BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan ini tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum rechtstaat, menganut

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tindak Pidana Korupsi. Kata korupsi ini sudah tidak asing lagi di telinga

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan, kebutuhan listrik dan lain sebagainya. Perilaku korupsi itu

BAB I PENDAHULUAN. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat,

Presiden, DPR, dan BPK.

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. adalah karena aktor-aktor utama pelaku korupsi tersebut kebanyakan aparat

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas,

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling sulit diberantas. Realitas ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat). Negara tidak dapat bertindak sewenangwenang dan segala tindakan negara terhadap warga negaranya harus dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh para ahli hukum di Inggris disebut Rule of Law. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (Equality Before The Law), sehingga dapat mewujudkan keadilan. Keadilan menjadi sulit terwujud ketika setiap orang diberlakukan berbeda di hadapan hukum akibat suatu kekuasaan yang ada padanya. Rasa keadilan bagi masyarakat kerap kali belum terasa sepenuhnya, hal itu dapat terlihat ketika Putusan Pengadilan dalam suatu perkara tertentu, putusannya dianggap masyarakat bertentangan dengan rasa kedilan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Putusan Pengadilan yang sering mendapat eksaminasi, saran, kritik, tanggapan, bahkan aksi protes dari publik, sebagian besar adalah Putusan Pengadilan dalam perkara korupsi. Di Indonesia, korupsi diterima secara luas sebagai penyakit yang sudah mewabah, bahkan ada yang menganggap telah menjadi budaya masyarakat. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh 1

2 masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat / pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dianggap lumrah. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. 1 Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely demikianlah sabda Lord Action. Korupsi selalu terkait dengan kekuasaan atau dalam bahasa lain, korupsi merupakan tabiat kekuasaan, lebih tepatnya penyakit kekuasaan. Oleh karenanya, korupsi merupakan permasalahan struktur kekuasaan yang ada pada sebuah negara yang meliputi struktur ekonomi, politik, sosial, hukum dan lain-lain. 2 Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada tahun 2003 menempatkan Indonesia bersama Kenya sebagai negara paling korup no. 6 diantara 133 negara lainnya. Nilai IPK Indonesia adalah 1,9 dari rentang nilai 1-10. Dengan nilai tersebut, Indonesia masuk ranking 122 dari 133 negara yang disurvei. Dari hasil IPK tahun sebelumnya, angka IPK untuk Indonesia bisa dikatakan stabil. Ini menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah yang dari tahun ke tahun tidak mengalami pembenahan, atau dengan kata lain pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kesulitan. 3 Kasuskasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena korupsi merupakan praktek kejahatan yang sudah terorganisir serta melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang mengandalkan pikiran bukan 1 Komisi Pemberantas Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantas Korupsi, Jakarta, hlm. 1. 2 M. Affan R. Tojeng dan Emerson Yuntho, 2004, Pengadilan Tanpa Akal Sehat, ICW, Jakarta Selatan, hlm. 2. 3 Ibid.

3 fisik dalam melakukuan kejahatan korupsi, dan didukung dengan peralatan yang canggih. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut kejahatan kerah putih (White Collar Crime). Dampak yang ditimbulkan akibat dari kejahatan korupsi dapat membahayakan kehidupan sosial, ekonomi, politik serta stabilitas dan keamanan masyarakat. Korupsi juga merupakan ancaman terhadap cita-cita masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Peraturan tersebut selalu diperbaharui dan diganti dengan peraturan baru yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat. Peraturan yang dimaksud antara lain : Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, di dalam peraturan ini secara yuridis istilah korupsi muncul pertama kali. 4 Setelah adanya peraturan tersebut, kemudian dilanjutkan berlakunya UU No. 24 Prp Tahun 1960, UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, dan kemudian diberlakukan UU No. 20 Tahun 2001. Komitmen untuk memberantas korupsi dapat dilihat dari hasil Putusan Hakim. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya Terdakwa kasus korupsi, minimnya pidana yang ditanggung oleh Terdakwa tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya atau dengan kata lain pidana yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum. Kasus korupsi yang putusannya bebas antara lain : kasus korupsi Dana Non Budgeter Bulog dengan 4 Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 22.

4 Terdakwa Akbar Tanjung. Akbar Tanjung divonis bebas di tingkat Kasasi ; kasus korupsi Bank Bali, dengan Terdakwa Syahril Sabirin, divonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasus korupsi yang putusan pidananya lebih ringan dari pada tuntutan Penuntut Umum dapat terlihat dalam kasus korupsi Dana Non Budgeter Bulog, dengan Terdakwa Dadang Sukandar dan Wimfried Simatupang. Keduanya oleh Penuntut Umum dituntut pidana 3 tahun 6 bulan penjara, kemudian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan pidana 1 tahun 6 bulan penjara dan denda 10 juta. Bertolak dari Putusan Hakim dalam beberapa kasus korupsi diatas, Hakim juga tidak jarang menjatuhkan putusan lebih berat dari tuntutan Penuntut Umum. Sebagai contoh, kasus korupsi Dana Reboisasi, dengan Terdakwa Probo Sutedjo. Hakim tingkat Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan pidana 4 tahun penjara. Putusan tersebut lebih berat dari tuntutan Penuntut Umum yaitu 3 tahun penjara. Kasus korupsi di Yogyakarta yang sedang menarik perhatian masyarakat dewasa ini, adalah kasus korupsi Dana Purna Tugas, dengan Terdakwa 16 mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) Yogyakarta Periode 1999-2004. Dalam kasus tersebut dibagi 3 Nomor Register Perkara. No. Reg. 61/Pid- B.06/PN.Yk dengan Tersangka mantan Ketua DPRD Yogyakarta, Bahtanisyar Basyir. No. Reg. 62/Pid-B.06/PN.Yk menyidangkan Tersangka mantan Ketua Panitia Anggaran, Cinde Laras Yulianto dan mantan Sekretaris Panitia Anggaran, Arief Eddy

5 Subianto. No. Reg. 63/Pid-B.06/PN.Yk menyidangkan 13 Tersangka mantan Anggota DPRD Yogyakarta lainnya, Nazaruddin dan kawan-kawan. 5 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan vonis pidana 4 tahun penjara terhadap Terdakwa Bahtanisyar Basyir. Putusan tersebut lebih berat dari Tuntutan Penuntut Umum yaitu 2 tahun penjara. Sedangkan, terhadap Putusan Hakim dalam perkara yang sama atas Terdakwa Cinde Laras Yulianto dan Arief Eddy Subianto, mereka masing-masing dijatuhkan vonis hukuman 4 tahun penjara. Putusan ini lebih berat dari tuntutan Penuntut Umum yaitu hukuman 2 tahun penjara. 6 Hakim memiliki kebebasan (independensi) dalam menjatuhkan putusan dan dijamin oleh undang-undang. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebelum menjatuhkan Putusan, Hakim telah mempertimbangkan berbagai hal termasuk pertimbangan hukum. Putusan Hakim harus memperhatikan beberapa ketentuan yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain : 1. Pasal 183 KUHAP Mengatur bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti 5 www.jawapos.co.id, Kejari Siap Sidangkan DPT, about corruption, 19.04.2006. 6 www.radarjogja.com, Terdakwa DPT Divonis 4 Tahun, 29.08.2007.

6 yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. 2. Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman Mengatur bahwa segala Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar Putusan, memuat pula pasal tertentu dari peratuan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk mengetahui lebih jauh pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam perkara korupsi maka penulis tertarik mengangkat judul : Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lebih Berat Dari Tuntutan Penuntut Umum Dalam Perkara Korupsi, dengan harapan dapat mengetahui pertimbangan apa saja yang digunakan Hakim untuk menjatuhkan Putusan dalam perkara korupsi sehingga Putusannya menjadi lebih berat dari tuntutan Penuntut Umum. B. Rumusan Permasalahan Pertimbangan apakah yang dijadikan dasar oleh Hakim dalam menjatuhkan Putusan lebih berat dari Tuntutan Penuntut Umum dalam perkara korupsi? C. Tujuan Penelitian

7 1. Untuk mencari data mengenai pertimbangan Hakim yang dijadikan dasar dalam menjatuhkan Putusan lebih berat dari Tuntutan Penuntut Umum dalam perkara korupsi. D. Manfaat Penelitian 1. Praktis a. Bagi Penulis Untuk memperoleh tambahan pengetahuan mengenai dasar pertimbangan apa saja yang digunakan Hakim untuk menjatuhkan Putusan dalam perkara korupsi. b. Bagi Aparat Penegak Hukum Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan proses peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia. c. Bagi Masyarakat Diharapkan dengan membaca penelitian ini masyarakat luas semakin menyadari bahwa setiap hasil Putusan Pengadilan dalam suatu perkara pasti mendasarkan pada pertimbangan yuridis. 2. Teoritis Untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat mengembangkan ilmu hukum pada umumnya terutama hukum pidana. E. Keaslian Penelitian

8 Menurut hasil penelusuran yang telah dilakukan dan sepengetahuan Penulis, judul dan rumusan masalah mengenai Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan lebih berat dari Tuntutan Penuntut Umum dalam perkara korupsi belum pernah diteliti, sehingga penulisan hukum ini adalah hasil karya asli Penulis. Apabila penulisan ini pernah diteliti oleh Peneliti lain maka penulisan hukum ini merupakan pelengkap hasil penelitian sebelumnya. F. Batasan Konsep Supaya pembahasan penelitian ini dapat terfokus dan tidak meluas, maka diberi batasan konsep sebagai berikut : Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 butir 8 KUHAP). Pertimbangan adalah pendapat, keputusan yang diutarakan sebagai nasihat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Drs. Soeharso). Menjatuhkan Putusan adalah hal yang berhubungan dengan pernyataan Hakim dalam memutus perkara dan menjatuhkan hukuman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka). Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 didefinisikan : Barang siapa secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Perkara adalah persoalan ; masalah ; tindak pidana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka).

9 Tuntutan (Requisitor) adalah permohonan, dalam hal ini adalah permohonan Penuntut Umum kepada Hakim untuk menjatuhkan Putusan kepada Terdakwa. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia). G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Sehubungan dengan judul penelitian, maka jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma (law in book) dan penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama dan mengumpulkan data dari pihak-pihak yang mengetahui masalah yang sedang diteliti dengan mengadakan wawancara dengan narasumber. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum sebagai data utama dan data primer sebagai pendukung. a. Data Sekunder Data berupa bahan hukum yang berkait dengan materi penelitian. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah : 1) Bahan Hukum Primer

10 Bahan hukum primer merupakan kumpulan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang meliputi : a) UUD RI 1945 b) UU RI No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana c) UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana d) UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi e) UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi f) UU RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan obyek yang diteliti literaturliteratur : a. Buku-buku tentang Korupsi, Tindak Pidana Korupsi b. Buku-buku tentang Hukum Pidana dan Pemidanaan c. Hasil penelitian mengenai dasar pertimbangan Putusan Hakim b. Data Primer

11 Data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dengan narasumber mengenai obyek yang diteliti. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Merupakan suatu penelitian untuk mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur. b. Wawancara dengan Narasumber Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan narasumber. Adapun sebagai narasumber disini adalah Hakim PN. Yogyakarta, Praktisi dari PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. 4. Analisis Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun lapangan selanjutnya diolah menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode analisis data yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi disusun dalam bentuk kalimat-kalimat yang logis.

12 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berfikir deduktif yaitu metode berfikir yang mendasarkan pada hal umum dan diyakini kebenarannya kemudian ditarik kesimpulan secara khusus. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hakim dalam menjatuhkan Putusan, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus yaitu bagaimana Hakim menerapkan hukumnya dalam menjatuhkan Putusan lebih berat dari Tuntutan Penuntut Umum dalam perkara korupsi. H. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan Hukum ini terbagi dalam 3 bab yang tiap bab dibagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika Penulisan Hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab Pendahuluan ini Penulis akan menguraikan mengenai : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Batasan Konsep, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum. BAB II PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI Dalam Bab II terdiri dari sub bab, yang tiap sub bab terdiri dari sub sub bab.

13 Sub bab pertama mengenai Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi, terdiri dari sub sub bab, yaitu : Pengertian Korupsi, Pengaturan Tindak Pidana Korupsi, Prinsip-prinsip Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Mekanisme Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sub bab ke dua mengenai Tinjauan Umum Putusan Hakim Dalam Perkara Korupsi, terdiri dari sub sub bab, yaitu : Definisi Putusan Hakim, Jenis Penjatuhan Pidana Dalam Perkara Korupsi, Bentuk Putusan Hakim Dalam Perkara Korupsi, dan Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Pidana Dalam Perkara Korupsi. BAB III PENUTUP Dalam Bab Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan menguraikan pernyataan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang dikaji. Bagian saran menguraikan saran Penulis yang diturunkan dari kesimpulan dan diajukan berdasarkan temuan persoalan dalam Penelitian Hukum ini.