Pulang? Kata orang, setiap yang punya nama pasti punya rumah tempatnya pulang. tapi, masih adakah yang tersisa untuknya? Part 1: 00.00 Setiap yang punya nama pasti merindu untuk pulang kerumahnya Entah rumah baginya adalah sebuah tempat dimana ia dilahirkan, Ataupun rumah baginya adalah seseorang memeluk tubuh perindu dengan erat. Tapi, bagaimana jika tempat kita pulang sudah tak lagi mau memeluk tubuh ini? Bagaimana jika rumah kita menjadi saksi bisu dimana hati kita dipatahkan? Atau bagaimana jika alasan kita pergi jauh tak ingin kembali adalah rumah kita itu? Itulah yang dirasakan Kalandra, ia benci rumahnya dalam arti harfiah maupun rumah dalam arti sebuah orang. Lelaki itu pergi jauh dari rumahnya demi menyembuhkan patah hatinya. Namun disinilah dia sekarang, disebuah Bandara di kota dimana dia dilahirkan, dan akan bertemu dengan bekas 'rumah'nya dulu yang mungkin masih menjadi 'rumah'nya hingga detik ini. Part 2: 14:02 Kalandra, lelaki dengan baju biru tua itu duduk sembari menyesap kopinya di café sebuah bandara sendirian. Kalandra lahir di kota ini 25 Tahun lalu dan juga dibesarkan di kota ini pula. Namun, sayangnya kota inilah yang menyimpan banyak luka untuknya. Yang dibuat oleh seorang wanita cantik bernama Eliana.
Bagi Kalandra pulang ke kampung halaman adalah sebuah bencana yang sangat besar. Tapi, 2 minggu lalu dia ditugaskan untuk pergi ke kota ini untuk mengurus kantor cabang Ia bekerja. Dan selama 2 minggu itu dia tak pernah pergi kemanapun selain tempat ia bekerja dan hotel. Kalandra takut tembok besar yang susah payah ia bangun, runtuh sia-sia. Kalandra takut hati yang susah payah ia sulam kembali, hancur berkeping-keping lagi. Sampai 2 hari lalu sebuah pesan singkat dari nomor ponsel yang dulu dan bahkan hingga sekarang masih dia hapal muncul. Kalandra, ini Eli, aku tau kamu lagi disini. Bisa ketemu? Dan bersamaan dengan pesan singkat itu tebaca, runtuhlah tembok yang sudah susah payah dia bangun selama bertahun-tahun tersebut. Jam 14.30 di café Bandara. 14.12 Disinilah Kalandra sekarang. di sebuah café di Bandara dengan segelas Americano panas yang mengepulkan asapnya. Menunggu Eli. Menunggu rumahnya. Sembari menunggu perempuan berambut coklat sebahu itu datang, Kalandra mencoba membuka kepingankepingan masa lalunya dengan perempuan itu kembali... *** 24 Maret 2011. "Kak Kalandra dari Teknik arsitektur?" perempuan dengan baju merah tua itu menyapa orang yang sedang membeli minuman di Kantin. "Iya, Saya sendiri. Kamu siapa?" lelaki dengan kemeja flannel dan rambut berantakan itu menjawab dengan tatapan penuh tanya. "Nama saya Eliana, Kak. Saya sedang ospek dan dapet tugas untuk meminjam buku Dasar-dasar arsitektur dari orang yang tanggal lahirnya 1 Januari. Bener kakak kan?" "Iya bener saya itu. Tapi bukunya lagi saya pake untuk kelas setelah ini." "Nggak papa, Kak. Saya tungguin deh." Dan disitulah dimana mereka-kalandra pertama kali bertemu dengan Eli, mahasiswi teknik arsitektur yang notabene menjadi adik tingkatnya. dan disitulah awal dari cerita mereka. Part 3: 14:12
Kalandra kembali menyesap kopinya dan menghembuskan nafas berat. Hatinya perih mengingat kejadian dimana dia pertama kali bertemu dengan Eli tanpa sengaja tanpa tahu bahwa akhir ceritanya akan semenyedihkan ini. Kalau saja Kalandra tahu semuanya akan seperti ini, seharusnya dia tidak memberikan seluruh hatinya kepada Eli. Kembali ingatan Kalandra mengingat tentang Eli, kali ini adalah dimana dia tahu dan mengakhiri kisah cintanya ini. *** 15 Desember 2013. Kalandra duduk disebuah kedai kopi dimana dia dan Eli sering menghabiskan waktu mereka. Entah untuk hanya sekedar mengobrol, atau masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing. Kalandra menggenggam kotak kecil berwarna merah dan 2 lembar tiket pesawat itu dengan gusar. Sampai akhirnya lamunannya terpecahkan oleh kehadiran perempuan didepannya itu. "maaf ya aku lama, ndra." "nggak papa kok, keliatan tuh di alis kamu kenapa kamu lama." Perempuan didepan Kalandra tertawa mendengar jawaban laki-laki itu, terpaksa. "aku mau ngomong, ndra." "aku juga mau ngomong, El. Tapi kamu duluan aja deh." Eli menarik nafas panjang dan berat. Dia menarik sebuah undangan berwarna krem itu dan meletakannya dimeja dengan segala kesedihan. "apa ini, el? Temen kamu nikahan ya? Asik dong makan gratis" Kalandra menjawab masih dengan bercanda tanpa tahu siapa yang sebenarnya akan menikah. "buka sendiri aja ndra." Ketika Kalandra membukanya dan membaca apa yang ada di dalamnya, rasanya seperti mati. Diakhir undangan itu tertulis Yang berbahagia, Eliana dan Bagaskara. "ini apa el?" "bawa aku pergi sekarang ndra. Bawa aku pergi sama kamu ke singapura dan jangan ajak aku pulang." Eli menjawab dengan bergetar menahan tangisnya yang akan segera tumpah. "aku akan dinikahin sama anak temen papa, Bagaskara namanya. Perjodohan ini ada tanpa sepengetahuan aku, Ndra. Dan aku nggak bisa nolak..." Akhirnya tumpah juga tangis Eli. Ia terisak dan menjadi perhatian pengunjung kedai kopi itu. "Kalandra, aku mohon tolong dateng kerumah aku dan bilang sama mama dan papa batalkan semuanya. Datang ke acaranya tanggal 20 di Gedung auditorium dan bawa aku kabur, ndra. Kemanapun."
Kalandra yang sejak tadi diajak bicara diam saja. Dia tidak menangis, pun juga merasakan apapun. Tubuhnya kaku. Satu hal yang Kalandra baru pelajari hari ini adalah, manusia tidak hanya mati sekali, tapi bisa saja mati karena separuh hatinya telah di ambil dan di cabik-cabik hingga berlubang dan berdarah-darah. Part 4: 14:27 Kalandra memejamkan matanya dan merasakan kembali sakit yang telah dengan susah payah dia coba lupakan dan sembuhkan itu menyeruak dan mengoyak hatinya. Kembali dia hembuskan nafas berat, berharap itu bisa menyembuhkan sesak dan sakit di dadanya. Penyeselanpun juga kembali memenuhi rongga dadanya, Seharunya saya datang dan membawa dia pergi, sehingga semua tidak harus semenyakitkan ini... *** 20 Desember 2013. Hari ini adalah hari pernikahan kekasih hati Kalandra, Eli. Namun, yang Kalandra lakukan adalah mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya kedalam koper. Kalandra akan pergi dan mungkin tidak akan kembali lagi ke kota ini. dia telah diterima bekerja disebuah perusahaan di Singapura. Seharusnya, dia berangkat dengan Eli tapi takdir berkata lain, pada malam dimana Eli memberikan undangan itu, disaat itulah Kalandra akan meminang Eli dan mengajaknya hidup di Singapura bersamanya. Namun, takdir berkata lain, seperti mencemooh rencana yang telah Kalandra pikirkan matang-matang itu. Seharusnya, Kalandra masih punya 1 kesempatan lagi. Yaitu dengan datang di pernikahan Eli dan membawa perempuan itu pergi. Tapi Kalandra tidak tega. Acara yang sudah dibuat dan direncanakan dengan sangat hati-hati, dirusak hanya karena seorang laki-laki yang mencintai pengantin perempuan. Itu tidak masuk akal dan egois untuk Kalandra. Lebih baik dia pergi dari kota ini dan sambil mengobati luka dihatinya itu. Part 5: 14:32 Kalandra melihat jam ditangannya, Pukul 14.32. Sebentar lagi perempuan itu akan muncul didepannya. Dan kalandra mencoba untuk menenangkan pikirannya dan berusaha untuk menguatkan hatinya.
Jangan bicara yang tidak seharusnya kamu katakan dia sudah dimiliki oleh orang lain. Kalimat itulah yang diulang-ulang Kalandra di dalam hatinya terus menerus hingga sebuah suara familiar menyapa dirinya "Hai, maaf lama. Biasa, macet, jalanan di kota ini tidak sesepi dulu." Ungkap Eli dengan ramah dan nampak seperti tidak ada apa-apa diantara dirinya dan Kalandra. Dia nampak bahagia dengan hidupnya. Pikir Kalandra. Sebenarnya, banyak yang ingin Kalandra tanyakan, apakah suamimu tahu kamu suka martabak manis kacang? Apakah suamimu tahu kalau kamu benci dingin? Apakah suamimu tahu bahwa disini ada orang yang masih mengharapkan istrinya? Apakah kamu bahagia, Eli? Tapi urung ditanyakan. "Pesawat saya berangkat 45 menit lagi. Jadi langsung kepada intinya saja." Hanya itulah yang keluar dari bibir Kalandra, bukan segudang pertanyaan yang ada dikepalanya. "Ndra, maaf. Aku harusnya bisa nolak pernikahan ini." Tidak, Eli. Akulah yang salah. Rutuk kalandra dalam hatinya. "itu semua sudah jadi masa lalu tidak ada yang perlu disesali, Eli." "a-aku pingin kita balik lagi kayak dulu, Ndra." Kalandra tertawa getir mendengar kalimat itu. "dulu yang mana yang kamu maksud? Kalandra yang dulu sudah tidak ada. Juga hatinya yang lama." "apa a-aku masih ada di hati kamu yang baru, Ndra?" "aku masih cinta kamu, Kalandra. Masih sama seperti dulu. Aku masih ngarep kamu balik." Eli akhirnya terisak membuat orang-orang sekelilingnya memandangi. "bagaimana dengan suamimu?" "aku bisa ninggalin dia sekarang juga!" seru Eli mantap. Kalandra tertawa getir, lagi. "Kamu bilang kamu cinta saya, tapi kamu tidak berbuat apapun untuk memperjuangkan cinta kamu." "itu artinya cintamu tidak pantas diperjuangkan. Sama halnya juga ketika saya tidak datang ke acara pernikahan kamu," "itu karena saya merasa cinta saya tidak sebesar cinta orangtuamu yang ingin lihat kamu bahagia, tidak sebesar cinta suami kamu, juga cinta mertua kamu," "jadi saya tidak memperjuangkan cinta saya. Karena ada cinta lain yang jauh lebih besar dan penting dari cinta saya." "Kamu harus belajar untuk melupakan dan merelakan, Eli."
"karena satu hal yang kamu harus tahu bahwa ketika cinta tidak bisa diperjuangkan, maka satu satunya jalan adalah dengan merelakan cintamu pergi." "dan kamu juga harus belajar merelakan saya pergi, Eli." Eli terisak semakin kencang mendengan kata-kata Kalandra. "pesawat saya akan berangkat 15 menit lagi. Jadi saya harus pergi, maafkan saya Eli." "Saya titip salam untuk suami kamu ya," "dan berusahalah untuk mencintainya," Bersama dengan perginya Kalandra, isakan Eli semakin kencang. Satu yang Eli tidak tahu, Kalandra juga menangis setelah dia pergi meninggalkan Eli. Namun tangisan Kalandra bukan karena kesedihan dan kesesakkan di dada, tapi karena sudah hilangnya beban hatinya... Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, maka aku juga pasti mungkin untuk melupakan dan merelakan Eli. Begitu juga untuk Eli, dia pasti bisa untuk mencintai suaminya. Pikir Kalandra.