PENELANTARAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI WILAYAH KOTA SURAKARTA)

dokumen-dokumen yang mirip
Penelantaran Anak (Bayi) dalam Perspektif Hukum Pidana (Studi Kasus Di Wilayah Kota Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan karunia berharga dari Allah Subhanahu wa Ta ala yang

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

ALUR PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

Transkripsi:

PENELANTARAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI WILAYAH KOTA SURAKARTA) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Oleh : ELI JULIMAS RAHMAWATI C 100 130 235 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

1

2

3

PENELANTARAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI WILAYAH KOTA SURAKARTA) Abstrak Penelitian ini dibatasi pada penelantaran anak yang dilakukan oleh orang tua kandung dengan cara membuang dan meninggalkan bayi. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan hukum pidana terkait tindakan penelantaran bayi, dan mengetahui upaya penegakan hukum beserta hambatan-hambatannya dalam penegakan hukum terhadap praktik penelantaran bayi di wilayah Kota Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan normatif-empiris dan teknik analisis data yaitu analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana terkait penelantaran bayi yang diberlakukan adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 atau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Upaya penegakan hukum terkait penelantaran bayi dilaksanakan oleh Penyidik Kepolisian, Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri, dan Hakim di Pengadilan Negeri serta tidak adanya hambatan dalam proses penegakan hukum tersebut. Kata kunci : penelantaran bayi, penegakan hukum, kebijakan hukum pidana Abstract This research is limited to abandonment of children by the biological parents by throwing and leaving the baby. This research is intended to explain criminal law policies related to abandonment of infants, and some law enforcement efforts that may obstruct obstacles in law enforcement of abandonment practices in the city area of Surakarta. This research is a descriptive research using normative-empirical approach method and data analysis technique that is qualitative analysis. The results showed that the criminal law for abandonment of infant imposed is in Act Number 23 of 2004 or Act Number 35 of 2014. Law enforcement efforts related to abandonment of infants carried out by Police Investigators, Public Prosecutors in the District Attorney, and Judges in court Affairs and there is no obstacles in the process of law enforcement. Keywords: infant neglect, law enforcement, criminal law policy 1. PENDAHULUAN Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 1 Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan agar tumbuh menjadi pribadi yang kuat baik secara fisik maupun mental serta terbebas dari tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. 1 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 1

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. 2 Isu utama peningkatan kualitas hidup manusia suatu negara adalah bagaimana negara tersebut mampu melakukan perlindungan anak yaitu, mampu memahami nilai-nilai hak-hak anak, mampu mengiplementasikannya dalam norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan infrastruktur, dan mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara tercapai. 3 Hingga saat ini masih ada sekitar 4,1 juta anak terlantar di Indonesia. Diantaranya 5.900 anak yang menjadi korban perdagangan manusia, 3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000 anak jalanan. 4 Seiring dengan maraknya penelantaran anak, perlindungan terhadap anak sangat diperlukan agar hak-haknya tidak dirugikan oleh siapapun, tak terkecuali oleh kedua orang tuanya. Orang tua yang sejatinya bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan, justru tega menelantarkan anaknya. Penelantaran terhadap anak dapat dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya dengan cara membuang bayi yang masih hidup untuk ditemukan oleh orang lain. Salah satu contoh yakni kasus pembuangan bayi terjadi di Surakarta dengan melibatkan pasangan muda-mudi belum menikah. Bayi dari pasangan pelaku tersebut baru berumur tiga hari dan dibuang di depan pintu Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi (YPAB) Kelurahan Kandang Sapi RT 01/ RW 33, Kecamatan Jebres pada hari Minggu tanggal 22 November 2015, sekitar pukul 23.30 WIB. Kemudian para pelaku mengamati dari kejauhan dan setelah mengetahui bayinya ditemukan oleh warga, pelaku langsung kabur. 5 Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk 2 Nashriana, 2014, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, hal.1. 3 T.B. Rachmat Sentika, Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan Anak Indonesia yang Sehat, Cedas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11 Tahun 6, Agustus 2007, hal. 233. 4 Antara Jateng.com, 15 Mei 2015. Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai 4,1 juta, dalam http://jateng.antaranews.com/detail/mensos-jumlah-anak-terlantar-di-indonesia-mencapai-41- juta.html diakses pada hari Selasa, 18 Oktober 2016 pukul 19.35. 5 Merdeka.com, Selasa 1 Desember 2015: Buang Bayi di Solo, polisi tangkap 2 mahasiswa Yogyakarta, dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/buang-bayi-di-solo-polisi-tangkap-2- mahasiswa-yogyakarta.html diakses pada hari Selasa, 18 Oktober 2016 pukul 20.05. 2

melakukan penelitian hukum tentang Penelantaran Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana (Studi Kasus Di Wilayah Kota Surakarta). Dalam penelitian ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: Pertama, bagaimana kebijakan hukum pidana terkait tindakan penelantaran bayi? Kedua, bagaimana upaya penegakan hukum terhadap penelantaran bayi di wilayah Kota Surakarta? Ketiga, bagaimana hambatan-hambatan dalam penegakan hukum terhadap praktik penelantaran bayi di wilayah Kota Surakarta? Tujuan dalam penelitian ini antara lain untuk menjelaskan kebijakan hukum pidana terkait tindakan penelantaran bayi, menjelaskan upaya penegakan hukum terhadap penelantaran bayi di wilyah Kota Surakarta, serta mengetahui hambatanhambatan dalam penegakan hukum terhadap praktik penelantaran bayi di wilayah Kota Surakarta. Penulis berharap manfaat yang dapat diambil dari penelitian hukum ini antara lain manfaat secara teoritis yaitu agar dapat memberi sumbangan pengetahuan dan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan dan khususnya pada ilmu hukum pidana yakni tentang penelantaran bayi, serta manfaat secara praktis yaitu diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait terhadap masalah penelantaran bayi. 2. METODE Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan normatif-empiris. 6 Penulis akan meneliti ketentuan hukum pidana terkait penelantaran bayi, upaya penegakan hukum penelantaran bayi, serta hambatan terhadap penegakan hukumnya terutama di wilayah kota Surakarta. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu dengan memberi gambaran lengkap tentang penelantaran bayi melalui sudut pandang hukum pidana baik itu peraturan hukumnya maupun dalam upaya penegakan hukumnya. Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu data primer 7 yang diperoleh penulis langsung dari wawancara di 6 Penulis tidak saja berusaha mempelajari pasal-pasal perundangan, pandangan pendapat para ahli dan menguraikannya dalam skripsi atau karya penelitian ilmiahnya, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif itu dalam rangka mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan. Lihat Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Mandar Maju, hal. 63. 7 Data primer ialah data dasar, data asli yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Ibid, hal. 65 3

lokasi penelitian yakni di Kepolisian Sektor Jebres dan Pengadilan Negeri Surakarta, dan data sekunder 8 seperti bahan hukum primer (KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002), bahan hukum sekunder (buku-buku, makalah dan literatur karya ilmiah yang terkait dengan penelitian dalam penelantaran bayi), serta bahan hukum tersier (kamus, internet, ensiklopedia). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan. Penelitian hukum ini menggunakan metode analisis kualitatif 9, dimana data hasil penelitian tersebut dianalisis, kemudian disimpulkan dengan metode induktif, yaitu dengan meneliti terhadap sebagian kecil kasus penelantaran bayi untuk menyimpulkan penelantaran bayi pada umumnya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kebijakan Hukum Pidana Terkait Tindakan Penelantaran Bayi Penelitian ini dibatasi pada penelantaran anak yang dilakukan oleh orang tua kandung dengan cara membuang serta meninggalkan bayinya. Selanjutnya penulis akan menggunakan istilah penelantaran bayi untuk menyebut penelantaran anak sesuai dengan pembatasan masalah tersebut. Istilah tindak pidana penelantaran bayi memang tidak dikenal di dalam hukum pidana, namun lebih dikenal dengan tindak pidana penelantaran anak. Perumusan tindak pidana terkait perbuatan penelantaran bayi di dalam peraturan hukum (undang-undang) sangatlah penting. Perumusan tindak pidana terkait perbuatan menelantarkan bayi akan terlihat di dalam pasal-pasal yang berada dalam peraturan hukum yang akan penulis bahas. Di dalam pasal-pasal tersebut juga memuat sanksi yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penelantaran bayi. 8 Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk bukubuku atau dokumentasi. Ibid, hal. 65 9 Analisis kualitatif tidak mendasarkan penelitiannya pada pengumpulan data dari lokasi yang luas dengan responden yang banyak, dengan keterangan jawaban yang banyak, tidak demikian, tetapi ukurannya berdasarkan kenyataan yang bersifat global (umum). Jadi walaupun lokasinya terbatas, respondennya sedikit, jika data-data yang didapat itu merupakan kenyataan yang berlaku, maka datadata tersebut sudah cukup membuktikan kebenaran. Ibid. hal. 99. 4

3.1.1 Pengaturan Tindak Pidana Terkait Penelantaran Bayi di Dalam KUHP Tindak pidana terkait penelantaran bayi diatur di dalam Buku II KUHP tentang Kejahatan pada Bab XV tentang Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong, yaitu pada Pasal 304 hingga Pasal 308 KUHP. Yang dihukum menurut Pasal 304 adalah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan orang lain dalam keadaan sengsara, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian. 10 Pasal 305 dimaksudkan bahwa ada dua tindak pidana yakni membuang anak di bawah umur tujuh tahun, dan meninggalkan anak dengan tujuan melepaskan anak itu dari pelaku. Perbedaan antara kedua perbuatan tersebut yaitu bahwa meninggalkan anak itu dilakukan oleh orang yang ada hubungan hukum dengan anak itu, sedangkan pembuangan anak dapat dilakukan oleh setiap orang, atau juga yang sama sekali tidak ada hubungan dengan anak itu. Anak itu harus di bawah umur tujuh tahun, dan hal ini tidak perlu diketahui oleh si pelaku, karena dalam pasal tersebut tidak mencantumkan harus ada kesengajaan mengenai unsur ini, sedangkan hal ini terlihat dari unsur tujuan untuk melepaskan anak itu dari si pelaku. Pasal tersebut juga berlaku apabila pelaku tindak pidana hanya mempunyai kewajiban moril (berdasarkan atas rasa kesusilaan) untuk tidak meninggalkan anak yang bersangkutan. 11 Pasal 306 KUHP memuat tambahan hukuman bagi tindak-tindak pidana dari Pasal 304 dan 305 KUHP. Pasal 307 KUHP memuat tambahan hukuman bagi tindak pidana dari Pasal 305 KUHP dan Pasal 306, yaitu apabila si pelaku tindak pidana adalah bapak atau ibu anak tersebut, maka ancaman hukumannya ditambah dengan sepertiga dari maksimum hukuman. Menurut Pasal 308 KUHP, apabila seorang ibu membuang anaknya tidak lama sesudah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan diketahui orang bahwa ia melahirkan anak, atau jika ia meninggalkan anak itu dengan tujuan melepaskan anak itu daripadanya karena takut juga, maka 10 R. Soesilo, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : POLITEIA-BOGOR, hal. 223. 11 M. Sudradjat Bassar, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung: Remadja Karya CV, hal. 111-112. 5

maksimum hukuman atas tindak pidana dari Pasal 305 dan Pasal 306 KUHP, dikurangi sampai separo. 12 3.1.2 Pengaturan Tindak Pidana Terkait Penelantaran Bayi di Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Selain diatur di dalam KUHP, pengaturan tindak pidana terkait penelantaran bayi juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Di dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perbuatan penelantaran bayi dapat dijerat dengan pasal-pasal sebagai berikut. Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut ; dan Pasal 49 huruf a yang berbunyi Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 49 huruf a tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak pidana dari Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu berupa pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah. Pasal-pasal tersebut dapat diterapkan pada penelantaran bayi yang dilakukan oleh bapak (suami) maupun ibu (istri) atau dalam lingkup rumah tangga, yang berarti telah terjadi tindak pidana yang berupa tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam wujud penelantaran. 3.1.3 Pengaturan Tindak Pidana Terkait Penelantaran Bayi di Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pelaku tindak pidana terkait penelantaran bayi juga dapat dijerat dengan pasal yang ada pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni sebagai berikut. Pasal 76B berbunyi Setiap orang dilarang menempatkan, 12 Ibid, hal. 112-113. 6

membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. ; dan Pasal 77B berbunyi Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 77B tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak pidana dari Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah. 3.2 Upaya Penegakan Hukum terhadap Penelantaran Bayi di Wilayah Kota Surakarta Upaya penegakan hukum terhadap penelantaran bayi tak lepas dari proses untuk mewujudkan peraturan yang telah diatur dalam KUHP maupun undangundang yang mengatur terkait penelantaran bayi. Dalam perkara pidana, tata cara penegakan hukum dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan bahkan sampai seorang narapidana kembali ke masyarakat. 13 Untuk melaksanakan proses penegakan hukum tentunya akan melibatkan aparat penegak hukum seperti di lembaga kepolisian maupun lembaga peradilan. Penulis akan menjabarkan mengenai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, dalam hal ini oleh penyidik, dan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini oleh hakim. 3.2.1 Kasus Terkait Penelantaran Bayi Kasus terkait penelantaran bayi yang pertama yaitu dalam Putusan Pengadilan Nomor 141/Pid.Sus/2015/PN.Skt. dengan terdakwa bernama Siti Juwariyah. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penelantaran anak yaitu berdasarkan Pasal 77B Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama satu tahun dan sepuluh bulan serta pidana denda sebesar Rp 60.000.000,-, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dapat diganti dengan pidana penjara selama dua bulan. 13 Moh. Hatta, 2008, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta, Yogyakarta: Penerbit Galangpress, hal. 62 7

Kasus terkait penelantaran bayi yang kedua yaitu dalam Putusan Pengadilan Nomor 282/Pid.Sus/2016/PN.Skt. dengan terdakwa bernama Indriani Cahyaningtyas. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penelantaran anak yaitu berdasarkan Pasal 76B Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 jo. Pasal 77B Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama satu tahun dan empat bulan. 3.2.2 Upaya Penegakan Hukum oleh Penyidik Kepolisian Proses penyidikan terhadap tindak pidana terkait penelantaran bayi (penelantaran anak) yang dilakukan oleh penyidik sama seperti proses penyidikan pada tindak pidana umum lainnya. 14 Hal ini dikarenakan di dalam undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana terkait penelantaran bayi yaitu baik Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak mengatur secara khusus mengenai proses penyelesaian perkara pidana. Oleh sebab itu maka proses penyidikan tindak pidana terkait penelantaran bayi dilaksanakan dengan berdasarkan pada hukum acara pidana dalam KUHAP dan didukung dengan mekanisme penyidikan yang ada dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Penyidikan tehadap tindak pidana terkait penelantaran bayi dilakukan setelah penyidik mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut maupun adanya laporan mengenai terjadinya tindak pidana tersebut. Ketika penyidik telah mulai melakukan penyidikan terhadap adanya tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Pemberitahuan tersebut melalui adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dibuat dan dikirimkan kepada penuntut umum. 14 Bripka Evi Wijayanti, anggota Reskrim Kepolisian Sektor Jebres, Wawancara Pribadi, pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 11.00 WIB di Surakarta. 8

Di dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan upaya paksa 15 yaitu meliputi: pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan. Selanjutnya adalah proses pemeriksaan dilakukan oleh penyidik terhadap saksi, ahli, dan tersangka guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun barang bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas. Pemeriksaan dibagi menjadi pemeriksaan terhadap saksi, pemeriksaan terhadap ahli, pemeriksaan terhadap tersangka. Setelah penyidikan selesai dilakukan, penyidik segera menyelesaikan berkas perkara dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum. 3.2.3 Upaya Penegakan Hukum oleh Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Berkas perkara yang oleh penyidik telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri, apabila diterima dan dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum serta dapat dilakukan upaya penuntutan, maka langkah selanjutnya adalah penyusunan surat dakwaan oleh Penuntut Umum. Setelah selesai menyusun surat dakwaan, tahap selanjutnya yaitu penuntutan oleh Penuntut Umum. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang. Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri dengan membuat surat pelimpahan perkara yang disertai surat dakwaan. 3.2.4 Upaya Penegakan Hukum oleh Hakim di Pengadilan Negeri Setelah pengadilan negeri menerima pelimpahan perkara pidana terkait penelantaran bayi dari penuntut umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk dalam wewenang pengadilannya. Setelah ketua pengadilan negeri tersebut menyatakan bahwa perkara itu masuk dalam wewenang pengadilan negerinya, maka ia menunjuk hakim yang akan melakukan pemeriksaan di persidangan. Penunjukan hakim tersebut berdasarkan penilaian dari Ketua Pengadilan Negeri apakah hakim yang ditunjuk tersebut mampu menangani kasus terkait penelantaran bayi. 16 Hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara tersebut akan menetapkan hari persidangan. Kemudian 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 16 Parulian Lumbantoruan, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 09.30 WIB di Surakarta. 9

hakim akan memerintahkan kepada penuntut umum agar memanggil terdakwa dan saksi untuk hadir di sidang pengadilan. Proses persidangan perkara pidana terkait penelantaran bayi (penelantaran anak) sama dengan proses persidangan perkara pidana pada umumnya. Pada hakikatnya proses persidangan adalah terbuka untuk umum. Namun berdasarkan kebijaksanaan hakim, pada proses persidangan terkait kasus penelantaran bayi dapat dilakukan secara tertutup agar terdakwa maupun saksi tidak malu menceritakan kejadian yang sebenarnya, karena di dalam persidangan hanya ada hakim, jaksa, penasihat hukum dan panitera. 17 Berikut adalah proses persidangan perkara pidana terkait penelantaran bayi: Ketua majelis hakim menanyakan identitas terdakwa; Penuntut umum membacakan surat dakwaan; Ketua majelis hakim menanyakan kepada terdakwa apakah benar-benar mengerti tentang dakwaan penuntut umum. Jika terdakwa belum mengerti maka penuntut umum akan menjelaskannya; Atas pembacaan (penjelasan) surat dakwaan tersebut, terdakwa maupun penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan (eksepsi). Apabila terdakwa/penasihat hukum mengajukan eksepsi, maka penuntut umum diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang eksepsi tersebut. Ketua majelis hakim dapat memutuskan diterima atau tidaknya eksepsi tersebut; Jika terdakwa/penasihat hukumnya tidak mengajukan eksepsi maka persidangan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan alat bukti; Untuk kepentingan pembuktian penuntut umum akan mengajukan barang bukti dan menghadirkan saksi-saksi yang akan memberikan keterangan (saksi yang biasanya memberatkan terdakwa/saksi a charge). Hakim ketua sidang dan hakim anggota meminta keterangan kepada saksi yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran. Kemudian diberi kesempatan kepada penuntut umum dan penasihat hukum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dengan perantaraan hakim ketua sidang (Pasal 164 KUHAP) 18 ; Setelah persidangan selesai mendengar keterangan para saksi, kemudian didengar keterangan ahli dan barang bukti berupa surat dan barang 17 Parulian Lumbantoruan, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 09.30 WIB di Surakarta. 18 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 17. 10

atau benda diperlihatkan kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa mengenalnya. 19 Selanjutnya adalah mendengar keterangan terdakwa dan dapat menghadirkan saksi yang meringankan terdakwa (saksi a de charge); Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, selanjutnya penuntut umum mengajukan tuntutan pidana; Terdakwa atau penasihat hukumnya akan mengajukan pembelaan (pledoi). Atas pledoi tersebut dapat ditanggapi oleh penuntut umum dengan mengajukan replik dan dapat ditanggapi oleh terdakwa/penasihat hukumnya melalui duplik; Hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi; Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruang sidang (Pasal 182 ayat [3] KUHAP). Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya (Pasal 182 ayat [5] KUHAP). Sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dengan dua cara yaitu: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Pasal 182 ayat [6] KUHAP): Pembacaan putusan pengadilan. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum (Pasal 182 ayat [8] KUHAP). Penegakan hukum pidana terhadap penelantaran bayi dilakukan berdasarkan ketentuan hukum pidana formil yang ada dalam KUHAP. Mengenai alat bukti, di dalam Pasal 183 KUHAP diatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana 19 Ibid, hal. 18. 11

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sedangkan di dalam peraturan khusus yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, memang ada ketentuan khusus berkaitan dengan alat bukti yang diatur dalam Pasal 55 yang berbunyi: Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Namun dalam kasus penelantaran bayi ketentuan tersebut tidak dapat digunakan karena bayi sebagai saksi korban belum dapat memberikan keterangannya. Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak ada ketentuan khusus mengenai hukum pidana formil terkait penelantaran bayi. Sehingga penelantaran bayi yang dijerat dengan ketentuan dalam KUHP maupun kedua peraturan khusus tersebut penyelesaian perkaranya tetap menggunakan hukum pidana formil dalam KUHP. 3.3 Hambatan dalam Penegakan Hukum terhadap Praktik Penelantaran Bayi di Wilayah Kota Surakarta 3.3.1 Hambatan-hambatan dalam Upaya Penegakan Hukum yang Dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Di dalam proses penyidikan tindak pidana terkait penelantaran bayi yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian Sektor Jebres tidak ada hambatan atau kendala yang ditemukan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa hal 20, yaitu: (1) ketika diperiksa oleh penyidik, tersangka penelantaran bayi dinilai termasuk kooperatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penyidik serta tersangka mengakui perbuatan yang telah dilakukannya; (2) partisipasi masyarakat yang memberikan informasi terkait adanya penelantaran bayi yang terjadi, sehingga penyidik dapat menemukan tersangka atau pelaku dari penelantaran bayi; (3) telah terjalin hubungan yang baik antara Kepolisian Sektor Jebres dengan Kejaksaan Negeri Surakarta, sehingga dalam melakukan penanganan perkara pidana terkait penelantaran bayi, kedua lembaga tersebut dapat saling berkoordinasi dengan baik; (4) telah terjalin hubungan baik antara Kepolisian 20 Bripka Evi Wijayanti, anggota Reskrim Kepolisian Sektor Jebres, Wawancara Pribadi, pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 11.00 WIB di Surakarta. 12

Sektor Jebres dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta yang selama ini merupakan lembaga untuk menitipkan bayi yang ditelantarkan oleh orang tuanya. 3.3.2 Hambatan-hambatan dalam Upaya Penegakan Hukum yang Dilakukan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Di dalam proses penegakan hukum terkait kasus penelantaran bayi yang dilakukan oleh hakim di Pengadilan Negeri Surakarta tidak mengalami hambatan atau kendala yang berarti dikarenakan 21 : (1) di dalam proses pembuktian di persidangan tidak memerlukan pembuktian yang rumit, sehingga hakim dengan keyakinannya dapat mengadili terdakwa dengan memenuhi rasa keadilan; (2) partisipasi masyarakat yang sangat besar sehingga kasus penelantaran bayi dapat ditangani. Namun apabila dalam proses pembuktian kasus penelantaran bayi yang dilakukan oleh seorang ibu yang belum lama melahirkan terdapat kendala, seperti terdakwa (ibu si bayi) tidak mengakui bahwa ia telah menelantarkan anaknya atau bahkan menolak mengakui bahwa ia adalah ibu dari anak terlantar yang ditemukan, maka dapat dibuktikan dengan adanya visum dari petugas medis (dokter). Dengan dilakukannya visum terhadap terdakwa (ibu bayi) tersebut maka akan terlihat bahwa terdakwa berbohong atau tidak. 4. PENUTUP 4.1. Kesimpulan Pertama, kebijakan hukum pidana terkait penelantaran bayi yaitu sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana terkait penelantaran bayi, pelaku tindak pidana terkait penelantaran bayi masih dikenakan ketentuan dalam KUHP. Namun dengan adanya asas perundang-undangan yaitu asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, maka setelah adanya undangundang yang mengatur tindak pidana terkait penelantaran bayi seperti Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, 21 Parulian Lumbantoruan, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, pada tanggal 23 Maret 2017 pukul 09.30 WIB di Surakarta. 13

sudah seharusnya tindak pidana terkait penelantaran bayi dijerat dengan ketentuan pidana khusus yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Kedua, dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait penelantaran bayi tidak terdapat perbedaan dengan upaya penegakan hukum tindak pidana pada umumnya. Upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Penyidik Kepolisian, meliputi: diketahui terjadinya suatu tindak pidana dari adanya laporan maupun penyidik yang dengan sendirinya mengetahui; pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum; upaya paksa yang meliputi pemanggilan saksi maupun tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan terhadap saksi, ahli, maupun tersangka; dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Penuntut Umum yaitu pembuatan surat dakwaan lalu penuntutan dengan langkah pelimpahan berkas perkara disertai surat dakwaan kepada Pengadilan Negeri. Sedangkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait penelantaran bayi yang dilaksanakan oleh hakim di pengadilan yaitu melalui proses persidangan yang dapat berjalan terbuka maupun tertutup sesuai dengan kebijaksanaan majelis hakim. Ketiga, tidak ditemukan adanya hambatan dalam proses penegakan hukum terhadap praktik penelantaran bayi di wilayah kota Surakarta yang dilakukan oleh penyidik hingga hakim dikarenakan: tersangka yang diperiksa penyidik dinilai kooperatif dalam menjawab pertanyaan maupun mengakui akan perbuatan yang telah dilakukan; proses pembuktian di persidangan tidak terlalu rumit; adanya partisipasi masyarakat yang memberikan informasi guna menyelesaikan perkara tindak pidana terkait penelantaran bayi; dan adanya hubungan baik antar sesama lembaga penegak hukum. 4.2. Saran Pertama, dengan adanya perangkat hukum yang ada baik di dalam KUHP maupun di luar KUHP yaitu dalam peraturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, diharapkan dapat digunakan untuk menindak tegas para pelaku tindak pidana terkait penelantaran bayi. Kedua, dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait penelantaran bayi harus lebih ditingkatkan agar pelaku tindak pidana penelantaran 14

bayi yang terlanjur melakukan perbuatan penelantaran bayi tetap dapat memperoleh hak-haknya (hak-hak tersangka atau terdakwa tetap terpenuhi) serta menimbulkan efek jera bagi pelaku. Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai hak-hak anak, perlindungan anak, dan peraturan hukum terkait dengan penelantaran bayi termasuk juga di dalamnya yaitu sanksi hukum dari tindakan penelantaran bayi, sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindak pidana terkait penelantaran bayi. PERSANTUNAN Saya mengucapkan terima kasih kepada pertama, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan motivasi, kasih sayang serta doanya, sehingga saya bisa menyelesaikan karya ilmiah ini, kedua, bapak-ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan karya ilmiah ini, ketiga, semua sahabat dan teman seperjuangan yang selalu memberi dukungan, inspirasi dan motivasi. DAFTAR PUSTAKA Antara Jateng.com, 15 Mei 2015, Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai 4,1 juta, dalam http://jateng.antaranews.com/detail/mensosjumlah-anak-terlantar-di-indonesia-mencapai-41-juta.html Bassar, M. Sudradjat, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung: Remadja Karya CV. Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Mandar Maju. Hatta, Moh., 2008, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta, Yogyakarta: Penerbit Galangpress. Marpaung, Leden, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1, Jakarta: Sinar Grafika. Merdeka.com, 1 Desember 2015: Buang Bayi di Solo, polisi tangkap 2 mahasiswa Yogyakarta, dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/buang-bayi-disolo-polisi-tangkap-2-mahasiswa-yogyakarta.html 15

Nashriana, 2014, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. Sentika, T.B. Rachmat, 2007, Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan Anak Indonesia yang Sehat, Cedas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi, Jurnal Sosioteknologi Edisi 11 Tahun 6, Agustus 2007. Soesilo, R., 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : POLITEIA-BOGOR. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 16