BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh : Listyo Budi Santoso Dosen Fakultas Hukum - Universitas Pekalongan ABSTRAK

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

Institute for Criminal Justice Reform

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

PROVINSI JAWA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

ANALISIS KEBIJAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PADA PEMBANGUNAN NASIONAL DI KAB.

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

KEJAHATAN SEKSUAL Lindungi Hak Korban. Masruchah Komnas Perempuan 11 Januari 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan, sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu Negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.(saparinah Sadli, dalam Niken Savitri, 2008) Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/ CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanit/CEDAW, Indonesia wajib melakukan penyesuaian dalam setiap pembuatan undang-undang, khususnya di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, untuk menjamin kemajuan dan perkembangan perempuan seutuhnya, yang tujuannya menjamin perempuan dalam melaksanakan dan manikmati hak-hak asasi manusia dan hak atas persamaan gender. Berangkat dari Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/CEDAW, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan tanggal 22 September 2004, saat ini sudah mulai digunakan sebagai payung hukum penyelesaian penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang PKDRT dianggap sebagai

2 salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh Undang- Undang sebelumnya. Setelah itu menyusul Undang-Undang seperti Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terobosan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang PKDRT termasuk tidak hanya dalam hukum pidananya, tetapi juga dalam proses beracaranya. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk. (Estu Rakhmi Fanani, 2008) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terdiri atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang ini telah mengamanatkan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu korban KDRT juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kerahasiaan korban dan penanganannyapun secara khusus berkaitan dengan kerahasiaannya. Korban KDRT selain memperoleh hak perlindungan dan pelayanan kesehatan juga berhak mendapatkan pendampingan dari pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memperoleh pelayanan bimbingan rohani. Undang-Undang PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami. Ironisnya kasus KDRT

3 sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. Perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan (isteri) korban kekerasan dalam rumah tangga di DKI Jakarta dilaksanakan oleh Pusat Krisis Terpadu yang berada di Rumah Sakit dan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian sebagai institusi resmi pemerintah, maupun yang dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap perlindungan dan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan yang diatur dalam undang-undang PKDRT mempunyai sifat yang khas dan spesifik, umpamanya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan keluarga atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Oleh sebab itu, tindak kekerasan dalam rumah tangga lebih merupakan persoalan sosial, bukan hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaian permasalahan KDRT harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Undangundang PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga nonpenegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan

4 pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga, serta kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, budaya, agama, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996). Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari ketimpangan hubungan kekuasaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, yang menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan dan yang memaksa perempuan berada dalam posisi subordinasi.(hak Asasi Perempuan, 2004) Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan/isteri dalam rumah tangga menyebabkan perempuan tersebut mengalami viktimisasi. Viktimisasi yang dialami disebabkan karena adanya ketidak setaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, merugikan perempuan, dan membuat perempuan terus menerus menjadi korban. Menurut Andrew Carmen, viktimisasi merupakan akibat dari suatu bentuk kesenjangan hubungan yang bersifat sewenang-wenang, merusak, merasa ketergantungan yang berlebihan, tidak adil, dan untuk beberapa kasus merupakan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang melanggar hukum.(andrew Carmen, 2001:2) Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu

5 sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri. MacCormack dan Stathern (1980) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga. Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, Perserikatan Bangsa-Bangsa 1985, yang dimaksud korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan atau pembiaran (omission) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara anggota, yang meliputi peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.(arif Gosita, 1993) Kekerasan yang khas dan ditujukan pada perempuan karena mereka perempuan yang biasa disebut kekerasan berbasis gender (gender based violence) semakin terangkat ke permukaan mengingat terjadi di hampir semua aspek kehidupan seperti perkosaan, kekerasan seksual, eksploitasi seksual.(romany Sihite,2007) Menurut Martha Camallas, perempuan sering menghadapi dilemma. (Niken Savitri, 2006). Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi

6 tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Gondolf (1988) dalam Mollie Whalen mengatakan bahwa perempuan yang tidak berdaya dalam korban kekerasan tidaklah bersikap pasif dan menyerah, dia berusaha mencari bantuan dari waktu ke waktu untuk lepas dari pelaku. Gondolf menyarankan agar perempuan korban kekerasan jangan merasa rendah diri dan menyalahkan diri sendiri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang PKDRT, diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga khususnya perempuan yang paling banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Di dalam masyarakat kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga semakin banyak terjadi, jumlah kasus KDRT seperti fenomena gunung es artinya jumlah kasus yang terungkap hanya merupakan bagian kecil yang tidak sesuai dengan jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk mencegah dan menghapus tindak kekerasan tersebut. Undang-Undang Nomor 23 Tahun

7 2004 tentang PKDRT memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender non diskriminasi. Tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasaan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasaan dalam rumah tangga, serta memelihara keutuhan rumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat dikelompokkan dalam lima bentuk, yaitu: 1. Kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan dengan tangan maupun benda, penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, dan pemberian ancaman kekerasan. 2. Kekerasan verbal dalam bentuk caci maki, meludahi, dan bentuk penghinaan lain secara verbal. 3. Kekerasan psikologi atau emosional yang meliputi pembatasan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan terror. 4. Kekerasan ekonomi melalui tindakan pembatasan penggunaan keuangan yang berlebihan dan pemaksaan kehendak untuk kepentingan ekonomi, seperti memaksa untuk bekerja dan sebagainya. 5. Kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual yang paling ringan hingga perkosaan.(mohammad Azzam Manan, 2008) Terjadinya kekerasan rumah tangga terhadap seorang perempuan mengakibatkan perempuan tersebut mengalami viktimisasi. Menurut Arif Gosita, viktimisasi adalah suatu perbuatan yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada seseorang oleh seseorang, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain (individu atau kelompok).(arif Gosita, 1993) Tindak kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dalam rentang waktu yang panjang cenderung bersifat laten hingga jarang terungkap ke permukaan. Akibatnya, ia lebih merupakan kejadian sederhana yang kurang

8 menarik dibanding sebagai fakta sosial yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dimanapun juga masih terus berlangsung dengan jumlah kasus dan intensitasnya yang makin hari cenderung semakin meningkat. Media massa cetak dan elektronik malah tak pernah lengang dari berita dan informasi terbaru tentang tindak KDRT, termasuk dalam rumah tangga para selebriti.(mohammad Azzam Manan, 2008) Perempuan, sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu Negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.(saparinah Sadli, dalam Niken Savitri, 2008) Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/ CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanit/CEDAW, Indonesia wajib melakukan penyesuaian dalam setiap pembuatan undang-undang, khususnya di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, untuk menjamin kemajuan dan perkembangan perempuan seutuhnya, yang tujuannya menjamin perempuan dalam melaksanakan dan manikmati hak-hak asasi manusia dan hak atas persamaan gender. Berangkat dari Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/CEDAW, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)

9 yang disahkan tanggal 22 September 2004, saat ini sudah berumur 4 tahun dan mulai digunakan sebagai payung hukum penyelesaian penyelesaian kasuskasus kekerasan dalam rumah tangga. Wee menilai dampak sumber daya perkawinan dan pengalaman awal kehidupan kekerasan dan sikap tentang kekerasan terhadap istri di antara 2.074 wanita Kamboja menikah. standar hidup yang kurang berpengaruh terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Wanita dengan 8-13 tahun lebih sedikit sekolah dari suami mereka lebih sering mengalami kekerasan fisik dan psikologis kekerasan domestik.( Yount, Kathryn M and Jennifer S. Carrera. (2006) Sepanjang tahun 2009 hingga akhir Februari 2009, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jakarta mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 160 kasus, yaitu melalui pengaduan langsung 90 kasus dan melalui telepon 70 kasus. Dari 160 kasus tersebut 77,8 % atau 130 kasus merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian merupakan pilihan tertinggi bagi perempuan korban untuk menyelesaikan ataupun memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Dari keseluruhan kasus kekerasan yang terdata oleh LBH APIK Jakarta selama Januari-Februari 2009, KDRT merupakan prosentase terbesar dibanding kekerasan lain seperti kekerasan dalam pacaran 4,8%, kekerasan paska perceraian 4,8%, kekerasan dalam ketenagakerjaan 3%, kekerasan seksual 2,4%, kekerasan dalam kasus hak waris 2,4 %, kekerasan adopsi anak 0,5%, kekerasan yang bersifat pidana lain (penipuan, penganiayaan, pencemaran nama baik akibat laporan perkosaan 1,9%) dan lain-lain kekerasan yang diadukan 2,4 %. Sedangkan Pusat Krisis terpadu Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (PKT RSCM) mencatat bahwa sejak berdiri bulan Juni 2000 sampai bulan Desember 2007 telah menangani sebanyak 4500 kasus. Dari Jumlah kasus tersebut yang terbanyak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mencapai 1226 kasus atau 27,2%, kasus perkosaan pada anak usia 18 tahun sebanyak 939 kasus atau 20,9%, kasus perkosaan terhadap orang dewasa

10 sebanyak 529 kasus atau 11,8%, sedangkan untuk kasus anak laki-laki terdapat 118 kasus atau 2,6%. Kasus lainnya adalah kasus penderaan anak terdapat 82 kasus atau 1,8% dan 3 kasus pelantaran anak atau 0,06% selain itu juga terdapat 779 kasus atau 17,3% adalah kasus kekerasan lainnya yang tidak dapat dikelompokkan dengan jenis kasus diatas. Sejak Juni 2000 hingga Maret 2009 ini jumlah kasus yang masuk sebanyak 5439 kasus. Namun demikian pelaksanaan pelayanan dan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) belum pernah dievaluasi apakah sesuai dengan kebutuhan korban. 1.2. Permasalahan Kenyataan yang tampak di masyarakat saat ini adalah semakin meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga jumlah kasus KDRT seperti fenomena gunung es artinya jumlah kasus yang terungkap hanya merupakan bagian kecil yang tidak sesuai dengan jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi, dan bagi korban perempuan (isteri) tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa karena masih banyak perempuan yang belum tau harus mengadu kemana dan malu untuk mengungkapkannya. Ketidak tahuan para perempuan korban ini karena beberapa hal: a. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih baru dan belum banyak yang mengetahui; b. Korban belum banyak yang mengetahui apa saja yang menjadi haknya; c. Pelaksanaan perlindungan dan pelayanan belum tentu sesuai dengan kebutuhan korban. 1.3. Pertanyaan Penelitian Bagaimana pelaksanaan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pada Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo berdasarkan rumusan yang dibuat oleh Shapland?

11 1.4. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum penelitian tentang pelaksanaan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah untuk mengetahui sejauh mana para kaum perempuan mengetahui bahwa saat ini sudah ada peraturan yang mengatur dan melindungi atas penderitaan yang dialami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. b. Tujuan Khusus Untuk menjelaskan implementasi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pada Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. 1.5. Signifikansi Penelitian a. Akademis Manfaat dari penelitian ini secara akademis adalah untuk menambah wawasan, memeperluas wacana dalam bidang viktimologi. Penelitian ini juga memiliki manfaat untuk mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan perlindungan dan pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga pada Pusat Krisis Terpadu RSCM dalam menangani perempuan korban KDRT serta implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengenai pelaksanaan perlindungan dan pelayananterhadap perempuan korban KDRT.

12 b. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan bahan masukan serta pertimbangan bagi para praktisi penegak hukum, pemerintah Indonesia dan masyarakat agar melakukan pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dengan sepenuh hati. 1.6. Sistematika Penulisan Bab 1 PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang menguraikan secara garis besar perlindungan dan pelayanan korban dalam hal ini peneliti lebih memfokuskan pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sebagai latar belakang permasalahan, selain itu juga menetapkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 KERANGKA PEMIKIRAN Pada bab ini akan menguraikan tentang tinjauan pustaka yang berisikan hasil penelitian terdahulu, definisi konsep yang berisikan konsep-konsep yang digunakan dalam tesis ini, serta kerangka teori. Bab 3 METODE PENELLITIAN Bab ini berisi penjelasan metodologi penelitian, pendekatan penelitian, pelaksanaan penelitian, tehnik pengumpulan data, subyek penelitian, kelemahan dan kendala penelitian. Bab 4 GAMBARAN UMUM MENGENAI PUSAT KRISIS TERPADU RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO (PKT RSCM)

13 Bab ini akan menguraikan tentang sejarah PKT RSCM, profil dari PKT RSCM, uraian tugas PKT RSCM, unit kesekretariatan PKT RSCM. Bab 5 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN KORBAN PADA PKT RSCM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Bab ini akan menguraikan tentang permasalahan yang terkait dengan data-data primer yaitu perlindungan dan pelayanan korban di PKT RSCM terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga Bab 6 ANALISA PELAKSANAAN PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN KORBAN PADA PKT RSCM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT Bab ini akan menguraikan tentang analisa peneliti mengenai pelaksanaan perlindungan dan pelayanan korban pada PKT RSCM terhadap perempuan korban KDRT dihubungkan dengan teori yang digunakan peneliti Bab 7 PENUTUP Sebagai bab penutup yang berisi beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan dari analisa pembahasan serta saran yang diberikan oleh penulis.