Walikota. Pasal 18 (1) Badan usaha yang telah memperoleh izin lokasi dari Bupati/Walikota wajib : a. menyusun rencana investasi; b. memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Rencana investasi dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai izin lokasi dari Bupati/Walikota disampaikan kepada Gubernur cq. TP2IPT-Provinsi selambatlambatnya 10 hari kerja sejak diterima izin lokasi. (3) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rencana investasi diterima TP2IPT-Provinsi, badan usaha wajib memaparkan rencana investasi kepada TP2IPT-Provinsi. (4) TP2IPT-Provinsi melakukan penilaian terhadap hasil pemaparan rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pemaparan. (5) Hasil penilaian oleh TP2IPT-Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari keseluruhan TP2IPT-Provinsi. (6) Berita Acara penilaian TP2IPT-Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak ditandatangani oleh TP2IPT-Provinsi. (7) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Gubernur. (8) Penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. 7

Pasal 19 (1) Dalam hal dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dinyatakan tidak lengkap, maka Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemohon selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima. (2) Badan usaha menyampaikan kelengkapan dokumen paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan. Bagian Ketiga IPT Bagi Badan Usaha yang Menggunakan Tanah HPL Transmigrasi Pasal 20 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dilakukan penelitian oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja. (3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengajukan permohonan izin penggunaan HPL kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional selambatlambatnya 1 (satu) hari kerja. Pasal 21 (1) Dalam hal Menteri telah memperoleh izin penggunaan HPL dari Badan Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), maka Menteri memberitahukan kepada badan usaha untuk menyusun rencana investasi selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja sejak izin penggunaan HPL diterima. (2) Berdasarkan pemberitahuan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan usaha harus sudah menyerahkan rencana investasi selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemberitahuan diterima. (3) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rencana investasi diterima TP2IPT, badan usaha wajib memaparkan kepada TP2IPT. (4) TP2IPT melakukan penilaian terhadap hasil pemaparan rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf b paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pemaparan. (5) Hasil penelitian dan penilaian oleh TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari keseluruhan TP2IPT. (6) Berita Acara penilaian TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak ditandatangani oleh TP2IPT. (7) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Menteri. 8

(8) Penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. Pasal 22 (1) Dalam hal dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dinyatakan tidak lengkap, Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemohon paling lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima. (2) Badan usaha menyampaikan kelengkapan dokumen paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan. Bagian Keempat IPT Bagi Badan Usaha yang Menggunakan Tanah yang Dikuasai Badan Usaha Pasal 23 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dilakukan penelitian oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja. (3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri atau pejabat yang ditunjuk memberikan penolakan permohonan atau persetujuan kepada badan usaha. Pasal 24 (1) Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), badan usaha mengajukan rencana investasi kepada Menteri cq. TP2IPT selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterima persetujuan rencana investasi. (2) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rencana investasi diterima TP2IPT, badan usaha wajib memaparkan rencana investasi kepada TP2IPT. (3) TP2IPT melakukan penilaian terhadap hasil pemaparan rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pemaparan. (4) Hasil penilaian TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari keseluruhan TP2IPT. (5) Berita Acara penilaian TP2IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak ditandatangani oleh TP2IPT. (6) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Menteri. (7) Penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. 9

Pasal 25 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan penelitian oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi selambatlambatnya 1 (satu) hari kerja. (3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur memberikan penolakan permohonan atau persetujuan kepada badan usaha. Pasal 26 (1) Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), badan usaha mengajukan rencana investasi kepada Gubernur cq. TP2IPT-Provinsi selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterima persetujuan rencana investasi. (2) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak rencana investasi diterima TP2IPT-Provinsi, badan usaha wajib memaparkan kepada TP2IPT-Provinsi. (3) TP2IPT-Provinsi melakukan penilaian terhadap hasil pemaparan rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak pemaparan. (4) Hasil penelitian dan penilaian oleh TP2IPT-Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari keseluruhan TP2IPT-Provinsi. (5) Berita Acara penilaian TP2IPT-Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Gubernur selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak ditandatangani oleh TP2IPT- Provinsi. (6) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebagai dasar pertimbangan penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Gubernur. (7) Penolakan permohonan atau pemberian IPT oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) hari kerja dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota. Pasal 27 (1) Dalam hal dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan tidak lengkap, Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketransmigrasian provinsi wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemohon paling lama 2 (dua) hari kerja sejak tanggal permohonan diterima. (2) Badan usaha menyampaikan kelengkapan dokumen paling lambat 14 hari kerja sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan. 10

BAB VI PEMBERIAN IPT Pasal 28 IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (2) sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut : a. lokasi usaha; b. bidang usaha; c. ruang lingkup; d. pembiayaan; e. jangka waktu perizinan; f. kewajiban; g. sanksi administratif. Pasal 29 IPT diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Pasal 30 (1) IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 yang telah berakhir jangka waktunya dapat dilakukan perpanjangan. (2) Badan usaha yang akan memperpanjang IPT wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya IPT. (3) Permohonan perpanjangan IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan sekurangkurangnya melampirkan : a. alasan perpanjangan; b. foto copy izin usaha dari sektor terkait yang masih berlaku; c. foto copy IPT yang masih berlaku. (4) Permohonan perpanjangan IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan penelitian oleh TP2IPT atau TP2IPT-Provinsi sesuai dengan kewenangannya yang hasilnya dituangkan dalam berita acara. (5) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan dasar untuk menetapkan persetujuan atau penolakan perpanjangan IPT. (6) Penerbitan perpanjangan IPT atau penolakan perpanjangan IPT selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. Pasal 31 (1) Dalam hal masa pengembangan kawasan permukiman telah berakhir, maka kelangsungan usaha yang dikembangkan sebagaimana dimaksud dalam IPT tetap dilanjutkan oleh para pihak. (2) Dengan telah berakhirnya pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka urusan pemerintah di bidang ketransmigrasian dialihkan kepada dan menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota. 11

BAB VII PELAKSANAAN Pasal 32 (1) Badan usaha yang memperoleh IPT wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana ditentukan dalam IPT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya IPT. (2) Badan usaha yang memperoleh IPT wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. (3) Badan usaha wajib melaporkan perubahan penyertaan modal, komposisi saham, domisili, dan/atau perubahan pengurus kepada Menteri atau Gubernur. Badan usaha yang memperoleh IPT dilarang : Pasal 33 a. mengalihkan IPT ke pihak lain; b. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan IPT. Pasal 34 (1) Badan usaha yang memperoleh IPT dari Menteri wajib menyampaikan laporan kemajuan pekerjaan kepada Menteri setiap 3 (tiga) bulan dengan tembusan kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota terkait. (2) Badan usaha yang memperoleh IPT dari Gubernur wajib menyampaikan laporan kemajuan pekerjaan kepada Gubernur setiap 3 (tiga) bulan dengan tembusan kepada Menteri, dan Bupati/Walikota terkait. BAB VIII PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN Pasal 35 (1) Menteri atau Gubernur melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan IPT. (2) Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Tim Evaluasi Kinerja badan usaha yang dibentuk oleh Menteri atau Gubernur. (3) Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan IPT sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan atau sesuai kebutuhan. (1) Sanksi administratif terdiri dari : a. peringatan tertulis; b. pencabutan IPT. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 36 (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. peringatan tertulis pertama; b. peringatan tertulis kedua; c. peringatan tertulis ketiga. 12

Pasal 37 (1) Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a, dijatuhkan kepada badan usaha oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi dalam hal : a. tidak melaksanakan kegiatan usaha selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); b. tidak melaporkan perubahan penyertaan modal, komposisi saham, domisili, dan/atau perubahan pengurus kepada Menteri atau Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); c. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b. d. tidak menyampaikan laporan kemajuan pekerjaan setiap 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; (2) Sanksi administratif pencabutan IPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b, dapat dijatuhkan kepada badan usaha oleh Menteri dalam hal: a. badan usaha tidak melakukan kewajibannya setelah dilakukan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. mengalihkan IPT kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a. Pasal 38 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) diberikan untuk tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kalender untuk masing-masing peringatan. (2) Apabila dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dijatuhkan sanksi peringatan tertulis pertama, badan usaha belum menyelesaikan kewajibannya atau melakukan kesalahan lain, maka badan usaha dapat dijatuhkan sanksi peringatan tertulis kedua dan seterusnya sampai peringatan tertulis ketiga. Pasal 39 Penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), didahului dengan penilaian pelaksanaan IPT oleh Tim Evaluasi Kinerja badan usaha. Pasal 40 Dalam hal badan usaha dikenakan sanksi pencabutan IPT, maka badan usaha tidak dibebaskan dari gugatan perdata atas pelanggaran yang dilakukan dan tetap bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban terhadap hal-hal yang merugikan kepada negara dan transmigran, berdasarkan hasil audit oleh Pemerintah. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 (1) Semua bentuk peran serta badan usaha yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 216/MEN/2003 tentang Tata Cara Kemitraan Badan Usaha Dengan Transmigran Dalam Pelaksanaan Transmigrasi tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kesepakatan. 13

(2) Badan usaha yang mengajukan permohonan IPT atau sedang dalam proses sebelum ditetapkan Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan Transmigrasi. Pasal 43 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.216/MEN/2003 tentang Tata Cara Kemitraan Badan Usaha Dengan Transmigran Dalam Pelaksanaan Transmigrasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si. 14