BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB 1 PENDAHULUAN. merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar hemoglobin normal. umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk pria, anemia

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

ASUPAN ZAT GIZI DAN KADAR HEMOGLOBIN PADA ANGGOTA INDONESIA VEGETARIAN SOCIETY (IVS) CABANG PADANG

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda gangguan metabolisme lipid (dislipidemia). Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Distribusi Karakteristik Sampel

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. repository.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hemoglobin dalam sirkulasi darah. Anemia juga dapat didefinisikan sebagai

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT BESI DAN PROTEIN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA SISWI SMP NEGERI 10 MANADO

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

MAKALAH GIZI ZAT BESI

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG SAIDA BATTY

HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM TABLET FE PADA IBU PRIMIGRAVIDA DENGAN KEJADIAN ANEMIA DI PUSKESMAS TEGALREJO TAHUN 2016

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA WANITA VEGETARIAN USIA TAHUN DI VIHARA SEMESTA MAITREYA KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB I PENDAHULUAN. vision di dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. mellitus tingkat kejadiannya terus meningkat di banyak negara di dunia (Lopez et

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang. mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. obesitas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Saat ini diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN TERJADINYA ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS DAWE KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. berpotensi menurunkan tingkat kecerdasan atau biasa disebut Intelligence Quotient

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

PENGARUH MINUM TEH TERHADAP KEJADIAN ANEMIA PADA USILA DI KOTA BANDUNG

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan proporsi penduduk usia tua (di atas 60 tahun) dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) dari total penduduk dunia akan naik dari 10% pada tahun 1998 menjadi 15% pada tahun 2025, dan dapat meningkat mencapai 25% pada tahun 2050 (UNFPA, 2007). Populasi penduduk lansia di Asia dan Pasifik meningkat pesat dari 410 juta pada tahun 2007 menjadi 733 juta pada tahun 2025, dan diprediksi mencapai 1,3 triliun pada tahun 2050 (United Nations, 2008). Indonesia juga mengalami peningkatan populasi penduduk lansia dari 4,48% (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 9,77% (23,9 juta jiwa) pada tahun 2010. Pada tahun 2020 diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa (Sunusi, 2006). Peningkatan jumlah lansia di Indonesia muncul sebagai pergeseran jumlah penduduk yang berusia lanjut dari sekitar 6% selama periode 1950-1990, sekarang mencapai 8%, dan diprediksi akan meningkat menjadi 13% pada tahun 2025, dan menjadi 25% di tahun 2050. Ini berarti pada tahun 2025, 1 dari 4 penduduk Indonesia dapat dikelompokkan sebagai orang berusia lanjut dibandingkan 1 dari 12 penduduk Indonesia saat ini (Fatmah, 2010). Jumlah lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 448.223 orang atau 12,96% dari keseluruhan penduduk. Jumlah sebaran lansia di perkotaan sebesar 246.178 orang dan di pedesaan sebesar 202.045 orang (BPS, 2010). 1

Anemia merupakan kondisi yang umum terjadi pada lanjut usia. Namun, anemia bukan merupakan diagnosis melainkan adanya patologi yang mendasari. Kejadian anemia ditemukan 4-6 kali lebih tinggi pada keadaan klinis. Kejadian anemia terus meningkat seiring dengan pertambahan usia dan pada lansia laki-laki kejadiannya lebih banyak daripada lansia perempuan. Pada lansia yang sehat, prevalensi kejadian anemia menjadi rendah. Survei epidemiologi menunjukkan bahwa pada negara miskin dan pada orang dengan status sosial serta ekonomi rendah mengalami status anemia buruk (Dharmarajan et al., 2002). Anemia terus meningkat seiring pertambahan usia. Pada usia 65-69 tahun, onset kejadian anemia adalah 6% pada laki-laki dan 4% pada perempuan. Pada usia 85 tahun atau lebih, kejadian anemia akan naik menjadi 14% pada laki-laki dan 13% pada perempuan. Anemia merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta menurunkan kualitas hidup pada lanjut usia. Penurunan sistem fungsional berkaitan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin. Hal ini ditunjukkan dengan hasil studi pada lansia perempuan yang menderita anemia (kadar hemoglobin 12-13 g/dl) dibandingkan dengan lansia perempuan yang tidak menderita anemia (kadar hemoglobin 13-15 g/dl) pada tes kecepatan berjalan, keseimbangan, dan kemampuan untuk berdiri. Pada lansia yang menderita anemia diperoleh hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan lansia yang tidak menderita anemia (Bross et al., 2010). Kelompok lansia pada umumnya memiliki gigi yang tidak sempurna lagi, sehingga mempunyai keterbatasan dalam mengonsumsi zat besi yang bersumber dari hewani (heme iron), akibatnya lansia sangat rentan terhadap 2

kejadian anemia. Walaupun lansia dapat mengonsumsi zat besi sumber nabati, namun apabila dikonsumsi bersama-sama dengan inhibitor absorpsi zat besi maka penyerapan zat besinya akan terhambat, sehingga lansia tersebut tetap rentan terhadap kejadian anemia (Besral et al., 2007). Secara umum, populasi lanjut usia memiliki kadar hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan pada usia yang lebih muda. Namun kondisi ini belum dapat dipastikan penyebabnya apakah sebuah gambaran normal dari proses penuaan atau proses patologis dari kondisi yang mendasari. Secara individual, penurunan kadar hemoglobin dianggap sebagai proses normal karena bertambahnya usia, tetapi penyakit memiliki kontribusi terhadap perkembangan dari anemia tersebut (Patel & Guralnik, 2009). World Health Organization (WHO) memberikan kriteria untuk anemia pada orang dewasa yang didefinisikan sebagai tingkat hemoglobin <13 g/dl untuk laki-laki dan <12 g/dl untuk perempuan (Ohta, 2009). Berdasarkan data NHANES III, prevalensi dan etiologi anemia lanjut usia dalam kasus anemia ringan (mild anemia) pada lansia perempuan sebesar 2,8% dan pada lansia laki-laki sebesar 1,6% yang memiliki kadar hemoglobin <11 g/dl (Bross et al., 2010). Data NHANES III juga menunjukkan bahwa 11,0% laki-laki dan 10,2% perempuan menderita anemia (Guralnik et al., 2005). Data NHANES III menyebutkan bahwa anemia pada lanjut usia disebabkan oleh anemia karena kehilangan darah/kurang gizi (nutritional anemia) sebesar 34%, anemia pada penyakit kronik/peradangan sebesar 32%, dan anemia yang tidak diketahui penyebabnya (unexplained anemia) sebesar 34% (Guralnik et al., 2005). Menurut Ohta (2009), jenis anemia pada 3

lanjut usia terdiri dari anemia defisiensi besi akibat perdarahan kronik, anemia sekunder akibat penyakit selain hematologi, anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12, sindrom myelodysplastic (MDS) akibat dysplasia pada sel darah dan gangguan hematopoiesis, serta anemia senile akibat anemia ringan berkepanjangan. Anemia defisiensi besi merupakan penyakit nomor satu terbanyak yang diderita oleh lansia di Indonesia dengan angka kejadian sebesar 50% (Besral et al., 2007). Sekitar 6 dari 10 lansia mengalami anemia gizi karena asupan zat besi dan beberapa vitamin yang rendah, terutama vitamin B12, vitamin C, dan asam folat. Pada lansia, adanya kekhawatiran akan kegemukan membuat lansia membatasi asupan lauk-pauk dan buah. Hal ini dapat meningkatkan risiko kekurangan zat besi dan ketiga vitamin tersebut (Kurniasih et al., 2010). Lanjut usia sering mengalami masalah gizi yang dapat menyebabkan gangguan pada kadar hemoglobin karena kurangnya asupan zat gizi seperti zat besi, asam folat, vitamin B12 yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah, dan zat gizi lainnya yang juga sangat dibutuhkan seperti protein, vitamin C, piridoksin, copper (Friedman & Wintraub, 1997). Sumber protein hewani seperti daging sapi, ayam, dan ikan serta makanan laut lainnya dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonheme. Hal ini karena sumber protein hewani mengandung zat besi heme (Hallberg & Hulthen, 2000). Asam askorbat pada vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonheme di gastrointestinal, terutama jika mengonsumsi beberapa sumber zat besi secara bersamaan (Cook & Reddy, 2001). Inhibitor absorpsi zat besi merupakan senyawa yang dapat mengganggu atau menghambat 4

absorpsi zat besi meliputi polifenol (tanin), fitat, dan asam oksalat. Polifenol terdapat dalam teh, kopi, kakao, dan anggur merah. Fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan. Asam oksalat terdapat dalam sayuran seperti brokoli dan bayam, kacangan-kacangan seperti kedelai, lentil, kacang merah, kacang mete, dan kacang tanah, serta pada berbagai jenis tepung dari gandum (Gillooly et al., 1983; Noonan & Savage, 1999; Chai & Liebman, 2005; Gibney et al., 2009). Berdasarkan data tersebut, penelitian untuk mengetahui hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia perlu dilakukan agar diperoleh gambaran kejadian anemia pada lanjut usia. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah dengan persentase populasi lansia terbanyak di Indonesia dapat dijadikan acuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih faktual tentang lansia di Indonesia. Oleh karena itu, peran praktisi kesehatan dan masyarakat umum sangat dibutuhkan untuk mencapai upaya pemenuhan kebutuhan gizi lansia sehingga status gizi lansia pun akan menjadi baik, terutama status kecukupan protein, zat besi, vitamin C dalam tubuh dan pentingya membatasi asupan inhibitor absorpsi zat besi untuk mengurangi risiko kejadian anemia pada lansia. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ada hubungan antara asupan protein dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 2. Apakah ada hubungan antara asupan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 5

3. Apakah ada hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 4. Apakah ada hubungan antara asupan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan antara asupan protein dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. b. Mengetahui hubungan antara asupan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. c. Mengetahui hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan antara asupan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. 6

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan tentang hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia. 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi kepada masyarakat khususnya yang tinggal bersama lanjut usia untuk rutin memberikan asupan zat gizi yang mengandung protein, zat besi, dan vitamin C serta membatasi asupan inhibitor absorpsi zat besi agar lanjut usia tidak menderita anemia. 3. Bagi Pemerintah Sebagai bahan informasi dalam penyusunan program peningkatan usia harapan hidup yang lebih berkualitas yang didasarkan pada upaya penanggulangan anemia pada lanjut usia di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang status anemia pada lanjut usia (lansia) sudah cukup banyak, tetapi penelitian yang mengkaitkan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi terhadap status anemia lanjut usia (lansia) jarang dilakukan oleh peneliti lain. Namun, ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu, 1. Doyle et al. (1999), berjudul Iron deficiency in older people: Interactions between food and nutrient intakes with biochemical measures of iron; further analysis of the National Diet and Nutrition Survey of people aged 7

65 years and over. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional. Doyle et al. (1999) melaporkan ada hubungan yang bermakna antara asupan protein, zat besi heme dan nonheme, vitamin C, serat pada buah dan sayuran dengan status besi pada lansia. Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dan teh dengan status besi pada lansia. Dalam penelitian ini, status besi diukur menggunakan hemoglobin, serum ferritin, mean cell volume (MCV), hematokrit, mean cell haemoglobin (MCH), total iron binding capacity (TIBC), dan %saturasi plasma besi. Hasil pengukuran status besi menggunakan hemoglobin adalah ada hubungan yang bermakna antara asupan protein (p<0,001); serat (p=0,006); daging, unggas, ikan (p<0,001); buah (p=0,009); sayuran (p=0,035); dan kopi (p=0,006) dengan konsentrasi hemoglobin. Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan konsentrasi hemoglobin. Selain itu, hasil pengukuran status besi menggunakan serum ferritin, MCV, hematokrit, MCH, TIBC, dan %saturasi plasma besi menunjukkan hasil yang hampir sama dengan pengukuran status besi menggunakan hemoglobin. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, variabel bebas, dan variabel terikat. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 2. Garcia-Arias et al. (2003), berjudul Iron, Folate and Vitamin B12 & C Dietary Intake of An Elderly Institutionalized Population in Leon, Spain. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional. 8

Garcia-Arias et al. (2003) melaporkan bahwa rata-rata asupan zat besi sehari-hari lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (p<0,05). Selain itu, rata-rata asupan vitamin C lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (198%) serta rata-rata asupan folat dan vitamin B12 juga lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (103% dan 144%). Setelah itu, dilaporkan juga bahwa rata-rata kadar hemoglobin, persen hematokrit, kadar feritin, dan serum zat besi berada diantara nilai normal. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian dan variabel bebas. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 3. Meilianingsih (2005), berjudul Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Anemia pada Lansia di Kecamatan Cicendo Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan crosssectional. Meilianingsih (2005) melaporkan ada hubungan yang bermakna antara kecukupan lauk (protein hewani), pauk (protein nabati), sayur dan buah (vitamin C) dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,000). Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara kecukupan nasi (karbohidrat) dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,137). Selain itu, ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan variasi jenis makanan dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,018) serta ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dan kopi dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,000). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kecukupan lauk mempunyai nilai OR tertinggi, yaitu 92,334. 9

Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, variabel bebas, dan variabel terikat. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 10