Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN EKSPERT SISTEM BERBASIS INDEKS ENSO, DMI, MONSUN DAN MJO UNTUK PENENTUAN AWAL MUSIM

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) TERHADAP INTENSITAS HUJAN DI BENUA MARITIM INDONESIA (BMI) BARAT

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

MENGHITUNG DIPOLE MODE INDEX (DMI) DAN KORELASINYA DENGAN KONDISI CURAH HUJAN

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. ABSTRACT

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Musim Hujan. Musim Kemarau

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ESTIMASI DATANGNYA KEMARAU PANJANG 2012/2013 BERBASIS HASIL ANALISIS KOMBINASI DATA ESPI DAN DMI

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

I. INFORMASI METEOROLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. INFORMASI METEOROLOGI

STUDI DAMPAK EL NINO DAN INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP CURAH HUJAN DI PANGKALPINANG

Analisis Datangnya Musim Kemarau 2015

Kondisi Iklim Indonesia Saat Ini dan Prediksinya Dalam Beberapa Bulan Mendatang Berbasis Hasil Analisis Data Iklim Global

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

PENGARUH EL NIÑO, LA NIÑA DAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP CURAH HUJAN PENTAD DI WILAYAH INDONESIA

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II FEBRUARI 2017

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat.

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

I. INFORMASI METEOROLOGI

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017

BAB IV Hasil Dan Pembahasan

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I JANUARI 2018

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III FEBRUARI 2017

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

Transkripsi:

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 1 hal. 1-12 Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Eddy Hermawan Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jln. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 E-mail : eddy_lapan@yahoo.com INTISARI Makalah ini utamanya berisi informasi tentang pengaruh siklus lima belas tahunan terhadap estimasi kekeringan di Indonesia berbasis hasil analisis data iklim global, khususnya data rata-rata bulanan ESPI (ENSO Precipitation Index) yang sebenarnya merupakan gabungan dari data El-Nino dan La-Nina yang dikenal dengan istilah EI dan LI masing-masing untuk ENSO Idex dan La-Nina Index, GPCP (Global Precipitation Climatology Project) dan siklus ke-24 matahari periode Januari 1979 hingga Desember 2006. Hal ini penting dilakukan mengingat kekeringan merupakan faktor yang amat sangat penting dalam menunjang berhasil tidaknya produksi padi (gabah) terkait dengan ketahanan pangan nasional. Dengan menggunakan teknik analisis wavelet dan juga FFT (Fast Fourier Transform), kami mendapatkan bahwa osilasi dominan daripada data ESPI adalah sekitar lima belas tahunan, walaupun ada juga osilasi lain antara satu setengah hingga 3 tahunan, namun bukanlah osilasi dominan, dan itu terjadi di sekitar tahun 1982 dan 1997, di saat kita memang mengalami musim kering yang berkepanjangan (lebih dari enam bulan dari batas normalnya). Jika siklus ini berjalan sempurna (tanpa ada faktor lain yang mengganggunya), maka berbasis kejadian tahun 1997, diperkirakan tahun 2012/2013 nanti, kita akan mengalami musim kering yang berkepanjangan seperti kejadian tahun 1997. Dan untuk mengetahui kawasan mana saja yang akan dilanda mengalami kekeringan terlebih dahulu, hasil analisis data GPCP menunjukkan bahwa hal itu akan dimulai dari kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terus merambat ke atas menuju daerah Sulawesi Selatan hingga kepulauan Maluku. Untuk meyakinkan apakah skenario ini akan menjadi kenyataan, maka dilakukanlah analisis dari data siklus sebelas tahunan matahari yang dikenal dengan siklus sun-spot, di mana pada siklus ke-24 nanti yang diduga akan jatuh pada tahun 2012/2013, bumi kita akan mengalami musim panas yang berkepanjangan akibat meningkatnya aktivitas badai surya (solar flare) matahari dari kondisi normalnya. Penjelasan lebih lanjut tentang ESPI, GPCP dan siklus ke-24 matahari kaitannya dengan estimasi musim kering yang berkepanjangan yang bakal terjadi di tahun 2012, dan mekanisme pembentukannya akan kami bahas secara penuh pada full makalah nanti. Kata kunci : ESPI, GPCP, Siklus ke-24 matahari dan kekeringan I. Pendahuluan Ide dasar penulisan makalah ini berawal dari adanya satu pertanyaan yang kini kembali hangat dibicarakan orang yakni Isu Kiamat 2012: Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Kembali Berperan Aktif Disana? Pertanyaan di atas tentunya menarik perhatian kita semua dari masyarakat awam hingga tingkat akademisi dan bahkan di tingkat peneliti itu sendiri yang terus bergelut dengan masalah isu kiamat 2012 yang notabene terkait erat dengan isu Badai Surya (Solar Flare) seiiring meningkatnya siklus ke-24 matahari yang diperkirakan akan jatuh di sekitar tahun 2012/2013. Benarkah hanya fenomena Badai Surya saja yang akan terjadi, adakah fenomena (bencana) atmosfer lain yang juga akan terkait dengan fenomena di atas? Jika kita kaji dengan seksama terhadap bencana atmosfer yang terjadi di tahun 1982 dan 1997 (musim kering yang berkepanjangan) melebihi batasan normalnya, maka terlihat adanya siklus lima belas tahunan diduga akan kembali hadir di tahun 2012/2013 mendatang. Apa itu siklus lima belas tahunan, akankah dia kembali hadir bersamaan dengan datangnya siklus ke-24 matahari, dan adakah indikasi awal (semacam precursor) yang kiranya dapat kita gunakan untuk menangkap kehadiran musim kering berkepanjangan tadi. Kenapa hujan dengan intensitas sedang masih setia menaungi di sebagian wilayah kita? Bukankah matahari sudah mulai bergerak ke BBU sejak tanggal 21 Maret 2010? Mengapa kawasan Bandung Selatan dan sekitarnya masih bergelut dengan banjir?. Saat ini fenomenanya banjir (flooding), lalu bagaimana di tahun 2012/2013 nanti, masih banjirkah? Beberapa hasil kajian penelitian sebelumnya terlihat bahwa selain gempa bumi (earthquake) yang mendominasi kawasan kita, ternyata tidak hanya masalah banjir, tetapi ada juga masalah kering (drought) yang berkepanjangan. Ini adalah wajar, karena fenomena monsoon merupakan osilasi utama yang menyelimuti hampir seluruh kawasan kita. Ciri utamanya adalah satu, yakni adanya perbedaan yang tegas/jelas bila musim penghujan & bila musim kemarau/kering. Masalahnya adalah jika kita hanya terfokus kepada fenomena monsoon saja, maka tidak banyak hal yang dapat kita lakukan, karena ia hampir berosilasi sempurna ( sekitar dua belas bulanan). Yang menarik kita adalah bagaimana jika osilasi yang sempurna tadi terganggu atau diganggu fenomena lain? Hendaknya diingat bahwa masih ada fenomena lain yang harus kita perhatikan, yakni ENSO (El- Nino and Southern Oscillation) dan DMI (Dipole Mode Indeks).

2 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Atas dasar itulah maka penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang konsep dasar siklus lima belas tahunan, mengintai bila indikasi awal siklus tadi akan datang, dan terakhir mengidentifikasi kawasan mana saja di Indonesia yang akan mendapat bahaya yang serius. II. Gambaran Umum Pola Curah Hujan di Indonesia Tahun 1982 dan 1997 Sebelum masalah ini kami bahas lebih lanjut, ada baiknya kita tinjau kembali bagaimana perilaku pola curah hujan di atas kawasan Indonesia, khususnya di tahun 1982 dan 1997. Rangkaian Gambar 1 hingga Gambar 3 menggambarkan perbedaan yang signifikan distribusi curah hujan yang terjadi di Indonesia di tahun 1982 dan 1997. Gambar 1. Diagram Hovmoller dari data radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation) periode Januari hingga Desember 1982.

Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 3 Gambar 2. Sama dengan Gambar 1, tetapi untuk tahun 1997. Gambar 3. Diagram ketika fenomena El-Nino 3.4 dan DMI terjadi bersamaan. Di sini terlihat bahwa jika hanya satu fenomena alam saja yang bergerak (katakanlah El-Nino) saja, maka dampak yang ditimbulkannya tidaklah besar. Namun, bila dua fenomena alam datang dalam waktu yang bersamaan (simultan), maka dampak yang ditimbulkannya akan amat sangat serius (severe). Dari Gambar 4 terlihat jelas bahwa pada tahun 1982/83 dan 1997/98 telah terjadi lonjakan SST yang cukup signifikan di kawasan pantai Timur Pasifik yang ditandai dengan warna merah yang sangat menyolok. Hal ini berarti telah terjadi proses konveksi yang sangat intensif di kawasan pantai Timur

4 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Pasifik pada saat itu yang menyebabkan bergesernya awan-awan konvektif jauh meninggalkan wilayah Indonesia menuju ke arah timur. Sayangnya kita tidak mempunyai data atau gambar sebelum tahun 1982 agar diperoleh hasil yang lebih tajam dan akurat. Dengan keterbatasan di atas, maka dilakukanlah analisis statistik sederhana dari data ESPI (ENSO Precipitation Index) yang akan kami jelaskan kemudian. Gambar 4. Penampang melintang laju kenaikan SST (Sea Surface Temperature) terhadap waktu periode Januari 1982 hingga Januari 2008. Suhu permukaan laut di daerah tropis sangatlah bervariasi baik dalam skala ruang dan waktu. Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah Samudera Hindia menghasilkan fenomena Dipole Mode yang didefinisikan sebagai gejala ataupun tanda-tanda menaiknya suhu permukaan laut yang tidak normal di Samudera Hindia sebelah selatan India yang diiringi dengan menurunnya suhu permukaan laut tidak normal di perairan Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah Barat Sumatera (Saji et al., 2003). Indian Ocean Dipole Mode (IOD) didefinisikan sebagai perbedaan anomali Sea Surface Temperature (SST) antara Bagian Barat (10 o LU-10 o LS; 60 o BT-80 o BT) dan Timur (0 o -10 o LS; 90 o BT- 110 o BT) dari Samudera Hindia (Saji et al., 1999; Behera and Yamagata; 2003) seperti terlihat pada Gambar 5. Dari Gambar tersebut terlihat adanya dua kutub pusat tekan rendah, satu terletak di pantai timur benua Afrika dan lainnya di pantai barat Sumatera, Indonesia. Selain itu, ternyata IOD secara langsung maupun tidak langsung terkait erat dengan adanya Sirkulasi Walker (Walker Circulation) yang terjadi di sepanjang belt ekuator akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia dekat Sumatera Bagian Barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika sehingga aliran udara berlangsung secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi (wilayah dengan kumpulan massa udara dingin) menuju wilayah dengan tekanan udara rendah (wilayah dengan kumpulan massa udara hangat). Agak rumit memang untuk dijelaskan dengan rinci mekanisme pembentukannya. Namun, pada bahasan kali ini difokuskan kepada bagaimana IOD ini melintasi wilayah Indonesia yang dicirikan adanya variasi musiman dari parameter Sea Surface Temperature (SST), Sea Level Pressure (SLP) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR) di sepanjang kawasan Pasifik Barat mulai dari bagian timur pantai benua Afrika hingga pantai barat Pulau Sumatera.

Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 5 Gambar 5. Wilayah Indian Ocean Dipole Mode SST (Saji et al., 1999; Behera and Yamagata, 2003). Fenomena IOD juga mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola curah hujan yang terjadi di suatu kawasan tertentu. Variasi curah hujan antara wilayah Sumatera Barat diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan curah hujan yang terjadi di sebelah timur Afrika. Hal ini berarti pada saat wilayah Sumatera Barat mengalami curah hujan diatas normal hingga beberapa kawasan mengalami kebanjiran, maka di wilayah timur Afrika mengalami kekeringan, begitupun sebaliknya. Berdasarkan fenomena tadi, maka dikenal adanya dua macam IOD, masing-masing IOD Positif (+) dan IOD Negatif ( ), seperti terlihat pada Gambar 6. Gambar 6. Perbedan IOD (+) dan IOD ( ) kaitannya dengan pergeseran massa udara (http://w3.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/saji/dmi.html). IOD (+) terjadi saat wilayah pantai barat barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan diatas normal. Sebaliknya, di wilayah Barat Sumatera terjadi kekeringgan setelah massa uap airnya gagal diturunkan sebagai hujan. Sebaliknya, pada saat IOD ( ), wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia Bagian Barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena IOD dengan perilaku curah hujan di wilayah Indonesia Bagian Barat. Hasil kajian yang dilakukan peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa kejadian IOD tidak terjadi setiap saat. Ia muncul di tahun 1964, 1965, 1969, 1971, 1975, 1976, 1986, 1996, dan 1997 (Rao, et al.,

6 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 2002), sedangkan tahun ENSO terjadi pada tahun 1958, 1960, 1961, 1967, 1974, 1977, 1983, 1989, 1992, 1993, dan 1994 (Ashok et al., 2003). Berdasarkan informasi di atas terlihat bahwa kejadian IOD tidak terkait langsung dengan peristiwa ENSO karena kejadian tersebut berlangsung pada tahun yang berbeda. Namun kejadian ENSO diduga berhubungan dengan IOD dalam hal mekanisme pembentukannya. Tabel 1. Tahun-tahun kejadian IODM (Rao et.al., 2002). Peristiwa Dipole Mode Positif yang kuat Peristiwa Dipole Mode Negatif yang kuat 1877 1874 1902 1879-80 1923 1889 1926 1890 1935 1892-93 1944 1899 1946 1901 1953 1906 1961 1909-10 1963 1917 1972 1920 1982 1954-55 1994 1958-60 1997 1964 1975 1984 1989 1992 1996 Jika dicermati lebih mendalam, maka berdasarkan data Tabel 1 terlihat bahwa ada dua kejadian ekstrim di mana Indonesia mengalami kemarau panjang melebihi batas normalnya yakni pada tahun 1982 dan 1997. Kalau fenomena ini murni diakibatkan oleh kejadian El-Nino semata, maka kemarau panjang yang terjadi, tidaklah separah yang kita duga. Kami menduga ada faktor lain yang ikut mendukungnya, yakni Dipole Mode (+). Hal ini amat sangat dimaklumi karena pada saat itu pusatpusat konveksi bergerak menuju ke arah barat meninggalkan wilayah barat Indonesia. III. DATA DAN METODE ANALISIS Data utama yang dipakai pada penelitian ini adalah data DMI (Dipole Mode Index), data SST Niño 3.4, dan juga data ESPI (ENSO Precipitation Index) bulanan selama dua puluh sembilan tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008 dengan alamat web-site masing-masing http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/; http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices, dan http:// precip.gsfc.nasa.gov/espitable.html. Data data tersebut kemudian dianalisis dengan teknik FFT dan wavelet. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat analisis data time series bulanan data DMI, Niño 3.4 dan ESPI selama sembilan tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008 seperti terlihat pada Gambar 7.

Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 7 Gambar 7. Data time series bulanan DMI, Niño 3.4 dan ESPI. Dari gambar tersebut terlihat adanya kesamaan pola yang dihasilkan oleh data Niño 3.4 dan ESPI. Hal ini dimungkinkan mengingat kedua data tersebut sama-sama menggambarkan perilaku SST yang ada di Pasifik Tengah dan Timur. Sementara dari data DMI, walaupun memiliki pola yang tidak sama persis, namun dalam beberapa kali pertemuan, khususnya di tahun 1982 dan 1997 menunjukkan adanya pola yang serupa, keduanya menunjukkan intensitas di atas dua. Atas dasar itulah, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis spektral untuk ketiga data di atas, seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8. Analisis PSD untuk data DMI, Niño 3.4 dan ESPI. Dari Gambar 8 terlihat bahwa spektral energi tertinggi adalah data Niño 3.4 dengan nilai osilasi dominan sekitar 45 bulanan atau sekitar 3,75 tahun. Sementara data ESPI dan data DMI menduduki posisi kedua, masing-masing berkisar antara 60 dan 36 bulan atau sekitar 5 dan 3 tahun. Ada satu hal yang kiranya menarik untuk dikaji di sini yakni jika kedua fenomena alam tadi terjadi dalam waktu yang bersamaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni di tahun 1982 dan 1997.

8 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Apakah benar kejadian ekstrim kering di tahun 1997 relatif lebih parah dibandingkan dengan tahun 1982? Untuk itu dilakukanlah analisis wavelet seperti nampak pada Gambar 9 (a) dan (b). (a) data ESPI (b) data DMI Gambar 9. Analisis wavelet untuk data ESPI dan DMI periode Januari 1979 hingga Desember 2008. Di sini terlihat bahwa fenomena kering ekstrim di tahun 1997 memang lebih panjang dibandingkan tahun 1982. Artinya hasil ini sesuai dengan Gambar 1 dan 2 (analisis wavelet untuk data ESPI periode Januari 1979 hingga Desember 2008). Dengan asumsi kedua fenomena di atas berjalan dengan sempurna, maka jika keduanya digabungkan ( dikawinkan ), maka akan terdapat osilasi baru dengan kisaran sekitar lima belas tahunan, yakni hasil korelasi silang antara data ESPI yang lima tahunan dengan data DMI yang tiga tahunan. Hal yang menarik lainnya adalah jika kondisi ekstrim tadi kita

Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 9 anggap terjadi di tahun 1997, maka kondisi serupa akan terjadi di tahun 2012/2013. Apakah ini benarbenar akan terjadi, memang tidak ada satupun yang berani mengatakannya. Di sini hanya ditampilkan adanya data pendukung lain, yakni siklus ke 24 matahari dan juga data emisi karbondioksida (CO 2 ) seperti nampak pada Gambar 10 dan 11. Gambar 10. Siklus bilangan sunspot ke 24 yang diperkirakan jatuh di 2012. Gambar 11. Prediksi data total emisi CO 2 fossil fuel yang diduga akan mencapai puncaknya di 2012/2013. Kalaulah benar nantinya akan terjadi kekeringan panjang di tahun 2012/2013, daerah manakah yang pertama kali akan dilanda dan ke mana kira-kira akan menjalar? Rangkaian gambar berikut (Gambar 12(a) hingga 12(l)) kiranya akan dapat menjelaskannya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan terlihat bahwa kekeringan panjang akan dimulai pada bulan Mei dan mencapai puncaknya sekitar bulan September, dan itu akan dimulai dari kawasan selatan Indonesia bagian tengah, tepatnya kawasan Nusa Tenggara Barat dan Timur, lalu menjalar ke Utara dan Barat.

10 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali (a) bulan Januari (b) bulan Februari (c) bulan Maret (d) bulan April (e) bulan Mei (f) bulan Juni

Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali 11 (g) bulan Juli (h) bulan Agustus (i) bulan September (j) bulan Oktober k) bulan November (l) bulan Desember Gambar 12. Distribusi spasial intensitas curah hujan rata-rata per bulan periode 1979-2006 (27 tahun pengamatan) hasil observasi data GPCP. V. KESIMPULAN Perlu adanya pendalaman lebih lanjut tentang fenomena/bencana atmosfer yang sepertinya akan kembali berulang di tahun 2012/2013, yakni musim kering yang berkepanjangan. Kapan/bila dua fenomena alam terjadi bersamaan (simultan) dan dampak yang ditimbulkannya perlu dikaji lebih lanjut. Banyak cara yang dapat dilakukan, satu di antaranya adalah adalah terus-menerus memantau perkembangan atau perilaku data Nino 3.4, DMI, ESPI dan Monsoon. Pengembangan model interaksi

12 Eddy Hermawan/ Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali antara fenomena Monsoon, ENSO, dan DMI, nampaknya amat sangat diperlukan. GPCP merupakan salah satu cara instant yang dapat digunakan untuk memantau kawasan mana saja di Indonesia yang rentan terhadap bahaya kekeringan dan atau kebanjiran. Jika nantinya fenomena kering panjang itu benar-benar akan terjadi di sekitar tahun 2012/2013, maka nampaknya kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) lah yang akan pertama kali akan mengalami musim kering jauh di bawah normal. VI. DAFTAR PUSTAKA Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2003 : A Look at the Relationship between the ENSO and the Indian Ocean Dipole. J. Meteor. Soc. Jpn., 81 (1), 41-56. Behera, S. K., and T. Yamagata, 2003 : Influence of the Indian Ocean Dipole on the Southern Oscillation. J. Meteor. Soc. Jpn., 81 (1), 169-177. Rao, S. A., S. K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata, 2002 : Interannual Subsurface Variability in the Tropical Indian Ocean with a Special Emphasis on the Indian Ocean Dipole. Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572. Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata : 1999 : A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature., 401, 360-363 Saji, N. H., and T. Yamagata, 2003 : Possible Impacts of Indian Ocean Dipole Mode Events on Global Climate. Climate Res., 25 (2), 151-169. (http://cics.umd.edu/~yin/gpcp/main.html). (http://paos colorado.edu/research/wavelets) (http://www.cdc.noaa.gov/map/climate/olr.html) (http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/) (http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices) (http://precip.gsfc.nasa.gov/espitable.html)