ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. keberadaannya. Terutama industri tekstil, industri tersebut menawarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan

HUBUNGAN KADAR DEBU DENGAN KAPASITAS PARU PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN CEMENT MILL PT.SEMEN BOSOWA MAROS

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM. Putri Rahayu H. Umar. Nim ABSTRAK

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS PARU TENAGA KERJA DI PT EASTERN PEARL FLOUR MILLS KOTA MAKASSAR

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapat

Kata Kunci: Debu Kapur, Keluhan Gangguan Pernafasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kata kunci : Lama bekerja, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), Kebiasaan merokok, Kapasitas Vital Paru (KVP).

HUBUNGAN ANTARA MASA KERJA DENGAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA PEKERJA MEBEL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumokoniosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh debu yang masuk ke dalam saluran pernafasan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan pekerja di suatu perusahaan penting karena menjadi salah

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Faal Paru Pada Perusahaan Galangan Kapal

ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH. Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat

* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado ** Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kerjanya. Resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya

Rimba Putra Bintara Kandung E2A307058

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS PARU PEKERJA PAVING BLOCK CV SUMBER GALIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA DI UNIT BOILER INDUSTRI TEKSTIL X KABUPATEN SEMARANG

HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNAAN MASKER DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA MEBEL DI KELURAHAN HARAPAN JAYA, BANDAR LAMPUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di PT. Tonasa Line Kota Bitung

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PEKERJA BAGIAN RING SPINNING

* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PEMBUAT BATU BATA DI KELURAHAN PENGGARON KIDUL KECAMATAN PEDURUNGAN SEMARANG TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN PAPARAN DEBU DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENYAPU PASAR JOHAR KOTA SEMARANG. Audia Candra Meita

HUBUNGAN PAPARAN DEBU KAYU TERHIRUP DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA DI INDUSTRI MEBEL CV. CITRA JEPARA FURNITURE KABUPATEN SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan mesin, mulai dari mesin yang sangat sederhana sampai dengan

Novie E. Mauliku. (Kata Kunci : lama kerja, APD (masker), Kapsitas Vital Paksa paru). Jurnal Kesehatan Kartika/ LPPM 70

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN DEBU KAYU DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA KAYU DI KECAMATAN KELAPA LIMA TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

Kapasitas Vital Paru pada Karyawan di Unit Boiler PT. Apac Inti Corpora Semarang Tahun 2014

Unnes Journal of Public Health

PENGARUH PAPARAN DEBU KAYU TERHADAP KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA DI PT. UTAMA CORE ALBASIA KECAMATAN CANGKIRAN TAHUN 2016

Riski Noor Adha 1, Rafael Djajakusli 1, Masyitha Muis 1.

KAPASITAS FAAL PARU PADA PEDAGANG KAKI LIMA. Olvina Lusianty Dagong, Sunarto Kadir, Ekawaty Prasetya 1

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan terhadap keselamatan dan kesehatan para pekerja di tempat

BAB III METODE PENELITIAN

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya bagi kesehatan pekerja (Damanik, 2015). cacat permanen. Jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun

Kata Kunci : Sampah,Umur,Masa Kerja,lama paparan, Kapasitas Paru, tenaga kerja pengangkut sampah.

KHALIMATUS SAKDIYAH NIM : S

DETERMINAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PADA PEKERJA PENGRAJIN KERAMIK DI KECAMATAN KLAMPOK BANJARNEGARA

Petunjuk : Pilih salah satu jawaban dengan memberikan checklist ( ) pada kolom yang sesuai dengan jawaban responden.

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

Kata Kunci: Lama Kerja, Penggunaan Alat Pelindung Diri, Kapasitas Vital Paru

Kata Kunci : Umur, Masa Kerja, Status Gizi, Kapasitas Vital Paru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada era globalisasi telah terjadi perkembangan di berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. maupun di luar rumah, baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Partikel

Ira Purnasari, Paulina dan Salbiah Kastari Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak

Hubungan Paparan Debu Terhirup Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Bongkar Muat Di Pelabuhan Manado Sulawesi Utara Tahun 2017

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN PENGGUNAAN MASKER DENGAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA SUKARELAWAN PENGATUR LALU LINTAS (SUPELTAS) SURAKARTA

Muhammad Miftakhurizka J

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Area Produksi Industri Kayu

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. lagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas yang berarti semua produkproduk

Kadar Debu Kayu, Kebiasaan Merokok, Masa Kerja Dan Volume Ekspirasi Paksa Pada Tenaga Kerja Industri Mebel CV Bandengan Wood Desa Kalijambe Sragen

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BATU PADAS DI SILAKARANG GIANYAR BALI. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

HUBUNGAN ANTARA UMUR, MASA KERJA DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN INDEKS KESEGARAN KARDIOVASKULER PEGAWAI PEMADAM KEBAKARAN KOTA MANADO

Unnes Journal of Public Health

BAB I PENDAHULUAN. mengimpor dari luar negeri. Hal ini berujung pada upaya-upaya peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit

HUBUNGAN PAPARAN DEBU KAYU DI LINGKUNGAN KERJA TERHADAP GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA DI PT. ARUMBAI KASEMBADAN, BANYUMAS

HUBUNGAN PAPARAN PARTIKEL DEBU DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KAPASITAS PARU PADA PEKERJA DI GUDANG PELABUHAN BELAWAN TESIS.

BAB I PENDAHULUAN. besar. Salah satu industri yang banyak berkembang yakni industri informal. di bidang kayu atau mebel (Depkes RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

HUBUNGAN PAPARAN DEBU DENGAN KAPASITAS FUNGSI PARU PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI KABUPATEN SIDRAP

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan suatu bangsa dan negara tentunya tidak bisa lepas dari peranan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

Halaman Pengesahan Artikel Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebiasaan lain, perubahan-perubahan pada umumnya menimbulkan beberapa

PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BATU PADAS DI SILAKARANG GIANYAR BALI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. peternakan (melakukan pemeliharaan ternak) dengan tujuan sebagian atau seluruh

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN KADAR DEBU BATU BARA DENGAN PENURUNAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA DI UNIT BOILER

BAB III METODE PENELITIAN

Relation of Individual Characteristics With Value of Worker s Vital Lung Capacity In PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Tarahan Lampung

Unnes Journal of Public Health

SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dari tahun ke tahun. Peningkatan dan perkembangan ini

HUBUNGAN KADAR DEBU DENGAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PROSES PRESS-PACKING DI USAHA PENAMPUNGAN BUTUT KELURAHAN TANJUNG MULIA HILIR MEDAN TAHUN 2013

HUBUNGAN ANTARA UMUR, MEROKOK, DAN TINDAKAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PENGRAJIN BATU AKIK DARI BEBERAPA TEMPAT DI KOTA MANADO

IDENTIFIKASI KADAR DEBU DI LINGKUNGAN KERJA DAN KELUHAN SUBYEKTIF PERNAFASAN TENAGA KERJA BAGIAN FINISH MILL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK. Simpulan : Ada hubungan pengetahuan APD masker dengan kedisiplinan penggunaannya. Kata Kunci : Pengetahuan APD, Kedisiplinan

Transkripsi:

ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK Rafita, Ani Hermilestari dan Mohammad Nasip Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail: efierafita@gmail.com Abstrak: Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional dengan jumlah sampel 48 orang pekerja. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan responden, pengukuran kadar debu terhirup dan pemeriksaan kapasitas vital paru. Hasil penelitian diperoleh variabel yang berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah kadar debu terhirup (p=0,041), dan penggunaan APD masker (p=0,046). Sedangakan variabel yang tidak berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah usia (p=0,068), masa kerja (p=0,076), kebiasaan merokok (p=1,000) dan riwayat penyakit paru (p=0,368). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dan penggunaan APD dengan kapasitas vital paru dan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia, masa kerja, kebiasaan merokok dan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak. Kata Kunci: Kadar Debu Terhirup, Abstract: Analysis of Risk Factors Associated with Lung Vital Capacity of Workers Loading And Unloading (TKBM) Non Containers at IPC TPK Pontianak City. This type of research is observational with cross sectional study with a sample of 48 workers. Data were collected by interviews with respondents, respirable dust concentration measurement and inspection of vital lung capacity. The results were obtained variables associated with lung vital capacity is the concentration of respirable dust (p = 0.041), and use of personal protective equipment masks (p = 0.046). While the variables that are not associated with lung vital capacity age (p = 0.068), years of service (p = 0.076) was smoking (p = 1.000) and a history of pulmonary disease (p = 0.368). The conclusion from this study that there is a significant relationship between the level of respirable dust and the use of personal protective equipment with a vital capacity of the lungs and there is no significant relationship between age, years of smoking and a history of pulmonary disease with a vital capacity of the lungs on the workers of loading and unloading non containers at IPC TPK Pontianak. Keywords: Respirable Dust Levels, Lung Vital Capacity Tenaga kerja merupakan sumber daya manusia yang memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya tenaga manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan maupun kesehatan kerjanya. Di banyak kota terutama yang urbanisasinya tumbuh pesat di negara-negara yang sedang berkembang, pencemaran merupakan faktor yang dapat menurunkan produktifitas para pekerja. Salah satunya yaitu pencemaran udara. Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan 259

260 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang (Wardhana, 2001). Salah satu aktivitas yang dapat menyebabkan pencemaran udara oleh debu yaitu kegiatan bongkar muat barang yang terjadi di pelabuhan IPC TPK (Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas) Kota Pontianak. Debu banyak berasal dari proses pembongkaran barang dari palka (ruang-ruang dalam kapal), penyusunan barang ke jala-jala barang dan pengangkutan barang-barang dari kapal ke gudang penyimpanan maupun ke truk yang siap untuk di distribusikan. Barang-barang yang berpotensi menghasilkan debu penyebab pencemaran udara yaitu barang non kontainer seperti semen, beras, tepung, pakan ternak dan lain sebagainya. Debu yang berukuran antara 5 10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3 5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan di tempatkan langsung di permukaan alveoli paru (Suma mur, 2014). Paparan debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang sangat beresiko terhadap terjadinya gangguan kapasitas paru. Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam tubuh atau paruparu seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru ditentukan oleh kemampuan kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh semakin banyak (Mangkidi, 2006). Gangguan kapasitas vital paru tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit. Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, sesak napas, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh magrofag. Otot polos disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas (Hasty, 2011). Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007 diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumokoniosis. Selain itu juga, ILO (International Labour Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumoconiosis (penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan kasus pneumoconiosis menempati urutan pertama Occupational Diseases (OD) di Negara Jepang dan Cina (Hasty, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasty (2011) menunjukkan bahwa paparan debu yang ada di lingkungan kerja yang memapar pekerja dengan konsentrasi yang tinggi dan jumlah jam kerja yang semakin panjang akan berdampak pada nilai Kapasitas Vital Paru (KVP) yang berada di bawah normal. Selain itu ada hubungan yang signifikan antara karakteristik pekerja yaitu variabel usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja dan penggunaan masker dengan variabel. Dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan IPC TPK Kota Pontianak hanya 37,5% pekerja yang menggunakan masker sewaktu melakukan bongkar muat dari palka kapal ke dermaga pelabuhan dengan alasan tidak nyaman bekerja jika menggunakan APD (masker), dan bagi yang menggunakan masker pada saat melakukan komunikasi di area kerja, masker yang digunakan ditarik kearah bawah sehingga tidak menutup hidung. Pada saat pekerja menarik napas maka debu yang terdapat di udara akan ikut masuk ke dalam paru-paru. Debu yang masuk secara terus-menerus dalam jumlah yang banyak dan mengendap ke dalam paru-paru maka akan menyebabkan melemahnya kapasitas paru pekerja. Selain itu, sebagian besar pekerja mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 87,5 %. Dan dari 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) sebanyak 50% pekerja mengalami gejala batuk pada saat bekerja, dan 62,5% mengalami sesak napas. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 261 sectional study. Dalam penelitian ini mengambil data dari responden dengan metode survei menggunakan kuesioner, melakukan pengukuran kadar debu terhirup menggunakan alat personal dust sampler (PDS) dan melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru dengan menggunakan alat spirometer pada tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Populasi yang digunakan oleh peneliti adalah tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak. Besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 responden yang ditentukan dengan cara random sampling (metode sampel acak sederhana). Bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 2005). Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut: n= Keterangan : n =jumlah sampel N=jumlah populasi d= derajat kemaknaan Pengolahan data dilakukan secara program statistik uji Chi Square, yaitu asymtop signifikansi kurang atau sama dengan 5% atau 0,05 (p 0,05) maka H0 ditolak) Ha diterima artimya ada hubungan. Apabila asymtop signifikasi lebih dari 0,05 (p > 0,05) maka (Ho diterima) Ha ditolak artinya tidak ada hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Kadar debu terhirup Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (58%) tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak, bekerja di lokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat atau berada di atas NAB. Masa kerja Hasil penelitian distribusi frekuensi masa kerja, menunjukkan proporsi terbanyak (67%) TPK Kota Pontianak telah bekerja selama 5 tahun. Kebiasaan merokok Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (83%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok. Riwayat Penyakit Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (73%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak ada memiliki riwayat penyakit paru. Penggunaan APD (Masker) Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (63%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak menggunakan APD (masker). Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kapasitas vital paru normal. Hubungan Kadar Debu Terhirup dengan Gangguan Hasil analisis statistik mengenai hubungan antara kadar debu terhirup responden dengan gangguan kapasiats vital paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Usia Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak berumur 40 tahun.

262 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 Tabel 1. Hubungan Kadar Debu Terhirup Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No 1 2 Kadar Debu Terhirup Memenuhi Syarat n % n % Jumlah N % 15 53,6 13 46,4 28 100 Memenuhi Syarat 4 20,0 16 80,0 20 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,041 Sumber: Data Primer, 2016 Hasil analisis hubungan kadar debu terhirup dengan kapasitas vital paru pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat cenderung memiliki kapasitas vital paru tidak normal dari pada pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang memenuhi syarat yaitu sebesar 53,6%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,041 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (diatas NAB) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Usia dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tabel 2. Hubungan Usia Dengan Gangguan Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No 1 2 Usia 40 tahun < 40 tahun n % n % Jumlah N % 15 57,1 14 48,3 29 100 4 21,1 15 78,9 19 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,068 Sumber: Data Primer, 2016 Hasil analisa hubungan usia dengan kapasitas vital paru pekerja yang berusia < 40 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 78,9% dari pada pekerja yang berusia 40 tahun. Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,068 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 Hubungan masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru Tabel 3. Hubungan Masa Kerja Dengan Gangguan Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No Masa Kerja n % n % Jumlah N % 1 5 Tahun 16 50,0 16 50,0 32 100 2 < 5 Tahun 3 18,8 13 81,3 16 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 Sumber: Data Primer, 2016 p value = 0,076 Hasil analisa hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru pekerja yang masa kerja < 5 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 81,3% dari pada pekerja yang masa kerjanya 5 Tahun. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,076 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gangguan

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 263 Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No Kebiasaan Merokok n % n % Jumlah N % 1 Merokok 16 40,0 24 60,0 40 100 2 Merokok 3 37,5 5 62,5 8 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 1,000 Sumber: Data Primer, 2016 Hasil analisa hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru pekerja yang memiliki kebiasaan merokok cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 60,0% dari pada yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 1,000 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru Tabel 5. Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 No 1 2 Riwayat Penyakit Paru Pernah Sakit Pernah Sakit n % n % Jumlah N % 7 53,8 6 46,2 13 100 12 34,3 23 65,7 35 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0, 368 Sumber: Data Primer, 2016 Hasil analisa hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru pekerja yang tidak pernah sakit cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebasar 65,7% dari pada yang memiliki riwayat penyakit paru (pernah sakit). Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,368 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Tabel 6. Hubungan Penggunaan APD Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 N o 1 Penggun aan APD Pakai n % n % Jumlah N % 16 51,6 15 48,4 31 100 2 Pakai 3 17,6 14 82,4 17 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 Sumber: Data Primer, 2016 p value = 0,046 Hasil analisa hubungan penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru pekerja yang menggunakan APD (masker) cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 82,4% dari pada yang tidak menggunakan APD (masker). Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,046 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat

264 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 Untuk melihat kecenderungan hubungan dan perbedaan masing-masing variabel pada penelitian ini dapat dilihat pada ringkasan hasil bivariat pada tabel dan hasil uji Chi Square sebagai berikut. Tabel 7. Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Menggunakan Uji Chi Square No. Variabel p-value 1. Kadar Debu Terhirup 0,041 2. Usia 0,068 3. Masa Kerja 0,076 4. Kebiasaan Merokok 1,000 5. Riwayat Penyakit 0,368 6. Penggunaan APD 0,046 Berdasarkan hasil tabel 14 diatas, diketahui variabel bebas yang memiliki hubungan dengan variabel terikat (gangguan kapasitas vital paru) adalah kadar debu terhirup, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) berupa masker. PEMBAHASAN Hubungan Antara Kadar Debu Terhirup Dengan Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,041 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak. Hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang bekerja di tempat kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat atau di atas NAB memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,6%) dibandingkan dengan kadar debu terhirup memenuhi syarat atau di bawah NAB (20%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) tentang hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan diperolehnya hasil uji chi square (p=0,008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paparan partikel debu dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Amaliyah (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu dengan kapasitas paru yaitu dengan (p=0,003). Mekanisme penimbunan debu dalam paru terjadi ketika seseorang menarik nafas udara yang mengandung debu masuk dalam paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernapasan atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron akan ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1-3 mikron akan langsung menuju ke permukaan alveoli paru, dan partikel yang berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli karena partikel ini akan bergerak keluar masuk alveoli sesuai dengan gerakan brown (Suma mur, 2014). Gangguan kapasitas vital paru sering terjadi pada tenaga kerja yang bekerja dilingkungan yang berdebu. Misalnya pada TPK Kota Pontianak. Gangguan kapasitas vital paru dapat dicegah dengan hidup bersih dan sehat misalnya dengan cara selalu menggunakan alat pelindung diri berupa masker pada saat melakukan kegiatan bongkar muat khususnya di lingkungan kerja yang berdebu. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, jenis barang yang dilakukan bongkar muat yaitu semen. Semen merupakan suatu bahan bangunan yang banyak menghasilkan debu saat dilakukan pembongkaran. Debu semen merupakan debu yang dapat mengganggu sistem pernapasan salah satunya yaitu dapat menurunkan nilai kapasitas vital paru seseorang. Sedangkan lokasi tempat berlangsungnya aktivitas bongkar muat yaitu di dalam palka kapal banyak terdapat debu yang beterbangan akibat akivitas bongkar muat. Hasil pengukuran kadar debu terhirup terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil tertinggi yaitu 3,35 mg/m 3 dan hasil terendah yaitu 1,36 mg/m 3. Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan ini dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang secara terus menerus dapat menurunkan faal paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan paru (Mukono, 2008 dalam Tambunan 2013).

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 265 atau tidaknya kapasitas paru seseorang dapat diketahui melalui pemeriksaan dengan menggunakan alat spirometer. Seseorang mengalami gangguan kapasitas paru apabila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 di bawah nilai 80% dan bila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 diatas 80% maka paru-paru tersebut masih normal atau tidak ada gangguan (Hasty, 2011). Hasil pengukuran kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) tertinggi yaitu 145% dan hasil terendah yaitu 45%. Hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar pekerja bekerja dilokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat (diatas NAB) sehingga sangat berpotensi terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Kadar debu terhirup merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat diubah. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan terjadinya gangguan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada pekerja secara berkala serta dianjurkan kepada pekerja agar selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa masker. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja sehingga penggunaannya harus benar dan teratur. APD masker berfungsi untuk melindungi debu atau partikel-partikel yang masuk ke dalam pernapasan, masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu sesuai dengan ukuran debu dimasingmasing lokasi kerja. Untuk ukuran partikel debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang non kontainer (semen) didalam palka kapal yaitu berukuran >1 mikron. Adapun jenis masker yang dapat digunakan tenaga kerja saat melakukan aktifitas bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota pontianak yaitu masker yang memiliki pori-pori <1 mikron. Sehingga debu terhirup yang dihasilkan pada saat melakukan kegiatan bongkar muat akan tertahan dan tidak ikut masuk kedalam paruparu. Debu yang dihirup pekerja sebanyak 3,35 mg/m 3 perhari akan sangat berdampak terhadap paru-paru pekerja. Jika pekerja tersebut aktif bekerja selama satu bulan penuh tanpa istirahat, maka jumlah paparan debu yang masuk ke dalam paru-paru juga semakin banyak. Oleh karena itu perlu dilakukan memberikan istirahat kerja untuk beberapa hari kepada tenaga kerja secara bergantian untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja. Hubungan Antara Usia Dengan Kapasitas Vital Paru Hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,068 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006) dengan diperolehnya hasil uji chi square p value 0,015 OR=1,721 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia pekerja dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara Usia dengan kapasitas paru yaitu dengan p value 0,037. Penelitian ini menjelaskan bahwa usia seseorang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Usia seseorang dapat mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal paru pada usia anak-anak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut, nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007 dalam Hasty, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki usia lebih dari sama dengan 40 tahun. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara usia dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan sebagian besar pekerja menjaga pola makan sehingga asupan gizi terpenuhi dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

266 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 Salah satu dari akibat kekurangan asupan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibody sehingga pekerja mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, bersin dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan proses pengeluaran terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, dengan berolahraga secara teratur dapat meningkatkan kondisi tubuh dan mampu mambantu sistem paru-paru bekerja secara maksimal serta dapat menampung oksigen lebih banyak untuk meningkatkan nilai kapasitas paru seseorang. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,076 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak. Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan p=0,007. Semakin lama masa kerja, semakin sering seseorang mengalami pemaparan debu sehingga jumlah debu yang dihirup semakin besar Masa kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpapar oleh partikel debu. Semakin lama terpapar partikel debu maka semakin besar resiko terjadinya gangguan kapasitas fungsi paru. Pekerja di lingkungan kerja dengan kadar partikel debu yang tinggi dan waktu yang lama memiliki resiko tinggi terkena penyakit paru masa kerja mempunyai kecendrungan sebagai faktor resiko terjadinya penyakit paru obstruktif pada perja dilingkungan berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009 dalam Tambunan, 2013). Masa kerja merupakan suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja disuatu tempat. Masa kerja yang dimaksud dalam penellitian ini adalah jangka waktu pekerja mulai menjadi tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak hingga pada waktu penelitian berlangsung. Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang terpajan dengan berbagai sumber penyakit (debu terhirup) yang dapat mengakibatkan gangguan kapasitas vital paru. Tenaga kerja yang memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal dapat dipengaruhi oleh kadar debu terhirup di lokasi kerja berada diatas Nilai Ambang Batas (NAB), kebiasaan merokok, serta memiliki riwayat penyakit paru sehingga dapat mempengaruhi nilai kapasitas vital paru seseorang. adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru dapat terjadi karena tenaga kerja menerapkan pola hidup sehat misalnya selalu mengkonsumsi makanan yang bergizi setiap harinya, rutin berolahraga serta sebagian besar mereka masih memiliki umur yang produktif untuk bekerja sehingga masa kerja tidak terlalu mempengaruhi nilai kapasitas paru pekerja. Dalam penelitian ini, peneliti belum bisa membahas lebih dalam lagi mengenai hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru karena dalam kuesioner masa kerja (riwayat pekerjaan) tidak terdapat pertanyaan untuk menginformasikan kapan pekerja mulai bekerja di IPC TPK Kota Pontianak yaitu mulai dari tanggal, bulan maupun tahun. Oleh karena itu, diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar dalam kuesioner penelitian disertakan waktu mulainya pekerja bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat di IPC TPK Kota Pontianak agar didapatkan informasi yang selengkaplengkapnya mengenai masa kerja tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value= 1,000 lebih besar dari p value 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari (2013) mengenai hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas paru dapat dilihat dari hasil analisis uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0,827 dimana p > 0,05. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok. Namun hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), yang menyatakan ada hubungan yang

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 267 bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru dengan p value 0,036. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas serta jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan menimbulkan penurunan pada fungsi paru-paru. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada sistem respirasi dimulai dari saluran udara utama (bronkus), ke saluran udara perifer (bronkiolus) sampai ke alveoli (Milner, 2004 dalam Putri, 2015). Dari hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan, pekerja yang mulai merokok lebih dari sama dengan 5 tahun sebagian besar memiliki kapasitas paru tidak normal yaitu 16 orang (51,6%). Pekerja yang merokok kurang 5 tahun keseluruhannya rmemiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebanyak 9 orang (100%) Sedangkan pekerja yang tidak merokok memiliki kapasitas tidak normal yaitu sebanyak 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja. Pekerja yang masih merokok kecenderungan memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 24 orang (60%). Tenaga kerja bongkar muat yang memiliki kebiasaan merokok dapat meghabiskan rokok sebanyak 2 hingga 32 batang perhari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pekerja yang merokok lebih dari sama dengan 15 batang perhari (perokok berat) sebagian besar memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal yaitu sebanyak 14 orang (66.7%) dari 21 orang pekerja. Untuk pekerja yang merokok kurang dari 15 batang perhari (perokok ringan) memiliki kapasitas paru normal yairu sebanyak 17 orang (89,5%). Sedangkan untuk pekerja yang tidak merokok memilik kapasitas paru normal yaitu 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja telah lama memiliki kebiasaan merokok yaitu lebih dari 5 tahun. Sedangkan untuk jumlah rokok yang dikonsumsi perhari berbeda-beda namun banyak diantara tenaga kerja digolongkan sebagai perokok berat yaitu mengkonsumsi rokok >15 batang perhari. Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok kurang dari 15 batang perhari dan memiliki kapasitas paru tidak normal dapat diakibatkan karena dipengaruhi oleh usia pekerja yang memiliki kebiasaan merokok berusia lebih dari 40 tahun sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai kapasitas vital paru pekerja dibawah normal. Oleh karena itu, tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya mengurangi atau berhenti merokok agar tidak mempengaruhi nilai kapasitas paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi, misalnya kadar debu terhirup di lokasi kerja yang tidak memenuhi syarat, memiliki masa kerja lama dan riwayat penyakit paru serta kurangnya kesadaran pekerja untuk selalu menggunakan alat pelindung diri pernapasan berupa masker. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Dengan Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,368 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang memiliki riwayat penyakit paru cenderung terjadi gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,8%) dibandingkan dengan tenaga yang tidak memiliki riwayat penyakit paru (34,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2013), mengenai hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru dengan didapatnya hasil p value = 0,812 atau > 0,05 maka ha ditolak, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit merupakan keadaan dimana seseorang pernah atau tidak pernah mengalami penyakit saluran pernapasan terhitung pada saat tenaga kerja mulai bekerja di tempat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja yang tidak pernah sakit penyakit paru memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 23 orang (65,7%).

268 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 Dari beberapa pekerja bongkar muat yang diwawancari, penyakit yang berkaitan dengan paru yang pernah diderita selama bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota pontianak diantanya yaitu asma, pneumonia serta batuk pada saat bekerja. Hal ini disebabkan karena banyaknya debu yang beterbangan disekitar area kerja yang dihasilkan dari proses bongkar muat barang. Menurut Nugroho (2011), mengatakan bahwa faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru adalah adanya riwayat penyakit paru. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Beberapa penyakit infeksi paru akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang. Hal ini berbeda dengan pernyataan Budiono (2007) mengatakan bahwa seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa penyakit pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan mempercepat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar debu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru. ada hubungan antara kedua variabel hal ini dapat disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhinya yaitu kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (berada diatas NAB) dilokasi kerja akibat aktivitas bongkar muat barang, pekerja yang memiliki masa kerja lama, serta pekerja memiliki kebiasaan merokok sehingga dapat memperburuk kondisi paru yang dapat menurunkan nilai kapasitas paru pekerja. Pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit paru namun pada saat dilakukan pemeriksaan didapat hasil bahwa pekerja tersebut positif memiliki kapasitas paru tidak normal, hal ini dapat terjadi karena pekerja sudah lama tidak memeriksakan diri di unit pelayanan kesehatan dan hasil ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada saat dilakukan penelitian sehingga hasil pemeriksaan yang di dapat berbeda dengan hasil wawancara. Hubungan Antara Penggunaan APD Dengan Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,046 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD masker memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru tidak normal (33,3%) dibandingkan dengan yang menggunakan APD masker (6,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilkaukan oleh Mengkidi (2006), Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa penggunaan APD (p value = 0,046; OR= 2,764; secara bersamasama berpengaruh terhadap kejadian gangguan fungsi paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan masker dengan kejadian kapasitas vital paru dimana hasil p value yang didapat yaitu 0,023. Gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak, salah satu faktor penyebabnya adalah lingkungan kerja yang berdebu serta kurangnya kesadaran pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri berupa masker yang dapat mempengaruhi nilai kapasitas paru pakerja. Alat pelindung diri merupakan alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari potensi bahaya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Alat pelindung diri (masker) berfungsi sebagai alat bantu pekerja agar dapat meminimalisir masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan agar terhindar dari gangguan kapasitas paru. Dari hasil observasi peneliti, sebanyak 65% pekerja tidak menggunakan APD masker saat bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya penggunaan APD masker. Berdasarkan hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan terhadap tenga kerja bongkar muat yang

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 269 menggunakan masker, pekerja yang baru (kurang dari 5 tahun) menggunakan masker yaitu sebanyak 8 orang dan 5 orang (62,5%) diantaranya memiliki kapasitas vital paru normal. sedangkan pekerja yang menggunakan masker dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun) yaitu sebanyak 9 orang dan seluruhnya memiliki nilai kapasitas vital paru normal. Untuk jenis masker yang digunakan oleh pekerja berdasarkan observasi yang dilakukan, seluruh pekerja menggunakan masker yang terbahan kaos, yaitu masingmasing baju pekerja digunakan sebagai masker pada saat melakukan aktivitas bongkar muat barang didalam palka kapal. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan sebagian besar tenaga kerja jarang mengganti atau mencuci masker setelah digunakan. Dimana masker tersebut akan digunakan kembali saat bekerja. Secara tidak langsung, perilaku tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Selain itu, pekerja juga mengaku bahwa dirinya tidak mendapatkan pembagian masker dari perusahaan. Oleh karena itu pekerja hanya menggunakan masker yang berbahan kaos atau sering juga menggunakan baju kaos yang dibalut ke wajah untuk menutupi mulut dan hidung pekerja saat melakukan aktivitas bongkar muat barang non kontainer di dalam palka kapal IPC TPK Kota Pontianak. Dan dari 48 orang tenaga kerja bongkar muat non kontainer, 33 orang pekerja mengaku bahwa penggunaan APD masker sangat mengganggu kenyamanan saat melakukan aktivitas bongkar muat, sehingga sebagian besar pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri berupa masker saat bekerja. Mengingat ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, maka diharapkan kepada pekerja agar selalu menggunakan APD masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang tepat setiap melakukan pekerjaan. Selain itu, penyuluhan dan monitoring terhadap pekerja oleh penanggung jawab tenaga kerja bongkar muat mengenai pentingnya alat pelindung diri (masker) juga sangat diperlukan untuk menurunkan angka kejadian gangguan kapasitas vital paru pekerja. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada hubungan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,041. ada hubungan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,068. ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,076. ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 1,000. ada hubungan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas paru pada TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,368. Ada hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,046. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan saran antara lain: Bagi perusahaan IPC TPK Kota Pontianak perlu dilaksanakan upaya pencegahan dengan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) terutama masker serta penyediaan fasilitas APD masker yang standar (memenuhi syarat kesehatan). Memberikan istirahat kerja beberapa hari secara bergantian setiap bulannya bagi tenaga kerja bongkar muat untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja. Bagi Pekerja sebaiknya pekerja selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) khususnya masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang baik dan benar ketika bekerja, agar mengurangi resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru. SIMPULAN

270 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259-270 DAFTAR PUSTAKA Amaliyah, 2013. Hubungan Antara Kadar Debu Dan Kapasitas Paru Pada Karyawan PT Eastern Pearl Flour Mills. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Hasty, Karbella Kuantanades, 2011. Hubungan Lingkungan Tempat Kerja Dan Karakteristik Pekerja Terhadap (KVP) Pada Pekerja Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals, Jakarta: Universtas Islam Negeri Hidayatullah Mukono, J. 2008. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan, Surabaya: Airlangga University. Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan [Tesis]. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Putri, Maulida Wijaya. 2015. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Vital Paru. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Suma mur, 2014. Hiegiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Sagung Seto: Jakarta. Tambunan, Juni Bonardo Hamonangan, 2013. Hubungan Paparan Partikel debu dan Karakteristik Individu Dengan Kapasitas Paru Pada Pekerja Di Gudang Pelabuhan Belawan (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : Andi Yogyakarta.