BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Menurut Center of Control Disease and Prevention (CDC) tahun 2012 virus ini dapat ditularkan melalui darah, sekresi semen atau cairan vagina yang berasal dari orang yang terinfeksi HIV. World Health Organization (WHO) tahun 2007 menyebutkan orang dengan HIV dapat berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). AIDS merupakan bentuk lanjutan dari infeksi HIV derajat 3 atau 4 (WHO,2005). Orang yang terinfeksi virus HIV disebut ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS. Berdasarkan data WHO tahun 2001, di tingkat global jumlah penderita HIV yang hidup sekitar 30.3 juta jiwa. Pada akhir tahun 2012, kurang lebih terdapat 35,3 juta orang hidup dengan HIV positif. Hal ini menunjukkan 1
terjadinya peningkatan orang yang hidup dengan HIV sebesar 17%. Sesuai dengan epidemiologi di tingkat global, Jumlah ODHA di negara Indonesia mengalami peningkatan dari 83.000 di tahun 2001 menjadi 610.000 di tahun 2012 atau mengalami peningkatan 7 kali lipat (WHO, 2012). Hal ini menjadi tantangan pemerintah dalam sektor kesehatan untuk memberikan perhatian lebih terhadap infeksi HIV yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Semakin tingginya prevalensi penderita yang hidup dengan HIV/AIDS maka akan cenderung mengalami suatu bentuk gangguan psikiatri selama perjalanan penyakitnya (Goldenberg dan Boyle, 2000). Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien HIV yaitu depresi (L akoa et al., 2013). Presentase depresi pada penderita yang terinfeksi HIV sebesar 22% (Department of Health AIDS Institute, 2010). Penyebab depresi yaitu adanya perasaan stres selama menjalani terapi, kemunculan infeksi oportunistik, efek samping dari konsumsi obat antiretroviral, adanya stigma sosial, atau diskriminasi masyarakat mempengaruhi keadaan mental ODHA (Simoni et al., 2010; Payuk et al., 2012). 2
Tingginya angka kejadian infeksi HIV sebanding dengan tingginya perilaku berisiko pada penyakit menular ini. Hal ini sesuai dengan penelitian di Asia Pasifik yang menunjukkan bahwa presentase terbesar infeksi HIV/AIDS terjadi pada penasun (pengguna napza suntik) 42,6% dan penularan melalui hubungan bebas 15,3% (Department of Health AIDS Institute, 2010; Mardiati dan Handayani, 2011). Data dari Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) berdasarkan laporan perkembangan terakhir tahun 2014, mulai bulan Januari sampai akhir Juni, faktor risiko penularan terbanyak yaitu melalui heteroseksual (62,9%), penasun (14,8%), perinatal (2,5%), dan homoseksual (1,8%). Hasil dari berbagai penelitian tersebut mengindikasikan bahwa sampai saat ini perilaku berisiko tinggi seperti penggunaan jarum suntik secara bergantian dan hubungan seksual yang berisiko masih menjadi faktor utama penularan virus HIV. Prevalensi depresi pada ODHA meningkat berhubungan dengan usia tua, laki-laki, penggunaan jarum suntik dan tingkat stadium klinis 3 atau 4 (Simoni et al., 2010). 3
Penelitian lain yaitu Penzak et al. (2000) menyebutkan bahwa ODHA dengan riwayat depresi, homoseksual, wanita, dan Intravenous Drugs User (IDU) memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya depresi. Hasil berbeda ditemukan pada penelitian di Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat kecemasan ODHA dalam menjalani kehidupan dengan status HIV mencapai hingga 70 %. Kecemasan yang besar dalam menjalani kehidupan akan mempengaruhi tingkat percaya diri ODHA sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya depresi. ODHA berusia 20-29 tahun memiliki tingkat percaya diri lebih rendah daripada ODHA yang berusia 40-45 tahun. ODHA dengan penularan melalui seks bebas cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah dibandingkan dengan ODHA penasun (Mardiati dan Handayani, 2011). Variasi hasil yang masih ditemukan dalam penelitian di atas, mendorong peneliti untuk menelaah hubungan antara perilaku berisiko tinggi dengan kejadian depresi pada penderita HIV/AIDS dengan menganalisis data sekunder dan wawancara di klinik HIV/AIDS edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sehingga diharapkan dengan analisis data ini, dapat diperoleh pola pandang baru mengenai 4
adanya hubungan perilaku berisiko dengan depresi di Yogyakarta, yang kemudian dapat dipertimbangkan dalam menyusun suatu program kesehatan yang tepat guna. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah yang sesuai dengan penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan antara perilaku berisiko dengan depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan antara perilaku berisiko dengan depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai faktor risiko depresi pada ODHA terutama mengenai perilaku berisiko belum terlalu banyak ditemukan. Terdapat beberapa penelitian dalam dan luar negeri yang meneliti faktor risiko depresi pada ODHA, namun datanya masih sangat terbatas. Berikut ini 5
merupakan beberapa penelitian yang dapat ditemukan penulis : 1. Penelitian oleh Maria Teresa Ramiro dan teman-teman tahun 2013 berjudul Social Support, Self Esteem and Depression: Relationship with Risk for Sexually Transmitted Infections/ HIV transmission. Metode yang digunakan yaitu cross sectional study dengan populasi 1.005 remaja yang berada di Propinsi Granada Spanyol. Hasil didapatkan bahwa pria dengan riwayat perilaku berisiko seperti hubungan seksual melalui vagina, anal, dan oral akan cenderung mengalami depresi. 2. Penelitian oleh W. Scott Comulada dan teman-teman tahun 2010 berjudul Relationship Over Time between Mental Health Symptoms and Transmission Risk Among Persons Living with HIV. Metode yang digunakan yaitu longitudinal study dengan populasi individu dengan HIV positif yang direkrut dari komunitas AIDS San Francisco, Los Angeles, New York dan Milwaukee pada tahun 2000 sampai 2002. Hasil penelitian tersebut yaitu adanya korelasi antara gejala kesehatan jiwa dengan transmisi. Gejala-gejala depresi berhubungan dengan adanya riwayat perilaku seksual yang berisiko. 6
3. Penelitian oleh Annisa Latifah tahun 2014 berjudul Hubungan Depresi dengan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Metode yang digunakan yaitu cross sectional study dengan sampel 115 ODHA di Klinik Edelweis RS. Sardjito. Hasil didapatkan bahwa depresi berhubungan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS. Status pernikahan, dan usia penderita mempengaruhi kualitas hidup. 4. Penelitian oleh Retno Mardhiati dan Sarah Handayani tahun 2011 berjudul Peran Dukungan Sebaya Terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia Tahun 2011. Metode yang digunakan yaitu cross sectional study dengan sampel 2.015 ODHA yang diambil dari Kelompok Penggagas (KP) dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) propinsi yang diambil secara acak. Pengambilan data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan angket dan kualitatif dengan wawancara. Hasil penelitian tersebut yaitu ODHA dengan riwayat penularan melalui seks bebas memiliki tingkat percaya diri yang lebih rendah dibandingkan dengan cara penularan lain. 7
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan, masyarakat dan pasien mengenai faktor risiko depresi sehingga pencegahan depresi pada ODHA dapat dilakukan. 2. Penelitian ini dapat memberikan informasi ada tidaknya hubungan antara perilaku seksual dan penggunaan jarum suntik bergantian terhadap penularan HIV sehingga dapat digunakan sebagai acuan intervensi dalam pencegahan dan pengendalian penularan penyakit HIV/AIDS. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kepustakaan dan menjadi data pembanding untuk penelitian mengenai depresi pada ODHA di masa yang akan datang khususnya dalam hal kesehatan jiwa. 8