PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Model CCHE-2D merupakan model yang dapat digunakan untuk melakukan simulasi numerik hidrodinamika dan transpor sedimen. Model ini mempunyai kemampuan untuk melakukan simulasi transpor sedimen dalam kondisi non equilibrium. Pada kondisi non equilibrium, sedimen yang terangkut tidak sama dengan kapasitas aliran untuk mengangkut sedimen. Model ini dikembangkan oleh National Centre for Computational Hydroscience and Engineering, The University of Missisipi, dan telah banyak diaplikasikan di Amerika. Permasalahan yang sering dijumpai dalam pengaplikasian model numeris pada kasus lapangan ialah ketersediaan data lapangan. Meskipun suatu model numeris memiliki akurasi tinggi pada kasus laboratorium, akurasi tersebut dapat menurun apabila data yang dibutuhkan sebagai input kurang memadai. Pada negara berkembang seperti Indonesia, pengumpulan data yang berkaitan dengan ilmu hidraulika pada kasus lapangan belum dilakukan dengan baik. Misalnya pengumpulan dan pencatatan data elevasi waduk masih dilakukan satu kali sehari, pengumpulan data debit inflow dan outflow waduk masih menggunakan perhitungan berdasarkan data elevasi yang dicatat satu kali sehari, pengumpulan data bathimetri waduk masih dikumpulkan menggunakan echo-sounding yang tidak rapat, pengumpulan data sedimen belum dilakukan pencatatan secara rutin dan belum dilengkapi pencatatan fraksi butiran, serta pengumpulan dan pencatatan data hidraulik (debit, sedimen serta penampang sungai) di sungai-sungai sekitar waduk belum dilakukan secara rutin dan lengkap. Kinerja model CCHE-2D dalam situasi kerterbatasan data perlu diteliti sebelum model tersebut diterapkan dalam situasi tersebut. 1
2 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui unjuk kerja model CCHE-2D apabila diaplikasikan pada geometri waduk yang memiliki keterbatasan data. Keterbatasan data yang dimaksud yaitu keterbatasan data elevasi muka air, data inflow, data outflow, data bathimetri, dan data sedimen. 1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kegiatan berikut: - Pemodelan dua dimensi aliran dan transpor sedimen Pemodelan dua dimensi aliran dan transpor sedimen di Waduk Ir. H. Djuanda menggunakan CCHE-2D Mesh 3.00 dan CCHE-2D GUI 3.29 dengan penyederhanaan pada beberapa parameter input model, seperti: geometri waduk, inflow, outflow, kekasaran Manning, konsentrasi input dan output sedimen, serta diameter dan fraksi butiran sedimen. - Analisis sensitivitas model Analisis yang dilakukan untuk mengetahui sensitivitas model terhadap bentuk mesh, parameter koefisien turbulent viscosity, angka time-step, dan parameter suspended load adaptation factor. 1.4 Deskripsi Lokasi Studi Waduk Ir. H. Djuanda adalah waduk serbaguna yang pertama kali dibangun di Indonesia. Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai kemampuan untuk memproduksi tenaga listrik, penyediaan air irigasi, air baku, air minum, budidaya perikanan, pengendali banjir, dan sarana rekreasi. Secara geografis, Waduk Ir. H. Djuanda terletak pada 6 32' 54" S, 107 20' 7" E. Secara administratif, waduk ini berada di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Waduk ini dapat dikunjungi melalui Jalan Tol Purbaleunyi
3 (Purwakarta-Bandung-Cilaunyi) menggunakan pintu tol Jatiluhur. Lokasi Waduk Ir. H. Djuanda dapat dilihat pada Gambar 1.1. Waduk Ir. H. Djuanda mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis. Waduk ini mulai beroperasi sejak tahun 1967 dengan debit air rata-rata 5 175 m 3 /detik, dan dikelola oleh Perusahaan Jasa Tirta II (PJT II). Waduk Ir. H. Djuanda merupakan bagian dari DAS Citarum Hulu yang membendung Sungai Citarum dengan luas genangan ±70.84 km 2. Waduk ini mendapatkan suplesi dari outflow Waduk Cirata dan daerah tangkapan air lokal seluas ±472.54 km 2. Berdasarkan olah peta RBI 1997, selain Sungai Citarum, terdapat 57 anak sungai yang menuju ke waduk ini, diantaranya Sungai Cisomang, Sungai Cibugel, dan Sungai Cilalawi. Waduk Ir. H. Djuanda Gambar 1.1 Lokasi Waduk Ir. H. Djuanda Sebagai objek penelitian hidraulika, Waduk Ir. H. Djuanda memiliki keterbatasan ketersediaan data. Keterbatasan ketersediaan data Waduk Ir. H. Djuanda terdapat pada data elevasi, data debit, data sedimen, dan data bathimetri yang akan dijelaskan sebagai berikut.
4 Data elevasi muka air Waduk Ir. H. Djuanda merupakan elevasi muka air waduk yang dicatat satu kali sehari oleh petugas PJT II sebagai pengelola waduk. Pencatatan satu kali sehari ini menimbulkan kemungkinan hilangnya data elevasi penting, yaitu fluktuasi elevasi muka air waduk pada satu hari. Data debit (inflow dan outflow) pada Waduk Ir. H. Djuanda merupakan data debit yang diperoleh dari hasil perhitungan neraca air waduk harian. Outflow pada Waduk Ir. H. Djuanda merupakan gabungan dari tiga outlet waduk, yakni pintu flushing (+40 msl), pintu turbin (+75 msl), dan pelimpah (+108 msl). Besar outflow dihitung berdasarkan elevasi muka air waduk, jumlah pintu turbin, dan besar bukaan pintu turbin, dengan turut memperhatikan outflow pada laporan produksi listrik Waduk Ir. H. Djuanda. Inflow dihitung berdasarkan perubahan tampungan harian, evaporasi, dan outflow, dengan turut mencermati release Waduk Cirata. Pada kasus dimana hasil perhitungan outflow berbeda jauh dengan laporan produksi listrik turbin, atau kasus dimana hasil perhitungan inflow berbeda jauh dari inflow yang berasal dari outlet Waduk Cirata (release Waduk Cirata), dilakukan justifikasi elevasi muka air waduk agar nilai outflow hasil perhitungan mendekati laporan produksi listrik dan inflow hasil perhitungan mendekati release Waduk Cirata. Tindakan justifikasi ini tentu dapat mengakibatkan berkurangnya objektivitas pada data inflow dan outflow Waduk Ir. H. Djuanda. Fluktuasi muka air, inflow, dan outflow Waduk Ir. H. Djuanda pada rentang waktu 1 September 1996 hingga 1 September 2000 yang diolah dari data PJT II dapat dilihat pada Gambar 1.2. Data sedimen pada Waduk Ir. H. Djuanda dikumpulkan secara rutin tiap bulan oleh pengelola waduk. Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan data ini adalah data sedimen yang dikumpulkan secara rutin hanya meliputi data sedimen dengan parameter yang terkait dengan aspek kualitas air, misalnya TDS (Total Dissolve Solid) dan TSS (Total Suspended Solid).
Debit (m 3 /s) Elevasi Muka Air Waduk (m) 5 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 Elevasi Spillway ( + 108 msl) 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 Elevasi Turbin ( + 75 msl) Inflow Waduk Outflow Waduk 0.00 1-Sep-96 1-Sep-97 1-Sep-98 1-Sep-99 1-Sep-00 Gambar 1.2 Fluktuasi elevasi muka air, inflow, dan outflow Waduk Ir. H. Djuanda pada tahun 1996-2000 Parameter pada lokasi pengukuran seperti debit pada saat pengukuran, diameter butiran, dan persen fraksi butiran, tidak dikumpulkan secara rutin. Data penting tersebut hanya dikumpulkan pada saat dilaksanakannya proyek penelitian dan hanya dilakukan di sekitar outlet Waduk Ir. H Djuanda, outlet Waduk Cirata, dan pada anak sungai yaitu Sungai Cisomang, Sungai Cibugel, dan Sungai Cilalawi. Diantara lokasi pengumpulan data penting tersebut, data Sungai Cibugel dan Sungai Cilalawi yang dikumpulkan berada pada lokasi yang kurang mewakili kedua sungai tersebut. Data bathimetri Waduk Ir.H.Djuanda pernah dikumpulkan beberapa kali dengan metode echosounding, yakni oleh ITB (1987), Puslitbangtek Sumber Daya Air Bandung (1996 dan 2000), dan terakhir oleh PJT II. Data echosounding yang telah dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1..
6 Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut diketahui bahwa volume tampungan waduk mengalami penurunan 10 juta m 3 antara tahun 1996-2000 (Suryanto, 2011). Tahun Tabel 1.1 Echosounding yang telah dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda Pelaksana Luas Genangan (ha) Volume Tampungan (juta m 3 ) Persen Volume Tampungan (%) 1964-8300 2970 100% 1987 ITB 7800 2556 86% 1996 Puslitbangtek SDA 7780 2458 82% 2000 Puslitbangtek SDA 8020 2448 82% 2009 PJT II 7722 2174 73% Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan data bathimetri ialah adanya perbedaan kerapatan jalur pengukuran echosounding antar data bathimetri. Pengelola waduk menyebutkan bahwa bathimetri tahun 2000 memiliki kerapatan jalur pengukuran yang lebih baik dari bathimetri tahun 1996, meski demikian informasi seberapa rapat jalur pengukuran yang dilakukan tidak disebutkan. Perbedaan kerapatan ini dapat menyebabkan perbedaan ketelitian antara kedua data bathimetri tersebut.