Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

dokumen-dokumen yang mirip
SURAT EDARAN Nomor : 3 Tahun 1951

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1947 TENTANG PERATURAN PERADILAN ULANGAN DI JAWA DAN MADURA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura.

UU 1/1950, SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

NO. URAIAN KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN KETERANGAN

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERTURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG REPUBLIK INDONESIA Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 1960 Tanggal 12 Juli 1960

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pelayanan Perkara Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan Eks Pasal 71 ayat (2) Dan Akta Cerai Eks Pasal 84 ayat (4)

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR Jln. Jend. Sudirman No. 226 (0737) , Home Page:

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

P U T U S AN No. 700 K/Pid/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGGUGAT/ KUASANYA. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim, dan Panitera menunjuk Panitera Pengganti. Kepaniteraan

BAB VII PERADILAN PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA PELAYANAN PERKARA PRODEO

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. BIDANG ADMINISTRASI 1.1 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ADMINISTRASI PERKARA PADA PENGADILAN NEGERI KELAS II SUKADANA

PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT SOP PENYELESAIAN BERKAS PERKARA GUGATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

1. Sdr. Panitea Pengadilan Tinggi 2. Sdr. Panitera Pengadilan Negeri di Indonesia. SURAT EDARAN Nomor : 04 tahun 1973

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 03 TAHUN 1973 TENTANG PERKARA KASASI PERDATA

P U T U S A N No. 172 K/TUN/2000 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 17 April SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1952

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI KALIANDA. NOMOR : W9.U4/Kp.01.1/156/XI/2016 T E N T A N G STANDART PELAYANAN PERADILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PERDATA PASCA SIDANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 1959 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERANCANG NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

SURAT EDARAN Nomor : 01 Tahun 1975

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 1959 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERANCANG NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 04 TAHUN 1973 TENTANG PERKARA KASASI PIDANA/GRASI

SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN TENTANG DUDUK PERKARANYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

P U T U S A N Nomor 329/PDT/2015/PT.Bdg.

ADMINISTRASI PERKARA PENGADILAN NEGERI SIBOLGA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

Bagian Kedua Penyidikan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Transkripsi:

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG PETUNJUK- PETUNJUK BAGI BEBERAPA PANITERA MENGENAI PENAFSIRAN DARI PERATURAN-PERATURAN UNDANG-UNDANG KASASI DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA MAHKAMAH AGUNG Jakarta, 31 Agustus 1951 Kepada Sekalian Ketua Pengadilan Tinggi Negeri di Seluruh Indonesia SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951 Sejak berlakunya Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia (Lembaran Negara 1950 No. 30) mulai tanggal 9 Mei 1950 maka ternyata, bahwa dalam perkara perdata diajukan permohonan-permohonan untuk pemeriksaan kasasi dengan perantaraan panitera lain dari pada yang telah ditunjuk oleh Undang-undang tersebut, sedang terkadang-kadang juga berkasberkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung dengan tidak ada pemberitahuan yang diharuskan kepada pihak lawan dan bahkan ada kejadian bahwa panitera yang bersangkutan lalai untuk membuatkan keterangan tentang penerimaan permohonan kasasi. Menurut pendapat Mahkamah Agung semua kesalahan-kesalahan dan kealpaan ini, yang sangat melambatkan jalannya Peradilan maupun tambahan pekerjaan yang tidak berguna kepada Mahkamah Agung oleh karena berkas-berkas perkara harus dikembalikan untuk dipenuhi lebih dahulu peraturan-peraturan yang diharuskan, dapat dicegah, apabila paniterapanitera yang bersangkutan mempelajari dengan baik dan seksama peraturan-peraturan yang sebetulnya adalah sederhana mengenai pemasukan permohonan kasasi, termaktub dalam Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia (Lembaran Negara 1950 No. 30). Akan tetapi dapat kiranya disini diakui, bahwa peraturan di atas bukannya tidak hanya mempunyai kekurangan-kekurangan dan juga tidak menjawab beberapa pertanyaan yang timbul pada waktu pelaksanaannya, sedang selanjutnya menurut mahkamah Agung bukan tidak mungkin bahwa beberapa pengadilan atau hakim belum menerima teks Undang-undang tersebut secara resmi, meskipun Undang-undang itu telah lebih dari setahun diumumkan. Untuk menghindarkan kesukaran-kesukaran yang banyak terjadi di dalam praktek dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul berhubungan dengan itu, pun juga untuk mendorong pelaksanaan yang sama dari peraturan-peraturan yang bersangkutan oleh panitera-panitera dari semua pengadilan dan Hakim di seluruh Indonesia, menurut pendapat Mahkamah Agung perlu kiranya diberikan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi beberapa panitera mengenai penafsiran dari peraturan-peraturan Undang-undang kasasi dalam perkara-perkara perdata. Dibawah ini akan dibicarakan peraturan-peraturan tersebut secara Pasal demi Pasal.

Pasal 19 Permohonan kasasi yang dimajukan oleh pihak yang berkepentingan tidak dapat diterima, jika mereka belum atau tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan atau Hakim yang dijatuhkan di luar mereka hadir atau hak memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh pengadilan yang lebih tinggi. Apabila sesuatu pihak menghendaki kasasi dari sesuatu putusan, yang dijatuhkan terhadapnya dengan tidak hadirnya, panitera dapat mengingatkan pihak itu akan peraturan ini dan menganjurkannya untuk mempergunakan hak perlawanannya. Apabila pihak itu masih tetap pada kehendaknya yang semula, maka panitera tidak boleh menolak untuk menerima permohonan kasasi itu dengan alasan bahwa permohonan itu memang tidak akan diterima jua. Yang disebutkan akhir ini juga berlaku untuk perkara-perkara dalam mana putusan dapat dimintakan banding. Apabila tenggang untuk melakukan perlawanan atau pembandingan telah lewat, maka tentu saja tidak betul jika kepada pihak yang berkepentingan diberi nasihat untuk mencoba-coba dengan permohonan kasasi, seperti di dalam praktek telah beberapa kali terjadi. Dengan pemberian nasihat begitu yang berkepentingan terpaksa (harus) mengeluarkan biaya-biaya yang tidak perlu, sebab permohonan kasasi itu tentu tidak akan diterima. Pasal 112 Dalam hal yang menurut Pasal-pasal 16-19 pada putusan pengadilan-pengadilan dan para hakim dalam perkara perdata boleh dimajukan permohonan pemeriksaan kasasi, maka para pihak dapat memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung. Pasal ini tidak memerlukan penjelasan. Pasal 113 1. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau wakilnya yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada panitera pengadilan atau hakim yang mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan, yang dimohonkan pemeriksaan kasasi, yaitu di Jawa dan Madura dalam tempo enam minggu sesudah putusan yang kekuatannya sudah tetap, diberitahukan kepada pemohon. 2. Permohonan itu oleh panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera tersebut dan jika dapat juga pemohon atau wakilnya, surat keterangan mana harus dilampirkan pada surat-surat pemeriksaan perkara dan dicatat dalam daftar. 3. Permohonan itu harus selekas mungkin oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan. Seorang kuasa (wakil), pengacara juga, harus mengajukan surat kuasa yang sengaja dibuat untuk keperluan permohonan kasasi, meskipun ia telah mendapat pengangkatan sebagai pengacara. Permohonan itu harus diajukan kepada panitera dari pengadilan atau hakim yang menjatuhkan putusan, yang dimohonkan kasasi. Apabila suatu perkara diperiksa dalam dua tingkatan (tingkatan pertama dan tingkatan perbandingan) acap kali pihak-pihak yang berperkara tidak mengerti kepada panitera mana permohonan kasasi harus diajukan. Terutama apabila hakim yang lebih tinggi (umpamanya Pengadilan Tinggi) telah menguatkan begitu saja putusan dari

hakim yang lebih rendah (Pengadilan Negeri), kerap kali pihak yang berkepentingan mengira bahwa yang harus dimohonkan kasasi ialah putusan Pengadilan Negeri. Apabila suatu perkara diperiksa lebih dari dalam satu tingkatan, tentu raja kasasi harus dimohonkan terhadap putusan hakim yang tertinggi. Agaknya beberapa panitera tidak mengetahui tantang hal ini. Setidak-tidaknya Mahkamah Agung telah acap kali menerima pengiriman berkas-berkas perkara dari Pengadilan Negeri dalam mana terdapat surat keterangan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa kasasi telah dimohonkan terhadap putusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi dalam berkas perkara juga terdapat salinan putusan banding dari Pengadilan Tinggi! selanjutnya juga pernah kejadian bahwa Panitera Pengadilan Negeri membuat keterangan bahwa suatu pihak mohon kasasi terhadap putusan banding Pengadilan Tinggi. Dalam hal-hal sebagaimana disebutkan itu seharusnya Panitera Pengadilan Negeri menyuruh yang berkepentingan berhubungan dengan Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Permohonan kasasi dapat diajukan dengan secara tertulis, sehingga hal bahwa Pengadilan Tinggi terletak di tempat lain, yang barangkali jauh dari tempat tinggalnya pemohon, tidak boleh menjadi alasan untuk mengajukan permohonannya kepada Panitera Pengadilan Negeri. "... sesudah putusan... Diberitahukan kepada pemohon". Apabila putusan diumumkan dengan hadirnya pihak-pihak yang berkepentingan, maka hal ini berarti bahwa putusan itu telah diberitahukan kepada kedua belah pihak. Menurut Pasal 194 Undang-undang Bumiputera yang diperbaharui apabila Ketua Pengadilan Negeri telah menerima putusan banding Pengadilan Tinggi, maka hal ini harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, pun juga bahwa mereka dapat membaca putusan dari hakim yang lebih tinggi itu di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Berhubung dengan peraturan kasasi pemberitahuan dengan cara begitu itu tidak mencukupi lagi. Isi putusannya sendiri (dictumnya) harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Pada beberapa Pengadilan Negeri hal ini acap kali tidak dilakukan, sehingga timbul ketidaktentuan tentang saat kapan putusan harus dianggap sebagai telah mendapat kekuatan sah untuk dijalankan. Apabila suatu permohonan kasasi tertulis masuk, maka keterangan tentang penerimaannya, yang menurut ayat 2 harus dibuat oleh panitera, tidak perlu ditandatangani oleh pemohon atau wakilnya. Mahkamah Agung mengetahui bahwa dalam hal ini kebanyakan dan panitera lalu memanggil pemohon untuk menghadap (datang di Kepaniteraan perlu mengulangi permohonannya secara lisan) dan baru membuatkan keterangan apabila pemohonannya secara lisan) dan baru membuatkan keterangan apabila pemohon sendiri atau wakilnya telah menghadap, sehingga timbul kesan seolah-olah permohonan kasasi baru diajukan (dan dengan secara lisan) pada hari pemohon itu datang menghadap. Tidak perlu kiranya di sini diterangkan bahwa cara bekerja seperti ini tidaklah betul. Meskipun barangkali berkelebihan di sini, perlu juga diperingatkan lagi, bahwa keterangan panitera itu harus memuat hari dan tanggal penerimaan kasasi. Sudah barang tentu panitera tidak boleh menolak penerimaan permohonan kasasi, pun juga meskipun menurut pendapatnya tenggang untuk mengajukan permohonan kasasi itu telah lewat, oleh karena hanya Mahkamah Agung sajalah yang berhak menimbang apakah permohonan itu telah diajukan tepat pada waktunya. Akhirnya diminta perhatian bahwa keterangan dari panitera tersebut di atas aslinya harus dilampirkan dalam berkas perkara dan bukan salinannya. Tidak perlu ditakutkan akan kesukaran jika asli keterangan itu akan hilang, sebab Panitera memang diharuskan mencatat isi dari keterangan itu dalam suatu daftar dan lagi untuk keperluannya sendiri dapat menyimpan salinannya.

Peraturan dalam ayat (3) harus dipandang menurut pertaliannya dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 115 ayat (2). Apabila alasan dari permohonan kasasi tidak diajukan dalam tenggang yang ditentukan, maka permohonan itu dianggap sebagai tidak diajukan. Akan tetapi pihak lawannya juga tidak perlu diberikan tentang permohonan kasasi itu. Perkataan "selekas mungkin" juga tidak berarti bahwa sudah pada hari berikutnya dari penerimaan permohonan kasasi pihak lawan harus diberitahu tentang hal itu (beberapa panitera bahkan melakukan pemberitahuan itu sudah pada hari penerimaan permohonan kasasi). Lebih baik menunggu sampai pemohon telah mengajukan alasan-alasan dan pemohonannya itu. Pemberitahuan tentang pemohonan kasasi dan pemberitahuan tentang alasan-alasan permohonan itu (memori kasasi) dapat diberitahukan bersama-sama ini ada pula faedahnya. Pertama, dengan ini dapat dicegah pemberitahuan tentang permohonan kasasi yang kemudian harus dianggap sebagai tidak diterima (jika pemohon lalai mengajukan alasan-alasan dari permohonannya dalam 2 minggu). Kedua, pemberitahuan yang dilakukan bersama-sama itu bagi pemohon juga ada untungnya yaitu pengurangan biaya. Dan ketiga, pihak lawan betulbetul mendapat waktu 2 minggu penuh untuk membuat memori balasannya. Menurut Pasal 115 ayat (3) pihak lawan mempunyai hak, yaitu untuk memajukan memori balasan. Apabila permohonan kasasi telah diberitahukan dengan tidak ada pemasukan memori lebih dulu, maka akan dapat terjadi bahwa hak tersebut tidak mungkin dipergunakan atau dipergunakan dengan sempurna. Umpamanya: Suatu permohonan kasasi diajukan pada 1 Agustus Pada hari itu juga Permohonan itu diberitahukan kepada pihak lawan pada 15 Agustus sebelum waktu penutupan (jadi masih dalam tenggang) pemohon mengajukan memorinya. Bagaimanakah pihak lawan di dalam memori balasannya, yang ia harus memajukan dalam waktu 2 minggu sesudah pemberitahuan tersebut di atas, jadi juga pada tanggal 15 Agustus, dapat melakukan perlawanan dengan baik terhadap permohonan kasasi itu (apabila ia belum mengerti keberatan-keberatannya pemohon yang dikemukakan terhadap putusan itu). Dan boleh jadi pula bahwa pemberitahuan itu dilakukan kepadanya, sesudah kepaniteraan ditutup. Pasal 114 1. Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Mahkamah Agung, maka permohonan pemeriksaan kasasi dapat dicabut kembali oleh pemohon. 2. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diadakan satu kali saja. Pasal ini tidak memerlukan penjelasan. Pasal 115 1. Pada waktu menyampaikan permintaan atau selambat-lambatnya dua minggu kemudian, pemohon pemeriksaan kasasi harus memajukan alasan-alasan permohonan kepada Panitera tersebut pada Pasal 113 ayat (1). 2. Jika apa yang disebut pada ayat (1) Pasal ini dilalaikan, maka permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak ada. 3. Pihak lawan berhak mengajukan surat yang bermaksud melawan atau menyokong permohonan itu kepada panitera tersebut pada ayat 1, selambat-lambatnya dua minggu terhitung mulai pada hari berikutnya hari pemberitahuan pemeriksaan kasasi kepadanya. Sebaliknya para panitera mengingatkan kepada yang berkepentingan yang mengajukan permohonan kasasi dengan lisan, akan kewajibannya untuk dalam waktu 2 minggu mengajukan alasan-alasan permohonannya dan selanjutnya memberitahukan akan akibat-akibatnya apabila

hal itu tidak dilakukan. Peringatan ini tidak perlu dilakukan terhadap penerimaan permohonan kasasi tertulis. Perkataan-perkataan dari ayat (1) Pasal ini tidak menolak (melarang) tafsiran bahwa pemohon bersama-sama dengan permohonannya kasasi dengan lisan juga mengajukan alasan-alasannya secara lisan kepada panitera. Dalam praktek seberapa boleh hal ini sebaiknya dicegah dengan menganjurkan kepada pemohon untuk mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap putusan yang bersangkutan dalam suatu memori. Tidak disebutkan dalam peraturan (selain yang mengenai permohonan kasasi yang diajukan) bahwa juga alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon harus diberitahukan kepada pihak lawan. Di muka telah diingatkan bahwa pihak lawan ini supaya dari pihaknya juga dapat mengajukan memori, harus mengetahui keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh pemohon. Untuk pelaksanaan yang betul dari peraturan-peraturan kasasi maka memori yang diajukan oleh pemohon seharusnya diberitahukan kepada pihak lawan, yang sebaiknya, seperti telah diuraikan di muka, dilakukan bersama-sama dengan pemberitahuan dari permohonan kasasi. Apakah sekarang anti dari ayat (2)? Apabila pemohon tidak mengajukan alasan-alasannya pemohon kasasi, maka permohonan ini dianggap sebagai tidak diajukan, jadi perkara tidak takluk pada pertimbangan hakim-kasasi. Dan pengiriman berkas perkara kepada Mahkamah Agung jadinya tidak perlu dilakukan. Akan tetapi apa yang harus dijalankan di dalam hal-hal yang meragu-ragukan. Umpamanya pemohon di dalam memorinya hanya mengemukakan "Saya mohon kasasi oleh karena menurut pendapat saya hakim dengan mempertimbangkan, seperti yang telah dilakukan, telah melanggar hukum" (dengan tidak memberitahukan selanjutnya peraturan hukum mana pemohon menganggap telah dilanggar). Memenuhikan pemohon sekarang kepada peraturan dari ayat (1) atau tidak? Dapat orang mengerti bahwa panitera A di dalam sesuatu hal menjawab pertanyaan ini dengan tidak, Panitera B di dalam hal itu menjawab dengan ya. Panitera B jadinya akan memberitahukan permohonan kasasi itu kepada pihak lawannya dan mengirimkan berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, sedang panitera A tidak. Perbedaan dalam pandangan dan tindakan ini tidaklah memuaskan, maka dalam hal-hal seperti tersebut di atas menurut Mahkamah Agung haruslah ia menetapkan peraturan sebagai berikut: Dalam hal-hal yang meragu-ragukan, dengan tidak memberitahukan permohonan kasasi yang diajukan kepada pihak lawan hendaknya panitera mengirimkan berkas perkara kepada Mahkamah Agung di dalam waktu 14 hari sesudah penerimaan permohonan itu. Pertimbangan apakah pemohon telah memenuhi pada peraturan-peraturan, dilakukan oleh hakim kasasi sendiri yang menyebabkan pemeriksaan dalam perkara semacam itu jadi sama (uniform behandeling). Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon harus dianggap telah mengajukan alasan-alasan permohonannya, maka pemberitahuan tentang permohonan kasasi kepada pihak lawan masih dapat dilakukan. Hanya apabila tidak diajukan memori sama sekali, maka pengiriman berkas tidaklah perlu. Pasal yang bersangkutan menyebut "alasan-alasan" dari permohonan. Akan tetapi telah dipenuhi akan peraturan itu apabila pemohon hanya mengajukan satu alasan. Kita telah mengetahui bahwa pihak lawan mempunyai hak untuk mengajukan memori juga dari pihaknya dan bahwa ada faedahnya untuk melakukan bersama-sama pemberitahuan dari permohonan kasasi dan memori yang diajukan oleh pemohon kepada pihak lawan, guna memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk mempergunakan hak-haknya sepenuhpenuhnya. Memori balasan tentu saja dapat ditandatangani dan diajukan oleh seorang yang dikuasakan (wakil). Ada beberapa orang yang mengira bahwa wakil ini tidak perlu mengajukan

surat kuasa istimewa dan berdasarkan pendapat ini atas hal, bahwa Undang-undang hanya menyebut tentang wakil yang sengaja dikuasakan oleh Pemohon. Pendapat ini tidak betul, sebab apakah sebabnya wakil (kuasa) dari pemohon harus mengajukan surat kuasa istimewa dan wakil dari lawannya tidak. Wakil dari pemohon maupun dari lawan harus sengaja dikuasakan untuk keperluan itu, tidaklah perlu surat kuasa itu diajukan tersendiri. Apabila pihak yang berkepentingan telah menyetujui dengan turut menandatangani memori yang telah ditandatangani dan diajukan oleh wakilnya, ini harus dipandang telah mencukupi sebab dengan turut menandatangani itu dinyatakan pemberian kuasanya. Meskipun undang-undang tidak menyebut-nyebut, akan terapi dapatlah ditafsirkan bahwa memori balasan yang diajukan oleh pihak lawan harus diberitahukan kepada pemohon. Azaz umum dari hukum acara kita memberikan kepada pihak-pihak timbal balik hak untuk mengetahui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan kepada hakim dan surat-surat apa telah diajukan. Pasal 116 Selambat-lambatnya satu bulan, terhitung mulai pada hari berikutnya hari menyampaikan permohonan pemeriksaan kasasi kepada panitera tersebut pada Pasal 113 ayat (1), panitera ini harus mengirimkan turunan surat putusan atau penetapan atau pembuatan lain dan surat-surat pemeriksaan serta bukti kepada Panitera Mahkamah Agung yang seketika harus menulis permohonan ini dalam daftar dan memberitahukan hal ini kepada Ketua Mahkamah Agung. Tenggang sebelum yang disebutkan dalam Pasal ini dalam beberapa hal ternyata ada kurang, terutama apabila pihak-pihak tidak bertempat tinggal pada tempat yang sama, sehingga untuk pemberitahuan harus dimintakan pertolongan dari Panitera Pengadilan lain. Maksudnya pasal ini ialah supaya Panitera selekas mungkin mengirimkan berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung (sesudah memori balasan, yang dimaksudkan dalam Pasal 115 ayat (3) telah diberitahukan kepada pemohon atau sesudah tenggang untuk mengajukannya telah lewat). Inilah peraturan-peraturan mengenal acara kasasi dalam perkara-perkara perdata yang penting untuk Panitera. Apabila di dalam praktek-praktek masih ada kesukaran-kesukaran, yang tidak dapat diselesaikan dengan petunjuk-petunjuk yang disebutkan di atas, dapatlah halnya diajukan kepada Mahkamah Agung. Pembicaraan tersendiri dari peraturan-peraturan mengenai kasasi dalam perkara pidana menurut Mahkamah Agung tidaklah perlu, oleh karena peraturan-peraturan ini pada garis besarnya sama dengan yang dibicarakan di atas. Pada akhirnya surat edaran ini akan dimuat bunyi dari peraturan-peraturan itu, terutama untuk mereka, yang mungkin belum mempunyainya. Akhirnya akan dibicarakan secara singkat 2 hal, yang tidak diatur dalam Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia, yaitu dalam biaya-biaya dalam kasasi dan izin untuk mengajukan permohonan kasasi dengan tidak berbiaya. Berlainan dengan peraturan yang tersebut dalam Pasal 188 ayat (4) Undang-undang Bumiputra yang diperbaharui mengenai keterangan untuk membanding, dalam Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia tidaklah diharuskan bahwa pihak yang berkepentingan harus membayar sesuatu jumlah yang tertentu sebelumnya keterangan yang dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) dibulatkan. Tetapi kepada para Panitera dianjurkan hendaknya mengusahakan supaya biaya-biaya pemberitahuan tentang permohonan kasasi dan memori kepada pihak lawan, maupun biaya untuk Mahkamah Agung (yang tersebut terakhir untuk tiap perkara supaya direncanakan Rp. 25,00 yang kemudian akan diperhitungkan) oleh pemohon dibayar

bersama-sama dengan pemasukan permohonan kasasi. Akan tetapi meskipun tidak ada pembayaran lebih dahulu Panitera tidak diperbolehkan menolak untuk menerima permohonan kasasi yang diajukan dengan lisan dan membuatkan keterangan yang bersangkutan, sedang pada waktu menerima permohonan kasasi tertulis pembuatan keterangannya juga tidak boleh menanti sampai pemohon telah membayar biaya. Hanyalah supaya diusahakan hendaknya pemohon selekas mungkin membayar biaya-biaya itu. Jumlah Rp. 25,00 tersebut di atas bersama-sama dengan berkas perkara harus dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Oleh karena peraturan mengenai permohonan untuk pemeriksaan kasasi dengan tidak berbiaya tidak dapat diabaikan, maka dengan pelaksanaan Pasal 131 Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia. Mahkamah Agung merasa perlu untuk menetapkan, bahwa barang siapa pada waktu mengajukan permohonan yang dimaksudkan oleh Pasal 113 ayat (1) juga menyampaikan suatu surat keterangan miskin yang diperbuat oleh pembesar polisi di tempat kediamannya harus dianggap mendapat izin dari Hakim untuk perkara dalam kasasi dengan tidak berbiaya, juga lawannya yang menyampaikan keterangan semacam itu pada waktu mengajukan memori balasannya dianggap telah mendapat izin sebagai berikut. Bunyi (teks) peraturan mengenai kasasi dalam perkara-perkara pidana. Pasal 121 Dalam hal yang menurut Pasal-pasal 16-19 pada putusan, penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan dan para hakim dalam perkara pidana boleh dimajukan permohonan pemeriksaan kasasi, maka terdakwa atau Jaksa Agung dapat memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung. Pasal 122 1. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada panitera pengadilan atau Hakim yang mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan yang dimohonkan pemeriksaan kasasi, yaitu di Jawa dan Madura dalam tempa 3 minggu dan di luar Jawa dan Madura dalam tempa enam minggu sesudah putusan, yang kekuatannya sudah tetap diberitahukan kepada terdakwa. 2. Permohonan itu oleh panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera tersebut dan jika dapat, juga oleh pemohon atau wakilnya, dan pada surat keterangan ini harus disertakan surat-surat pemeriksaan perkara dan juga dicatat dalam daftar. Pasal 123 Jika Jaksa yang memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi, maka hal itu harus selekas mungkin diberitahukan kepada terdakwa. Pasal 124 1. Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Mahkamah Agung permohonan pemeriksaan kasasi dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan jika dicabut, tidak dapat diulangi lagi. 2. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diadakan satu kali saja.

Pasal 125 1. Pemohon pemeriksaan kasasi harus memajukan alasan-alasan permintaan, yaitu pada waktu menyampaikan permohonan atau selambat-lambatnya dua minggu kemudian kepada Panitera tersebut pada Pasal 122 ayat (1) 2. Jika apa yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini dilalaikan, maka permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak ada. 3. Jika yang memohon pemeriksaan kasasi adalah Jaksa Agung, maka terdakwa berhak memajukan surat yang bermaksud melawan atau menguatkan permintaan Jaksa Agung, kepada panitera tersebut pada ayat (1), selambat-lambatnya dua minggu, terhitung mulai pada hari berikutnya hari pemberitahuan permohonan pemeriksaan kasasi kepadanya. Pasal 126 Selambat-lambatnya satu bulan, terhitung mulai pada hari berikutnya hari menyampaikan permohonan pemeriksaan kasasi kepada panitera tersebut dalam Pasal 122 ayat (1), panitera ini harus mengirimkan turunan surat putusan atau surat-surat bukti kepada Panitera Mahkamah Agung. dst. MAHKAMAH AGUNG, Atas Nama Ketua Anggota Tertua Ttd. (Mr.R.S. KARTANEGARA) Atas Pemerintah Majelis: Panitera, Ttd. (Mr. R. Soebekti)