BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

GUBERNUR SULAWESI UTARA

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

LESTARI PAPER NO. 01 PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI SECARA KOLABORATIF

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM NOMOR : P. 12/IV- SET/2011 TENTANG

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

2016, No informasi geospasial dengan melibatkan seluruh unit yang mengelola informasi geospasial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN HUTAN RAYA R.

DESENTRALISASI. aris subagiyo

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

I. UMUM. Sejalan...

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

2 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2014 TENTANG

BAGIAN KETIGA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN REBOISASI HUTAN KONSERVASI DALAM RANGKA GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bergulirnya periode reformasi memberikan dorongan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Salah satu bentuk perubahan hubungan kekuasaan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasca reformasi adalah desentralisasi, dimana terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Widodo (2001) menyatakan desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit banyak mandiri, yang dicirikan sebagai oragan yang memiliki sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. Nurrohmat (2005) menjelaskan, berdasarkan kewenangannya, terdapat tiga aspek penting yang dapat didesentralisasikan kepada daerah yakni administratif, fiskal dan politik. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu isu yang menonjol disamping desentralisasi administrasi dan politik. Desentralisasi administratif diartikan sebagai bentuk pendelegasian kewenangan yang diberikan kepada tingkat lokal. Sedangkan desentralisasi politik diartikan sebagai wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada pejabat-pejabat di tingkat regional dan lokal.

2 Kebijakan desentralisasi dilaksanakan dengan menggunakan kerangka hukum Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terbitnya peraturan perundang-undangan tersebut berdampak terhadap bergesernya paradigma pemerintahan yang semula sebagian besar tersentralisasi bergeser ke sistem pemerintahan yang sebagian besar terdesentralisasi. Kebijakan tersebut diharapkan mampu memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap bidang politik, pengelolaan keuangan daerah serta pemanfaatan sumber-sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal. Desentralisasi memberikan harapan terwujudnya pemerintahan ke arah yang lebih baik. Rondinelli (1990) dalam Widodo (2001) menyatakan desentralisasi akan dapat meningkatkan efektifitas dalam membuat kebijakan nasional dengan cara mendelegair tanggung jawab kepada para pejabat tingkat lokal. Melalui pelaksanaan desentralisasi juga diharapkan dapat mendekatkan pemerintah kepada masyarakat baik secara politik maupun geografis. Desentralisasi akan mampu memangkas beberapa tahap birokrasi sehingga dapat memperpendek jarak antara pemerintah dengan masyarakat. Hubungan yang dekat antara pemerintah daerah dengan masyarakat memungkinkan pemerintah daerah untuk mendapatkan

3 informasi terbaru termasuk keinginan masyarakat maupun permasalahanpermasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mendorong pemerintah daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, dengan demikian prioritasprioritas kebijakan yang ditetapkan pemerintah akan menjadi tepat sasaran dan lebih fleksibel. Berbeda halnya dengan sistem sentralisasi pemerintah pusat, keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena adanya jarak antara pemerintah pusat dengan masyarakat, dimana diantara pemerintah pusat dan masyarakat terdapat jalur birokrasi yang cukup panjang yang menyebabkan pemerintah pusat menjadi tidak peka dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Akibatnya, kondisi tersebut menyebabkan pemerintah pusat seakan tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan publik yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Oleh karenanya, sistem pemerintahan yang terdesentralisasi menjadi sebuah pilihan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sentralisasi. Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal dengan tetap mengacu pada upaya pencapaian

4 pembangunan baik secara regional maupun nasional. Melalui desentralisasi, diharapkan pengambilan keputusan terkait pelayanan publik dapat lebih relevan terhadap upaya penyelesaian permasalahan di daerah. Disamping itu, proses perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan yang lebih baik, akan membantu memberikan kepastian terkait alokasi sumber daya pemerintah yang sangat terbatas sehingga akan dapat digunakan secara efektif dan efisien demi memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Pelaksanaan desentralisasi juga membawa dampak pada lebih cepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam merespons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi dengan melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan akan mengarah kepada terwujudnya kehidupan demokrasi dengan memberikan ruang gerak bagi masyarakat untuk berkreasi, berinovasi dan terlibat langsung dalam pembangunan. Dengan demikian esensi untuk mendekatkan pemerintah dapat diwujudkan. Pelayanan publik kepada masyarakat dilakukan dengan lebih cepat karena mampu memotong jalur birokrasi yang pajang, akibatnya masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah. Perbaikan pelayanan tersebut semakin baik dengan adanya dukungan pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan pemberian ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Desentralisasi merupakan keputusan nasional yang harus dilaksanakan oleh semua pihak. Dalam bidang kehutanan, banyak harapan

5 yang sebenarnya tertumpu pada desentralisasi. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan tingkat kepedulian terhadap hutan akan semakin meningkat, diikuti dengan peningkatan prinsip-prinsip demokrasi serta peran serta masyarakat yang semakin besar sehingga dapat tercapai pemerataan dan keadilan dengan mempertimbangkan potensi serta keanekaragaman daerah. Secara umum, kewenangan pemerintah pusat dalam pengurusan hutan dilaksanakan dengan menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria terhadap berbagai aspek pengaturan hutan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan tugas sehari-hari dalam pengelolaan hutan. Salah satu urusan kehutan yang tetap dipertahankan oleh pemerintah pusat adalah urusan yang yang mempunyai dampak dalam skala luas dan memiliki efek stabilisasi seperti misalnya pada pengelolaan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan dengan tujuan konservasi. Kawasan hutan yang dimaksudkan untuk tujuan konservasi dibedakan atas kawasan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kawasan lindung ditunjuk berdasarkan kemampuan alamiahnya sehingga dapat berfungsi sebagai pengatur tata air, pencegah erosi dan banjir, serta mampu menjaga kesuburan tanah. Kawasan suaka alam (KSA) yang terdiri atas Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM) merupakan kawasan dengan ciri khusus sebagai kawasan pengawetan keragaman satwa dan tumbuhan sekaligus berfungsi sebagai areal sistem penyangga kehidupan. Sedangkan kawasan pelestarian alam (KPA) yang terdiri atas Taman Nasional (TN),

6 Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Wisata Alam (TWA), ditunjuk dengan tujuan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Wiratno dkk, 2004). Khusus taman hutan raya memiliki bentuk pengelolaan yang berbeda jika dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya. Secara umum kawasan-kawasan konservasi tersebut, pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui unit pelaksana teknisnya yang ada di daerah, sedangkan pada tahura pengelolaan dilakukan secara desentralisasi oleh pemerintah daerah melalui dinas yang membidangi kehutanan namun tetap melalui koordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Tahura yang diarahkan sebagai kawasan konservasi yang mampu menjadi penyumbang pendapatan negara dengan pengelolaan yang dilakukan secara desentralisasi tersebut menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam. Dengan demikian dapat diketahui lebih lanjut bagaimana bentuk political will dan good will pengambil kebijakan dalam pengelolaan tahura dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pengelolaan tahura di Indonesia. Untuk lebih fokus terhadap kajian, maka digunakan lingkup peraturan perundangan bidang kehutanan yang meliputi peraturan sejak periode reformasi hingga saat ini. Pertimbangan pemakaian peraturan tersebut karena pada kurun waktu tersebut mulai diterbitkannya aturan khusus terkait pengelolaan tahura di Indonesia, serta adanya dampak yang

7 besar pada periode reformasi yang terjadi di tahun 1998. Konflik sosial politik yang terjadi pada masa reformasi memberikan dampak yang besar terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem. Keterbukaan demokrasi membuat masyarakat yang semula hanya menjadi penonton selanjutnya berontak dan melakukan penjarahan. Masyarakat menganggap hutan sebagai milik bersama sehingga mereka bebas mengambil apa saja dari hutan, akibatnya terjadilah penjarahan yang tidak terkendali yang berimbas pada rusaknya sumber daya hutan dan ekosistem. Peraturan yang digunakan sebagai obyek kajian adalah peraturanperaturan terkait Pengelolaan Taman Hutan Raya yang terdapat dalam peraturan perundangan yang terdiri atas : UU No. 41 Tahun 1999; PP No. 28 Tahun 2011 dan P.10/Mehut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Tahura. Lingkup peraturan yang digunakan sebagai obyek kajian tersebut memiliki tingkatan yang berbeda sehingga diharapkan dapat diketahui konsistensi pemerintah dalam upaya pegelolaan tahura di Indonesia. Metode yang digunakan untuk melakukan kajian terhadap peraturan perundangan bidang kehutanan terkait pengelolaan tahura tersebut adalah metode analisis isi kualitatif. Analisis isi (Content Analysis) merupakan teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan kesahihan data dengan memperhatikan konteksnya. Menurut Richard Budd dalam Abrar (1995), disampaikan bahwa analisis isi merupakan metode yang sistematik dalam menganalisis pesan dan

8 bagaimana pesan tersebut disampaikan. Dengan demikian analisis isi dapat digunakan untuk meneliti pesan-pesan yang pernah disampaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang menggunakan teknik simbol coding dengan mencatat lambang atau pesan secara sistematis, yang selanjutya diberi interpretasi. Analisis isi kualitatif menekankan pada pemaknaan teks dibandingkan penjumlahan unit kategori sebagaimana yang dilakukan pada analisis isi kuantitatif, dan memfokuskan pada pesan yang sifatnya tersembunyi. Metode ini lebih difokuskan untuk melihat bagaimana isi teks kebijakan dalam menyampaikan pesan terkait isu implementasi pengelolaan kawasan tahura. Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, asalkan terdokumentasi. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : bagaimana peraturan perundangan bidang kehutanan terkait pengelolaan taman hutan raya memuat strategi mengenai sistem tata kelola tahura di Indonesia? Selanjutnya muncul pertanyaan penelitian untuk membantu menjawab permasalahan di atas, yaitu : 1. Bagaimanakah sistem tata kelola tahura di Indonesia yang dikonstruksikan oleh peraturan perundangan bidang kehutanan tersebut?

9 2. Bagaimanakah sistem tata kelola tahura di Indonesia tersebut mampu mewujudkan tujuan pengelolaan tahura? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sistem tata kelola tahura sebagai kawasan konservasi di Indonesia yang dikonstruksi oleh gagasan-gagasan pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangan yang ditetapkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem tata kelola tahura di Indonesia yang dikonstruksikan oleh peraturan perundangan bidang kehutanan tersebut mampu mewujudkan tujuan pengelolaan tahura di Indonesia. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai keseriusan dan komitmen pemerintah dalam upaya mempertahankan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang termuat dalam peraturan perundangan terkait pengelolaan tahura. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Sebagai bahan masukan yang bermanfaat untuk mengembangkan ilmu administrasi publik, terutama yang berkaitan dengan kajian terhadap sebuah peraturan perundangan dan bentuk implementasinya di lapangan.

10 2. Manfaat Praktis Dengan mengetahui isi kebijakan yang terkait dengan pengelolaan tahura, diharapkan mampu memberikan masukan bagi pengambil kebijakan terkait pengelolaan kawasan konservasi yang efektif untuk mewujudkan keberlanjutan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Bagi penulis diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman terhadap isi dari suatu kebijakan yang dibuat pemerintah.