BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Bronkitis. Bronkitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial, peradangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

membunuh menghambat pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antibiotik adalah zat zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,

LARASITA RAKHMI UTARI K

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diadaptasi dari istilah bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory Infetions (ARI).

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB II STUDI PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Pustaka

Informasi penyakit ISPA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEWASA PENDERITA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan dalam infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), faringitis sendiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangunkusumo Jakarta Sectio caesarea pada tahun 1981 sebesar 15,35%

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

EVALUASI ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007 Oleh Departemen Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan diagnosa penyakit diare di bangsal rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

PROFIL PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ISPA DI BEBERAPA PUSKESMAS KOTA SAMARINDA

BAB II TINJUAN PUSTAKA

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

Tonsilofaringitis Akut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS KUAMANG KUNING I KABUPATEN BUNGO

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT JALAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS DI RSUD DR. M. ASHARI PEMALANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

Antibiotik untuk Mahasiswa Kedokteran, oleh V. Rizke Ciptaningtyas Hak Cipta 2014 pada penulis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek. kefarmasian oleh apoteker (Pemerintah RI, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jamur, virus, dan parasit (Dorland, 2014).

ANITA PRASETYANINGRUM K

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pernapasan bagian atas adalah batuk pilek biasa, sakit, radang tenggorokan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pediatri berasal dari bahasa Yunani yaitu pedos yang berarti anak dan

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan menuju Indonesia sehat 2015 yang diadopsi dari

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di tahun 2014 warga di Jawa Tengah mengalami musibah meletusnya gunung Kelud yang ada di wilayah Jawa Timur. Letusan itu menghasilkan abu vulkanik yang sangat banyak hingga sampai ke beberapa wilayah di Jawa Tengah, khususnya Surakarta. Abu vulkanik yang sangat tebal menyebabkan saluran pernapasan terganggu apabila dihirup oleh manusia. Infeksi saluran pernapasan atas menempati urutan pertama pada tahun 1999 dan menjadi urutan kedua pada tahun 2000 dari 10 penyakit terbanyak rawat jalan. Infeksi saluran pernapasan menjadi penyebab kematian umum terbanyak kedua dengan persentase 12,7 % (Direktorat bina farmasi, 2007). Pada tahun 2013 prevalensi ISPA pada semua umur di Jawa Tengah sekitar 28% (Riskesdas, 2013). Infeksi menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas di Indonesia maupun dunia. Infeksi saluran pernapasan berdasarkan letaknya digolongkan menjadi dua yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah (Somantri, 2008). Namun yang sering terjadi pada masyarakat Indonesia sehari - hari yaitu infeksi saluran pernapasan atas yang terdiri dari infeksi pada telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) (Syamsudin dan Keban, 2013). Infeksi saluran pernapasan atas terdiri dari otitis media, sinusitis, faringitis, laringitis, rhinitis, dan epiglotitis (DiPiro et al., 2008). Infeksi saluran pernapasan atas apabila tidak segera diatasi dengan baik maka akan berkembang menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah. Pada pasien infeksi saluran pernapasan atas, antibiotik merupakan obat pilihan utama namun penggunaannya tetap harus sesuai pedoman dan sesuai indikasi (Patil & Khairnar, 2013). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri (Worokarti, et al., 2005). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya toksisitas, efek samping 1

2 obat lebih tinggi, efektifitas obat tersebut menjadi rendah dan biaya pengobatan lebih tinggi. Menurut Ismayati (2010) kasus infeksi saluran pernapasan atas di RSUD Dr. Moewardi tahun 2008 sebanyak 70 kasus dan seluruhnya menggunakan terapi antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi antibiotik pada pasien dewasa rawat jalan yang menderita ISPA di RSUD Dr. Moewardi tahun 2008, yaitu untuk tepat indikasi sebesar 80%, tepat obat sebesar 21,43%, tepat dosis sebesar 17,14%, dan tepat pasien sebesar 80%. Pada penelitian yang sudah dilakukan Ismayati (2010) menunjukkan tingginya prevalensi penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas yang tidak sesuai dengan standar terapi. Hasil penelitian tersebut mendorong peneliti untuk melakukan perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas pada tahun 2008 dengan 2014 dengan judul penelitian Perbandingan Ketepatan Penggunaan Antibiotik pada Pasien Dewasa Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi Tahun 2008 dengan 2014. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian yaitu: 1. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 sesuai dengan standar terapi WHO tahun 2001? 2. Bagaimana perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014? C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu : 1. Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas dewasa di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi tahun

3 2014 yang meliputi tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien, dan tepat dosis sesuai dengan standar terapi WHO tahun 2001. 2. Mengetahui perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014. D. Tinjauan Pustaka 1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas a. Definisi Infeksi Saluran Pernapasan Atas Infeksi saluran pernapasan atas merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya infeksi yang terjadi di tenggorokan (laring), atau jalan utama udara (trakea), atau jalan udara yang masuk ke paru - paru (bronkus). Infeksi saluran pernapasan atas ini dapat menyerang semua usia. Tanda tanda klinis dari gangguan infeksi saluran pernapasan atas yaitu batuk, demam, sulit bernapas atau napas pendek, dan adanya dahak atau lendir (Syamsudin dan Keban, 2013). Faktor faktor yang mempengaruhi penyebaran dari infeksi saluran pernapasan yaitu faktor lingkungan, perilaku masyarakat sendiri, dan kurangnya gizi yang baik (Direktorat bina farmasi, 2007). b. Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Atas Infeksi saluran pernapasan atas disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. ISPA atas sangat sering terjadi di bulan bulan menjelang akhir musim hujan dan awal musim kemarau. ISPA juga bisa disebabkan oleh debu, hewan, dan jamur di dalam ruangan. Bakteri penyebab infeksi saluran pernapasan atas antara lain: Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia, Streptococcus (S pyogens). Group A merupakan bakteri utama penyebab faringitis, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Arcanobacterium haemolyticum, Moraxella catarrhalis. Sedangkan virus penyebab infeksi saluran pernapasan atas antara lain: Rhinovirus, virus Influenza A, respiratory syncytial virus, virus korona, parainfluenza, adenovirus, dan virus Epstein-Barr (Syamsudin dan Keban, 2013).

4 c. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Atas 1) Common Cold Common cold merupakan istilah untuk infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus misalnya rhinovirus, coronavirus, virus parainfluenza, RSV (respiratory syncytical virus), dan virus influenza. Masa inkubasi common cold biasanya 2 4 hari, gejala awalnya yaitu terjadinya rinorea, bersin, obstruksi hidung, dan postnasal drip. Gejala umumnya yaitu sakit tenggorokan, suara serak, batuk, malaise umum, dan demam ringan. Komplikasi yang dapat terjadi pada common cold yaitu sinusitis, otitis media, bronkitis, dan pneumonia (Francis, 2008). 2) Sinusitis Sinusitis adalah salah satu kondisi kronis yang paling sering terjadi pada seluruh kelompok usia. Sinusitis mengacu pada peradangan pada rongga sinus, yang lembab, ruang kosong dalam tulang tengkorak. Secara umum, biasanya sinusitis dikategorikan sebagai penyakit akut, karena gejalanya bertahan selama 3 atau 4 minggu dan kadang - kadang hingga 12 minggu atau lebih. Bakteri penyebab sinusitis yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis (Syamsudin dan Keban, 2013). Gejala lokal dari sinusitis yaitu hidung tersumbat, sekret hidung yang kental dan berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, diantara kedua mata dan dahi. Ada juga gejala umum dari sinusitis yaitu batuk, demam tinggi, sakit kepala/ migrain, serta menurunnya nafsu makan, dan malaise (Piccirillo, 2004). Penegakan diagnosis yaitu melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur, dan dijumpai lebih dari 10 4 /ml koloni bakteri, pemeriksaan x - ray dan CT scan (Direktorat bina farmasi, 2007). 3) Otitis Media Otitis media dapat didefinisikan sebagai adanya cairan di bagian tengah telinga, karena tanda - tanda atau gejala - gejala penyakit lokal akut atau penyakit sistemik (Syamsudin dan Keban, 2013). Peradangan otitis media terjadi pada

5 sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel sel mastoid (Iskandar dan Soepardi, 1995). Diagnosis bisa ditetapkan dengan adanya tanda tanda lokal seperti otorrea yang berasal dari tengah telinga, selaput timpani yang membengkak dan mengandung cairan gelap atau kekuningan, atau cairan merah dibelakang, serta gejala gejala lokal seperti rasa sakit di telinga (Syamsudin dan Keban, 2013). 4) Faringitis Faringitis disebabkan oleh virus seperti adenovirus dan coxsackievirus, dan bakteri. Streptococcus pyogenes merupakan bakteri penyebab yang tersering, tetapi Neisseria gonorrhoeae dan Candida juga menyebabkan faringitis. Pasien mengalami demam dan nyeri pada tenggorokan yang terinfeksi, dapat terlihat adanya pus atau eksudat (Gillespie dan Bamford, 2009). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit faringitis yaitu demam secara tiba - tiba, nyeri tenggorokan, nyeri pada saat menelan makanan, mual, malaise, tonsil berwarna kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Diagnosis dan pengobatan faringitis streptococcus sangat penting karena terapi antikuman yang diberikan dalam waktu 9 hari setelah munculnya gejala awal bisa mencegah demam rematik akut secara efektif (Syamsudin dan Keban, 2013). Faringitis dapat didiagnosa dengan cara pemeriksaan tenggorokan dan kultur swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90 95% dari diagnosis, sehingga dapat dipercaya untuk mendiagnosa faringitis. 5) Epiglotitis Akut Infeksi ini menyebabkan pembengkakan pada epiglotitis yang dapat mengancam saluran pernapasan. Infeksi ini sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b dan S. Pyogenes yang merupakan penyebab pada beberapa kasus, biasanya pada orang dewasa (Gillespie dan Bamford, 2009). Epiglotitis biasanya sering terjadi pada anak anak, namun karena tingginya proporsi vaksin Haemophilus influenzae sekarang terjadi pada orang dewasa (Southwick, 2003). Gejalanya termasuk pireksia, nyeri tenggorok, laringitis, dan disfagia yang nyeri. Gejala gejala napas atas dapat berkembang cepat dengan stridor dan

6 gawat napas. Pengobatan biasanya adalah rawat inap di rumah sakit, dimulainya terapi antibiotik, dan pemeriksaan jalan atas (Francis, 2008). 6) Tonsilitis Infeksi THT adalah penyakit yang terjadi dengan frekuensi tinggi (Alasil et al., 2013). Tonsilitis adalah peradangan pada amandel faring. Peradangan ini melibatkan daerah lain dari belakang tenggorokan termasuk kelenjar gondok dan amandel lingual. Tonsilitis terdiri dari beberapa variasi yaitu: akut, berulang, tonsilitis kronis, dan abses peritonsillar. Tonsilitis disebabkan oleh bakteri, virus, ragi, dan parasit (Campisi dan Tewfik 2003). Tonsilitis biasanya diobati dengan rejimen antibiotik. 2. Antibiotik a. Definisi Antibiotik Antibiotika (anti = lawan, bios = hidup) adalah zat - zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri (Tjay & Rahardja, 2007). Antibiotik berfungsi untuk menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba lain (BPOM, 2008). Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar (Tjay & Rahardja, 2007). Mekanisme kerja dari antibiotik adalah perintangan sintesa protein, sehingga kuman atau bakteri musnah dan tidak berkembang lagi, misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, dan linkomisin. Selain itu, antibiotika juga bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosporin) atau membran sel (polimiksin, zat - zat polyen dan imidazol) (Tjay & Rahardja, 2007). b. Klasifikasi Antibiotik Pengobatan antibiotik yang tepat dapat meminimalkan morbiditas dan berpotensi mencegah komplikasi. Infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus tidak perlu mendapatkan terapi antibiotik, hanya dengan terapi suportif. Namun, infeksi saluran pernapasan atas yang disebakan oleh bakteri perlu mendapatkan terapi antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan untuk terapi infeksi saluran pernapasan atas :

7 1) Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai macam jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada gugusan samping R saja. Penisilin termasuk antibiotika spektrum luas yang bersifat bakterisid (Tjay & Rahardja, 2007). Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. 2) Sefalosporin Sefalosporin merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi tergantung generasinya. Menurut khasiat antimikrobanya dan resistensinya terhadap beta laktamase sefalosporin lazimnya digolongkan menjadi 4 generasi yaitu : a) Sefalosporin generasi ke-1 Pada umumnya sefalosporin generasi 1 tidak tahan terhadap laktamase. Sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil merupakan zat zat yang aktif terhadap gram positif, tidak berdaya terhadap gonococci, H. Influenzae, Bacteroides, dan Pseudomonas. Zat zat generasi 1 sering digunakan per oral dan merupakan obat pilihan kedua pada infeksi saluran pernapasan (Tjay & Rahardja, 2007). b) Sefalosporin generasi ke 2 Obat golongan ini lebih kuat tahan laktamase, khasiat terhadap kuman Gram-positif (Staphylococcus dan Streptococcus) kurang lebih sama. Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksim lebih aktif terhadap kuman Gram negatif, termasuk H. Influenzae, Proteus, Klebsiella, gonococci, dan kuman kuman yang resisten untuk amoksisilin (Tjay & Rahardja, 2007). c) Sefalosporin generasi ke 3 Aktivitas antibiotik sefalosporin generasi ke 3 terhadap kuman Gramnegatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim, sefsulodin, dan sefepim. Resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap Staphylococcus jauh lebih ringan.

8 Tidak aktif terhadap MRSA dan MRSE (Methicillin Resistant Staphylococcus Epidermis) (Tjay & Rahardja, 2007). d) Sefalosporin generasi ke 4 Golongan jenis ini dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang resisten terhadap sefalosporin golongan ketiga, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (Tjay & Rahardja, 2007). 3) Golongan Makrolida Antibiotika yang termasuk dalam golongan makrolida yaitu eritromisin dengan derivat derivatnya yaitu kalritomisin, roxitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Rumus bangun makrolida yaitu cincin lakton besar. Eritromisin bekerja bakteriostatis terhadap bakteri Gram positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering akan menjadi resisten (Tjay & Rahardja, 2007). 4) Golongan Tetrasiklin Tetrasiklin mempunyai spektrum aktivitas yang luas dan meliputi banyak cocci Gram-positif dan Gram-negatif, chlamydia, serta kebanyakan bacilli, kecuali Pseudomonas dan Proteus. Karena tetrasiklin mempunyai aktivitas antibakteri yang luas, antibiotik ini dapat digunakan sebagai obat pilihan utama untuk berbagai infeksi yang salah satunya yaitu sebagai antibiotik pilihan utama infeksi saluran pernapasan (Tjay & Rahardja, 2007). 5) Golongan Quinolon Mekanisme kerja golongan quinolon adalah menghambat enzim DNA girase yang sangat penting untuk replikasi DNA dari bakteri. Ciprofloksasin merupakan prototipe golongan ini, contoh lainnya yaitu levofloxazin, norfloxazin, dan ofloksazin (Priyanto, 2008). 6) Golongan Sulfonamida Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan

9 menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community - acquired seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran kencing (Priyanto, 2008). 3. Resistensi Antibiotik Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus karena menyebabkan banyak terjadinya kegagalan terapi pada antibiotika. Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan mencari antibiotika baru atau menciptakan antibiotika semisintetik. Meskipun demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Kehadiran antibiotika baru diikuti jenis resistensi baru dari bakteri sebagai pertahanan hidup. Penggunaan bermacam - macam antibiotika yang tersedia telah mengakibatkan munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotika (multiple drug resistance) (Craig dan Stitzel, 2005). Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten: a. Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics). b. Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal precaution) (Kemenkes, 2011). 4. Penatalaksanaan Terapi Perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi tahun 2008 dengan 2014 menggunakan standar WHO Model Prescribing Informatorium Drug Use In Bacterial Infection tahun 2001. Penggunaan terapi antibiotik untuk infeksi saluran pernapasan atas ditunjukkan pada tabel 1.

10 No. Jenis Infeksi Saluran Pernapasan Atas Tabel 1. Terapi antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas Antibiotik Pada Terapi Infeksi Saluran Pernapasan Atas Dosis Frekuensi Lama Pemberian 1. Common Cold Tanpa Antibiotik - - - 2. Rhinitis Alergi Tanpa Antibiotik - - - 3. Faringitis Benzhatine benzylpenicillin 1.2 million IU - - Phenoxymethylpenicillin 500 mg 4 x 1 10 hari Amoksisillin 500 mg 3 x 1 10 hari Erytromisin 500 mg 4 x 1-4. Sinusitis Amoksisillin 500 mg 3 x 1 5 hari Amoksiklav 500 mg 3 x 1 5 hari Sulfamethoxazole + trimethoprim 400 mg + 80 mg 2 x 1 5 hari 5. Laringitis Amoksisillin 500 mg 3 x 1 5 hari 6. Tonsilitis Benzhatine benzylpenicillin 1.2 million IU - - Phenoxymethylpenicillin 500 mg 4 x 1 10 hari Amoksisillin 500 mg 3 x 1 10 hari 7. Epiglotitis Chloramphenikol 1g 4 x 1 5 hari Ceftriaxone 2 g 1 x 1 5 hari 8. Otitis Media Akut Amoksisillin 500 mg 3 x 1 5 hari Amoksiklav 500 mg 3 x 1 5 hari Sulfamethoxazole + trimethoprim 400 mg + 80 mg 2 x 1 5 hari 9. Otitis Media Supuratif Kronis Tanpa Antibiotik - - - 10. Tonsilofaringitis Benzhatine benzylpenicillin 1.2 million IU - - Phenoxymethylpenicillin 500 mg 4 x 1 10 hari Amoksisillin 500 mg 3 x 1 10 hari ( WHO, 2001) E. Landasan Teori Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat pada penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi, 2009). Hasil penelitian Gonzales menunjukkan bahwa 30% resep antibiotika diperuntukkan infeksi saluran pernapasan, lebih dari separuhnya mungkin viral yang tidak memerlukan antibiotika (Sensakovie dan Smith, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2010 oleh Ismayati menunjukkan kasus infeksi saluran pernapasan atas di RSUD Dr. Moewardi tahun 2008 sebanyak 70 kasus, keseluruhan terapi menggunakan antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien dewasa rawat jalan yang menderita ISPA di RSUD Dr.Moewardi tahun 2008, yaitu untuk tepat

11 indikasi sebesar 80%, tepat obat sebesar 21,43%, tepat dosis sebesar 17,14%, sedangkan untuk tepat pasien sebesar 80%. Hasil penelitian tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik infeksi saluran pernapasan atas dewasa di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014 berdasarkan standar terapi menurut WHO tahun 2001. F. Hipotesis Adanya perbedaan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014.