ANALISIS MUTU PENDIDIKAN ACEH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

REKAPITULASI DATA BASIS KELOMPOK UPPKS TERDAFTAR DALAM DIREKTORI BKKBN PROVINSI NAD PER TANGGAL 21 JULI 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rohyan Sosiadi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan. globalisasi adalah kondisi sumber daya manusia ( SDM ) masih relatif rendah

BAB I PENDAHULUAN. proses kehidupan sebuah bangsa. Seperti halnya kesehatan, pendidikan tidak

I. PENDAHULUAN. Bagian pertama ini membahas beberapa hal mengenai latar belakang masalah,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

Luas Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota (hektar)

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan jaman.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pegangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas :

Lampiran I.11 : PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 PROVINSI :

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT 8 EDISI 29 PERIODE 27 MARET - 11 APRIL Luas Baku Sawah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar dalam kemajuan bangsa, dan

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 30 PERIODE APRIL 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 31 PERIODE 28 APRIL - 13 MEI Luas Baku Sawah Kecamatan

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 32 PERIODE MEI Luas Baku Sawah Kecamatan

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 47 PERIODE 9-24 JANUARI Luas Baku Sawah Kecamatan

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 37 PERIODE 2-17 AGUSTUS Luas Baku Sawah Kecamatan

LUAS SAWAH PADA FASE PERTANAMAN PADI DATA SATELIT LANDSAT-8 EDISI 43 PERIODE 6-21 NOVEMBER Luas Baku Sawah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang

Lampiran I.11 : PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 PROVINSI :

BAB II TELAAH PUSTAKA

MAKALAH 8 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN KAPITA SELEKTA

PRODUKSI BERAS PROVINSI ACEH HASIL INDUSTRI PENGGILINGAN PADI JAN APR 2012

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penduduk Laki Laki dan Wanita Usia 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis Kegiatan Utama, (ribu orang)

DATA AGREGAT KEPENDUDUKAN PER KECAMATAN (DAK2)

Komponen kelembagaan sekolah; kurikulum, proses dan hasil belajar, administrasi dan manajemen satuan pendidikan, organisasi kelembagaan satuan

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PECAPP. Now or Never. Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Tujuan pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik

POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

HIiII,[ E=I ; E. 2 el'v't. ffi' o=, .az. z a. ;r9. a 2=a g, 3. o. -o. 3r c6 3E. =o =! ,-r. -tr. -t' {,E. OrE. leq. EE f- a I. F-(l -- =E. -.

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

I. PENDAHULUAN. Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh

2015 ANALISIS MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA

BAB I PENDAHULUAN. dan negara secara berkelanjutan. Proses pendidikan merupakan upaya sadar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

MUTU PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATANNYA

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung pada kinerja Sumber

Oleh: Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan bermutu yang didasarkan pada Standar Nasional Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang. masa mengisyaratkan bahwa secara keseluruhan mutu SDM Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. dikemukakan oleh Mulyasa (2010) bahwa, pembangunan sumber daya manusia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

2015 KONTRIBUSI PENGEMBANGAN TENAGA AD MINISTRASI SEKOLAH TERHAD AP MUTU LAYANAN D I LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI SE-KOTA BAND UNG

DALAM PENINGKATAN MUTU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

Latihan: UJI KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH 2012

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. manusia berkualitas dapat diwujudkan melalui tingkat satuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia telah digariskan dalam undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kelas, tapi seorang guru juga harus mampu membimbing, mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Kepemimpinan selalu diperlukan sebagai aktivitas untuk. mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan tindakan individu atau

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan belajar atau proses pendidikan. Sebagai organisasi pendidikan

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAHAN AJAR (MINGGU KE 1) MATA KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN FISIKA STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)

BAB I PENDAHULUAN. pada mutu output pengajarannya. Bila seluruh guru menunjukkan. pemimpin pengajaran yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan.

01. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. diabaikan, yang jelas disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan dianggap sebagai sebagai suatu investasi yang paling berharga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Shandy Fauzan, 2014

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

BAB I PENDAHULUAN. manajemen berbasis mutu di sekolah. Usaha untuk perbaikan dan peningkatan

BAB II DESKRIPSI SMA NEGERI RAYON 08 JAKARTA BARAT

QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG ACEH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah yakni: input, proses, dan out put (Rivai dan Murni, 2009).

GUBERNUR ACEH MW\DATAWAHED\2014\PER.GUB.

Transkripsi:

KAJIAN ANALISIS MUTU PENDIDIKAN ACEH 2015 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT., berkat rahmat dan ridha-nya laporan penelitian "Kajian Analisis Mutu Pendidikan Aceh" telah selesai dilaksanakan. Salawat dan salam kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah menanamkan risalah kepada para ilmuan masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk memajukan ilmu pengetahuan dan sebagai suatu kebijakan di sektor pendidikan khususnya pada peningkatan mutu pendidikan SMP dan SMA sederajat sekaligus memberikan informasi sebagai pengembangan ilmu. Dengan harapan semoga penelitian ini akan bermanfaat bagi kemajuan pembangunan pendidikan nasional dan daerah. Selanjutnya, kami sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para Tim Peneliti dan Peneliti Ahli yang telah menyusun dokumen "Kajian Analisis Mutu Pendidikan Aceh" ini secara ilmiah dan baik. Penelitian ini dirasakan masih jauh dari kesempurnaan, saran dan kritikan masih sangat diperlukan. Kami berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber data dan informasi yang berguna dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan Provinsi Aceh di masa yang akan datang, terutama di sektor yang terkait penelitian ini. Akhirnya, semoga Allah SWT. senantiasa mengiringi setiap derap langkah dan niat baik kita dalam memberikan kontribusi nyata untuk kemajuan pendidikan masyarakat Provinsi Aceh ke depan. BANDA ACEH, NOVEMBER 2015 KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Drs. ZULKIFLI Hs, MM i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Masalah... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 11 1.3 Output yang Diharapkan... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13 2.1 Mutu Pendidikan... 13 2.2 Standar atau Parameter Pendidikan yang Berkualitas... 17 2.3 Dimensi Mutu Pendidikan... 18 2.4 Sarana dan Prasarana Pendidikan... 22 2.5 Hubungan Sarana Prasarana Pendidikan Dengan Proses Belajar Mengajar... 23 2.6 Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan... 23 2.7 Kerangka Pemikiran... 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 27 3.1 Ruang Lingkup, Populasi dan Sampel Penelitian... 27 3.2 Teknik Pengumpulan Data... 30 3.3 Metode dan Desain Penelitian... 31 3.4 Metode Analisis dan Pembahasan... 31 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 39 4.1 Hasil Estimasi Model Analisis... 39 4.2 Pembahasan Proses Pembelajaran... 40 4.3 Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana dan Prasarana... 51 4.4 Unit Penjaminan Mutu... 58 ii

4.5 Pengaruh Variabel Sosial Ekonomi Masyarakat... 59 BAB VI PENUTUP... 65 6.1 Kesimpulan... 65 6.2 Rekomendasi... 67 DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN... 72 iii

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Angka Partisipasi Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2013... 1 Tabel 1.2 Angka Kelulusan UN Tingkat SMA Tahun 2014 di Provinsi Aceh... 6 Tabel 1.3 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014... 7 Tabel 1.4 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014... 8 Tabel 1.5 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014... 9 Tabel 1.6 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014... 10 Tabel 3.1 Daftar Sampel Penelitian di Provinsi Aceh dengan Nilai UN Peringkat Sepuluh Terendah pada Tahun 2013... 28 Tabel 3.2 Daftar Sampel Penelitian di Provinsi Aceh dengan Nilai UN Peringkat Sepuluh Tertinggi pada Tahun 2013... 29 Tabel 4.1 Hasil Estimasi Model Analisis... 37 Tabel 4.2 Pelajaran yang Kekurangan Guru Menurut Peringkat... 47 Tabel 4.3 Persentase Penduduk Miskin Menurut Kecamatan Lokasi Sekolah Dengan Hasil UN Tinggi... 60 Tabel 4.4 Persentase Penduduk Miskin Menurut Kecamatan Lokasi Sekolah Dengan Hasil UN Rendah... 61 iv

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan Antarvariabel... 26 Gambar 3.1 Desain Triangulasi Metode Penelitian Campuran... 31 Gambar 3.2 Proses Analisis Data Kualitatif... 33 Gambar 4.1 Persentase Ketercukupan Guru di Sekolah dan Partisipasi Dalam MGMP dan Perencanaan Pembelajaran... 42 Gambar 4.2 Persentase Sekolah Melaksanakan Kegiatan Kesiswaan yang Menonjol... 49 Gambar 4.3 Persentase Sekolah yang Mengalami Kekurangan Sarana dan Prasarana Pembelajaran... 53 v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan. Data di bawah menunjukkan bahwa persentase partisipasi sekolah di Provinsi Aceh tahun 2013 meningkat dari partisipasi rata-rata tahun 2012. Namun yang sangat disayangkan adalah setiap tahunnya persentase partisipasi sekolah semakin menurun jika dilihat dari kelompok umur sekolah. Tabel 1.1 Angka Partisipasi Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2013 No. Kabupaten/Kota Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan 7 12 13 15 16 18 1 Simeulue 98,38 95,31 82,47 2 Aceh Singkil 99,32 97,20 87,05 3 Aceh Selatan 99,60 94,95 73,05 4 Aceh Tenggara 99,34 97,51 79,82 5 Aceh Timur 99,70 89,82 65,40 6 Aceh Tengah 99,14 99,22 79,32 7 Aceh Barat 99,87 97,36 77,49 8 Aceh Besar 100,00 93,40 74,50 9 Pidie 100,00 94,29 70,26 10 Bireuen 99,76 97,70 76,34 11 Aceh Utara 100,00 94,40 74,53 12 Aceh Barat Daya 99,11 95,11 73,61 13 Gayo Lues 98,90 97,42 81,88 14 Aceh Tamiang 100,00 93,61 66,03 15 Nagan Raya 100,00 97,64 70,61 16 Aceh Jaya 99,99 91,80 79,21 17 Bener Meriah 99,58 92,94 75,87 18 Pidie Jaya 100,00 94,61 69,72 1

No. Kabupaten/Kota Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan 7 12 13 15 16 18 19 Banda Aceh 99,42 95,57 77,29 20 Sabang 100,00 100,00 67,66 21 Langsa 98,88 96,11 75,51 22 Lhokseumawe 99,56 98,54 85,22 23 Subulussalam 98,88 98,30 79,13 2013 99,66 95,20 74,60 2012 98,88 94,41 74,44 Sumber: BPS Provinsi Aceh Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai. Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang berhasil menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani. 2

Theodore Brameld (1965) mengemukakan bahwa pendidikan memiliki fungsi yang luas yaitu sebagai pengayom dan pengubah kehidupan suatu masyarakat jadi lebih baik dan membimbing masyarakat yang baru supaya mengenal tanggung jawab bersama dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah sebuah proses yang lebih luas dari sekedar periode pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah sebuah proses belajar terus menerus dalam keseluruhan aktifitas sosial sehingga manusia tetap ada dan berkembang. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang baik. Dalam perencanaan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas perlu memperhatikan kondisikondisi yang mempengaruhi, strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan memiliki kriteria (Nurkolis, 2003: 74 78). Suksesnya perencanaan pendidikan diperlukan beberapa kondisi, yakni: 1. Adanya komitmen politik, 2. Perencanaan pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung jawabnya, 3. Harus ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administratif, 4. Perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis, 5. Perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan terarah, 6. Tugas utama perencanaan pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan alternatif teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik pendidikan, 7. Harus mengurangi politisasi pengetahuan, 8. Harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan, 9. Administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan pendidikan, 3

10. Ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kersama yang saling menguntungkan antara pemerintah, swasta, dan universitas yang memegang otoritas pendidikan. Salah satu negara dengan mutu pendidikan terbaik di dunia adalah Singapura. Kuncinya terletak pada kualitas gurunya sendiri. Di Singapura hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Tidak hanya kualitas guru, metode belajar pun menjadi penunjang mutu pendidikan di negara ini. Jika dibuat urutan posisi 5 besar (dari atas ke bawah) di tingkat internasional saat ini menurut data survei dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang merilis tentang sistem pendidikan terbaik dunia dan urutan negaranya menyatakan bahwa negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di bidang pendidikan matematika dan ilmu pendidikan alam (IPA) di dunia saat ini berturut-turut adalah Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan. Sedangkan, negara Indonesia berada pada urutan ke- 69 dari 76 negara yang disurvei di seluruh dunia. (dikutip dari http://gaya.tempo.co/read/news/2015/05/15/215666403/ini-10-negara-bersistempendidikan-terbaik-dunia, yang diakses pada 10/09/2015). Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, Selasa (13/5/2014), sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia. Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking 2014 versus 2012, Indonesia diberi nilai -1,71. Sedangkan untuk nilai pencapaian pendidikan yang dimiliki Indonesia, diberi skor -2,11. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk. Di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan rangking terbawah yang berada di atas Indonesia. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang mendapatkan dana otonomi khusus (otsus) dari pemerintah pusat. Sejak tahun 2008 sampai tahun 2013, Provinsi Aceh telah mengelola sekitar Rp 27,3 trilyun dana tersebut. Setiap 4

tahunnya dana yang dianggarkan untuk bidang pendidikan mencapai rata-rata Rp 2,4 trilyun. Dana tersebut berasal dari dana otonomi khusus, dana bagi hasil migas dan dari sumber lain. Saat ini banyaknya pembangunan sektor pendidikan masih mementingkan pembangunan infrastruktur tapi mengesampingkan pembangunan mutu pendidikan. Akibatnya, fasilitas (sarpras pendukung pembelajaran) di sebagian sekolah di Provinsi Aceh sangat memadai tapi mutu pendidiknya sangat kurang. Kurang meratanya distribusi guru menurut mata pelajaran (mapel) ke seluruh pelosok daerah Provinsi Aceh juga diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di daerah Aceh saat ini, di samping rendahnya kualitas guru itu sendiri. Perekrutan guru sudah sangat banyak di daerah Provinsi Aceh, tetapi hanya menumpuk di perkotaan, baik itu di ibukota provinsi dan ibukota kabupaten, sementara di daerah pedalaman mengalami kekurangan guru. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lulusan peserta ujian nasional (UN) tahun 2014 untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dari 34 provinsi di Indonesia, Provinsi Aceh menempati jumlah tertinggi siswa yang tak lulus, yaitu sebanyak 784 (1,38%) siswa dari 56.981 siswa. 5

Tabel 1.2 Angka Kelulusan UN Tingkat SMA Tahun 2014 di Provinsi Aceh No. Kabupaten/Kota Jumlah Jumlah Yang Persentase Peserta Tidak Lulus (%) 1 Simeulue 1.245 - - 2 Aceh Singkil 1.325 - - 3 Aceh Selatan 2.704 196 7,25 4 Aceh Tenggara 2.946 - - 5 Aceh Timur 3.268 47 1,44 6 Aceh Tengah 2.161 1 0,05 7 Aceh Barat 2.082 84 4,03 8 Aceh Besar 3.398 7 0,21 9 Pidie 4.768 4 0,08 10 Bireuen 5.186 62 1,20 11 Aceh Utara 6.248 64 1,02 12 Aceh Barat Daya 1.963 75 3,82 13 Gayo Lues 1.059 5 0,47 14 Aceh Tamiang 3.076 28 0,91 14 Nagan Raya 1.787 - - 16 Aceh Jaya 734 9 1,23 17 Bener Meriah 1.467 2 0,14 18 Pidie Jaya 1.921 40 2,08 19 Kota Banda Aceh 3.915 2 0,05 20 Kota Sabang 328 9 2,74 21 Kota Langsa 2.203 12 0,54 22 Kota Lhokseumawe 2.191 76 3,47 23 Subulussalam 1.007 61 6,06 Jumlah 56.982 784 1,38 Sumber: Hasil Nilai Ujian Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2014 Sedangkan dengan hasil UN jenjang SMP, terjadi penurunan siswa yang tidak lulus. Pada tahun 2013, siswa yang tidak lulus mencapai 1.442 orang dari 81.046 peserta dengan persentase 1,78%. Sedangkan pada tahun 2014, siswa yang tidak lulus hanya 313 orang dari 83.969 peserta dengan persentase 0,37 persen. 6

Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain: Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Operasional Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Berikut ini jumlah ketersediaan guru SMP dan SMA di sekolah negeri maupun swasta yang tersebar di Provinsi Aceh. Tabel 1.3 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri, Menurut Kabupaten/ Kota, Tahun 2013/2014 No. Kabupaten/Kota Sekolah Kelas Guru Murid 1 Simeulue 40 273 451 4.533 2 Aceh Singkil 30 212 486 5.224 3 Aceh Selatan 45 366 881 9.927 4 Aceh Tenggara 35 318 726 8.442 5 Aceh Timur 65 495 1.278 13.799 6 Aceh Tengah 41 315 815 6.915 7 Aceh Barat 36 539 690 5.974 8 Aceh Besar 47 504 1.116 7.845 9 Pidie 53 924 1.823 13.816 10 Bireuen 61 587 2.041 15.462 11 Aceh Utara 84 841 2.237 23.343 12 Aceh Barat Daya 14 183 332 5.044 13 Gayo Lues 24 153 297 4.108 14 Aceh Tamiang 46 401 977 11.403 15 Nagan Raya 33 839 649 7.077 16 Aceh Jaya 29 199 410 2.579 17 Bener Meriah 42 264 747 4.566 18 Pidie Jaya 23 214 839 4.671 7

No. Kabupaten/Kota Sekolah Kelas Guru Murid 19 Banda Aceh 19 310 723 8.045 20 Sabang 8 56 221 1.120 21 Langsa 14 239 601 7.205 22 Lhokseumawe 18 271 620 7.730 23 Subulussalam 15 109 268 3.226 2013 822 8.612 19.228 182.054 2012 803 8.275 19,192 180,948 Sumber: Profil Pembangunan Aceh, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2014 Tabel 1.4 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014 No. Kabupaten/Kota Sekolah Kelas Guru Murid 1 Simeulue 5 11 53 146 2 Aceh Singkil 6 42 86 1.190 3 Aceh Selatan 4 15 54 334 4 Aceh Tenggara 22 90 276 2.071 5 Aceh Timur 6 19 91 467 6 Aceh Tengah 2 6 23 136 7 Aceh Barat 8 29 126 587 8 Aceh Besar 17 76 328 1.835 9 Pidie 5 31 85 800 10 Bireuen 10 82 253 2.951 11 Aceh Utara 25 112 473 2.948 12 Aceh Barat Daya 15 115 178 1.398 13 Gayo Lues 2 9 28 280 14 Aceh Tamiang 9 51 137 1.383 15 Nagan Raya 3 9 35 229 16 Aceh Jaya 4 16 51 435 17 Bener Meriah 10 46 183 1.367 18 Pidie Jaya 3 24 39 166 19 Banda Aceh 12 59 191 1.387 20 Sabang 1 7 18 150 21 Langsa 2 6 25 120 22 Lhokseumawe 4 15 66 361 23 Subulussalam 4 31 75 1.108 2013 179 901 2.874 21.849 2012 153 795 2,494 18,745 Sumber: Profil Pembangunan Aceh, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2014 8

Tabel 1.5 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014 No. Kabupaten/Kota Sekolah Kelas Guru Murid 1 Simeulue 14 29 243 3,064 2 Aceh Singkil 10 48 228 3,421 3 Aceh Selatan 20 114 560 7,173 4 Aceh Tenggara 16 261 485 6,286 5 Aceh Timur 21 263 695 7,495 6 Aceh Tengah 17 61 497 4,990 7 Aceh Barat 17 179 458 5,036 8 Aceh Besar 27 89 881 6.673 9 Pidie 23 112 1.057 10.878 10 Bireuen 23 100 1.168 9.820 11 Aceh Utara 34 454 1.336 13.540 12 Aceh Barat Daya 11 162 339 4.865 13 Gayo Lues 12 26 247 3.068 14 Aceh Tamiang 14 247 592 7.564 15 Nagan Raya 19 166 433 6.016 16 Aceh Jaya 9 68 171 1.599 17 Bener Meriah 12 133 430 3.154 18 Pidie Jaya 9 45 493 3.500 19 Banda Aceh 16 96 751 7.757 20 Sabang 2 34 104 875 21 Langsa 5 37 308 4.083 22 Lhokseumawe 8 158 475 4.302 23 Subulussalam 5 20 140 2.039 2013 344 2.902 12.091 127.198 2012 336 4.274 12.060 130.773 Sumber: Profil Pembangunan Aceh, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2014 9

Tabel 1.6 Jumlah Sekolah, Kelas, Guru dan Murid Pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta, Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013/2014 No. Kabupaten/Kota Sekolah Kelas Guru Murid 1 Simeulue 10 11 105 587 2 Aceh Singkil 3 3 37 208 3 Aceh Selatan 5 10 64 376 4 Aceh Tenggara 9 39 127 1,366 5 Aceh Timur 5 15 81 428 6 Aceh Tengah 2 2 34 99 7 Aceh Barat 4 18 68 423 8 Aceh Besar 13 17 255 1,156 9 Pidie 5 7 89 539 10 Bireuen 6 22 166 1,657 11 Aceh Utara 12 41 209 1,165 12 Aceh Barat Daya 3 17 48 516 13 Gayo Lues 1 1 15 71 14 Aceh Tamiang 5 22 79 507 15 Nagan Raya 1 1 12 54 16 Aceh Jaya 4 13 58 285 17 Bener Meriah 5 19 91 477 18 Pidie Jaya 1 1 24 50 19 Banda Aceh 13 27 271 1.532 20 Sabang 1 3 17 54 21 Langsa 3 7 85 659 22 Lhokseumawe 2 10 32 210 23 Subulussalam 6 9 78 576 2013 119 315 2.045 12.995 2012 104 529 1.832 6.283 Sumber: Profil Pembangunan Aceh, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2014 10

1.2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, difokuskan pada tiga poin berikut ini: 1. Menganalisis proses belajar mengajar pada siswa SMP dan SMA di daerah Provinsi Aceh; 2. Menganalisis ketersediaan dan ketercukupan sarana dan prasarana sekolah tingkat SMP dan SMA di daerah Provinsi Aceh; 3. Menganalisis kondisi lingkungan sosial ekonomi di sekitar sekolah SMP dan SMA dengan nilai UN rendah dan nilai UN tinggi di daerah Provinsi Aceh. 1.3 Output yang Diharapkan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi basis dalam membuat kebijakan dan merencanakan program-program pendidikan untuk mendukung implementasi kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi Aceh. 11

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mutu Pendidikan Beberapa ahli mendefinisikan mutu pendidikan berdasarkan ketercapaian tujuan sebagai mana dikemukakan oleh (Suryadi, 1994), mutu pendidikan dapat diartikan sebagai seseorang yang telah mencapai tujuan kurikulum (objective of curriculum) yang dirancang untuk pengelolaan pembelajaran siswa. Selanjutnya, Suryadi dan Tilaar (1994) menegaskan bahwa kualitas pendidikan merupakan kemampuan lembaga pendidikan dalam mendaya gunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin. Pendapat ini, memandang bahwa mutu pendidikan dapat di capai dengan menggunakan sumber daya yang ada baik sumber daya manusia maupun sumber daya fisik atau alam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendapat lain menyebutkan mutu pendidikan tidak hanya dilihat dari ketercapaian tujuan, namun juga penting dinilai dari manfaat output sistem pendidikan yang dirasakan oleh pengguna lulusan, atau masyarakat umum. Sebagaimana dikemukakan Satori (2006), mutu pendidikan adalah nilai dan manfaat yang sesuai dengan standar nasional pendidikan atas input, proses, output, dan outcome pendidikan yang dirasakan oleh pemakai jasa pendidikan dan pengguna hasil pendidikan. Hoy et. al. (2000) menjelaskan bahwa mutu pendidikan adalah hasil terhadap proses pendidikan dengan harapan yang tinggi untuk dicapai dari upaya pengembangan bakat-bakat para pelanggan pendidikan melalui proses pendidikan. Senada dengan (Danim, 2008), kualitas pendidikan dilihat dari hasil pendidikan dianggap bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas, Coombs (1985) melihat konsep mutu pendidikan tidak hanya diukur dari prestasi belajar, seperti yang dikaitkan dengan kurikulum dan standarnya saja tetapi mutu harus dilihat dari segi relevansi dan 13

sejauh mana apa yang diajarkan dan dipelajari itu sesuai dengan kebutuhan belajar saat ini dan untuk masa yang akan datang. Lebih jauh dikemukakan bahwa masalah mutu pendidikan hendaknya dikaitkan dengan keseluruhan dimensi mutu secara sistemik yang berubah dari masa ke masa. Dalam perspektif yang lebih luas, mutu pendidikan mencakup kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sosiologi, sebagaimana pandangan Beeby (1966) melihat mutu pendidikan dari tiga perspektif yaitu: perspekstif ekonomi, sosiologi dan pendidikan. Berdasarkan perspektif ekonomi, yang bermutu adalah pendidikan yang mempunyai kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Lulusan pendidikan secara langsung dapat memenuhi angkatan kerja didalam berbagai sektor ekonomi. Dengan bekerjanya mereka pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih tinggi. Menurut pandangan sosiologi, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang bermanfaat terhadap seluruh masyarakat dilihat dari berbagai kebutuhan masyarakat, seperti mobilitas sosial, perkembangan budaya, pertumbuhan kesejahteraan dan pembebasan kebodohan. Sedangkan menurut perspektif pendidikan, melihat mutu pendidikan perspektif pendidikan dari sisi pengayaan (richness) dari proses belajar mengajar dan dari segikemampuan lulusan dalam hal memecahkan masalah dan berpikir kritis. (Suderadjat, 2005). Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan atau kompetensi, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan, yang dilandasi oleh kompetensi personal dan sosial, serta nilai-nilai akhlak mulia, yang keseluruhannya merupakan kecakapan hidup (life skill). Lebih lanjut, Sudrajad mengemukakan pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan manusia seutuhnya (manusia paripurna) atau manusia dengan pribadi yang integral (integrated personality) yaitu mereka yang mampu mengintegralkan iman, ilmu, dan amal. Berkaitan dengan proses atau upaya untuk mencapai mutu pendidikan, yang menghasilkan output berdaya guna dalam masyarakat, ada beberapa pandangan yang dikemukakan para ahli; antara lain Umaedi (1999) dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan, yang bermutu terlibat berbagai input, 14

seperti: bahan ajar (kognitif, efektif atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber belajar lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam proses belajar mengajar, baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra kurikuler. Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai dapat berupa hasil test kemampuan akademis (hasil ulangan atau ujian), dapat pula prestasi bidang lainnya, seperti: olah raga, seni, bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, kebersihan dan sebagainya. Kemampuan pengelolaan sekolah oleh manajemen sekolah juga menentukan pencapaian kualitas output. Menurut Achmad (1990) mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (2010) melihat mutu/keberhasilan pendidikan dari tiga sisi, yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan mutu sekolah. Slamet (1999) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan yaitu: 1. Menciptakan situasi menang-menang (win win solution) dan bukan situasi kalah menang di antara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu 15

sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. 2. Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi intrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan. 3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus. 4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsurunsur pelaku prosesmencapai hasil mutu. Janganlah di antara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan. Kesesuaian dan ketercapaian standar perlu dievaluasi secara berkala, dan hasil temuan ditindaklanjuti untuk memperbaiki arah pelaksanaan jika pelaksanaan melenceng dari standar, meempertahankan atau meningkatkan satandar jika standar yang ditetapkan telah tercapai. Jadi peningkatan mutu pendidikan perlu ditingkatkan secara berkala dan berkelanjutan oleh institusi penyelenggara pendidikan itu sendiri (internally driven). Mempertahankan ketercapaian dan peningkatan standar perlu dilaksanakan untuk memberikan kepuasan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal. Sallis (2002) mengindentifikasikan dan mengelompokkan konsumen atau pelanggan pendidikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal meliputi para pendidik dan staf pendukung. Sedangkan pelanggan eksternal meliputi pelanggan eksternal utama adalah peserta didik; pelanggan eksternal sekunder adalah orang tua, pemerintah dan employers; serta pelanggan eksternal tersier adalah pasaran kerja, pemerintah 16

dan masyarakat. Sallis menyarankan agar pendidikan dipandang sebagai industri jasa, dan usaha memenuhi kebutuhan peserta didik harus menjadi fokus utama dalam mengelola mutu. Sekalipun demikian menurutnya tidak berarti harus mengabaikan pandangan-pandangan dari kelompok pelanggan lainnya. 2.2 Standar atau Parameter Pendidikan yang Berkualitas Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 32 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, ada delapan (8) standar yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu: Pasal 1 ayat 5 sampai 12. 1. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 2. Standar Isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat Kompetensi untuk mencapai Kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 3. Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. 4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah kriteria mengenai pendidikan prajabatan dan kelayakan maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. 5. Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 6. Standar Pengelolaan adalah kriteria mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 7. Standar Pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 17

8. Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen hasil belajar Peserta Didik. 2.3 Dimensi Mutu Pendidikan Menurut UNESCO dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan untuk semua ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu: 1. Karakteristik pembelajar (learner characteristics) Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge) dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak faktor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga bermasalah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan. 2. Pengupayaan masukan (enabling inputs) Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fiskal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga 18

kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. 3. Proses belajar-mengajar (teaching and learning) Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3), umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas. Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut. Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah guru tak layak. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah 19

kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai (Suparlan, 2006). 4. Hasil belajar (outcomes) Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan. Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy) dan kecakapan hidup (life skills) Ini memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan sosial intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa satu-satunya sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya (Goleman, 2005). Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk memelihara dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. 5. Konteks (contexts) atau lingkungan (environments) Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruhmempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya. 20

Menurut Townsend-Butterworth (1992) di dalam bukunya Your First Child s School, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang berkualitas, yaitu: 1. Keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; 2. Partisipasi & rasa tanggung jawab guru & staf; 3. Proses belajar mengajar yang efektif; 4. Pengembangan staf yang terprogram; 5. Kurikulum yang relevan; 6. Mempuyai visi serta misi yang terang; 7. Iklim sekolah yang kondusif; 8. Penilaian diri pada kapabilitas serta kelemahan; 9. Komunikasi efektif baik internal ataupun eksternal; dan 10. Keterlibatan orang lanjut usia serta warga dengan cara intrinsik. Manusia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan. Lingkungan selalu mengitari manusia dari waktu ke waktu, sehingga antara manusia dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik dimana lingkungan mempengaruhi manusia dan sebaliknya manusia juga mempengaruhi lingkungan. Begitu pula dalam proses belajar belajar mengajar, lingkungan sosial berhubungan dengan pola interaksi antarpersonil yang ada di lingkungan sekolah secara umum. Lingkungan sosial yang baik memungkinkan para siswa untuk berinteraksi secara baik, siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, atau guru dengan karyawan, dan siswa dengan karyawan, serta secara umum interaksi antarpersonil. Dan kondisi pembelajaran yang kondusif hanya dapat dicapai jika interaksi sosial ini berlangsung secara baik. Lingkungan sosial yang kondusif dalam hal ini, misalnya adanya keakraban yang proporsional antara guru, siswa dan orangtua serta masyarakat sekitar dalam proses pembelajaran. Lingkungan merupakan sumber belajar yang tidak dapat di abaikan. Beberapa faktor yang datang dari masyarakat dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar meliputi: 1 Media massa; di luar jam sekolah atau disekolah terkadang siswa membaca buku selain buku pelajaran, seperti koran, atau menonton televisi, sehingga 21

lupa akan tugas belajar. Maka bacaan dan tontonan siswa perlu diawasi dan diseleksi. 2 Teman bergaul; setiap manusia selalu berusaha untuk mengembangkan sosialisasinya, anak perlu bergaul dengan anak lain, dan perlu diawasi agar anak bergaul dengan teman yang baik agar dapat memberikan pengaruh baik pula. 3 Cara hidup lingkungan sekitar akan memberikan pengaruh besar pada sikap dan kebiasaan siswa, termasuk kebiasaan belajar. Siswa yang hidup dalam lingkungan yang selalu belajar keras, sikap itu akan mempengaruhi perilakunya. Di sisi lain Heyneman dan Loxley (1983) menyimpulkan bahwa kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh dunia dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut. Sejalan dengan yang disampaikan Husaini Usman (2009) bahwa ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan, yaitu: 1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak konsisten; 2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; dan 3. Peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. 2.4 Sarana dan Prasarana Pendidikan Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 PP 19 tahun 2005 (yang tidak berubah dalam PP no. 32 th 2013) dengan tegas disebutkan bahwa: 1. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 22

2. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 2.5 Hubungan Sarpras Pendidikan Dengan Proses Belajar Mengajar Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, ada dua jenis sarana pendidikan. Pertama, sarana pendidikan yang secara langsung digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagai contoh papan tulis, atlas, buku dan media dan sumber pendidikan lainnya yang digunakan guru dalam mengajar. Kedua, sarana pendidikan yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar, seperti lemari arsip di kantor yang secara tidak langsung digunakan guru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, prasarana pendidikan yang langsung digunakan untuk proses belajar mengajar. Seperti ruang kelas, ruang perpustakaan, dan ruang laboratorium. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar secara langsung. Contohnya adalah ruang kantor, kantin sekolah, ruang UKS, kamar kecil, ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tempat parkir kendaraan. 2.6 Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut : (Imron, 2003) a. Prinsip pencapaian tujuan, yaitu bahwa sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus selalu dalam kondisi siap pakai bilamana akan didayagunakan 23

oleh personil sekolah dalam rangka pencapaian tujuan proses belajar mengajar; b. Prinsip efisiensi, yaitu bahwa pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus dilakukan melalui perencanaan yang seksama, sehingga dapat diadakan sarana dan prasarana pendidikan yang baik dengan harga yang murah. Dan pemakaiannya pun dengan hati-hati sehingga mengurangi pemborosan; c. Prinsip administratif, yaitu bahwa manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus selalu memperhatikan undang-undang, peraturan, instruksi dan petunjuk teknis yang diberlakukan oleh yang berwenang; d. Prinsip kejelasan tanggung jawab, yaitu bahwa manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus didelegasikan kepada personel sekolah yang mampu bertanggung jawab. Apabila melibatkan banyak personel sekolah dalam manajemennya. Maka perlu adanya deskripsi tanggung jawab yang jelas untuk setiap personel sekolah; dan e. Prinsip kekohesifan, yaitu bahwa manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah itu harus direalisasikan dalam bentuk proses yang sangat kompak. 2.7 Kerangka Pemikiran Proses pembelajaran dan hasil dari proses belajar tentu perlu ditunjang oleh layanan manajemen yang teratur. Sejalan dengan Tawnsend-Butterworth (1992) yang mengemukakan bahwa pengelolaan atau manajemen sekolah termasuk pengelolaan proses belajar mengajar yang efektif, pengembangan SDM yang terprogram, komunikasi yang efektif secara internal dan eksternal dan keterlibatan warga dan orang tua, akan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Di samping itu proses pembelajaran yang baik juga memerlukan input yang berkualitas pula di antaranya sarana prasarana dan sumber daya manusia atau guru. Umaedi (1999) mengatakan input dari proses pendidikan adalah sarana prasarana seperti sumber belajar, fasilitas belajar, dan juga guru atau sumber daya manusia dengan berbagai metodogi yang digunakan. 24

Guru dalam proses dan hasil belajar memegang peranan penting dan sentral. Dewasa ini, sebagian guru juga mempunyai tugas tambahan sebagai pengelola baik pada bidang kurikulum, sarpras, kesiswaan dan juga top manajeman sekolah. Imron dkk. (2003) menegaskan bahwa guru merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan keberhasilan program pendidikan, tidak mungkin ada peningkatan mutu pendidikan tanpa peningkatan performansi gurunya dan ini mutlak dilakukan secara terus menerus. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa guru merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun bukan berarti keberadaan unsur unsur lain tidak penting. Peningkatan performa guru memerlukan adanya layanan yang profesional di bidang sarana dan prasarana dalam menerapkan kemampuannya secara maksimal. Hamalik (1994) menegaskan sudah jelas bahwa di samping dibutuhkannya guruguru yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang lebih memadai, juga diperlukan cara-cara bekerja dan sikap yang baru, peralatan yang lengkap, dan sistem administrasi yang lebih teratur. Variabel kesiswaan lebih menekankan pada kegiatan kesiswaan yang bertujuan untuk pengembangan karakter siswa, kegiatan ini juga memerlukan perhatian dan keterlibatan guru secara terintegrasi, yang pada akhirnya mempengaruhi proses dan hasil belajar. Baiknya kegiatan kesiswaan juga terkait dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai. Lingkungan sosial ekonomi masyarakat secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Lingkungan merupakan suatu komponen sistem yang ikut menentukan keberhasilan proses pendidikan. Kondisi lingkungan sekolah dan keluarga menjadi perhatian karena faktor ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di sekolah nilai-nilai kehidupan ditumbuhkan dan dikembangkan. Oleh karena itu, sekolah menjadi wahana yang sangat dominan bagi pengaruh dan pembentukan sikap, perilaku, dan prestasi seorang siswa (Tu u, 2004). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa keterlibatan orangtua siswa dan tokoh masyarakat di sekitar sekolah dapat memberikan pengaruh yang baik pada peningkatan proses dan hasil belajar. Uraian ini dapat dikemukakan 25

dalam bentuk diagram di bawah ini. Kerangka pemikiran yang menunjukkan hubungan antarvariabel dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini. Pengelolaan Hasil UN Proses Pembelajaran Sarpras Sosial ekonomi masyarakat SDM Kesiswaan Pembiayaan Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan Antarvariabel 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup, Populasi Dan Sampel Penelitian Objek penelitian ini dilaksanakan pada sekolah SMP dan SMA di 12 (dua belas) kabupaten/kota Provinsi Aceh dengan ranking 10 besar angka ketidaklulusan Ujian Nasional (UN) terbanyak. Setiap kabupaten/kota diambil sampel 5 sekolah dengan jumlah ketidaklulusan terbanyak dipilih secara random (acak) dari 10 SMP dan SMA rangking terendah di masing-masing kabupaten tersebut. Selanjutnya sebagai pembanding, penelitian ini juga mengambil sampel sekolah SMP dan SMA dengan hasil nilai rata-rata UN tertinggi di Aceh sebanyak 31 sekolah yang terdapat di 8 (delapan) kabupaten/kota. Total sekolah dari kedua kelompok sekolah ini yang dijadikan sampel adalah sebanyak 158 sekolah, dengan responden 235 responden. Untuk memudahkan mengidentifikasi sekolah sampel penelitian, berikut ini disajikan SMP dan SMA yang menjadi objek penelitian berturut-turut dalam Tabel 3.1 dan 3.2: 27

Tabel 3.1 Daftar Sampel Penelitian di Provinsi Aceh dengan Nilai UN Peringkat Sepuluh Terendah pada Tahun 2013 No. Kabupaten /Kota SMP 1 Aceh Barat 1. SMPN 2 Kaway XVI 2. SMPN 5 Kaway XVI 3. SMPN 1 Meureubo 4. SMPN 6 Meureubo 5. SMPN 4 Meureubo SMA 1. SMAN 1 Bubon 2. SMAN 1 Kaway XVI 3. SMA Muhammadiyah 6 Meulaboh 4. SMAN 1 Meureubo 5. SMAN 1 Panton Reu 2 Aceh Jaya 1. SMPN 1 Teunom 2. SMPN 1 Darul Hikmah 3. SMPN 3 Sampoinet 4. SMPN 2 Jaya 3 Aceh Timur 1. SMPN 1 Idi Tunong 2. SMPN 1 Darul Ikhsan 3. SMPN 2 Peureulak 4. SMPN 4 Peureulak 5. SMPN 6 Birem Bayeun 4 Aceh Utara 1. SMP Negeri 1 Tanah Pasir 2. SMP Negeri 6 Lhoksukon 3. SMP 2 Negeri Jambo Aye 4. SMP 4 Negeri Lhoksukon 5. SMP Alwaliyah 5 Bireuen 1. SMPN 1 Pandrah 2. SMPN 2 Peudada 3. SMPN 2 Jeunib 4. SMPN 2 Peulimbang 5. SMPN 4 Peudada 6 Pidie 1. SMPN 2 Peukan Pidie 2. SMP Darussa'dah 3. SMPN 1 Simpang Tiga 4. SMP Sukma Bangsa 5. SMPN 4 Sigli 7 Pidie Jaya 1. SMP Negeri 1 Bandar Baru 2. SMP Negeri 2 Bandar Baru 3. SMP Negeri 2 Trienggadeng 4. SMP N 2 Bandar Dua 5. SMP Negeri 3 Bandar Dua 1. SMAN 2 Sampoinet 2. SMA 5 Darul Abrar 3. SMAN 1 Setia Bakti 4. SMAN 1 Calang 5. SMAN 1 Panga 6. SMP Swasta Darunnizam 1. SMAN 1 Simpang Ulim 2. SMAN 1 Birem Bayeun 3. SMAN 1 Ranto Peureulak 4. SMAN 1 Nurussalam 5. SMAS Bungong Jeumpa (bubar) 1. SMA Negeri 1 Baktiya Barat 2. SMA 2 Baktiya 3. SMA 2 Negeri Seuneudon 4. SMA Sidomulyo (tidak bisa diakses karena ada insiden bersenjata) 5. SMA Meurah Mulia (tidak bisa diakses karena ada insiden bersenjata) 1. SMAN 1 Peulimbang 2. SMAN 1 Pandrah 3. SMAN 1 Simpang Mamplam 4. SMAN 1 Samalanga 5. SMAN 2 Samalanga 1. SMA Darussa'dah 2. SMAN 1 Padang Tiji 3. SMAS Islam Tgk. Chik Di Beureueh 4. SMAN 1 Keumala 5. SMAN 2 Sigli 1. SMA Negeri 1 Pante Raja 2. SMA Negeri 1 Jangka Buya 3. SMA Negeri 1 Trienggadeng 4. SMA Negeri 2 Bandar Baru 5. SMA Negeri 2 Meureudu 28

No. Kabupaten /Kota SMP 6. SMP Negeri 3 Bandar Baru SMA 8 Sabang 1. SMP N 7 Sabang 2. SMP N 3 Sabang 3. SMP N 4 Sabang 9 Aceh Tamiang 1. SMP Negeri 3 Karang Baru 2. SMP Negeri 5 Bendahara 3. SMP Swasta Al-Washliyah Seumadam 4. SMP Swasta Harum Sari 5. SMP Negeri 7 Karang Baru 10 Lhokseumawe 1. SMP I Serambi Mekkah 2. SMP Negeri Satap Ujong Pacu 3. SMP Negeri 4 Lhokseumawe 4. SMP Negeri 9 Lhokseumawe 5. SMP Swasta Islam Pase 11 Aceh Selatan 1. SMP Negeri 3 Labuhan Haji Timur 2. SMP Negeri 1 Kluet Utara 3. SMP Negeri 3 Pasie Raja 4. SMP Negeri 1 Bakongan 5. SMP Negeri 3 Kluet Utara 12 Aceh Barat Daya 1. SMP Negeri 4 Manggeng 2. SMP Negeri 1 Manggeng 3. SMP Negeri 1 Susoh 4. SMP Negeri 2 Susoh 5. SMP Negeri 1 Lembah Sabil 1. SMA N 1 Sabang 2. SMA N 2 Sabang 3. SMA Al-Mujaddid 1. SMA Negeri 3 Kejuruan Muda 2. SMA Swasta Darul Muklisin 3. SMA Swasta Syakirah 4. SMA Swasta Al-Hidayah 1. SMA Negeri 7 Lhokseumawe 2. SMA Negeri 6 Lhokseumawe 3. SMA Negeri 5 Lhokseumawe 4. SMA Negeri 3 Lhokseumawe 5. SMA Negeri 4 Lhokseumawe 1. SMA Negeri 3 Kluet Utara 2. SMA Negeri 1 Kluet Timur 3. SMA Negeri 1 Meukek 4. SMA Negeri 1 Labuhan haji 5. SMA Negeri 1 Pasie Raja 1. SMA Negeri 3 Abdya 2. SMA Negeri 4 Abdya 3. SMA Negeri 2 Abdya 4. SMA Negeri 8 Abdya 5. SMA Negeri 9 Abdya Jumlah Sekolah 58 SMP 55 SMA Banyaknya sekolah dengan hasil nilai UN peringkat sepuluh terendah adalah 113, yaitu 58 SMP dan 55 SMA. Sedangkan, banyaknya sekolah dengan peringkat sepuluh tertinggi adalah 31, yaitu 13 SMP dan 18 SMA, sebagaimana terdistribusi dalam Tabel 3.2 berikut ini. Tabel 3.2 Daftar Sampel Penelitian di Provinsi Aceh dengan Nilai UN Peringkat Sepuluh Tertinggi pada Tahun 2013 No. Kabupaten /Kota SMP SMA 1 Aceh Timur SMPN 1 Simpang Ulim SMAN Unggul Aceh Timur 29

No. Kabupaten /Kota SMP 2 Langsa - SMAN 1 Langsa SMA 3 Aceh Utara - 1. SMA Iskandar Muda 2. SMA Modal Bangsa Arun 4 Lhokseumawe - SMAN 1 Lhokseumawe 5 Aceh Tengah 1. SMPN 1 Takengon Aceh Tengah 2. SMPN 2 Takengon Aceh Tengah 3. SMPN 4 Aceh Tengah 6 Bener Meriah 1. SMPN 6 Satu Atap Permata Bener Meriah 2. SMPN 3 Wih Pesam Bener Meriah 3. SMPN 3 Timang Gajah Bener Meriah 4. SMPN 4 Takengon Aceh Tengah 5. SMPN 5 Takengon Aceh Tengah 6. SMPN 2 Wih Pesam Bener Meriah 7 Aceh Besar 1. SMPN Al-Falah 2. SMP 3 Lembah Seulawah 8 Banda Aceh SMP Fatih Bilingual School Lam Yong Banda Aceh 1. SMAN 1 Takengon Aceh Tengah 2. SMAN 8 Aceh Tengah 3. SMAN 15 Takengon Aceh Tengah 1. SMAN 1 Timang Gajah Bener Meriah 2. SMAN 1 Bandar Bener Meriah 3. SMAN 2 Bandar Bener Meriah 4. SMAN 1 Bukit Bener Meriah 5. SMA Bustanul Ulum Bener Meriah 6. SMAN Unggul Binaan Bener Meriah 1. SMA Modal Bangsa 1. SMA 3 Banda Aceh 2. SMA 1 Banda Aceh 3. SMA Fajar Harapan Jumlah Sekolah 13 SMP 18 SMA 3.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pedoman wawancara kepada para responden, terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, kepala tata usaha dan pegawai tata usaha. Survei dilakukan terhadap SMP dan SMA berdasarkan jumlah ketidaklulusan UAN melalui observasi lapangan dan wawancara dengan responden yang bersangkutan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yang terdiri dari jurnal, laporan ilmiah, laporan resmi pemerintah, dan bahan-bahan lain yang relevan. 30

3.3 Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode analisis secara deskriptif kualitatif (analisis statistik inferensial). Metode analisis deskriptif dilakukan dengan analisis secara umum melalui grafik, tabel, gambar dan peta. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods) dengan desain triangulasi yang dapat digambarkan sebagai berikut (Creswell, 2008): QUAN (Data dan Results) + QUAL (Data dan Results) Interpretasi Gambar 3.1. Desain Triangulasi Metode Penelitian Campuran 3.4 Metode Analisis dan Pembahasan 1. Analisis data kuantitatif Penelitian ini akan menggunakan metode analisis secara deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan inferensia statistik. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan analisis secara umum melalui grafik, tabel, dan gambar. Sedangkan analisis statistik inferensia, menggunakan analisis regresi untuk persamaan simultan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan pengujian keberartian koefisen regresi dengan uji-t, dengan kriteria nilai t lebih besar atau sama dengan satu, berarti koefisien regresi signifikan. Selain itu, secara kualitatif penarikan kesimpulan didasarkan pada hubungan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang di padu pada penyajian data yang informatif. Model Analisis. PROS = a0 + a1 SDM + a2 SRP + a3 SW + a4 MJM + a5 UN + a6 D + e1 31

SRP UN = b0 + b1 DN + b2 MJM + b3 SW + b4 D + e2 = d0 + d1 PROS + d2 SRP + d3 SW + d4 SDM + d5 MJM + d6 KM+ d7 D + e3 Keterangan: PROS = proses pembelajaran SDM = sumber daya manusia SRP = sarana dan prasarana SW = kesiswaan MJM = manajemen DN = pembiayaan UN = hasil ujian nasional KM = kondisi soaial ekonomi masyarakat D = variabel dummy, nilai 1 untuk sekolah dengan nilai UN tinggi nilai 0 untuk sekolah dengan UN rendah Reduced form: PROS - a2 SRP - a6 UN = a0 + a1 SDM + a3 SW + a4 MJM + a7d + e1 SRP = b0 + b1 DN + b2 MJM + b4d + e2 - d1 PROS - d2 SRP + UN = d0 + d3 SW + d4 SDM + d5 MJM + d6km + d7d + e3 Bentuk reduced dapat dituliskan dalam bentuk matrik berikut: 1 -a 1 -a 6 [ 0 1 0 -d 1 -d 2 1 a 0 a 1 a 3 ] = [ b o 0 0 d 0 d 4 d 3 a 4 b 2 d 5 0 b 1 0 0 a 7 b 4 b 5 d 6 d 7 ] [ 1 SDM SW MJM DN KM D ] e 1 + [ e 2 ] e 3 Matriks variabel endogen bukan matriks segitiga, yang menunjukkan model yang dibangun merupakan model simultan dengan kata lain terdapat saling 32

mempengaruhi antar variabel penelitian. Model ini dapat diestimasi dengan metode Two State Least Square (2TLS) (Gujarati, 1993). 2. Analisis data kualitatif Data kualitatif dianalisis dengan menggunakan model analisis yang dikemukakan oleh Creswell (2008) yang digambarkan sebagai berikut: Mengkode teks untuk deskripsi yang digunakan pada laporan penelitian Mengkode teks untuk tema-tema yang digunakan pada laporan penelitian Peneliti mengkode data (yakni, menentukan bagian-bagian teks dan memberikan label kode pada mereka) Serentak Bolak-balik Peneliti membaca keseluruhan data (yakni, mendapatkan pemahaman umum dari material) Peneliti mempersiapkan data untuk analisis (yakni, mentranskrip catatan lapangan) Peneliti mengumpulkan data (yakni, file teks seperti catatan lapangan, transkripsi, atau bahan yang dipindai secara optik) Gambar 3.2 Proses Analisis Data Kualitatif Proses analisis sesuai dengan langkah-langkah di atas, diawali dengan pengumpulan data, pembuatan transkrip hasil dokumentasi dan wawancara. Kemudian melakukan analisis diawali dengan mendapatkan pemahaman umum dari transkrip itu, dilanjutkan dengan mensegmentasi transkrip untuk menentukan kode-kode pada setiap segmen tersebut. Setelah mengumpulkan semua kode, dilakukan reduksi untuk kode-kode yang tumpang tindih atau berulang. Hasil reduksi kode diklasifikasikan kode-kode tertentu yang membentuk tema. 33

Tema-tema yang diperoleh digunakan untuk membuat deskripsi yang akan digunakan pada laporan penelitian. Dalam analisis, juga dicari keterkaitan antar tema-tema yang ada untuk melihat keterkaitan antara mereka. Dengan serangkaian proses analisis ini, peneliti melahirkan hasil penelitian dan menginterpretasi untuk melahirkan kesimpulan dan rekomendasi dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan sekolah menengah di Provinsi Aceh. Definisi Operasional Variabel 1. Proses pembelajaran adalah kriteria dalam menjalankan pembelajaran yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran yang diukur dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 Skala 2 : Sebagian besar pembelajaran dilakukan tanpa RPP, hanya sebagian kecil prosedur yang terlaksan, dan proses pembelajaran tidak diawasi dan evaluasi. : Sebagian pembelajaran dilakukan tanpa RPP, sebagian prosedur terlaksana, dan proses pembelajaran sebagian diawasi dan evaluasi. Skala 3 : Sebagian besar pembelajaran tidak mengikuti RPP, sebagian prosedur terlaksana, dan proses pembelajaran sebagian diawasi dan evaluasi. Skala 4 : Sebagian besar pembelajaran tidak mengikuti RPP, sebagian prosedur terlaksana, dan proses pembelajaran sebagian besar diawasi dan evaluasi. Skala 5 : Sepenuhnya pembelajaran mengikuti RPP, sebagian besar prosedur terlaksana, dan proses pembelajaran sebagian besar diawasi dan evaluasi. 2. Sumber daya manusia adalah kriteria guru yang meliputi kompetensi dan kesesuaian dengan pelajaran yang diampu, serta pembinaan profesional, yang diukur dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 Skala 2 : Ada pelajaran ujian nasional yang diajarkan oleh guru dengan kompetensi tidak sesuai. : Ada pelajaran selain mata pelajaran yang di-un-kan yang diajarkan oleh guru dengan kompetensi yang tidak sesuai, dan 34

aktif pada MGMP. Skala 3 : Tidak ada pelajaran yang diajarkan oleh guru dengan kompetensi tidak sesuai. Kurang dari 25% guru bersertifikat, kurang dari 25% guru telah mengikuti pelatihan-pelatihan dan guru aktif pada forum MGMP. Skala 4 : Tidak ada pelajaran yang diajarkan oleh guru dengan kompetensi tidak sesuai. Kurang dari 50% guru bersertifikat, lebih dari 50% guru telah mengikuti pelatihan-pelatihan, dan aktif mengikuti MGMP. Skala 5 : Tidak ada pelajaran yang diajarkan oleh guru dengan kompetensi tidak sesuai. Lebih dari 75% guru telah bersertifikat. Lebih dari 75% guru telah mengikuti pelatihan-pelatihan, dan aktif dalam MGMP dan ada MGMP internal. 3. Kecukupan sarana dan prasarana adalah kriteria fisik dan pemanfaatannya sarpras yang secara langsung maupun tidak langsung digunakan dalam proses belajar mengajar, meliputi kecukupan ruang kelas beserta mobiler, ruang laboratorium beserta peralatan dan jenisnya, peralatan kegiatan ekstrakurikuler dan sumber belajar, yang diukur dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 Skala 2 : Ketersediaan, perawatan, dan pemutakhiran sarpras sangat sedikit terpenuhi dan tanpa SOP. : Ketersediaan, perawatan, dan pemutakhiran sarpras sebagian kecil terpenuhi dan tanpa SOP. Skala 3 : Ketersediaan, perawatan, dan pemutakhiran sarpras separuhnya terpenuhi berdasarkan SOP. Skala 4 : Ketersediaan, perawatan, dan pemutakhiran sarpras sebagian besar terpenuhi berdasarkan SOP. Skala 5 : Ketersediaan, perawatan, dan pemutakhiran sarpras terpenuhi berdasarkan SOP. 4. Kesiswaan adalah kriteria mengenai kegiatan kesiswaan dalam membina karakter siswa yang meliputi kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler yang diukur dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 Skala 2 : Tidak ada kegiatan kokurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. : Ada 1 jenis kegiatan kokurikuler atau ekstrakurikuler. 35

Skala 3 Skala 4 Skala 5 : Ada 2-3 jenis kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. : Ada 4-5 Jenis kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. : Ada lebih dari lima kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. 5. Pembiayaan adalah kriteria mengenai dan sumber pembiayaan sekolah meliputi pembiayaan operasional rutin dan program untuk mendukung prestasi siswa dan guru, yang diukur dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Skala 5 : Pembiayaan hanya dengan dana BOS. : Selain dana BOS, ada pembiayaan yang bersumber dari APBA. : Selain dana BOS ada pembiayaan lain yang bersumber dari APBA dan APBK. : Selain dana BOS, ada pembiayaan tambahan yang bersumber dari APBA, APBK, dan Komite Sekolah. : Selain dana BOS, ada pembiayaan tambahan yang bersumber dari APBK, dan Komite Sekolah, dan sumber lainnya. 6. Hasil ujian nasional adalah nilai rata-rata ujian nasional tahun 2013, yang diukur dengan skala 1 sampai 10. Skala 1 : Nilai rata-rata UN adalah < 4 Skala 2 : Nilai rata-rata UN adalah 4 sampai < 5 Skala 3 : Nilai rata-rata UN adalah 5 sampai < 6 Skala 4 : Nilai rata-rata UN adalah 6 sampai 7 Skala 5 : Nilai rata-rata UN adalah > 7 7. Kondisi sosial ekonomi masyarakat adalah kriteria mengenai keadaan lingkungan sosial ekonomi masyarakat di sekitar sekolah yang diukur dengan persentase penduduk miskin di sekitar sekolah atau pada kecamatan dimana sekolah berlokasi. Skala 1 : Tidak mampu menyediakan fasilitas penunjang pembelajaran dan mendukung kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler anaknya. Skala 2 : Mampu menyediakan sebagian kecil fasilitas penunjang pembelajaran dan mendukung kegiatan kokurikuler dan 36

ekstrakurikuler anaknya. Skala 3 : Mampu menyediakan sebagian fasilitas penunjang pembelajaran dan mendukung kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler anaknya. Skala 4 : Mampu menyediakan sebagian besar fasilitas penunjang pembelajaran dan mendukung kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler anaknya. Skala 5 : Mampu menyediakan seluruh fasilitas penunjang pembelajaran dan mendukung kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler anaknya. 37

38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Mengacu kepada tujuan penelitian, yaitu: (1) menganalisis proses pembelajaran pada siswa sekolah jenjang SMP dan SMA di Aceh; (2) menganalisis ketersediaan dan keterkucupan sarana dan prasarana sekolah tingkat SMP dan SMA sederajat di Aceh; dan (3) menganalisis kondisi lingkungan sosial ekonomi di sekitar sekolah SMP dan SMA sederajat yang angka kelulusan UN menurun di Aceh, deskripsi dan pembahasan hasil penelitian ini difokuskan pada sub-sub bab berikut ini: 4.1 Hasil Estimasi Model Analisis Tabel 4.1 di bawah ini memperlihatkan hasil estimasi model analisis data, dengan menggunakan EViews versi 6 yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 4.1 Hasil Estimasi Model Analisis Proses Sarpras UN Konstanta 1,405173* 0,534030* 6,280496* Ujian Nasional (UN) 0,040362 - - Sarpras (SRP) 0,261821* - -0,027007 SDM 0,028347* - 0,060267* Pengelolaan (MJM) 0,034136 0,016979 0,103072* Kesiswaan (SW) 0,333620* 0,423082* -0,056208 Pembiayaan (DN) - 0,289502* - Proses (PROS) - - 0,100304* Sosial ekonomi masy (KM) - - -2,727108* Dummy (DY) 0,552022** 0,148675 - Manajemen Sekolah UN Tinggi (DMJM) 0,198940* - - Proses Pembelajaran sekolah UN Tinggi (DPROS) - - 0,650735* Sarpras Sekolah UN Tinggi (DSRP) - - -0,089397 Koefisien determinasi 0,4893 0,2123 0,7196 Ket; *(signifikan), **t=0,99 mendekati satu Sumber: Hasil Estimasi Model (lampiran 2a) Model fungsi pembelajaran mempunyai koefisien determinasi R 2 = 0,4893, artinya secara keseluruhan variabel bebas dalam model proses pembelajaran hanya dapat menjelaskan 48,9% variasi yang terjadi dalam proses 39

pembelajaran di SMP dan SMA, selebihnya adalah akibat faktor gangguan yang tidak diperhitungkan dalam model. Koefisien determinasi R 2 untuk fungsi sarana dan prasana 0,2123, yang relatif kecil. Namun demikian, dari banyak studi yang menggunakan observasi individual dengan jumlah sampel yang relatif besar, dalam penelitian ini jumlah sampel adalah 235, selalu menghasilkan koefisien determinasi yang rendah. Jika diperoleh R 2 = 0,2 atau 0,3 sudah dapat dianggap cukup tinggi, karena pada kenyataannya banyak sekali faktor-faktor yang tidak terobservasi tetapi turut mempengaruhi prilaku individu. Lagi pula R 2 akan selalu meningkat jika kita menambah satu atau lebih variabel ke dalam model, akibat mengecilnya kesalahan pengganggu (e), tetapi dibarengi dengan mengecilnya derajat kebebasan yang dapat mengakibatkan koefisen regresi tidak berarti. Jadi koefisien determinasi yang tinggi tidak selalu mencerminkan garis regresi yang baik. Pemilihan model yang tepat dengan didasarkan pada koefisein determinasi yang tinggi, sebenarnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan pemilihan model yang terbaik. Terlebih lagi penelitian ini tidak bermaksud melakukan forecasting, maka R 2 yang rendah tidak perlu dirisaukan. (Asmawati,1999). 4.2 Pembahasan Proses Pembelajaran Proses pembelajaran, secara umum terlaksana dengan baik untuk sekolahsekolah tingkat SMP dan SMA, dan mempengaruhi hasil UN secara signifikan. Namun demikian proses pembelajaran berlangsung lebih baik pada sekolahsekolah dengan hasil UN tertinggi dibandingkan dengan sekolah yang hasil UNnya terendah di Provinsi Aceh. Hal ini ditunjukkan oleh signifikannya variabel dummy (Dy) dan variabel proses pembelajaran pada sekolah UN tinggi (DMJM) diperlihatkan pada Tabel 4.1. Artinya proses pembelajaran disekolah dengan UN tinggi lebih baik dibandingkan sekolah dengan hasil UN rendah. Fungsi proses pembelajaran di sekolah dengan UN tinggi mempunyai intersep yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,552022 dibandingkan dengan sekolah UN rendah. Selain itu variabel pengelolaan pada sekolah UN tinggi (DMJM) signifikan, sementara variabel pengelolaan untuk keseluruhan sekolah (MJM) tidak signifikan, ini 40

artinya proses pembelajaran di sekolah UN tinggi di kelola dengan baik dengan koefisien sebesar 0.198940, lebih baik dari pada sekolah dengan UN rendah. Peran pimpinan sekolah cukup baik pada sekolah dengan UN tinggi dalam memastikan proses pembelajaran berjalan sesuai dengan kurikulum dan kalender pendidikan. Namun, proses pembelajaran pada sekolah-sekolah tertentu, terutama sekolah yang termasuk kelompok sekolah dengan hasil UN terendah, tidak berjalan dengan arahan dan kontrol yang memadai dari pimpinan sekolah (rincian dari kondisi ini dapat dilihat pada lampiran 2.c poin 5 tentang pengelolaan dan lampiran 2.e poin 3 tentang standar proses). 1. Perencanaan proses pembelajaran Proses BM atau proses pembelajaran yang baik seyogianya dilaksanakan dengan perencanaan yang baik pula. Seorang guru semestinya menyususn Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas. RPP yang dilengkapi dengan perangkat pembelajaran akan menuntun guru untuk melaksanakan pembelajaran kreatif, dan menyenangkan. RPP berisi langkah-langkah proses pembelajaran, sebagai berikut: - Diawali dengan pembukaan, biasanya berisi motivasi dan appersepsi yang merupakan stimulus khusus pada awal proses pembelajaran untuk meraih perhatian siswa. Appersepsi yang umum dilakukan guru adalah pemanasan (warm-up) biasanya dengan beberapa pertanyaan mengenai pelajaran yang telah lalu. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat disampaikan dengan menyenangkan sehingga siswa siap untuk belajar, dan hal ini perlu direncanakan dengan baik; - Langkah kedua adalah merencanakan kegiatan inti, dilengkapi dengan pendekatan, model dan metode pembelajaran. Dilengkapi dengan sintak-sintak sesuai model yang digunakan, untuk menuntun setiap kegiatan dikelas yang bertujuan mengekplorasi dan mengelaborasi pengetahuan siswa. Menentukan sumber belajar, seperti Lembar Kegiatan Siswa (LKS); - Kegiatan penutup, biasanya merupakan kegiatan refleksi, mengkonfirmasi kembali pemahaman siswa, menarik kesimpulan dan melaksanakan remidial 41

jika ada siswa yang masih belum memahami, topik pembelajaran yang telah dilaksanakan; - Membuat media dan alat peraga sederhana pembelajaran sederhana, atau memanfaatkan lingkungan belajar sebagai media dan sumber belajar; dan - Menyusun instrumen evaluasi yang dilengkapi dengan rubrik. Hasil survei pada sampel sekolah dengan nilai ujian nasional rendah, menunjukkan bahwa masih ada sekolah yang proses pembelajarannya belum direncanakan dengan baik. Persentase sekolah yang mempunyai mata pelajaran tidak memiliki Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) relatif besar, yaitu sebesar 32,5%, diperlihatkan pada Gambar 5.1. Pada sekolah dengan hasil ujian nasional tinggi. Perangkat pembelajaran yang disusun juga telah dilengkapi dengan rubrik yang baik. Meskipun demikian, pada sekolah ini juga mempunyai mata pelajaran yang proses pembelajarannya belum direncanakan dengan baik (tidak memiliki RPP) sebesar 6,8% sekolah, umumnya pada pelajaran muatan lokal. 93.1 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 48.3 20.6 Guru yang mengajar bukan bidangnya 73.3 Keikutsertaan dalam Forum MGMP 32.5 6.8 Pelajaran yang belum memiliki RPP UN rendah Un Tinggi Gambar 4.1 Persentase Ketercukupan Guru di Sekolah dan Partisipasi dalam MGMP dan Perencanaan Pembelajaran 42

2. Pelaksanaan proses pembelajaran Pada sekolah dengan UN tinggi pelaksanaan proses pembelajaran umumnya merujuk pada RPP, kecuali ada hal-hal tertentu. Misalnya listrik mati yang menyebabkan penggunaan media pembelajaran berbasis IT tidak dapat digunakan,. Media pembelajaran yang umum digunakan adalah slide yang memerlukan infokus dan laptop. Penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga cukup baik dan hampir merata untuk berbagai mata pelajaran. Hanya saja LKS masih terkesan seperti soal evaluasi, padahal seyogianya LKS adalah sumber belajar, yang berisi langkan dan petunjuk agar siswa dapat menemukan kembali konsep yang sedang dipelajari. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan LKS yang baik, akan melibatkan proses mental, sehingga pemahaman konsep akan lebih baik. Tentu saja, proses pembelajaran seperti ini memerlukan kesabaran guru untuk tidak langsung memberitahukan, tetapi membiarkan siswa mengalami proses penemuan konsepnya. Hal ini memerlukan waktu, inilah kemudian menjadi alasan guru untuk mengabaikan proses mental ini, karena khawatir tidak mencapai target kurikulum. Sebagian guru disekolah dengan UN rendah, meskipun menyususn RPP namun tidak memedomaninya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. RPP biasanya di buat bukan pada awal pembelajaran, namun hanya dibuat untuk melengkapi administrasi yang perlu dilaporkan kepada kepala sekolah, atau sebagai syarat DP3 guru. Alasan lainnya, kenapa guru tidak melaksanakan pembelajaran sesuai RPP adalah waktu pembelajaran yang dianggap sempit atau kekurangan waktu. Dalam hal ini sangat diperlukan pembinaan profesional guru secara berkala, memberikan bimbingan teknis menyusun perencanaan dan melaksanakannya di kelas. Upaya ini dapat dilaksanakan di sekolah dengan koordinasi dari pimpinan sekolah. Forum MGMP dapat dimanfaatkan secara optimal, bahkan MGMP internal sekolah yang dilaksanakan pada sebagian sekolah dengan hasil UN tinggi, dapat dijadikan praktek baik yang dapat ditularkan pada sekolah-sekolah lain. Pengelolaan proses pembelajaran oleh pimpinan sekolah, memegang peranan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Proses pembelajaran 43

berjalan baik pada sekolah dengan hasil UN tinggi dan memberikan pengaruh positif serta singnifikan terhadap hasil UN yang tinggi, (diperlihatkan pada Tabel 4.1, signifikannya variabel Dy pada fungsi Proses pembelajaran dan variabel DPROS pada fungsi UN), lebih disebabkab oleh manajemen yang lebih baik. Pimpinan sekolah yang peduli pada pelaksanaan proses pembelajaran, akan berdampak pada pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan guru. Hal ini terlihat suasana pembelajaran atau suasana akademik yang lebih baik. Karenanya sangat diperlukan untuk meregulasi pengelolaan sekolah terutama pada pengelolaan proses pembelajaran di kelas. Selama ini proses pembelajaran di kelas, seperli melihat dalam kotak hitam, tidak ada yang terlihat, yang mengetahui proses yang terjadi hanya guru dan siswa. 3. Supervisi, pengawasan dan evaluasi proses pembelajaran Hasil wawancara dengan responden mengindikasikan bahwa evaluasi terhadap proses pembelajaran, sangat kurang dilaksanakan dengan benar, terutama pada sekolah dengan UN rendah. Pimpinan sekolah hanya memantau proses pembelajaran dari luar kelas saja, sambil lewat. Belum menggunakan instrumen yang terukur. Apalagi dengan membentuk tim secara berkala, yang bertugas untuk mengevaluasi proses yang dilaksanakan guru di kelas, mengevaluasi RPP yang disusun guru. Namun sebagian besar pimpinan sekolah pada kelompok UN tertinggi proses tersebut dilaksanakan relatif lebih baik. Mereka membentuk tim secara berkala, yang terdiri dari Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, dan guru senior untuk melaksanakan evaluasi proses pembelajaran di kelas, meskipun belum optimal dari sisi umpan balik, dan tindak lanjut. Supervisi, pengawasan, dan evaluasi dalam berbagai aspek dan tahapan proses belajar-mengajar sangat diharapkan terlaksana dengan baik. Dengan supervisi, pengawasan, dan evaluasi, setiap tahapan proses belajar-mengajar akan segera dapat diberikan masukan untuk diperbaiki sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Namun, ditemui bahwa supervisi dan evaluasi agak jarang dilakukan atau kalaupun dilakukan sangat jarang menghasilkan output yang langsung disampaikan untuk digunakan sebagai dasar perbaikan proses belajar-mengajar. 44

Guru menyatakan bahwa supervisi dan evaluasi yang dilakukan oleh pimpinan dan pengawas sekolah jarang sekali bisa memberikan masukan bagaimana memperbaiki kekurangan atau kelemahan dalam proses belajar-mengajar oleh guru. Supervisor paling sering hanya bisa menuliskan catatan kelemahan atau kekurangan dalam proses belajar-mengajar tanpa disertai dengan bagaimana cara atau langkah-langkah konkrit untuk memperbaikinya. Kesenjangan seperti itu dapat terlihat pada setiap langkah atau aspes proses belajar-mengajar (rincian dari kondisi ini dapat dilihat pada lampiran 2.c dan lampiran 2.e). - Pertama, untuk perencanan pembelajaran (khususnya penyusunan RPP), para kepala sekolah tidak cukup memainkan perannya untuk memastikan bahwa semua RPP yang disusun oleh guru, adalah sesuai dengan kesiapan peserta didik, ketersediaan sumber belajar dan media, dan dukungan sarana dan prasarana. Peran-peran mereka yang kurang terlaksana adalah: (1) mengarahkan penyusunan RPP yang memastikan bahwa proses pembelajaran terlaksana secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik sehingga bisa melahirkan prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat mereka; dan (2) mengevaluasi kualitas perangkat pembelajaran yg disusun guru. Padahal, peran-peran ini sangat penting untuk memantapkan perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh setiap guru dengan mekanisme: (1) guru menyusun RPP sesuai dengan arahan pimpinan sekolah, (2) RPP dikoreksi dan diberikan feedback sebagai dasar untuk direvisi, (3) RPP disahkan apabila sudah direvisi sesuai dengan koreksi dan feedback yang diberikan; - Kedua, untuk pelaksanaan proses pembelajaran, para kepala sekolah juga tidak cukup memainkan perannya untuk memastikan bahwa pembelajaran di ruangan kelas, di laboratorium, dan di luar ruangan kelas. Peran-peran mereka yang kurang terlaksana adalah: (1) mensupervisi proses pelaksanaan pembelajaran untuk memastikan bahwa guru melaksanakan pembelajaran benar-benar sesuai dengan RPP; dan (2) mengawasi proses pembelajaran. Padahal, peran-peran ini sangat penting untuk menjamin kualitas pelaksanaan pembelajaran, dengan mekanisme: (1) guru melaksanakan pembelajaran materi yang dijadikan 45

sampel supervisi, (2) pimpinan sekolah memberikan feedback sesuai dengan peran mereka dalam kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership), yaitu memperbaiki teknik atau metode penyampaian dan isi bahan ajar, (3) meminta guru memperbaiki proses pembelajaran dengan mendasarkan pada feedback yang diberikan pada supervisi pertama, dan (4) pimpinan sekolah melakukan supervisi kedua untuk memastikan adanya revisi dan peningkatan kualitas daripada pembelajaran pada supervisi pertama; dan - Ketiga, untuk hasil pembelajaran, para kepala sekolah juga tidak cukup memainkan perannya untuk memastikan bahwa direncanakan dengan baik, ditentukan teknik yang sesuai, dikembangan instrumen yang valid dan reliabel, diadministrikan pelaksanaannya dengan baik, dan ditentukan nilai setiap peserta didik untuk setiap ranah tujuan pembelajaran secara objektif dan akurat. Padahal, peran-peran ini sangat penting untuk menjamin kualitas pelaksanaan yang akan memberikan hasil yang akurat dan objektif, dengan mekanisme: (1) menilai kesesuaian teknik untuk setiap ranah tujuan dan materi pembelajaran, (2) menentukan prosedur pengembangan instrumen yang benar dan lengkap, dan (3) prosedur penentuan skor dan nilai peserta didik. Dengan menjalankan mekanisme-mekanisme di atas, diyakini bahwa proses pembelajaran akan berjalan dengan baik sesuai dengan kondisi yang ada. Bagaimanapun, proses pembelajaran yang baik selalu memerlukan peran yang baik pula dari faktor-faktor pendukungnya. Beberapa faktor yang dikaji dalam penelitian ini, disajikan berikut ini: a. Faktor tenaga pendidik Hasil estimasi yang diperlihatkan pada Tabel 4.1, menunjukkan bahwa proses pembelajaran sangat signifikan dipengaruhi oleh sumber daya manusia (SDM) atau tenaga pendidik, dengan arah positif, meskipun koefisiennya relatif kecil yaitu 0,028347. Variabel ini juga signifikan mempengaruhi hasil UN dengan koefisien yang relatif lebih besar. Artinya pembinaan profesionalisme guru melalui pelatihan, sertifikasi guru, forum MGMP cukup efektif dalam meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran. Materi 46

pelatihan dan materi yang dibahas pada forum MGMP, menurut guru cukup bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan kemampuan keilmuan, meskipun peningkatannya relatif kecil. Gambar 5.1 memperlihatkan partisipasi guru dalam forum MGMP lebih besar pada sekolah dengan nilai UN tinggi dibandingkan sekolah dengan UN rendah yairu 93,1% berbanding 73,3%. Selain itu, di sekolah UN tinggi dibentuk juga MGMP internal sekolah, yang terdiri dari guru bidang studi yang sama. Kegiatan dalam MGMP internal antara lain berkolaborasi dalam menyusun RPP, membahas materi yang dianggap sulit, atau bertukar pikiran untuk itu dan menyusun rubrik, serta validasi soal dan uji coba rubrik. Menurut pengelola sekolah, MGMP internal sangat bermanfaat, jika ada guru yang berhalangan, maka guru yang dalam tim MGMP tersebutlah yang menggantikan tanpa mengalami kesulitan berarti. Guru seyogianya akan sangat menguasai materi pelajaran yang memang menjadi kompetensi sesuai ijazah yang dimikili. Namun sangat disayangkan, masih ada guru yang mengajar pelajaran di luar kompetensinya. Artinya, masih terdapat kekurangan guru pada mata pelajaran tertentu. Distribusi guru masih belum merata menurut kebutuhan mata pelajaran, meskipun angka rasio guru murid sudah sangat bagus yaitu 9 10. Gambar 4.1 menunjukkan bahwa 48,3% sekolah UN rendah dan 20,6 sekolah dengan hasil UN tinggi yang memiliki mata pelajaran yang diajarkan oleh guru dengan pendidikan yang tidak sesuai, serti didajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Pelajaran yang Kekurangan Guru Menurut Peringkat Urutan Mata Pelajaran Urutan Mata Pelajaran 1 Kesenian 6 Matematika 2 Teknologi Informasi dan Komputer 7 Penjas dan Bahasa Indonesia 3 Sosiologi 8 Sejarah 4 PPKN 9 IPS 5 Geografi Sumber : Laporan bulanan sekolah (diolah) 47

Tabel 4.2 memperlihatkan beberapa pelajaran yang kekurangan guru. Pejajaran kesenian yang paling banyak diajarkan oleh guru yang tidak sesuai kompetensi, disusul oleh pelajaran TIK, sosiologi PPKN, geografi, matematika, Pendidikan Jasmani, Bahasa Indonesia, Sejarah dan terakhir IPS. Ternyata pelajaran yang di-un-kan juga mengalami kekurangan guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan profesional guru sangat penting dalam menghasilkan proses pembelajaran yang baik dan bermutu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil UN. Peningkatan kemampuan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut: 1. Pelatihan pembinaan profesionalisme guru seperti pelatihan penyusunan perangkat pembelajaran, yang dilengkapi dengan real teching. 2. Mengefektifkan forum MGMP antarsekolah 3. Melaksanakan MGMP internal sekolah, dan membentuk tim teching. 4. Memberikan tugas kepada guru sesuai kompetensi yang dimiliki. 5. Memastikan bahwa guru melaksanakan pembelajaran dengan perencanaan yang baik. b. Faktor kesiswaan Faktor kegiatan kesiswaan (SW) juga memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap proses pembelajaran dengan pengaruh yang relatif besar. Tetapi tidak signifikan mempengaruhi hasil UN. (Tabel 4.1). Pembinaan karakter siswa melalui penerapan disiplin, menggalakkan kegiatan-kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler telah dapat memberikan pengaruh positif pada proses pembelajaran. Tentu saja dengan karakter siswa yang mengacu pada peningkatan disiplin, kerja keras, kerja tim, teliti dan pengamalan nilai-nilai keagamaan akan memudahkan bagi guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan. Kedekatan guru dan siswa terjalin baik melalui pembinaan kegiatan kesiswaan oleh guru. Pada dasarnya, pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan, meskipun terdapat wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, namun itu hanya bersifat koordinatif. Guru merupakan tenaga kependidikan yang kerap kali berhadapan dengan peserta didik dalam proses 48

pendidikan. Sebagai pendidik. guru bertanggung jawab atas terselenggaranya proses tersebut di sekolah, baik melalui bimbingan, pengajaran, dan keteladanan. Apabila guru hanya menjalankan salah satu bagian dari tanggung jawabnya, maka perkembangan peserta didik tidak mungkin optimal. Dengan kata lain, pencapaian hasil pada diri peserta didik yang optimal, mempersyaratkan pelayanan dari guru yang optimal pula, termasuk pelayanan dalam bidang kesiswaan. Kegiatan kesiswaan, umumnya ditujukan untuk pembinaan karakter siswa, ataupun kemampuan afektif siswa. Sikap yang baik akan menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas dan secara tidak langsung akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Adapun kegiatan kesiswaan yang menonjol di laksanakan antara lain, seperti diperlihatkan pada Gambar 5.2. 70 60 60.8 50 40 30 41.3 37.9 35.8 44.8 42.5 41.4 UN Rendah UN Tinggi 20 10 13.3 10.8 10.3 0 Pramuka Kesenian Olimpiade Olah Raga PMR Gambar 4.2. Persentase Sekolah Melaksanakan Kegiatan Kesiswaan yang Menonjol Sekolah dengan nilai Ujian Nasional tinggi mempunyai kegiatan yang menonjol pada bimbingan untuk mengikuti olimpiade berbagai bidang, kegiatan olah raga dan kegiatan pramuka. Umumnya, sekolah dengan UN tinggi mempunyai prestasi pada ajang olimpiade, seperti olimpiade matematika, fisika, atau olimpiade sain. Sementara pada sekolah dengan nilai UN rendah, kegiatan yang menonjol adalah pramuka, kesenian dan juga olah raga. Kegiatan olah raga 49

antara lain bola voli, tenis meja, pencak silat. Sedangkan kegiatan kesenian kebanyakan bernuansa islami sepersi rebana, dan rohis. Di samping itu, masih banyak kegiatan kesiswaan lainnya yang dilaksanakan di sekolah antara lain kegiatan pertanian, UKS, kustum, otomotif, tata boga, pengajian, tahfizul Quran dan bakti sosial. c. Faktor pelajaran yang di-ujian Nasionalkan Hasil UN tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Ini menunjukkan bahwa adanya pelajaran yang di-un-kan belum memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas pembelajaran untuk pelajaran tersebut. Dengan kata lain tidak ada perlakuan khusus oleh guru dalam proses pembelajaran untuk pelajaran yang di-un-kan. Selain itu, faktor pengelolaan (MJM) juga tidak signifikan mempengaruhi proses pembelajaran, namun faktor ini signifikan mempengaruhi hasil UN, (Tabel 4.1). Hal ini menunjukkan bahwa capaian hasil ujian nasional menjadi prioritas manajemen sekolah. Adanya target pencapaian hasil ujian nasional yang ditetapkan oleh dinas atau institusi lainnya di luar sekolah, menjadi beban manajemen sekolah untuk mencapai target tersebut. Pimpinan sekolah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target tersebut, antara lain dengan menambah jam belajar pada siang sampai sore hari yang ditujukan untuk pelajaran yang diujian nasionalkan, terutama untuk siswa kelas tiga. Melaksanakan ujicoba (try out) menjawab soalsoal ujian nasional tahun lalu atau yang dirancang khusus oleh guru atau institusi lainnya, 100% sekolah melaksanakan try out dalam menghadapi ujian nasional.sedangkan pengelolaan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran masih belum menjadi perhatian serius. Sedangkan, pada sekolah dengan hasil UN tinggi, mereka tidak merasa terbebani dengan target kelulusan dan hasil UN, mereka justru memasang target agar lulusannya dapat diterima pada universitas terkemuka, didalam maupun luar negeri. Pengelolaan proses pembelajaran menjadi sasaran sebagian besar pimpinan sekolah untuk mengejar hasil belajar yang lebih baik. Pelaksanaan jam tambahan (les) dan pelaksanaan try out ujian nasional, bertujuan agar siswa dapat menyelesaikan soal-soal dengan cepat dan tepat. 50

Target kelulusan UN yang mesti dicapai, membuat manajemen sekolah lebih terfokus untuk mengejar target tersebut, dengan proses pembelajaran yang melatih siswa untuk mengerjakan dengan cepat. Kondisi ini dapat berakibat kurang baik pada proses pembelajaran yang ditujukan untuk penguasaan konsep untuk peningkatan kemampuan analisis siswa, karena guru cenderung mengabaikan proses pelibatan mental dalam penemuan ilmu pengetahuan sehingga kemampuan analisis dan kemampuan evaluasi yang dimiliki siswa rendah. Kenyataan ini, sejalan dengan hasil tes PISA (Program for Internasional Student Asesment) tahun 2009 untuk literasi matematika pada soal dengan level 5 dan 6, Indonesia hanya mendapat nilai 0,1 jauh di bawah rata-rata Negara OECD (Organitation for Economic Cooperation and Development) yaitu 12,7, padahal untuk soal di bawah level 2, Indonesia memperoleh nilai 76,7 jauh di atas rata-rata 22,01 (Stacey, 2011). Padahal penguasaan matematika pada level 5 dan 6 justru yang mengantarkan siswa untuk mampu bekerja dengan pemikiran dan penalaran matematika yang luas dan mampu menghubungkan pengetahuan dengan ketrampilan matematikanya dalam menghadapi suatu situasi. Ini artinya, proses pembelajaran yang saat ini lebih fokus untuk melatih (drill) siswa untuk menguasai ketrampilan menyelesaikan soal dengan cara cepat, tanpa didukung pemahaman konsep dengan baik. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan UN dan soal-soal ujian nasional perlu dikaji kembali. 4.3 Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana dan Prasarana Ketersediaan dan ketercukupan sarana dan prasarana, baik untuk sekolahsekolah tingkat SMP dan SMA yang termasuk dalam kelompok sekolah dengan hasil UN tertinggi dan terendah di Provinsi Aceh, belum sepenuhnya terpenuhi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara sarpras disekolah dengan UN rendah dengan sarpras di sekolah dengan UN tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya variabel dummy pada fungsi sarpras. (Tabel 4.1). Faktor sarpras secara langsung signifikan mempengaruhi proses pembelajaran dalam arah positif dengan koefisien 0,261821, tetapi tidak signifikan mempengaruhi hasil UN secara 51

langsung. Dengan demikian, ketercukupan dan ketersediaan sarpras saja belum cukup untuk meningkatkan mutu pendidikan atau kualitas hasil UN. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana sarpras itu dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung proses pembelajaran. Sarpras yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sarpras yang dimanfaatkan secara langsung dalam proses pembelajaran, yaitu: 1. Ruang belajar, mobiler, peralatan dan lingkungan sekolah Beberapa sekolah dengan hasil UN tertinggi sekalipun, terlihat kondisi sarana dan prasarananya agak rendah, rendah dan bahkan sangat rendah. Sebagai contoh, SMPN4 Takengon memiliki mobiler ruangan kelas dengan kondisi yang sangat jauh dari kriteria yang harus dipenuhi. Sebagain besar meja siswa di empat ruangan kelas kondisinya berlubang dan permukaannya kasar dan tidak rata. Beberapa jendela gedung rungan kelas, kacanya sudah pecah. Hal berbeda, hanya terlihat pada sebagian sekolah, antara lain SMA Modal Bangsa Arun, SMAN 1 Lhokseumawe, SMAN 1 Langsa, SMA Modal Bangsa Aceh, SMA Fatih, SMA Fajar Harapan dan Modal Bansa Aceh. Terbatasnya sumber pendanaan berakibat sarana dan prasarana vital sekolah masih dirasakan kurang. Kondisi sarana prasarana vital di sekolah seperti ruang kelas dan peralatan di dalam ruangan masih memprihatinkan, pada sekolah dengan UN rendah, terdapat kondisi ruang belajar yang masih kurang, kurang baik kondisinya dialami oleh 15,8% sekolah, kekurangan peralatan ruangan seperti bangku, kursi, lemari, atau kondisi mobiler yang tidak lagi bagus dialami oleh 18,3% sekolah, (Gambar 4.3). Sedangkan pada sekolah dengan UN tinggi, persentase kekurangan sarana dan prasarana pembelajaran lebih rendah, kekurangan atau tidak baik kondisi ruang belajar 3,4% dan kekurangan mobiler 10,3%. Pada sekolah pinggiran juga ditemui bahwa tim guru harus turun tangan memperbaiki meja dan bangku yang rusak semampu mereka, dan mereka melakukannya dengan senang hati, hal ini tentu pantas diteladani. 52

60 50 40 30 20 10 0 54.2 48.3 41.4 40.8 24.1 15.8 18.3 10.3 3.4 34.5 6.7 0 UN rendah UN Tinggi Gambar 4.3. Persentase Sekolah yang Mengalami Kekurangan Sarana dan Prasarana Pembelajaran 2. Laboratorium Laboratorium merupakan sarana vital dalam melaksanakan proses pembelajaran. Jenis laboratorium yang diperlukan sekolah SMP atau SMA adalah laboratorium, bahasa, biologi, kimia, fisika, atau laboratorium IPA., komputer dan multimedia, matematika, dan pendidikan Agama Islam. Namun kebutuhan laboratorium ini, sampai kini belum merata untuk semua sekolah, terutama pada sekolah pinggiran. Ketiadaan laboratorium akan mengganggu proses pembelajaran. Tanpa laboratorium, maka siswa sering hanya belajar teori saja tanpa didukung pembuktian yang memadai di laboratorium, sehingga tidak terjadi proses mental dalam pemahaman konsep, kondisi ini menghambat untuk lahirnya kreativitas dan inovasi baru dari siswa. Pada sekolah dengan nilai UN rendah terdapat (48.3%) sekolah tidak memiliki gedung laboratorium dan sebanyak 40,8%, kekurangan alat-alat laboratorium. Pada sekolah yang hasil UN tinggi juga mengalami kekurangann laboratorium, namun persentasenya lebih rendah. (Gambar 4.3). Sekolah-sekolah yang memiliki laboratorium yang relatif lengkap, umumnya adalah sekolah unggul dan sekolah favorit. SMA Modal Bangsa misalnya, tersedia laboratorium yang relatif lengkap termasuk laboratorium Pendidikan Agama Islam (PAI) yang 53