BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian manusia. Semua tatanan hidup termasuk budi pekerti dan perilaku dapat diperoleh melalui pendidikan. Undang Undang Tahun 2003 Nomor 20 Pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan tujuannya, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia juga mempunyai visi dan misi. Visi dari pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas. Dengan begitu, Warga Negara Indonesia mampu dan proaktif dalam menjawab tantangan zaman yang semakin berubah. Misi pendidikan nasional ada empat. Pertama, mengupayakan perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, memfasilitasi perkembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak dini sampai akhir hayat. Hal ini diperulkan dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar. Ketiga, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Keempat, meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global. Kelima, memberdayakan peran masyarakat 1
2 dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan well being. Salah satu buktinya adalah pemilihan program pendidikan yang dihubungkan dengan kepuasan dan kebahagiaan siswa (Gross, 2006). Konsep well being sangat dibutuhkan dalam rangka merencanakan dan mengevaluasi perkembangan program sekolah (Konu & Rimpela, 2002). Well being perlu ditanamkan di sekolah dengan tiga hal yang mendasari yaitu: untuk mengurangi depresi, untuk meningkatkan kepuasan hidup, dan sebagai cara untuk menjadikan proses belajar yang lebih baik dan berpikir lebih kreatif (Seligman, Ernst, Gillham, Reivich, & Linkins, 2009). Program pendidikan merupakan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, program pendidikan yang penyelenggaraannya sesuai dengan kemampuan siswa memberikan keuntungan bagi well being siswa. Keuntungan tersebut antara lain: membantu meningkatkan minat siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, menentukan rencana karir dan pendidikan selanjutnya, mengembangkan kreativitas dan motivasi siswa, serta meraih derajat pendidikan atau jabatan karir yang lebih tinggi (Reis, 2008). Saat ini masih terdapat permasalahan mengenai penyelenggaraan program pendidikan di sekolah yang terkait dengan well being siswa. Salah satu permasalahan penyelanggaraan program pendidikan yang berpengaruh pada well being siswa adalah permasalahan mental dan emosional pada peserta didik program akselerasi maupun reguler. Permasalahan mental dan emosional yang dialami siswa sangat bervariasi, seperti: siswa bosan dan tertekan di sekolah, kesulitan mengikuti tuntutan belajar, dan bermasalah dengan guru (Utami, Hartanto, & Radityo, 2012). Hoogeveen, van Hell, Verhoeven (2012) mengungkapkan bahwa pengadaan program pendidikan memberikan efek sosial-emosional bagi siswa. Salah satu permasalahan dalam pendidikan adalah permasalahan pada siswa yang mengikuti program akselerasi. Proses
3 pembelajaran pada program akselerasi selama ini masih terlalu berorientasi pada penguasaan teori dan hafalan di segala bidang. Hal tersebut menyebabkan kemampuan siswa akselerasi menjadi terhambat. Selain itu, metode yang berorientasi pada guru terkesan mengabaikan hak-hak, kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan siswa (Ahmadi, Setyono, Amri, 2011). Dalam pelaksanaannya, siswa-siswi yang mengikuti program akselerasi banyak yang mengalami perbedaan dengan siswa yang mengikuti program reguler. Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dan dirasakan oleh siswa yang bersangkutan. Perbedaan tersebut ditinjau dari sisi penyesuaian sosial (Farikahn, 2006), tingkat kecemasan dan depresi (Suyono, 2011), timbulnya stres akibat permasalahan manajemen waktu, serta banyaknya tugas dan ulangan harian di kelas (Wardhani, 2015). Sayekti (2013) mengatakan bahwa terdapat beberapa masalah yang dialami siswa yang mempunyai kecerdasan dan bakat istimewa saat memperoleh pelayanan pendidikan akselerasi. Pertama, anggapan masyarakat bahwa anak berbakat dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga tidak memerlukan perhatian khusus. Kedua, pengidentifikasian anak berbakat untuk menemukan siapa yang benar-benar termasuk anak berbakat di antara mereka. Ketiga, kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak cukup fleksibel bagi siswa berbakat karena masih sama dengan kurikulum program reguler dan hanya terdapat perbedaan waktu pencapaian saja. Sayekti (2013) juga menambahkan bahwa guru-guru yang mengajar tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga sering tidak dapat memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu, adanya labelling pada siswa berbakat sebagai kelompok elit menunjukkan bahwa program akselerasi masih belum mampu memenuhi kebutuhan siswa yang sifatnya spesifik karena masih berorientasi pada percepatan penyelesaian program pendidikan. Sejauh ini, belum ada standar siapa yang mengidentifikasi dan alat ukur yang digunakan untuk menyeleksi siswa berbakat.
4 Pernyataan tersebut didukung dengan beberapa bukti-bukti mengenai permasalahan program pendidikan yang berkaitan dengan well being siswa, terutama bagi siswa yang mengikuti program akselerasi. Chan (2006) mengatakan dalam penelitiannya pada siswa gifted Chinese yang bersekolah di Hong kong terdapat lima permasalahan penyesuaian diri pada siswa yang mengikuti program akselerasi. Permasalahan tersebut seperti tugas sekolah yang tidak menantang, miskinnya hubungan interpersonal, harapan orangtua, multipotensialitas, serta keterlibatan yang tinggi dalam akademis. Permasalahan mengenai well being yang berkaitan dengan program akselerasi tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi mahasiswa juga mengalami hal yang serupa. Ingersoll dan Cornell (1995) membuktikan pada penelitiannya pada 22 mahasiswa perempuan yang mengikuti program akselerasi jenis early entrance college program dengan 18 mahasiswa perempuan yang mengikuti program reguler di Virginia. Hasil dari penelitian melaporkan bahwa mereka yang mengikuti program akselerasi tidak puas dalam kehidupan sosial mereka. Mahasiswa yang mengikuti program akselerasi juga mengeluhkan tentang adanya program akselerasi. Mereka hanya memiliki lingkup sosial yang sedikit dan kesempatan untuk bertemu dengan orang lain sangat terbatas daripada mahasiswa reguler. Selain itu, masalah program pendidikan akselerasi juga terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Maryati (2009) di SMA N 3 Semarang menyebutkan siswa yang mengikuti program akselerasi juga mengalami permasalahan di kelas. Dalam pelaksanaannya, siswa dituntut untuk mencurahkan tenaganya untuk berpikir fokus pada bidang akademis. Keadaan tersebut tidak mengembangkan kreativitas siswa dan membuat siswa tidak nyaman, tertekan, serta frustasi. Pada program akselerasi juga kompetisi antar siswa lebih ketat daripada kompetisi siswa yang mengikuti program reguler. Hal ini membuat siswa menjadi ragu-ragu dan kurang memiliki keberanian menghadapi hambatan, sehingga berpengaruh pada perkembangan diri mereka menjadi tidak optimal.
5 Penelitian tentang pemilihan program pendidikan mempunyai kaitan dengan masalah kecemasan dan depresi. Adhi & Handayani (2012) mengatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan dan depresi yang signifikan antara siswa akselerasi dan siswa reguler di SMP N 2 Semarang (p<0,05). Hal tersebut dibuktikan dengan subjek penelitian sebanyak 20 siswa akselerasi dan 175 siswa reguler yang diukur dengan menggunakan skala kecemasan dan skala depresi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan dan depresi siswa akselerasi adalah tuntutan pada siswa untuk belajar lebih aktif, suasana belajar yang cenderung kompetitif dengan persaingan nilai yang cukup ketat, jadwal yang padat, waktu yang sedikit untuk beristirahat, serta bahan yang dipelajari sangat luas dan aplikatif. Hal-hal itu menciptakan stressor bagi siswa yang memicu timbulnya kecemasan dan depresi. Akibat dari adanya kecemasan dan depresi akan berdampak pada well being siswa di kemudian hari. Akbar & Hawadi (2004) menyebutkan bahwa di Indonesia siswa akselerasi khususnya siswa highly gifted mengalami permasalahan sosial-emosional 20% - 25% dari siswa normal. Zuraidha (2012) melakukan penelitian pada siswa yang mengikuti program pendidikan akselerasi di SMA N 3 Malang. Penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa siswa akselerasi merasa sistem percepatan dirasa kurang pengalaman dan kurang matang secara sosial, fisik, dan emosi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Saam (dalam Saam & Yakub, 2013) pada siswa akselerasi di Kota Dumai. Pada penelitiannya, terdapat beberapa kendala saat pelaksanaannya. Masalah yang kerap kali terjadi yakni: penyajian pelajaran yang monoton, masih terdapat guru yang mencatat di papan tulis, tugas yang banyak dengan waktu yang sempit, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah, banyak nasehat, serta sering membandingkan dengan siswa-siswa di kelas lain yang dianggap baik. Hal tersebut dapat mempengaruhi well being siswa.
6 Saam (dalam Saam & Yakub, 2013) menyebutkan bahwa pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa akselerasi adalah pembelajaran yang materi penyajiannya memiliki variasi. Pengajaran menggunakan multimedia, pembelajaran yang diselingi atau dengan menggunakan game atau permainan, diskusi, dan humor merupakan metode yang diharapkan siswa. Sama halnya dengan pembelajaran dimana guru dapat memahami perasaan siswa dan suasana pembelajaran yang kondusif. Putri (2008) melakukan penelitian mengenai pemilihan program pendidikan dan masalah yang dihadapi siswa akselerasi SMP Negeri di Kota Malang. Hasil penelitian mengatakan bahwa masalah yang sering dihadapi siswa yang mengikuti program akselerasi beraneka ragam. Masalah tersebut terkait dengan kesehatan, keluarga, ekonomi, hubungan sosial, dan sekolah yang akan berdampak pada well being siswa. Seperti yang terjadi di SMA N 1 Purwokerto, masalah yang berhubungan dengan well being siswa yang mengikuti program pendidikan akselerasi terancam tak tertangani. Siswa akselerasi kurang mempunyai waktu untuk bersosialisasi. Alasan mereka tidak bisa bersosialisasi karena mereka memusatkan pada penuntasan materi pembelajaran, sehingga kurang memiliki waktu bergaul dengan teman (http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/terancam-tak-tertangani, 24 May, 2016). Hal serupa dirasakan oleh siswa SMA N 3 Yogyakarta. Salah seorang guru BK di SMA N 3 Yogyakarta mengatakan bahwa siswa yang mengikuti program akselerasi mengalami stress. Adanya tekanan kognitif dari program tersebut membuat siswa di dorong terus menerus dan akhirnya menimbulkan stress (http://www.harianjogja.com/baca/2012/06/24/lapsus-pendidikan-akselerasi-dinilaidiskriminatif-196241, 13 Juni 2016). Diener (2000) menyebut well being dengan subjective well being yang artinya evaluasi pengalaman kehidupan baik kognitif maupun afektif. Hal tersebut berupa evaluasi kepuasan
7 hidup (baik secara umum maupun spesifik pada domain tertentu), banyaknya afek positif, dan rendahnya afek negatif. Salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well being adalah pendidikan (Diener, 2009). Pemilihan program pendidikan berdasarkan pengelompokan tingkat kemampuan siswa dapat mempengaruhi subjective well being siswa. Hal itu disebabkan pengelompokan tersebut memiliki beberapa dampak positif, seperti: hasil akademik yang signifikan, perkembangan yang positif pada konsep diri dan subjective well being. Selain itu, siswa juga mendapatkan kesempatan untuk berekspresi, belajar lebih dalam dan cepat, siswa lebih banyak belajar secara langsung, serta dapat membangun hubungan sosial karena waktu dan tenaga siswa yang hanya dihabiskan untuk belajar (Clark, 2002). Jika jenis program pendidikan tidak sesuai dengan siswa, maka akan menghasilkan perkembangan intelektual yang kurang optimal seperti pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolah (Winner, 1997). Permasalahan mengenai program pendidikan juga terjadi di SMA N 1 Pati. Dalam pelaksanaannya, sistem pembelajaran di SMA N 1 Pati masih mengalami kendala, terutama pada siswa yang mengikuti program akselerasi. Hal ini akan berpengaruh pada subjective well being siswa nantinya. Sistem pembelajaran adalah suatu bagian yang saling berinteraksi dan saling terkait antara bagian satu dengan bagian yang lainnya dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran (Sujarwo, 2011). Hasil wawancara tidak terstruktur telah dilakukan oleh peneliti dengan siswa akselerasi di SMA N 1 Pati pada tanggal 3 November 2015. enggak cocok dengan sistem kayak gitu, soalnya gurunya juga...apa ya..gurunya juga belum siap buat memadatkan jadwalnya, jadi ndak menguasai materi gitu... kalo temen-temen sih stress juga, jadi...jadinya emang apa ya..banyak ngeluh gitu, kan dituntut belajar materi 6 bulan dalam 3 bulan, terus liat orang libur kita nggak libur, terus apa ya..jadi kita nggak punya temen bergaul, jadi lingkungannya itu-itu lagi. Mau main sama kakak kelas nggak kenal, mau main sama temen seangkatan ndak enak... (W1.APR.P.R.3112015.b022-b035).
8 Bukti lain mengenai subjective well being pada siswa akselerasi adalah wawancara dengan alumni SMA N 1 Pati, yang menegaskan hambatan-hambatan ketika menjadi siswa yang mengikuti program akselerasi. Hal itu mengindikasikan rendahnya subjective well being pada siswa. Wawancara dilakukan pada 1 November 2015: kendala..mungkin dulu karena mungkin pas aksel pertama sistem ujian masuk e kurang serius dadi pas di kelas kadang ngerasa kurang cepet malah, terlalu lambat... (W2.BDC.L.FT.1112015.b16-b18). Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa salah seorang alumni SMA N 1 Pati mempunyai keluhan mengenai sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Menurutnya, pembelajaran tersebut tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga ia merasa mengikuti kelas akselerasi layaknya kelas reguler. Hal tersebut berpengaruh pada subjective well being dirinya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, masih terdapat fakta permasalahan siswa yang mengikuti program akselerasi yang terkait dengan subjective well being mereka. Akselerasi diberikan untuk memelihara minat siswa, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik, dan menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi. Akan tetapi, dalam pelaksanaan program akselerasi mengalami banyak kendala di lapangan. Permasalahan tersebut meyakinkan peneliti untuk mengangkat topik mengenai subjective well being siswa akselerasi dan siswa reguler dengan lokasi penelitian di SMA N 1 Pati. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan subjective well being antara siswa akselerasi dan reguler di SMA N 1 Pati.
9 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik perbedaan subjective well being antara siswa yang mengikuti program akselerasi dengan siswa yang mengikuti program reguler di SMA N 1 Pati. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi pendidikan tentang keterkaitan program pendidikan yang mencakup akselerasi dan reguler dengan subjective well being. 2. Manfaat Praktis Jika hipotesis penelitian ini teruji, maka manfaat praktisnya adalah: a. Bagi Siswa Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pengetahuan mengenai penyelenggaraan program pendidikan dan kaitannya dengan subjective well being yang dimiliki masing-masing siswa yang mengikuti program tersebut. b. Bagi Sekolah Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak sekolah agar lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa untuk meningkatkan subjective well being mereka di sekolah, baik untuk siswa yang mengikuti program akselerasi maupun reguler. c. Bagi Guru Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru agar lebih menyadari dan mencermati perilaku dari siswa yang menempuh program akselerasi dan reguler. Selain itu, memberikan suasana pengajaran yang nyaman di kelas untuk menunjang subjective well being siswa.