HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keberadaan orang lain dalam hidupnya. Dorongan atau motif sosial pada manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi yang dimilikinya.oleh karena itu, sangat diperlukan adanya

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Oleh: Deasy Wulandari K BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI JURUSAN IPS SMA PGRI 2 KAYEN TAHUN AJARAN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. Ketrampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk bergaul dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN TERHADAP TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU ANTISOSIAL PADA REMAJA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. konsep diri anak. Telah diakui dari berbagai pihak tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyimpang melanda kehidupan masyarakat. Di kalangan pelajar dan mahasiswa

EMOSI NEGATIF SISWA KELAS XI SMAN 1 SUNGAI LIMAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi. Oleh : Fistika Sari A

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN. Anak remaja sebenarnya tidak mempunyai masa yang jelas. Remaja. tergolong kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Perbedaan Kecerdasan..., Muhammad Hidayat, FPSI UI, 2008

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F 100 040 061 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia akan selalu mengadakan hubungan dengan orang lain, selain itu pada dasarnya manusia memang selalu ingin dekat dengan orang lain. Bentuk dan makna hubungan yang dijalin seseorang sangatlah beragam, salah satunya adalah pertemanan atau persahabatan yang dijalin oleh para remaja yang di mana pertemanan atau persahabatan adalah hubungan pribadi antara dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya kesamaan interes dan afeksi yang mendalam, ditandai dengan saling memperlihatkan satu sama lain membuka diri secara total dan saling membagi dan bahkan juga membicarakan kehidupan pribadi masing-masing. Seorang remaja yang telah mantap dengan keberadaan dirinya akan lebih percaya diri memulai hubungan dengan orang lain. Ketika menjalin relasi dengan orang lain ia tidak akan berorientasi pada dirinya sendiri melainkan akan menaruh keberadaan di luar dirinya. Hal ini tampak pada remaja yang memberikan rasa kepedulian kepada temannya yang dikenal, remaja akan lebih aman bila membagikan permasalahan, ide-ide, pkiranpikiran yang dimiliki untuk dibagikan pada orang lain yang dikatakan teman atau sahabat (Mappiare, 1982). Teman sebaya adalah sumber afeksi, simpati, dan pengertian, tempat untuk bereksperimen dan juga tempat untuk membentuk hubungan yang mendalam dengan orang lain. Maka tidak heran remaja lebih suka menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya. Remaja yang sedang melewati masa perubahan fisik merasa lebih nyaman

bersama-sama teman-teman yang mengalami hal yang sama, penting bagi remaja untuk menemukan identitas. Rasa satu kesatuan yang terikat dan saling mendukung menggambarkan adanya kualitas ketergantungan di antara mereka atau disebut juga dengan cohesiveness (Chaplin, 2001). Lebih lanjut, Stoner dan Winkel (dalam Annalia, 2005) mengistilahkan kohesivitas kelompok sebagai kepaduan atau solidaritas. Kohesivitas kelompok merupakan petunjuk penting mengenai seberapa besar pengaruh kelompok sebaya secara keseluruhan atau masing-masing anggotanya. Pengaruh kuat teman sebaya atau sesama remaja merupakan hal penting yang tidak dapat diremehkan dalam masa remaja. Remaja mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kelompok yang memiliki kode-kode tingkah laku yang mereka tetapkan sendiri dan remaja menghargai dan mematuhinya. Setelah menyesuaikan bakat dengan minat dan nilai yang ada maka akan muncul rasa kohesi terhadap lingkungan dimana remaja bergabung (Mappiare, 1982). Kohesi dapat pula merupakan suatu bentuk hubungan persahabatan yang mempunyai ikatan untuk saling membantu dan menolong antar anggota. Kuatnya pengaruh teman sebaya tidak terlepas dari adanya ikatan yang terjalin kuat dalam kelompok teman sebayanya tersebut (peer group), sedemikian kuatnya sehingga mengarah ke fanatisme. Sehingga tiap-tiap anggota kelompok menyadari bahwa mereka adalah satu kesatuan yang terkait dan saling mendukung. Di mana kelompok teman sebaya (peer group) merupakan kelompok yang terdiri dari teman seusianya dan mereka dapat mengasosiasikan dirinya (Chaplin, 2001). Dan juga menurut Santrock (2003), pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan

aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Bahkan remaja akan melakukan apapun, agar dapat dimasukkan sebagai anggota. Untuk mereka, yang tidak kohesi atau mengikuti aturan kelompoknya akan dikucilkan dan berarti stres, frustasi, dan kesedihan. Adanya kohesivitas dalam suatu kelompok membuat individu-individu yang menjadi anggotanya akan bersedia melakukan kegiatan yang sama di antara mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa individu akan berperilaku apa saja sesuai dengan kehendak kelompoknya, dengan kata lain perilaku atau pendirian individu bisa dipengaruhi oleh kelompok di mana dia berada. Individu cenderung berperilaku sama atau searah dengan peer group-nya tersebut. Kecenderungan remaja untuk berperilaku searah peer group-nya tidak terlepas dari keinginan untuk diterima sebagai bagian dari kelompoknya, di mana pada masa remaja terdapat dua pola pergerakan yaitu menghindar dari orang tua dan menuju kelompok teman sebaya (Monks, 1999), sehingga penerimaan dari kelompok teman sebaya merupakan hal yang penting bagi mereka dan tentunya mereka pun menghindari adanya penolakan dari kelompok tersebut. Arti penting hal penerimaan ataupun penolakan teman sebaya dalam kelompok bagi seseorang remaja adalah hal itu mempunyai pengaruh yang kuat atau besar terhadap pikiran, sikap, perasaan, perbutan-perbuatan, dan penyesuaian diri remaja. Lebih lagi, karena pengaruh tersebut bukan saja terjadi dalam batas masa remajanya saja, melainkan akan terbawa terus atau berbekas sampai masa dewasa atau tua. Akhir-akhir ini melalui berbagai macam alat komunikasi massa, baik melalui bacaan maupun sandiwara-sandiwara di layar televisi, remaja banyak dijadikan obyek pembahasaan. Para ahli pendidikan mengganggap bahwa melihat kejahatan pada layar televisi dapat merangsang remaja turut mencoba melakukan kejahatan dan kenakalan.

Bahkan dianggap perlu untuk membatasi peraturan film yang bernada kejahatan dan kekerasaan, yang di mana remaja akan mudah terpengaruh oleh kelompok sebayanya yang melakukan hal tersebut dikarenakan adanya kohesi pada remaja. Ternyata kenakalan remaja sampai sekarang tidak hanya ada pada kota-kota besar saja namun juga melanda kota-kota kecil (Gunarsa, 1999). Remaja atau generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional dari pada generasi sebelumnya. Lebih kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah cemas, lebih impulsif dan agresif. Kemerosotan emosi tampak pada semakin parahnya masalah spesifik seperti nakal atau agresif, bergaul dengan anak-anak bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar pada orang lain, membandel di sekolah maupun di rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok, serta bertemperamen tinggi (Goleman, 2000). Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman sebaya dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Zainun, 2002).

Kecerdasan emosional sangat berpengaruh terhadap perilaku persahabatan remaja (Goleman, 2000). Bahwa masa remaja yang tidak memiliki kematangan pribadi atau tidak memiliki kecerdasan emosional akan mempunyai perilaku sosial yang tidak bertanggung jawab serta tidak mampu menyesuaikan diri. Tanda bahaya dari ketidakmampuan ini adalah sikap tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya, dengan menjatuhkan orang lain, mempunyai rasa tidak aman, menarik diri, dan menerima keadaan apa adanya (Hurlock, 1990). kecerdasan emosi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami diri sendiri, empati, ketekunan, ketrampilan sosial luwes, mampu mengatur suasana hati, memiliki kemampuan mengendalikan kegagalan, mampu mengontrol emosi pada waktu berkomunikasi dengan orang lain. Anak dengan kecerdasan emosi yang baik umumnya lebih tenang, jarang merengek, mampu mengatasi masalah lebih tabah, lebih mampu berkonsentrasi, tidak usil pada teman, serta lebih berani mencoba hal-hal baru yang positif (Goleman, 2000). Pada hubungan persahabatan (kohesivitas peer group) dibutuhkan rasa tanggung jawab yang besar sehingga masing-masing pribadi yang terlibat akan memiliki rasa aman, keterbukaan terhadap diri dan kesadaran untuk menyatakan diri merupakan sikap yang mendukung lebih eratnya persahabatan. Sikap-sikap penentu perilaku persahabatan yang dalam merupakan sikap-sikap yang dimiliki orang dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi ( Goleman, 2003 ). Kemampuan remaja untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya dalam kelompok peer groupnya. Khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam, sehingga tidak mampu berfikir secara rasional.

Ketrampilan sosial diperlukan untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut dan mampu menangani konflikkonflik intrapersonal secara efektif. Individu yang memiliki kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat memiliki kohesivitas yang baik dengan peer groupnya. Uraian tersebut dapat di atas diketahui bahwa seorang remaja telah bergabung dengan suatu kelompok dan remaja merasa cocok dengan kelompok tersebut maka akan muncul kohesivitas yang kuat pada diri remaja. Sehingga remaja akan menjunjung tinggi norma-norma sesuai dengan lingkungan yang ada pada kelompok tersebut. Apabila tidak memiliki kecerdasan emosional yang baik atau tinggi maka remaja akan dapat mengikuti norma-norma yang ada pada kelompok sebaya (peer group) yang mungkin menuju ke hal yang negatif seperti sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan. Misalnya, dengan ikut-ikutan tawuran tanpa tau penyebab dan akibat apa yang dilakukan, hal tersebut karena adanya kohesivitas pada kelompok peer groupnya. Di mana banyak, baik dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang adanya tawuran pada remaja yang penyebabnya hanyalah masalah sepele seperti saling mengolok. Namun dalam kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut belum tentu menuju ke hal yang negatif walaupun memiliki kecerdasan emosional yang rendah atau kurang baik. Berdasarkan ulasan di atas, yaitu kohesivitas peer group, dan kecerdasan emosional menarik untuk diteliti apakah hal tersebut saling berhubungan. Sehingga rumusan masalah yang penulis ajukan adalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kohesivitas Peer Group Pada Remaja?.

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul : Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kohesivitas Peer Group Pada Remaja. B. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui : 1. Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kohesivitas peer group pada remaja. 2. Sumbangan efektif kecerdasan emosional terhadap kohesivitas peer group pada remaja. 3. Tingkat kohesivitas peer group dan tingkat kecerdasan emosional pada remaja. C. Manfaat Penelitian 1. Bagi Kepala Sekolah, sebagai informasi yang dijadikan bahan pertimbangan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan dan bisa menetapkan peraturan-peraturan yang lebih tepat bagi siswa-siswanya. 2. Bagi guru BP, agar bisa memberi tretment atau bimibingan yang lebih tepat khususnya berhubungan dengan kecerdasan emosional dan kohesivitas peer group. 3. Bagi siswa SMU jika penelitian ini terbukti maka dapat membantu mengembangkan kohesivitas peer group antar siswa melalui usaha peningkatan kecerdasan emosional.

4. Bagi Fakultas Psikologi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman terhadap arti pentingnya hubungan kecerdasan emosional dengan kohesivitas peer group. 5. Bagi ilmuwan Psikologi pada umumnya dan ilmu Psikologi Sosial pada khususnya, diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dalam mengembangkan teori-teori yang baru. 6. Bagi peneliti sejenis atau pihak-pihak lainnya yang berkompeten dan berminat pada masalah yang relatif sama dengan kajian ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi, sehingga bisa melakukan penelitian serupa dengan sasaran populasi atau wilayah, pendekatan penelitian, serta instrumen pengumpul data yang lebih teliti.