BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi membutuhkan modal dasar sebagai alat untuk menggerakkan perekonomian. Modal dasar pembangunan dapat berupa kekayaan alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan lain sebagainya. Diantara modal pembangunan tersebut, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan finansial suatu bangsa untuk membiayai proses pembangunannya dalam bentuk investasi. Proses pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi mutlak membutuhkan investasi. Tingkat investasi bahkan acapkali dijadikan tolok ukur dalam memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai. Semakin besar investasi, semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan pada akhirnya akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam model pertumbuhan Solow, dikatakan bahwa tingkat investasi sama dengan tingkat tabungan. Sedangkan tingkat tabungan merupakan bagian pendapatan yang tidak dibelanjakan. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk menabung. Semakin banyak tabungan masyarakat yang terkumpul, akumulasi modal semakin besar sehingga semakin banyak investasi yang dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, tingkat tabungan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa.
2 Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dibidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Masih lemahnya kemampuan partisipasi swasta dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi. Menurut Mckinnon dan Shaw (1973), elemen terpenting dalam pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Dengan adanya liberalisasi sektor keuangan akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar uang dan meningkatkan kemampuan sistem keuangan. Sistem keuangan yang maju akan memperlancar pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kebijakan pemerintah haruslah secara langsung mendorong pertumbuhan sistem keuangan (Kuncoro, 1993). Di banyak negara berkembang, sektor keuangan belum menunjukkan kinerja yang optimal. Optimalisasi lembaga-lembaga keuangan diukur melalui rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan dengan uang (financial assets) dengan Produk Domestik Bruto (Nasution, 1991). Bila rasio penggunaan uang dalam suatu negara tinggi menunjukkan semakin besar serta semakin luas kegiatan lembaga-lembaga keuangan maupun pasar uang. Hal tersebut juga tercermin dari semakin beragamnya produk keuangan yang dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat. Lembaga perbankan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan
3 mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Definisi tersebut menjelaskan salah satu fungsi bank sebagai financial intermediery. Modal pembangunan yang berasal dari dalam negeri biasanya dihimpun dari dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan investasi. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang mempunyai potensi untuk menghimpun dana masyarakat. Dana yang dihimpun dari masyarakat disebut dana pihak ketiga, yang terdiri atas tabungan, giro, dan deposito. Setelah dikeluarkannya kebijakan deregulasi sektor perbankan, banyak bank berdiri dan diberikan kebebasan dalam menetapkan suku bunga deposito, bunga pinjaman, dan pengelolaan lainnya. Hal tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan dana pihak ketiga yang terhimpun dari masyarakat. Dilihat dari perkembangannya, dana pihak ketiga mengalami peningkatan yang cukup berarti, khususnya dalam waktu tujuh tahun terakhir, seiring dengan tumbuhnya perekonomian. Pada januari 2004 dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 886,459 triliun rupiah, dan meningkat menjadi 2.338,824 triliun rupiah pada desember tahun 2010. Artinya, dalam periode tersebut terjadi kenaikan sebesar 163,84 persen.
4 DPK (Triliun Rupiah) 2500 2000 1500 1000 Tabungan Giro Deposito 500 0 Des'04 Des'05 Des'06 Des'07 Des'08 Des'09 Des'10 Sumber : Bank Indonesia (2011) Periode Gambar 1. Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010 Dari jumlah dana pihak ketiga yang terkumpul, hampir separuhnya berasal dari deposito, sedangkan sisanya bersumber dari tabungan dan giro. Deposito merupakan simpanan yang pencairannya hanya dapat dilakukan pada jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah dengan bank. Dilihat dari komposisinya, dana pihak ketiga bank umum yang terhimpun pada desember 2010, terdiri dari deposito 45,74 persen, tabungan 31,35 persen, dan giro sebesar 22,91 persen. Maka dapat dikatakan bahwa deposito masih merupakan produk yang digemari masyarakat yang ingin berinvestasi dengan resiko rendah. Selain itu, salah satu daya tarik bagi masyarakat yang ingin menanamkan modalnya dalam bentuk simpanan deposito adalah suku bunga deposito yang ditawarkan. Suku bunga deposito menawarkan tingkat pengembalian dari dana yang disimpan dalam periode tertentu. Dalam upaya menarik minat masyarakat,
5 bank-bank bersaing untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui berbagai cara, diantaranya adalah dengan menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi, peningkatan pelayanan melalui fasilitas on-line, mengeluarkan produkproduk berhadiah, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk disimpan di banknya. Disamping tingkat suku bunga yang ditawarkan, inflasi juga memegang peran penting dalam mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menabung. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Inflasi yang tinggi akan mengurangi nilai riil dari uang yang disimpan. Oleh karenanya, tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga akan mengakibatkan nilai riil uang dimasa depan akan menurun, dan pada gilirannya akan membuat masyarakat enggan menyimpan dananya di bank. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi juga akan meningkatkan kecenderungan masyarakat memegang uang sebagai motif berjaga-jaga (precaution motive). Disinilah dibutuhkan kejelian dari pemerintah melalui lembaga yang terkait untuk mengendalikan inflasi sehingga dapat berdampak positif terhadap perekonomian. 1.2 Perumusan Masalah Menurut Kwik Kian Gie (2004), Perekonomian Indonesia tidak pernah tidak ditekan inflasi. Inflasi diatas level 7 persen per tahun merupakan fenomena yang lazim terjadi di Indonesia, walaupun bagi sebagian negara maju level tersebut sudah dikatakan tinggi. Namun inflasi yang terlampau rendah juga belum tentu baik karena hal itu dapat berarti kurang bergairahnya perekonomian.
6 Sejak diberlakukannya kebijakan Inflation Targeting Framework pada Juli 2005, BI-rate resmi digunakan sebagai suku bunga acuan. Pemerintah melalui Bank Indonesia menetapkan target inflasi yang diharapkan dan mengumumkannya ke masyarakat setiap bulan atau setiap selesai dilaksanakannya rapat dewan gubernur BI. Penetapan target inflasi dibarengi dengan penetapan BIrate yang diharapkan segera direspon oleh dunia usaha khususnya kalangan perbankan. Perkembangan inflasi kerap menjadi alasan BI menaikkan atau menurunkan BI-rate. Ketika inflasi tinggi, Bank Indonesia segera mengumumkan kenaikan BI-rate, dan begitupun sebaliknya. Namun seringkali terjadi gap antara pemerintah dan dunia usaha, dimana perubahan BI Rate tidak serta-merta direspon oleh kalangan perbankan dengan merubah suku bunganya. Seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008, ditengah kekhawatiran pemerintah akan pelarian modal ke luar negeri pada saat inflasi tinggi sedangkan suku bunga deposito lebih rendah dari inflasi, kalangan perbankan justru memiliki pendapat berbeda. Kalangan perbankan berpendapat bahwa walaupun tingkat inflasi lebih tinggi dari suku bunga deposito, pelarian modal tidak otomatis terjadi selama stabilitas keamanan dan politik tetap stabil. Inflasi memang bisa menjadi referensi bagi deposan, tetapi belum tentu hal itu membuat deposan menarik seluruh dananya, yang dibutuhkan adalah penyesuaian tingkat suku bunga terhadap inflasi (Manurung, 2004).
7 Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum di Indonesia? 2. Apakah tingkat inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia, baik masing-masing maupun secara bersama-sama? 3. Sampai sejauh mana pengaruh tingkat inflasi dan suku bunga deposito terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengkaji perkembangan jumlah deposito pada bank umum di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap jumlah deposito berjangka pada bank umum di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : 1. Memberikan dasar bagi pengambil kebjakan dalam penyusunan rencana dan strategi yang baik dan terarah untuk digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain yang berkaitan dengan hubungan suku bunga deposito, inflasi dan jumlah deposito. 2. Bagi penulis merupakan tambahan khasanah pengetahuan dan wawasan berharga yang disinkronkan dengan pengetahuan teoritis yang diperoleh dari materi perkuliahan.
8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada jumlah deposito berjangka yang terhimpun pada bank umum di Indonesia, tidak mencakup yang terhimpun pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Periode penelitian digunakan data bulanan mulai bulan Januari tahun 2004 hingga bulan Desember 2010. Sumber data yang digunakan diperoleh dari publikasi bulanan Bank Indonesia dan publikasi indikator ekonomi semesteran Badan Pusat Statistik. Periode tahun penelitian diambil berdasarkan pertimbangan untuk meminimalisir pengaruh variabel nonekonomi terhadap gejolak variabel inflasi dan suku bunga. Dimana periode tahun 2004 2010, diharapkan berada dibawah satu rezim pemerintahan dengan kestabilan ekonomi dan politik yang cukup terjaga. Dengan alasan tersebut diharapkan fluktuasi yang terjadi atas variabel moneter seperti suku bunga dan inflasi merupakan fenomena ekonomi yang dapat dijelaskan oleh teori-teori yang ada. Suku bunga deposito yang digunakan adalah suku bunga berjangka satu bulan yang diharapkan sudah dapat mewakili fluktuasi suku bunga deposito berjangka lainnya. Selain itu, karena data series yang digunakan adalah data bulanan, maka suku bunga deposito satu bulan diharapkan lebih cepat merespon perubahan suku bunga BI Rate. Sedangkan untuk data inflasi, yang digunakan adalah data inflasi bulanan (month to month) yang dihitung dan diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik setiap bulan. Data ini diharapkan dapat menggambarkan fluktuasi harga barang dan jasa secara lebih cepat dan dapat menjelaskan fenomena ekonomi dari sisi harga relatif.
9 Pemilihan variabel bebas, yakni inflasi dan suku bunga deposito didasarkan kepada pertimbangan bahwa kedua variabel tersebut pada batas-batas tertentu dapat diintervensi oleh kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Variabel-variabel moneter dan makroekonomi lain seperti PDB, nilai tukar, dan suku bunga luar negeri tidak dimasukkan kedalam model, atas pertimbangan bahwa variabel tersebut berada diluar jangkauan otoritas moneter untuk mengendalikan. Sehingga penelitian hanya dikhususkan untuk meneliti pengaruh dari variabel suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum di Indonesia.