BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

SMP NEGERI 3 MENGGALA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. karena dampak negatif terhadap lingkungan belum dirasakan. Seiring dengan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

BAB. I. PENDAHULUAN A.

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya.

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN. Demikian pula dengan kondisi tanah dan iklim yang beragam, sehingga keadaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam dan Ekowisata

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara pada tahun

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan memiliki prospek baik, potensi hutan alam yang menarik. memiliki potensi yang baik apabila digarap dan sungguh-sungguh

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DESKRIPSI TEMPAT WISATA Sejarah Taman Wisata Alam Mangrove Pantai Indah Kapuk. lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN. yang serius dari pemerintah. Hal ini didukung dengan adanya program

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun tumbuhan. TWA ini terletak di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu dan ditetapan sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Bengkulu. Kawasan TWA Bukit Kaba memiliki keindahan bentang alam yang memadukan ekosistem hutan hujan tropis dengan formasi geologis kawah Gunung Kaba. KPA ini diperkirakan menjadi habitat alami dari spesies kunci ( keystone species) seperti Beruang Madu ( Helarctos malayanus) dan Siamang (Hylobates syndactylus). Satwa liar dari jenis mamalia dan burung memiliki peran ekologis yang sangat penting bagi keseluruhan ekosistem suatu kawasan hutan terutama dalam hal regenerasi alami (Meijaard et al., 2006). Mereka berperan dalam penyebaran biji dan regenerasi tumbuhan di kawasan. Kelestarian satwa liar penting untuk dipertahankan karena hal ini terkait erat dengan kelangsungan jasa ekologis hutan. Punahnya satwa liar dalam suatu kawasan hutan merupakan suatu musibah ekologis. Hutan tanpa satwa liar dapat dianggap mati secara ekologis ( ecologically dead). Satwa liar dan sumber daya alam lain merupakan natural capital yang nilainya sangat tinggi sehingga keberadaannya perlu untuk dilestarikan. (Pudyatmoko et al.. 2012). 1

2 Kemajuan budaya yang dicapai manusia serta eksistensinya tidak bisa dilepaskan oleh peran satwa liar. Aspek kehidupan manusia yang memiliki keterkaitan dengan satwa liar adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil inspirasi dari keberadaan satwa liar (Pudyatmoko et al., 2012). Keberadaan satwa-satwa di TWA Bukit Kaba perlu dilestarikan melalui upaya pengelolaan kawasan yang terpadu. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) maka pengelolaan satwa di TWA Bukit Kaba difokuskan bagi kepentingan pariwisata alam dan rekreasi. Pengelolaan kawasan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Strategi pengelolaan kawasan yang dianggap paling akomodatif terhadap berbagai kepentingan tersebut adalah dengan pengembangan kegiatan ekowisata karena relatif mampu mengakomodir kepentingan ekologis, ekonomi, dan sosial (Fandeli, 2002). Pengelolaan satwa liar memerlukan beberapa tahapan dan proses linear sebagaimana diungkapkan oleh Bailey (1984) dalam Alikodra (2011). Tahapan pengelolaan satwa liar terdiri atas: inventarisasi; sensus; penilaian produktivitas; diagnosis; dan kontrol. Inventarisasi merupakan tahapan awal yang penting dalam pengelolaan satwa liar karena akan menentukan proses selanjutnya dalam pengelolaan. Informasi yang diperoleh dari inventarisasi ini merupakan tahap awal dalam pengelolaan satwa liar dan penting bagi penyusunan data dasar tentang spesies

3 dalam kawasan, penyebaran maupun jumlahnya (Alikodra, 2011). Tahapan kegiatan penelitian ini akan mengumpulkan informasi tentang daftar spesies dan distribusi geografis satwa liar dari jenis mamalia dan burung pada jalur-jalur ekowisata TWA Bukit Kaba. Penelitian ini penting dilakukan karena belum pernah ada inventarisasi terhadap potensi satwa liar pada jalur-jalur wisata di TWA Bukit Kaba. Penelitian dan kegiatan pengelolaan di kawasan ini lebih banyak difokuskan kepada pengembangan wisata yang mengandalkan potensi panorama alam. Potensi satwa liar perlu diinventarisasi sebagai data base pengelolaan satwa liar dan bahan rekomendasi bagi pengelola kawasan. Satwa liar mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, serta untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra, 1990). Salah satu nilai yang penting bagi pelestarian sumber daya alam hayati hidupan liar ( wildlife resources) adalah adanya nilai rekreasi (Djuwantoko, 2000 dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000). Nilai estetika yang dimiliki oleh satwa liar merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan wisata minat khusus satwa atau ekowisata satwa liar karena mempunyai nilai seni yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa satwa liar merupakan atraksi yang dapat menarik minat wisatawan. Atraksi wisata dapat berupa sumber daya alam, budaya, etnisitas, ataupun hiburan (Fandeli, 2002). Potensi satwa dan tumbuhan termasuk kategori obyek dan daya tarik wisata alam. TWA Bukit Kaba dengan bentang alam yang unik dan potensi satwanya sangat potensial untuk dikembangkan kegiatan ekowisata satwa liar. Pengembangan kegiatan wisata di TWA Bukit Kaba dengan menerapkan prinsip

4 ekowisata sangat tepat karena dapat lebih menjamin kelestarian ekologis kawasan dan memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Pengembangan ekowisata sebagai salah satu bentuk dari kegiatan wisata merupakan prioritas dalam kegiatan pembangunan. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan mulai tahun 2008 sebagai tahun kunjungan wisata dan menjadikan sektor pariwisata memiliki peran strategis sebagai sumber pendapatan dan devisa nasional, penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, sekaligus sebagai media untuk melestarikan nilai-nilai budaya ( Permana et al., 2010). Sektor kepariwisataan juga menjadi salah satu sektor prioritas pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Bengkulu tahun 2011-2015 karena merupakan sektor strategis dan dianggap mampu untuk membangun kemandirian daerah. Dalam Rencana Strategis Kementrian Kehutanan tahun 2010-2014, pengembangan wisata alam merupakan salah satu fokus prioritas di antara 4 (empat) fokus prioritas Kementrian Kehutanan (Dephut, 2010). Pemanfaatan potensi satwa kawasan untuk kegiatan wisata minat khusus satwa diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan wisata yang mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan ekologi kawasan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. 1.1.1. Perumusan Masalah TWA Bukit Kaba merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki potensi keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa dan tumbuhan. Kekayaan kawasan ini merupakan potensi bagi pengembangan kegiatan ekowisata. Potensi kawasan ini

5 terutama jenis-jenis satwa liar belum dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya data yang dimiliki pengelola kawasan. Kurangnya data base ini merupakan titik lemah pengelolaan kawasan yang perlu segera diperbaiki. Potensi keanekaragaman hayati khususnya berupa satwa liar belum terpetakan dengan baik sehingga rencana pengelolaan kawasan belum mengakomodir keberadaan satwa liar sebagai potensi wisata dan sekaligus subyek yang memiliki kerentanan terhadap aktivitas manusia. Pengembangan kegiatan wisata di TWA Bukit Kaba selama ini cenderung bersifat wisata masal (mass tourism) sehingga menimbulkan dampak negatif terutama terhadap lingkungan berupa pencemaran dan ancaman terhadap kelestarian tumbuhan dan satwa. Mass tourism menimbulkan beberapa permasalahan yang bersifat negatif, yaitu dampak fisik serta sosial dan budaya (Bravo, 2003). Pariwisata masal menimbulkan berbagai dampak negatif baik yang terkait dengan sumber daya manusia maupun sumber daya alam (Sprastayasa, 2008). P ariwisata massal yang berkembang hingga dekade delapan puluhan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan (Gartner, 1996 dalam Fandeli, 2004). Selain itu menurut Fandeli dan Nurdin (2005), bentuk pariwisata masal telah menimbulkan berbagai masalah utama berupa masalah sosial budaya dan kerusakan lingkungan. Motif wisatawan yang berkunjung ke TWA Bukit Kaba pada umumnya adalah untuk menikmati keindahan panorama alam saja dan cenderung belum mengetahui potensi satwa liar sebagai obyek daya tarik wisata yang memiliki kerentanan terhadap aktivitas manusia. Kondisi ini jika terus terjadi tanpa perubahan kebijakan pengelolaan, maka akan merugikan kelestarian kawasan dan juga satwa liar

6 di dalamnya. Jumlah wisatawan yang besar dan perilaku negatifnya cenderung merugikan kelestarian kawasan dan satwa liar. Salah satu upaya pengelolaan kawasan yang mendesak untuk dilakukan di TWA Bukit Kaba adalah melengkapi data base satwa dan menyusun rencana pengelolaan atas dasar potensi kawasan. Penelitian ini merupakan upaya untuk memperbaiki data base tersebut. Beberapa permasalahan terkait penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana potensi satwa liar serta obyek wisata pendukungnya pada jalur-jalur wisata di TWA Bukit Kaba? 2. Bagaimana kriteria dalam menetapkan jalur-jalur wisata untuk mengamati potensi satwa liar di kawasan tersebut? 3. Bagaimana strategi pengelolaan ekowisata minat khusus satwa liar pada jalurjalur wisata TWA Bukit Kaba? 1.1.2. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan ekowisata dan wisata minat khusus satwa telah banyak dilakukan dengan lokasi, fokus, judul, dan metode yang beraneka ragam. Penelitian Potensi Ekowisata Satwa Liar pada Jalur-Jalur Ekowisata TWA Bukit Kaba merupakan ide peneliti untuk membantu pengelola kawasan melengkapi data base satwa dan sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di lokasi ini. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan peneliti antara lain :

7 Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu Terkait Ekowisata Satwa dan Penelitian dengan Lokasi Bukit Kaba No Judul Penelitian Peneliti Aspek Kajian 1 Studi Kasus Daya Dukung Lingkungan Desa- Desa Sekitar TWA Bukit Kaba Kabupaten Rejang Lebong : Tinjauan Secara Ekologi dan Ekonomi (Tesis/UNIB) 2 Kajian Pengembangan Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba Berdasarkan Potensi dan Prioritas Pengembangannya (Tesis/UNIB) 3 Kajian Potensi Satwa Liar untuk Pengembangan Ekowisata di TN Bukit Tiga Puluh (Tesis/UGM) 4 Kajian Potensi dan Daya Tarik Burung untuk Pengembangan Ekowisata Birdwatching di Hutan Lindung Sungai Lesan Kabupaten Berau Kalimantan Timur (Tesis/UGM) 5 Kajian Potensi dan Pengembangan Ekowisata Gajah Sumatera di Kawasan Hutan PLG Seblat (Tesis/UGM) Waznah (2012) Davit Huta Hayan (2012) Herturiansyah (2011) Saiful Bahri (2011) M. Mahfud (2011) Ekologi/ Daya Dukung Lingkungan Kelembagaan TWA Bukit Kaba dan Sosial Keanekaragaan jenis mamalia dan burung sebagai atraksi ekowisata Keanekaragaman jenis burung sebagai potensi ekowisata Atraksi gajah sebagai potensi ekowisata 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan di TWA Bukit Kaba ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1. Mengetahui potensi satwa liar serta obyek wisata pendukung pada jalur-jalur wisata di TWA Bukit Kaba. 2. Mengetahui dan menilai kualitas jalur-jalur wisata untuk mengamati potensi satwa liar di TWA Bukit Kaba. 3. Menyusun strategi pengelolaan ekowisata minat khusus satwa liar pada jalurjalur wisata TWA Bukit Kaba berdasarkan faktor internal dan eksternal.

8 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat, antara lain: 1. Membantu BKSDA Bengkulu selaku pengelola dalam menyediakan data base dan informasi potensi satwa liar serta obyek wisata pendukung di TWA Bukit Kaba. 2. Sebagai bahan masukan kepada BKSDA Bengkulu dan stakeholder lain dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan kawasan TWA Bukit Kaba. 3. Menambah dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan manajemen kawasan konservasi. 1.4. Batasan Penelitian Fokus penelitian ini adalah menginventarisasi potensi satwa liar dari jenisjenis mamalia dan burung pada jalur-jalur wisata di TWA Bukit Kaba. Penelitian pada jalur-jalur wisata ini dimaksudkan untuk mendukung kegiatan wisata yang sudah ada pada lokasi tersebut. Penelitian potensi satwa pada jalur-jalur wisata akan menambah daya tarik obyek wisata Bukit Kaba yang sudah ada sehingga memiliki nilai lebih dibandingkan obyek wisata lain yang sejenis. Informasi tentang potensi satwa pada jalur-jalur wisata di TWA Bukit Kaba dapat memberikan tambahan pengalaman ( enriching) dan pembelajaran ( learning) bagi wisatawan tentang konservasi serta sebagai sarana bagi pengelola untuk mengontrol wisatawan baik dari segi jumlah dan perilaku yang dapat berdampak negatif bagi satwa. Penelitian tidak dilakukan pada seluruh kawasan karena terkait

9 dengan tujuan pengembangan wisata TWA Bukit Kaba yaitu optimalisasi jalur-jalur wisata yang sudah ada dan tingkat kerentanan satwa terhadap aktivitas manusia. Pembatasan lingkup obyek penelitian pada jenis mamalia dan burung adalah untuk lebih mendukung tujuan penelitian ini yaitu satwa untuk kepentingan wisata. Satwa dari jenis mamalia dan burung hampir sebagian besar merupakan satwa diurnal (aktif di siang hari) sehingga lebih mudah diamati oleh wisatawan. Spesies vertebrata, terutama mamalia dan burung yang seringkali dijadikan sebagai taxa perwakilan (flagship), relatif lebih mudah untuk diobservasi dan kemiripan habitatnya lebih banyak diketahui (Meijaard et.al, 2006). Spesies taxa vertebrata ini juga secara ekologis penting bagi ekosistem serta kehidupan sehari-hari. Kajian vertebrata merupakan titik awal yang baik bagi usulan perbaikan tujuan dan praktek kegiatan pengelolaan hutan karena jumlah penelitian dan pustaka yang tersedia cukup banyak.