TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN SITA JAMINAN ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKARA PERCERAIAN VERAWATY KOJUNGAN / D

dokumen-dokumen yang mirip
SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB II TINJAUAN UMUM PENYITAAN. Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Lex et Societatis, Vol. V/No. 4/Jun/2017. PELAKSANAAN SITA MARITAL DALAM PERKARA PERCERAIAN 1 Oleh : Lisa Elisabeth Barahamin 2

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

hal 0 dari 11 halaman

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

I. PENDAHULUAN. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

JENIS SITA. Sita Jaminan thdp barang milik Debitur/Tergugat (Conservatoir Beslag) Sita Jaminan thdp barang bergerak milik Penggugat :

KEJURUSITAAN PENGADILAN

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pasal 1917 BW dijelaskan bahwa pada dasarnya suatu putusan itu

BAB IV ANALISIS DATA. 1. profil pengadilan agama malang. No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, dengan

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

MAKALAH PROBLEMATIKA PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN REKONVENSI SERTA PENYELESAIANNYA. H.M.MUNIR ACHMAD, S H, M Hum.

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

Makalah Rakernas

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH. A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Perlawanan terhadap sita eksekutorial (executorial beslag) oleh pihak ketiga di pengadilan negeri (studi kasus di pengadilan negeri Sukoharjo)

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

JAMINAN. Oleh : C

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

PROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PUTUSSIBAU

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BENI DHARYANTO C FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN

SITA. Hukum Acara Perdata - FH UNS

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

Kecamatan yang bersangkutan.

BERPIKIR MENURUT HUKUM TERHADAP PRINSIP NON EKSEKUTABEL JIKA OBYEK EKSEKUSI TELAH BERPINDAH TANGAN Oleh: H. Syamsul Anwar.*

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon / suami atau kuasanya :

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D

BAB V PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Perkara Harta Bersama Akibat Perceraian.

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SITA MARITAL ATAS MAS KAWIN PASCA PERCERAIAN. (Studi Penetapan Perkara Nomor 626/Pdt.G/2008/PA.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. putusan yang saling bertentangan. Kata kunci: eksekusi, noneksekutabel

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum

TINJAUAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI. (Studi Kasus Pada Putusan Mahkmah Agung. Nomor: 1996 K/Pdt/2012)

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

SEKITAR PENCABUTAN GUGATAN Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN TENTANG GUGATAN HARTA BERSAMA YANG DIHIBAHKAN SUAMI TERHADAP ISTRI KEDUA TANPA PERSETUJUAN AHLI WARIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN. AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg

ABSTRAK Latar belakang

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

P U T U S A N NOMOR: 46 K/AG/2006

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB III PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional dan Undang-undang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. kepada Pengadilan Agama Malang yang Penggugat dan Tergugat sama-sama

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.

P U T U S A N Nomor : 407 K/Pdt/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata dalam

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERCERAIAN ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 239/PDT.G/2009/PA.GTLO DAN NOMOR : 06/PDT.G/2010/PTA.

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN SITA JAMINAN ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKARA PERCERAIAN VERAWATY KOJUNGAN / D 101 10 514 ABSTRAK Dalam perkawinan timbul hak dan kewajiban antara suami dan isteri, orang tua dan anak secara timbal balik yang sudah diatur menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tidak setiap manusia dapat memperoleh apa yang diinginkan, begitu juga dalam perkawinan, banyak sebab dan kendala sehingga perkawinan tersebut tidak dipertahankan kelangsungannya dan perceraian adalah salah satu cara berakhirnya sebuah perkawinan (selain kematian). Tata cara gugatan perceraian diatur dalam Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Akibat perceraian akan menimbulkan masalah bagi suami atau isteri yaitu berupa nafkah iddah dan pembayaran nafkah yang lalu (nafkah terhutang) juga hak suami atau isteri akan harta gono gini, dan pemeliharan anak yang belum mumayyiz (Pasal 105 KHI). Bagi para pihak dalam perceraian dapat mengajukan sita jaminan sebagaimana disyaratkan Pasal 24 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 yuncto pasal 78 Sub c Undang-undang No. 50 Tahun 2009. Kepentingan sita jaminan adalah terjaminnya hak atau penyerahan benda yang di dalam amar putusan, juga tidak luput dan ada atau tidaknya benda itu. Karenanya untuk terjaminnya pelaksanaan (eksekusi) sudah biasa penggugat mengajukan permohonan sita, umumnya sita jaminan (conservatoir berslag) bersamaan dengan gugatannya. Untuk mengajukan sita jaminan haruslah ada dugaan yang beralasan. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 tahun 1975 tersebut selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Kata Kunci : Sita Jaminan Harta Perkawinan, Perkara Perceraian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkawinan timbul hak dan kewajiban antara suami dan isteri, orang tua dan anak secara timbal balik yang sudah diatur menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku 1. Tidak setiap manusia dapat memperoleh apa yang diinginkan, begitu juga dalam perkawinan, banyak sebab dan kendala sehingga perkawinan tersebut tidak 1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 105. dipertahankan kelangsungannya dan perceraian adalah salah satu cara berakhirnya sebuah perkawinan. Akibat perceraian akan menimbulkan masalah bagi suami atau isteri yaitu berupa nafkah iddah dan pembayaran nafkah yang lalu (nafkah terhutang) juga hak suami atau isteri akan harta gono gini, dan pemeliharan anak yang belum mumayyiz. Bagi para pihak baik PNS/non PNS dalam perceraian ini dapat mengajukan sita jaminan sebagaimana disyaratkan Pasal 24 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 yuncto pasal 78 Sub c Undang-Undang No. 50 Tahun 2009.

Sejak proses gugatan perceraian, atas permohonan penggugat pengadilan dapat : a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami, isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. 2 Kepentingan sita jaminan adalah terjaminnya hak atau penyerahan benda yang di dalam amar putusan, juga tidak luput dan ada atau tidaknya benda itu. Karenanya untuk terjaminnya pelaksanaan (eksekusi) sudah biasa penggugat mengajukan permohonan sita, Umumnya sita jaminan (conservatoir berslag) bersamaan dengan gugatannya. Permohonan sita adalah termasuk upaya untuk menjamin hak penggugat/pemohon seandainya Ia menang dalam perkara, sehingga putusan pengadilan yang mengakui segala haknya itu dapat dilaksanakan 3. Untuk mengajukan sita jaminan ini haruslah ada dugaan yang beralasan. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) buruf c PP No. 9 tahun 1975 tersebut selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Dengan memperhatikan kalimat Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan dan tindakan yang dianggap menjamin terpeliharanya harta selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan 2 Gatot Supramo, Hukum Pembuktian Agama, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 163. 3 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penetapan Sita Jaminan Conseivatoirbeslag, Pustaka, Bandung, 1990, hlm. 14. (conseivatoir beslag) yang disebut marital beslag. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf C adalah : Memberi hak kepada suami isteri untuk mengajukan marital beslag atas harta perkawinan selama proses perceraian berlangsung, dan Pengadilan berwenang mengabulkan mantale beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung 4. Dalam mengantisipasi agar suami itu benar-benar merealisasikan dan untuk menjamin hak-hak janda tersebut di atas, maka di sini perlu sekali adanya lembaga sita jaminan kasus perceraian. Di Pengadilan Agama keberadaan lembaga sita sangat membantu dan memberi jalan keluar, apabila dalam perceraian timbul hal-hal yang berkaitan dengan perceraian. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan meletakan sita jaminan (consevatoir beslag) terhadap kekayaan termohon eksekusi bersama gugatan atau permohonan perceraian. Pengajuan sita jaminan terhadap kekayaan pemohon eksekusi dalam eksekusi harta bersama atau hak-hak yang dipunyai isteri atau nafkah anak sangat penting untuk menjamin terealisasinya hak-hak pemohon eksekusi apabila bekas suami atau isteri ternyata lalai dalam realisasinya maka sita jaminan secara jaminan otomatis menjadi sita eksekusi. Guna menjamin hak-hak tersebut diatas sekiranya gugatannya dikabulkan atau dimenangkan dan untuk menjaga agar tidak dilakukannya pengalihan harta kekayaannya kepada orang lain. Undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hal tersebut yaitu dengan penyitaan (arrest, beslag) Permohonan sita dapat diajukan sebelum atau sesudah perkara diputus 5. Dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Badan Peradilan 4 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm.207. 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Islam, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 66.

Agama di Indonesia mempunyai Juru Sita, sebagaimana ditunjuk oleh Pasal 38 yang berbunyi Pada setiap Peradilan Agama ditetapkan Juru Sita dan Juru Sita Pengganti, untuk itu apabila terjadi perceraian diantara suami isteri, maka para pihak bisa mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan di Pengadilan Agama tersebut sebagai upaya menjamin keutuhan harta bersama 6. B. Rumusan Masalah Terkait dengan latar belakang di atas maka penulis mengajukan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana tata cara permohonan dan pelaksanaan sita jaminan di Pengadilan Agama menurut Undang-Undang yang berlaku? 2. Alasan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan sita jaminan pada perkara perceraian di Pengadilan Agama menurut ketentuan yang berlaku? II. PEMBAHASAN A. Masalah Permohonan Sita Jaminan Yang Diajukan Dalam Surat Gugatan Pada Pengadilan Pembahasan tentang tata cara sita jaminan meliputi dua segi. Segi pertama, berkenan dengan tata cara pengajuan permohonan sita jaminan itu sendiri. Sedang segi yang kedua, berkaitan dengan tata cara pelaksanaan sita jaminan itu sendiri oleh pengadilan. 1. Pengajuan Permohonan Dalam Surat Gugatan Bentuk pengajuan permohonan sita jaminan yang diajukan dalam sidang gugatan yang lazim dipakai Penggugat mengajukan permohonan sita jaminn atau conservatoir beslag secara tertulis dalam surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. pengajuan permohonan sita jaminan dalam bentuk ini, tidak dipisahkan dengan dalil gugat atau gugatan pokok. 2. Pengajuan Permohonan Secara Terpisah Dengan Pokok Perkara 6 Soebiyakto, Kejurusitaan Dalam Praktek Peradilan Perdata, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 45. Bentuk pengajuan permohonan sita yang kedua, permohonan sita jaminan dilakukan dalam bentuk permohonan tersendiri, terpisah dan gugatan pokok perkara. Di samping gugatan perkara, penggugat mengajukan permohonan sita jaminan (conseivatoir beslag) dalam surat yang lain. Bahkan mungkin dan boleh pengajuan permohonan, sita jaminan tersendiri secara lisan, tetapi bentuk permohonan sita secara lisan jarang terjadi dalam praktek. Namun kelangkaan praktek itu bukan berarti melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan. B. Masalah Tenggah Waktu Pengajuan dan Pelaksanaannya Hal yang menjadi landasan pengkajian waktu maupun instansi pengadilan tempat pengajuan permohonan sita jaminan adalah Pasal 227 ayat (1) HIR atau Pasal 261 ayat (1) RBG. Memperhatikan ketentuan yang diatur dalam pasal dimaksud, kedua permasalahan tersebut antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita yang diatur dalam pasal tersebut, sekaligus mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag). Menurut ketentuan undang-undang sita jaminan pengajuan permohonan sitajaminan dapat dilakukan : 1. Selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan, belum berkekuatan hukum tetap. Dari ketentuan ini, batas tenggang waktu pengajuan permohonan sita jaminan oleh undang-undang tidak dibatasi secara ketat dalam jangka waktu yang sudah pasti dan tertentu. Tidak diambil ukuran hari atau bulan, melainkan pembatasan waktunya didasarkan pada jalannya proses penyelesaian dan pemutusan perkara. Yakni selama perkara belum diputus atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selama jangka waktu proses yang demikian, masih terbuka hak dan kesempatan mengajukan

permohonan sita jaminan (conservatoir beslag). 2. Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan Negeri sampai putusan dijatuhkan. Pelaksanaan pengajuan permohonan sita dimaksud yang terkandung dalam kalimat Pasal 227 ayat (1) HIR atau Pasal 261 ayat (1) RBG yang berbunyi: selama putusan belum dijatuhkan. Makna dan penafsiran kalimat tersebut menurut pendapat kita, terbatas dalam ruang lingkup proses pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri. Konteks kalimat tersebut berkenaan dengan proses pemeriksaan Pengadilan Negeri. Tidak meliputi ruang lingkup proses pemeriksaan tingkat banding dan kasasi. Yang berarti, jika proses pemeriksaan pada tingkat instansi Pengadilan Negeri, pengugat masih berhak dan berwenang mengajukan permohonan sita jaminan mulai dari saat pemeriksaan sampai Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan. Bentuk permohonan dilakukan dan diajukan penggugat secara tersendiri terpisah dan surat gugatan. 3. Atau selama putusan belum dieksekusi. Cara memperhitungkan tenggang waktu pengajuan kedua yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HR atau Pasal 261 RBG, dirumuskan dalam kalimat yang berbunyi: selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan). Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung anti yuridis, selama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, selama itu masih terbuka hak dan kesempatan penggugat mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag). Dan tentang suatu putusan yang mengandung unsur memperoleh kekuatan hukum yang tetap ialah putusan yang terhadapnya telah tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Sebaliknya suatu putusan masih mengandung unsur belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, apabila terhadap putusan yang bersangkutan masih terbuka upaya hukum banding dan kasasi. Dengan demikian hakekat pengertian suatu putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yakni terhadap putusan itu masih terbuka upaya hukum banding dan kasasi dan undang-undang masih memperkenankan dan membenarkan pengajuan permohonan sita jaminan terhadap putusan yang berstatus demikian. C. Instansi yang Berwenang Memerintahkan Sita Jaminan Sehubungan dengan permasalahan hukum di atas perlu diketahui secara pasti, instansi peradilan tingkat mana yang berwenang menerima dan memeriksa serta memerintahkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag). Apakah kewenangan itu semata-mata hak Pengadian Negeri (peradilan tingkat pertama) atau tidak Bolehkah Pengadilan Tinggi sebagai instansi tingkat banding mengabulkan dan memerintahkan sita jaminan terhadap sita yang ditolak Pengadilan Negeri? 1. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendapat ini, hanya Pengadilan Negerilah instansi yang berwenang atas sita jaminan. Kewenangan itu tidak diberikan undang-undang kepada Pengadilan Tinggi sebagai instansi tingkat banding. Maka sehubungan dengan pendapat ini, mereka merinci aturan penerapan sita jaminan dalam acuan sebagai berikut: a. Jika Pengadilan Negeri menolak permohonan sita jaminan, Pengadilan Tinggi tidak berwenang lagi untuk memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melakukan sita (dalam hal ini perlu diperingatkan perbedaan antara penolakan dengan pencabutan. Pada penolakan sama sekali sita jaminan tidak pernah dikabulkan atau diperintahkan oleh Pengadilan Negeri. Sedang pada pencabutan, Pengadilan Negeri sudah sempat mengabulkan dan memerintahkan sita jaminan. Lantas sita itu dicabut atau diangkat kembali oleh Pengadilan Négeri. Dalam pencabutan yang seperti itu Pengadilan Tinggi

berwenang penuh untuk mengabulkan sita dengan jalan membatalkan putusan Pengadilan Negeri. b. Bila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkaranya sudah berada ditingkat banding; - permohonan tetap diajukan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengabulkan atau tidak permohonan tersebut, serta diusahakan agar Pengadilan Negeri memutus permohonan sita jaminan bersamaan dengan putusan Pengadilan Tinggi, supaya Pengadilan Tinggi dapat memasukkan putusan sita jaminan dalam amarnya. Dengan demikan penerapan sita jaminan adalah Pengadilan Negerilah instansi yang berwenang melakukan sita jaminan. Setiap permohonan sita harus diajukan penggugat ke instansi Pengadilan Negeri, sekalipun perkaranya sudah berada dalam proses pemeriksaan tingkat banding. Pengadilan Tinggi tidak berwenang menerima, apalagi untuk memerintahkan sita jaminan. Apalagi jika permintaan sita jaminan telah ditolak Pengadilan Negeri. Atas penolakan itu, Pengadilan Tinggi tidak lagi dapat menilai dan membatalkannya. Oleh karena Pengadilan Tinggi tidak berwenang meniai dan membatalkan penolakan sita jaminan yang diputuskan Pengadilan Negeri, dengan sendirinya Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memerintahkan Pengadilan Negeri melakukan sita jaminan terhadap sita yang telah ditolak Pengadilan Negeri. Selanjutnya apabila penggugat tidak ada mengajukan permohonan sita selama pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, kemudian setelah perkara. berada pada tingkat banding, penggugat menghendaki diletakkan sita atas harta terperkara atau harta kekayaan tergugat, menurut pendapat mereka pengajuan permohonan sita harus tetap diajukan ke Pengadilan Negeri, bukan ke Pengadilan Tinggi. Sehingga yang tetap berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan sita jaminan adalah Pengadilan Negeri. 2. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi berwenang memerintahkan sita jaminan Pendapat yang kedua, berpendirian bahwa Pengadilan Tinggi sebagai instansi tingkat banding berwenang memerintahkan sita jaminan. Ambil misalnya pendapat Prof. Subekti, SH. menurut beliau, permohonan conservatoir beslag dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi selama perkara pokoknya belum diputus oleh peradilan tingkat banding. Alasan yang beliau pergunakan mendasari pendapatnya, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 227 ayat (2) HIR yang di dalamnya terdapat kalimat sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Beliau menyimpulkan, kalimat tersebut menunjukkan bahwa permohonan sita conservatoir juga dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi selama perkara pokoknya belum diputus dalam tarap banding. Sekiranya tidak keliru menanggapi pendapat Prof. Subekti dimaksud, kewenangan memerintahkan sita jaminan bukan kewenangan mutlak Pengadilan Negeri. Kewenangan sita jaminan tunduk kepada asas proporsional sesuai dengan tahap-tahap tingkat pemeriksaan perkara. Selama perkaranya diperiksa di tingkat Pengadilan Negeri, kewenangannya berada di tangan Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi tidak dapat mencampurnya. Akan tetapi jika perkaranya sudah berada dalam tingkat pemeriksaan banding, yang proporsional untuk memerintahkan pelaksanaan sita jaminan adalah pengadilan tinggi. Terhadap pelaksanaan sita jaminan maka terlebih dahulu diuraikan permasalahan mengenai prosedur pelaksanaan sita jaminan (conversatoir beslag). Mengenai cara pelaksanaan sita jaminan (conversatoir beslag) pada

dasarnya sama dan persis seperti pelaksanan sita eksekusi (executorial beslag). Itu sebabnya pengaturan tentang tata cara pelaksanaan sita jaminan maupun tata cara sita eksekusi diatur dalam aturan yang sama. Aturan itu ditetapkan dalam Pasal 197 ayat (2) sampi ayat (6) HIR atau Pasal 209 RBG. Tujuan utama sita jaminan (conservatoir beslag) dan atau sita matrimonial di Pengadilan Agama pada saat sidang perceraian terjadi tiada lain dan pada upaya hukum yang diberikan kepada pihak pemohon/termohon untuk meminta kepada Pengadilan atau Hakim supaya selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung dan agar harta antara pemohon dan termohon jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga, maka harta bersama itu agar diletakkan sita, guna menjaga dan untuk menjamin tidak agar gugatan yang dilalukannya tidak illusoir atau tidak hampa. Kelak apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka putusan pengadilan harus dilaksanakan. Karena sejak semula gugatan itu disertai dengan upaya yang dapat berdaya guna menjamin hak dan kepentingan pada pihak, untuk itulah perlunya diletakkan sita jaminan/sita matrimonial atas harta bersama yang dipersengketakan pada kasus perceraian di Pengadilan Agama. Ini artinya sita jaminan (conservatoir beslag) bukan bertujuan mengabadikan sita atau mengabadikan hak milik, tapi bertujuan untuk menjamin kelak gugatan yang diajukan para pihak mempunyai nilal. Nilainya, bisa berupa pengukuhan hak milik atas barang yang disita dan pada saat pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, barang itu tetap ada. Sita Matrimonial ini sangat diperlukan oleh Pengadilan Agama, sebab hampir sebagian besar perkara di lingkungan Pengadilan Agama menyangkut masalah sengketa suami istri dan itu kemungkinan sebagaimana diisyaratkan oleh Pasat 24 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 yuncto Pasal 78 Sub C. UU Nomor 50 Tahun 2009. Meskipun sita matrimonial ini hanya menyangkut barang milik bersama suami istri yang nantinya barang tersebut akan diperhitungkan bagian untuk suami dan bagian untuk istri tetapi pada diktum/amar putusan tetap perlu dinyatakan sah dan berharga supaya dapat menjangkau jika ada campur tangan pihak ketiga. Untuk melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) dan atau sita matrimonial, haruslah berdasarkan pada permohonan penggugat, permohonan biasanya telah dicantumkan dalam Surat gugatan pada bagian petitumnya dengan menyebutkan alasan-alasannya. Gugatan permohonan sita jaminan atas harta bersama-sama dengan gugatan perceraian atau dapat diajukan sendiri sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009. Dalam sita jaminan tersebut adalah sita jaminan keseluruhan termasuk harta bersama (gono gini). Untuk membuktikan harta bersama dapat diajukan bukti surat misalnya berupa, tanda terima dari sertifikat yang terdapat selama berlangsungnya perkawinan. Selain bukti surat, dapat pula diajukan saksi-saksi yang melihat perolehan harta bersama. Prinsip dalam hukum Acara Perdata dinyatakan dalam Pasal 163 HIR. yaitu: Barang siapa mempunyai suatu hak, atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu padanya peristiwa tersebut. Diantara harta bersama yang menjadi sengketa itu kemungkinan terdapat barang tidak bergerak berupa sebidang tanah apabila dalam sengketa ini terjadi perbedaan antara penggugat dan tergugat tentang batas-batas dan luasnya, maka Hakim Pengadilan Agama dapat melakukan pemeriksaan ketempat obyek sengketa. Dengan melihat obyek sengketa

dimaksudkan supaya hakim mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Gambaran yang jelas mengenai tanah, agar hakim dapat melaksanakan pembagian tanah kepada para pihak secara adil dan nantinya ada waktu pelaksanaan putusan hakim dapat berjalan lancar, sehingga dapat menghindari tanah orang lain tereksekusi. D. Barang Yang Dilarang Untuk Disita Apa yang dibahas pada uraian terdahulu adalah mengenai pembatasan penyitaan dikaitkan dengan sifat gugatan. Artinya barang yang dibenarkan hakim untuk disita. Tapi mungkin dalam perkara lain boleh disita sesuai gugatan. Lain halnya dengan barang yang dilarang untuk disita. Sifat larangannya adalah mutlak dan permanen. Dalam perkara, apapun, barang yang dilarang undang-undang untuk disita, tidak boleh diletakkan saja jaminan atau sita eksekusi. Larangan ini dijumpai dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBG. Menurut pasal dimaksud ada dua jenis barang yang dilarang undang-undang untuk disita: 1. hewan dan 2. perkakas Akan tetapi agar hewan dan perkakas masuk ke dalam kelompok barang yang dilarang disita, harus dipenuhi sifat dan fungsinya dengan kualitas tertentu: 1. sifatnya: sungguh-sungguh 2. fungsinya: dipergunakan sebagai alat menjalankan pencaharian Jadi, tidak semua hewan dan perkakas dilarang disita. Hanya hewan dan perkakas yang sifatnya sungguh-sungguh berfungsi sebagai alat yang dipergunakan tergugat menjalankan mata pencaharian. Kualitas sifat dan fungsi itu tidak sambilan, tetapi benarbenar dan sungguh-sungguh dipergunakan tergugat sebagai alat mata pencaharian hidup sehari-hari. Kalau hewan itu hewan yang diperdagangkan atau hewan yang menghasilkan komoditi dagangan seperti susu, bukan hewan yang sungguh-sungguh dipergunakan sebagai alat mata pencaharian hidup sehari-hari, misalnya, hewan yang diternakkan atau sapi perahan, bukan hewan yang dilarang untuk dikenakan sita jaminan (conservaloir beslag). Sebab hewan yang seperti itu, sudah merupakan sarana produksi untuk mencari keuntungan, bukan hewan yang sungguh-sungguh dipergunakan sebagai alat mata pencaharian. Begitu juga mengenai perkakas. Jangan diartikan terlampau sempit serta jangan dilepaskan perkataan perkakas itu dengan fungsinya sebagai alat pencaharian sehari-hari. Misalnya lemari toko, tidak dapat digolongkan barang yang dilarang untuk disita. Mobil penumpang, tidak dapat digolongkan barang yang dilarang untuk disita. Baik mobil penumpang atau mobil pengangkut barang, bukan sarana mata pencaharian sehari-hari, tapi sudah tergolong sarana jasa untuk mencari keuntungan. Pengertian umum yang diberikan hukum kepada perkawinan perkakas dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBG adalah perkakas yang sifat dan wujudnya dipergunakan langsung oleh seseorang: 1. dengan kekuatan tenaga fisik untuk mencari nafkah sehari-hari (cangkul, parang dan sebagainya), 2. atau perkakas yang langsung dipergunakan oleh seorang ahli atau seniman (gergaji bagi seorang tukang, pahat bagi seorang pemahat dan sebagainya). Jelas dapat dilihat, maksud pelarangan menyita barang tertentu yang disebut dalam pasal tersebut adalah untuk melindungi seorang tergugat dan kemusnahan total. Jangan sampai dimatikan kegiatannya untuk melangsungkan pemenuhan kebutuhan nafkah sehari-hari. Larangan itu tidak menjangkau kegiatan usaha mencari keuntungan. Atas dasar itu, hewan atau perkakas yang sifat dan wujudnya dipergunakan sebagai sarana produksi atau Jasa, tidak termasuk ke dalam kelompok barang yang dilarang penyitaannya. Sehubungan dengan permasalahan barang yang untuk disita, ada baiknya diperhatikan pemikiran yang dikemukakan Prof Subekti, yang berkeinginan memperluasnya tidak hanya terbatas pada hewan dan perkakas mata pencaharian, tetapi

memperluasnya meliputi tempat tidur yang dipergunakan suami istri dan anak-anaknya, serta buku-buku ilmiah sampai batas tertentu. Perluasan ini sangat manusiawi dan pantas untuk diperhatikan baik pada saat pelaksanaan lelang. Sehingga penyitaan atau pelelangan, jangan sampai terlampau jauh menelanjangi dan menyengsarakan tergugat dalam keadaan kesedihan yang meluluhkan. Dengan perluasan ini hukum menarik garis batas orang yang dianggap tidak mempunyai milik apa-apa lagi, jika harta yang dimilikinya hanya terdiri dari tempat tidur, perkakas dapur dan bukubuku ilmiah. III. PENUTUP A. Kesimpulan Setelah mengkaji mengenai permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Sita Jaminan atas Harta Perkawinan dalam Perkara Perceraian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Bahwa tata cara pelaksanaan Lembaga Sita Jaminan pada kasus perceraian di Pengadilan Agama belum secara optimal dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan kurang dipahami keberadaan lembaga tersebut oleh masyarakat secara keseluruhan, sehingga pelaksanaan Lembaga Sita Jaminan di Pengadilan Agama menemui beberapa hambatan. 2. Bahwa peran Lembaga Sita Jaminan terhadap pelaksanaan Sita Jaminan pada kasus perceraian di Pengadilan Agama adalah sangat penting dalam melindungi kepentingan para pihak yang berperkara. Penggugat yang dalam kepentinganya juga mengajukan permohonan Sita. Jaminan kepada Pengadilan Agama atas harta bersama yang ada dan dikuasai oleh tergugat dapat terjamin hak-haknya karena harta tersebut tidak dapat dipindah tangankan. Bahwa adapun yang menjadi kendala pelaksanaan sita jaminan pada kasus perceraian di Pengadilan Agama, diantaranya adalah bahwa sebagian harta bersama/harta gono-gini telah dijual oleh pihak tergugat tanpa sepengetahuan pihak penggugat atau harta gono-gini yang diajukan permohonan sita-nya oleh penggugat adalah milik pihak ketiga. Juga keterangan tentang harta tersebut adalah milik tergugat dari awal/usai dan bukan merupakan harta gono-gini. Hambatan lainya adalah bahwa Pengadilan Agama belum berwenang menyelesaikan sengketa perdata apabila dalam kasus perceraian tersebut timbul sengketa perdata sesuai Pasal 50 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. B. Saran 1. Perlunya sosialisasi melalui penyuluhan hukum terhadap keberadaan Lembaga Sita di Pengadilan Agama, sehingga masyarakat luas mengetahui tentang lembaga ini dan manfaatnya. 2. Disarankan kepada pemohon maupun termohon, apabila harta bersama yang disengketakan dalam jumlah besar sebaiknya langsung saja mengajukan sita jaminan agar harta yang disengketakan tidak pindah kepada pihak lain dan dapat memperoleh keadilan dalam pembagian harta gono-gini atau harta bersama.

DAFTAR PUSTAKA Gatot Supramo., Hukum Pembuktian Agama, Alumni, Bandung, 1993. M. Yahya Harahap., Permasalahan dan Penetapan Sita Jaminan Conseivatoirbeslag, Pustaka, Bandung. 1990. M. Yahya Harahap., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Roihan A. Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta 2000. Soemiyati., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. I Tahun 1974, tentang Perkawinan), Liberty, Yoyakar1a, 1986. Soebiyakto., tentang kejurusitaan dalam Praktek Peradilan Perdata, Djambatan, Jakarta, 1997. Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Islam, Liberty, Yogyakarta. 1993.

BIODATA VERAWATY KOJUNGAN, Lahir di Makassar, 05 Januari 1981, Alamat Rumah Jalan Teluk Tomini I No. 112 Palu Sul-Teng, Nomor Telepon +6282196971331, Alamat Email...