BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan proporsi penduduk usia tua (di atas 60 tahun) dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) dari total penduduk dunia akan naik dari 10% pada tahun 1998 menjadi 15% pada tahun 2025, dan dapat meningkat mencapai 25% pada tahun 2050 (UNFPA, 2007). Populasi penduduk lansia di Asia dan Pasifik meningkat pesat dari 410 juta pada tahun 2007 menjadi 733 juta pada tahun 2025, dan diprediksi mencapai 1,3 triliun pada tahun 2050 (United Nations, 2008). Indonesia juga mengalami peningkatan populasi penduduk lansia dari 4,48% (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 9,77% (23,9 juta jiwa) pada tahun 2010. Pada tahun 2020 diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa (Sunusi, 2006). Peningkatan jumlah lansia di Indonesia muncul sebagai pergeseran jumlah penduduk yang berusia lanjut dari sekitar 6% selama periode 1950-1990, sekarang mencapai 8%, dan diprediksi akan meningkat menjadi 13% pada tahun 2025, dan menjadi 25% di tahun 2050. Ini berarti pada tahun 2025, 1 dari 4 penduduk Indonesia dapat dikelompokkan sebagai orang berusia lanjut dibandingkan 1 dari 12 penduduk Indonesia saat ini (Fatmah, 2010). Jumlah lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 448.223 orang atau 12,96% dari keseluruhan penduduk. Jumlah sebaran lansia di perkotaan sebesar 246.178 orang dan di pedesaan sebesar 202.045 orang (BPS, 2010). 1
Anemia merupakan kondisi yang umum terjadi pada lanjut usia. Namun, anemia bukan merupakan diagnosis melainkan adanya patologi yang mendasari. Kejadian anemia ditemukan 4-6 kali lebih tinggi pada keadaan klinis. Kejadian anemia terus meningkat seiring dengan pertambahan usia dan pada lansia laki-laki kejadiannya lebih banyak daripada lansia perempuan. Pada lansia yang sehat, prevalensi kejadian anemia menjadi rendah. Survei epidemiologi menunjukkan bahwa pada negara miskin dan pada orang dengan status sosial serta ekonomi rendah mengalami status anemia buruk (Dharmarajan et al., 2002). Anemia terus meningkat seiring pertambahan usia. Pada usia 65-69 tahun, onset kejadian anemia adalah 6% pada laki-laki dan 4% pada perempuan. Pada usia 85 tahun atau lebih, kejadian anemia akan naik menjadi 14% pada laki-laki dan 13% pada perempuan. Anemia merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta menurunkan kualitas hidup pada lanjut usia. Penurunan sistem fungsional berkaitan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin. Hal ini ditunjukkan dengan hasil studi pada lansia perempuan yang menderita anemia (kadar hemoglobin 12-13 g/dl) dibandingkan dengan lansia perempuan yang tidak menderita anemia (kadar hemoglobin 13-15 g/dl) pada tes kecepatan berjalan, keseimbangan, dan kemampuan untuk berdiri. Pada lansia yang menderita anemia diperoleh hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan lansia yang tidak menderita anemia (Bross et al., 2010). Kelompok lansia pada umumnya memiliki gigi yang tidak sempurna lagi, sehingga mempunyai keterbatasan dalam mengonsumsi zat besi yang bersumber dari hewani (heme iron), akibatnya lansia sangat rentan terhadap 2
kejadian anemia. Walaupun lansia dapat mengonsumsi zat besi sumber nabati, namun apabila dikonsumsi bersama-sama dengan inhibitor absorpsi zat besi maka penyerapan zat besinya akan terhambat, sehingga lansia tersebut tetap rentan terhadap kejadian anemia (Besral et al., 2007). Secara umum, populasi lanjut usia memiliki kadar hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan pada usia yang lebih muda. Namun kondisi ini belum dapat dipastikan penyebabnya apakah sebuah gambaran normal dari proses penuaan atau proses patologis dari kondisi yang mendasari. Secara individual, penurunan kadar hemoglobin dianggap sebagai proses normal karena bertambahnya usia, tetapi penyakit memiliki kontribusi terhadap perkembangan dari anemia tersebut (Patel & Guralnik, 2009). World Health Organization (WHO) memberikan kriteria untuk anemia pada orang dewasa yang didefinisikan sebagai tingkat hemoglobin <13 g/dl untuk laki-laki dan <12 g/dl untuk perempuan (Ohta, 2009). Berdasarkan data NHANES III, prevalensi dan etiologi anemia lanjut usia dalam kasus anemia ringan (mild anemia) pada lansia perempuan sebesar 2,8% dan pada lansia laki-laki sebesar 1,6% yang memiliki kadar hemoglobin <11 g/dl (Bross et al., 2010). Data NHANES III juga menunjukkan bahwa 11,0% laki-laki dan 10,2% perempuan menderita anemia (Guralnik et al., 2005). Data NHANES III menyebutkan bahwa anemia pada lanjut usia disebabkan oleh anemia karena kehilangan darah/kurang gizi (nutritional anemia) sebesar 34%, anemia pada penyakit kronik/peradangan sebesar 32%, dan anemia yang tidak diketahui penyebabnya (unexplained anemia) sebesar 34% (Guralnik et al., 2005). Menurut Ohta (2009), jenis anemia pada 3
lanjut usia terdiri dari anemia defisiensi besi akibat perdarahan kronik, anemia sekunder akibat penyakit selain hematologi, anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12, sindrom myelodysplastic (MDS) akibat dysplasia pada sel darah dan gangguan hematopoiesis, serta anemia senile akibat anemia ringan berkepanjangan. Anemia defisiensi besi merupakan penyakit nomor satu terbanyak yang diderita oleh lansia di Indonesia dengan angka kejadian sebesar 50% (Besral et al., 2007). Sekitar 6 dari 10 lansia mengalami anemia gizi karena asupan zat besi dan beberapa vitamin yang rendah, terutama vitamin B12, vitamin C, dan asam folat. Pada lansia, adanya kekhawatiran akan kegemukan membuat lansia membatasi asupan lauk-pauk dan buah. Hal ini dapat meningkatkan risiko kekurangan zat besi dan ketiga vitamin tersebut (Kurniasih et al., 2010). Lanjut usia sering mengalami masalah gizi yang dapat menyebabkan gangguan pada kadar hemoglobin karena kurangnya asupan zat gizi seperti zat besi, asam folat, vitamin B12 yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah, dan zat gizi lainnya yang juga sangat dibutuhkan seperti protein, vitamin C, piridoksin, copper (Friedman & Wintraub, 1997). Sumber protein hewani seperti daging sapi, ayam, dan ikan serta makanan laut lainnya dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonheme. Hal ini karena sumber protein hewani mengandung zat besi heme (Hallberg & Hulthen, 2000). Asam askorbat pada vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi nonheme di gastrointestinal, terutama jika mengonsumsi beberapa sumber zat besi secara bersamaan (Cook & Reddy, 2001). Inhibitor absorpsi zat besi merupakan senyawa yang dapat mengganggu atau menghambat 4
absorpsi zat besi meliputi polifenol (tanin), fitat, dan asam oksalat. Polifenol terdapat dalam teh, kopi, kakao, dan anggur merah. Fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan. Asam oksalat terdapat dalam sayuran seperti brokoli dan bayam, kacangan-kacangan seperti kedelai, lentil, kacang merah, kacang mete, dan kacang tanah, serta pada berbagai jenis tepung dari gandum (Gillooly et al., 1983; Noonan & Savage, 1999; Chai & Liebman, 2005; Gibney et al., 2009). Berdasarkan data tersebut, penelitian untuk mengetahui hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia perlu dilakukan agar diperoleh gambaran kejadian anemia pada lanjut usia. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah dengan persentase populasi lansia terbanyak di Indonesia dapat dijadikan acuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih faktual tentang lansia di Indonesia. Oleh karena itu, peran praktisi kesehatan dan masyarakat umum sangat dibutuhkan untuk mencapai upaya pemenuhan kebutuhan gizi lansia sehingga status gizi lansia pun akan menjadi baik, terutama status kecukupan protein, zat besi, vitamin C dalam tubuh dan pentingya membatasi asupan inhibitor absorpsi zat besi untuk mengurangi risiko kejadian anemia pada lansia. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ada hubungan antara asupan protein dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 2. Apakah ada hubungan antara asupan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 5
3. Apakah ada hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? 4. Apakah ada hubungan antara asupan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan antara asupan protein dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. b. Mengetahui hubungan antara asupan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. c. Mengetahui hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan antara asupan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. 6
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan tentang hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia. 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi kepada masyarakat khususnya yang tinggal bersama lanjut usia untuk rutin memberikan asupan zat gizi yang mengandung protein, zat besi, dan vitamin C serta membatasi asupan inhibitor absorpsi zat besi agar lanjut usia tidak menderita anemia. 3. Bagi Pemerintah Sebagai bahan informasi dalam penyusunan program peningkatan usia harapan hidup yang lebih berkualitas yang didasarkan pada upaya penanggulangan anemia pada lanjut usia di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang status anemia pada lanjut usia (lansia) sudah cukup banyak, tetapi penelitian yang mengkaitkan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi terhadap status anemia lanjut usia (lansia) jarang dilakukan oleh peneliti lain. Namun, ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu, 1. Doyle et al. (1999), berjudul Iron deficiency in older people: Interactions between food and nutrient intakes with biochemical measures of iron; further analysis of the National Diet and Nutrition Survey of people aged 7
65 years and over. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional. Doyle et al. (1999) melaporkan ada hubungan yang bermakna antara asupan protein, zat besi heme dan nonheme, vitamin C, serat pada buah dan sayuran dengan status besi pada lansia. Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dan teh dengan status besi pada lansia. Dalam penelitian ini, status besi diukur menggunakan hemoglobin, serum ferritin, mean cell volume (MCV), hematokrit, mean cell haemoglobin (MCH), total iron binding capacity (TIBC), dan %saturasi plasma besi. Hasil pengukuran status besi menggunakan hemoglobin adalah ada hubungan yang bermakna antara asupan protein (p<0,001); serat (p=0,006); daging, unggas, ikan (p<0,001); buah (p=0,009); sayuran (p=0,035); dan kopi (p=0,006) dengan konsentrasi hemoglobin. Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan konsentrasi hemoglobin. Selain itu, hasil pengukuran status besi menggunakan serum ferritin, MCV, hematokrit, MCH, TIBC, dan %saturasi plasma besi menunjukkan hasil yang hampir sama dengan pengukuran status besi menggunakan hemoglobin. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, variabel bebas, dan variabel terikat. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 2. Garcia-Arias et al. (2003), berjudul Iron, Folate and Vitamin B12 & C Dietary Intake of An Elderly Institutionalized Population in Leon, Spain. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional. 8
Garcia-Arias et al. (2003) melaporkan bahwa rata-rata asupan zat besi sehari-hari lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (p<0,05). Selain itu, rata-rata asupan vitamin C lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (198%) serta rata-rata asupan folat dan vitamin B12 juga lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan gizi (AKG) lansia Spanyol (103% dan 144%). Setelah itu, dilaporkan juga bahwa rata-rata kadar hemoglobin, persen hematokrit, kadar feritin, dan serum zat besi berada diantara nilai normal. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian dan variabel bebas. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 3. Meilianingsih (2005), berjudul Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Anemia pada Lansia di Kecamatan Cicendo Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan crosssectional. Meilianingsih (2005) melaporkan ada hubungan yang bermakna antara kecukupan lauk (protein hewani), pauk (protein nabati), sayur dan buah (vitamin C) dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,000). Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara kecukupan nasi (karbohidrat) dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,137). Selain itu, ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan variasi jenis makanan dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,018) serta ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dan kopi dengan kejadian anemia pada lansia (p=0,000). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kecukupan lauk mempunyai nilai OR tertinggi, yaitu 92,334. 9
Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, variabel bebas, dan variabel terikat. Perbedaannya adalah metode pengambilan sampel, lokasi penelitian, dan metode pengambilan data asupan makan. 10