1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus. Tahun 1968 penyakit ini mulai ditemukan di Indonesia, yaitu di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seluruh wilayah Republik Indonesia. Sepanjang abad ke-19, dengue telah dianggap sebagai penyakit yang menyebar secara sporadik, yang menimbulkan epidemik dalam waktu yang cukup lama. Perubahan yang dramatis ini telah menjadikan virus dengue sebagai penyakit virus terpenting di dunia, yang ditularkan melalui perantaraan nyamuk (WHO, 1999; Malavige dkk, 2004). Perjalanan penyakit infeksi Dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Prevalensi infeksi dengue secara global telah meningkat secara dramatis pada dekade terakhir. Infeksi dengue telah menjadi endemik pada lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, bagian Timur Mediterania, Asia Tenggara, dan bagian Barat Pasifik. Sekitar 2,5 3 milyar penduduk dunia, terutama yang hidup di daerah tropis maupun subtropis berisiko terinfeksi virus dengue (WHO, 1999). Setiap tahun, kejadian baru infeksi dengue diperkirakan sekitar 100 juta kasus, dan 1,5 juta kasus diantaranya adalah Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dengan angka keparahan penyakit (case fatality rate) 0,5 %-3,5% di negara-
2 negara Asia, 90% diantaranya adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun (Malavige dkk, 2004). Lebih kurang 500.000 kasus DHF diperkirakan perlu menjalani rawat inap di rumah sakit setiap tahunnya, setidaknya 2,5% kasus DHF tersebut berakhir pada kematian, bahkan mungkin lebih. Perawatan dan pengobatan yang tidak adekuat akan meningkatkan angka keparahan lebih dari 20%, namun sebaliknya dengan terapi suportif yang intensif akan menurunkan angka keparahan di bawah 1% sesuai dengan yang dicanangkan WHO (Endy, 2002; Deen dkk, 2006; Singhi dkk, 2007). World Health Organization memperkirakan 40% populasi dunia atau sekitar 2,5 milyar orang yang hidup di daerah tropis maupun subtropis berisiko untuk terjangkit infeksi dengue (Burke, 2001; Singhi dkk, 2007; Chen dkk, 2008). Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DHF di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 47.573 orang, dan 1.527 orang penderita dilaporkan meninggal. Setelah epidemi tahun 1988, insidens DHF cenderung menurun, yaitu 12,7 (1990) dan 9,2 (1993) per 100.000 penduduk. Terjadinya syok pada DHF masih banyak ditemukan, di RS Sardjito Yogyakarta, selama periode januari 2002 sampai agustus 2003 ditemukan 41% pasien DHF dengan syok. Syok pada DHF sering terjadi pada 35,2% dari seluruh kasus (WHO, 1997). Case fatality rate (CFR) DHF di Indonesia dilaporkan adalah 4,6% (WHO, 1993). Infeksi virus dengue dengan keempat serotipe akan memberikan variasi klinis yang beragam mulai dari asimptomatik, dengue fever (DF), DHF sampai ke
3 Dengue Shock Syndrome (DSS) yang merupakan klinis terberat dari infeksi dengue. Gejala klinis DHF ditandai oleh kebocoran plasma dan gejala perdarahan pada periode mendekati waktu defervesent, biasanya hari ke-5 setelah awal panas. Morbiditas dan mortalitas pada DHF adalah akibat dari hipotensi dan syok yang disertai abnormalitas dari sistem koagulasi dan perdarahan. Semenjak diketahui bahwa perawatan di rumah sakit yang lebih awal dan terapi suportif yang adekuat dapat menurunkan case fatality rate dari DHF, maka identifikasi seseorang yang terinfeksi virus dengue akan memiliki risiko untuk berkembang ke arah DHF harus cepat ditemukan terutama pada daerah endemik. Tujuan penatalaksanaan DHF adalah untuk mencegah kebocoran plasma lebih lanjut sehingga tidak terjadi DSS. Penanganan secara dini dan tatalaksana kebocoran plasma secara efektif dengan cairan plasma pengganti (plasma expander), atau dengan cairan elektrolit secara cepat, tepat dan adekuat dapat menurunkan angka kematian akibat syok berkepanjangan (WHO, 1997; Harun, 2000). Pengenalan awal pasien-pasien yang akan berkembang menjadi DHF atupun sindrom syok dengue adalah sangat penting untuk terapi suportif lebih awal sehingga mengurangi angka kematian (Juffrie, 1999). Diagnosis dini infeksi virus dengue secara klinis memang sulit. Kriteria klinis dan laboratorium DHF dari WHO tidak selalu muncul pada hari hari pertama sakit, sehingga sangat sulit untuk mengenali pasien pada stadium awal yang akan berkembang manjadi derajat yang lebih parah (Juffrie, 1999). Dalam praktek sehari-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah sakit tidak
4 mudah untuk memprediksi apakah penderita infeksi dengue tersebut akan menjadi ringan atau berat. Dengue hemorrhagic fever dan DSS merupakan manifestasi klinis berat yang dijumpai pada infeksi virus dengue. Kasus DHF di Asia Tenggara sangat banyak dijumpai pada anak-anak. Sampai saat ini belum didapatkan prediktor pasti yang dapat mengarahkan suatu infeksi dengue akan menuju derajat yang lebih berat. Protein nonstruktural ditemukan pada saat replikasi virus. Protein-protein tersebut disintesis dalam bentuk prekursor poliprotein tunggal yang cukup besar, yang tersusun dari lebih kurang 3400 asam amino (Chuansumrit dkk, 2006). Protein NS1 ditampilkan dalam bentuk membrane associated (mns1) dan dalam bentuk yang tersekresi (sns1), yang berkaitan dengan patogenesis penyakit yang berat. Beberapa penelitian pendahuluan menunjukkan keterlibatan NS1 dalam replikasi virus RNA (Young dkk, 2000). Kadar NS1 tersekresi (sns1) dalam plasma berkorelasi dengan titer virus, yang dijumpai lebih tinggi pada pasien dengan DHF dibandingkan demam dengue (Libraty dkk, 2002). Peningkatan kadar sns1 bebas dalam 72 jam onset penyakit (fase viremia) menunjukkan risiko penyakit berkembang ke arah DHF. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa cut off value dari titer sns1 bebas untuk berkembang menjadi DHF adalah 600ng/ml dengan menggunakan alat capture ELISA. Selain itu, beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa protein NS1 dapat secara langsung terlibat dalam proses perjalanan penyakit menjadi
5 derajat yang lebih berat melalui kemampuannya merangsang sel dendritik untuk memproduksi TNF-α, IL-1, IL-6. Dimana sitokin sitokin diketahui sebagai sitokin yang berperan dalam terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler yang berakibat kebocoran plasma (Chua dkk, 2005). B. Perumusan Masalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. 1. Dengue hemorrhagic fever masih merupakan salah satu penyakit infeksi dengan beban penyakit yang cukup besar dan masih sangat banyak dijumpai di berbagai belahan dunia terutama negara-negara tropis termasuk Indonesia. 2. Metode pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui perjalanan klinis menuju ke arah yang lebih berat belum diketahui. 3. Metode pemeriksaan antigen NS1 yang saat ini dikembangkan untuk deteksi infeksi dengue di awal stadium klinis, yaitu pemeriksaan immuno assay untuk deteksi antigen NS1 secara kualitatif dan semi-kuantitatif, yang cukup menjanjikan untuk memprediksi perjalanan penyakit infeksi dengue, tetapi sampai saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan pemeriksaan sns1 kuantitatif dengan beratnya infeksi dengue. C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran melalui google dengan key words: children, NS1 antigen, dengue didapatkan enam penelitian. Lima penelitian tersebut dilakukan di luar negeri dan semuanya merupakan penelitian dengan desain uji
6 diagnostik. Empat penelitian tersebut meneliti pemeriksaan NS1 secara kualitatif, dan satu meneliti pemeriksaan antigen NS1 secara kuantitatif memakai alat yang berbeda dengan alat yang ada di Indonesia. Satu penelitian dilakukan di Indonesia dengan sampel adalah pasien infeksi dengue usia dewasa. Berikut ini disajikan karakteristik ke-enam penelitian pada Tabel 1. Perbedaan penelitian ini dengan lima penelitian sebelumnya adalah pada metode penelitian yang dilakukan dan jenis pemeriksaan antigen NS1. Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Latief, 2011, membandingkan antara pemeriksaan ELISA IgG dan IgM spesifik untuk infeksi dengue dan antigen NS1 kuantitatif dengan metode immuno assay untuk menilai perbedaan derajat infeksi dengue pada sampel dewasa. Penelitian ini menemukan bahwa pemeriksaan antigen NS1 memberikan hasil yang terbaik untuk menunjukkan perbedaan derajat infeksi dengue dengan nilai titik potong antigen NS1 kuantitatif di titik >1,7.
7 Tabel 1. Karakteristik penelitian lain untuk menunjukkan keaslian penelitian Peneliti Tahun Desain Luaran Young dkk 2000 Uji diagnostik NS1 dapat digunakan sebagai alat diagnostik Kadar antigen NS1 dapat digunakan sebagai petanda viremia Titik potong NS1 untuk mendeteksi DHF 600ng/ml Shu dkk 2003 Uji diagnostik Terdapat kesesuaian hasil antara IgG, IgM ELISA dengan IgG anti NS1 Shu dkk 2004 Uji diagnostik Hasil penelitian ini merekomendasikan penerapan ELISA IgM anti NS1 dengue untuk penentuan serotipe virus dengue Dussart dkk 2006 Uji diagnostik Pemeriksaan enzim immuno assay antigen NS1 dapat digunakan untuk deteksi dini infeksi dengue Kumarasamy 2007 Uji diagnostik ELISA antigen NS1 dkk memiliki penampilan diagnosis yang lebih baik dibandingkan denga isolasi virus, RT-PCR, dan ELISA IgM anti Latief R 2011 Kohort prospektif dengue Dibandingkan ELISA IgG, IgM, antigen NS1 kauantitatif pada sampel dewasa untuk menilai derajat infeksi antigen NS1 dengan titik potong >1,7 dapat memberikan gambaran derajat infeksi dengue
8 D. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah ada korelasi antara nilai kuantitatif antigen NS1 dan derajat beratnya infeksi dengue? E. Tujuan Penelitian 1. Untuk membuktikan bahwa kadar sns1 kuantitatif memiliki hubungan positif menuju perjalanan klinis infeksi dengue ke tingkat yang lebih berat. 2. Mencari titik potong kadar sns1 optimal yang dapat memprediksi perjalanan klinis menuju infeksi dengue dengan syok. F. Manfaat Penelitian 1. Bagi dokter (klinisi) Diharapkan dengan metode kuantitatif deteksi antigen sns1 bebas dapat diketahui titer yang menuju kearah klinis yang lebih berat dari infeksi dengue. Selanjutnya dari hasil pemeriksaan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan klinis dan penyusunan strategi. 2. Bagi pasien (masyarakat) Diharapkan dengan diketahui titer antigen sns1bebas, dapat mengantisipasi perjalanan penyakit menjadi kasus yang lebih berat lebih dini. 3. Bagi peneliti Memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengembangkan pemanfaatan pemeriksaan immuno assay kuantitatif untuk kepentingan penanganan pasien.