BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR TINDAK PIDANA GRATIFIKASI 1 Oleh : Meiggie P. Barapa/

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

ANALISIS HUKUM PERLINDUNGAN KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH TIMUR (Studi di Pengadilan Negeri IDI) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Transkripsi:

20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana diternagkan dibawah ini: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja diterapkan tiap-tiap tahun dengan Undang- Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yangbdiusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. (3) Macam dan harga mata uang diitetapkan dengan Undang-Undang. (4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. (5) Untuk memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang- Undang (6) Hal pemeriksaan itu di beritahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 diatas bahwa memeriksa keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dapat dijadikan dasar oleh penegak hukum seperti Polis, Jaksa maupun KPK untuk meneruskan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana korupsi. B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang ini lahir karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan

21 nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pasal 2 yaitu: Adapun ketentuan yang penting di dalam undang-undang ini diatur dalam (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Lalu ketentuan pidana lainnya diatur dalam Pasal 3 yaitu: Setiap orang yang dengan tujuan dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Undang-undang ini ditegaskan bahwasanya setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi akan dikenai sanksi yang berat seperti hukuman mati.

22 Di dalam Undang-Undang ini tidak ada mengatur mengenai perlindungan korban perkara tindak pidana korupsi. C. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Mengubah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini lahir karena tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya dilakukan secara luar biasa. Adapun untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengenai pembalikan beban pembuktian sudah juga diatur di dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

23 2. Dalam terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam Pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a), yakni kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berlakulah Pasal 37 ayat 2 yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 32 Ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidaklah mempunyai arti apa-apa. Hak tersebut adalah hak dasar terdakwa yang demi hukum telah melekat sejak ia diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada ayat (1) merupakan penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang memang sudah ada. Justru, Pasal 32 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), halaman 406.

24 37 ayat (2) lah yang memiliki arti penting dalam hukum pembuktian. Inilah yang menunjukkan inti sistem terbalik, walaupun tidak tuntas. Pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pasal 37 ayat (2) tidak mencantumkan hal bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan apa standar pengukurnya hasil pembuktian terdakwa untuk dinyatakan sebagai hasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan. Pasal 37 ayat (2) inilah sebagai dasar hukum bebanpembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. Penerapan dari ketentuan ini, harus dihubungkan atau ada hubungannya dengan Pasal 12B dan Pasal 37 A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12 B, ialah bahwa sistem terbalik pada Pasal 37 berlaku pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12 B ayat (1) huruf (a). Sedangkan hubungannya dengan Pasal 37 A khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain di luar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 A in casu hanyalah Tindak Pidana Korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37 A ayat (3) tersebut. Berdasarkan penjelasan otentik pasal tersebut, ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan

25 asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (nonself-incrimmination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negative menurut undang-undang. 33 Sistem pembuktian terbalik menurut Pasal 37 ini diterapkan pada tindak pidana selain yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16 UU No. 31/ 1999 dan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No.20/ 2001, karena bagi tindak pidana menurut pasal-pasal yang disebutkan tadi pembuktiannya berlaku sistem semi terbalik. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas dan berimbang. Secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi: Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal 37 A dengan tegasnya menyebutkan bahwa: 1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. 33 Lilik Mulyadi, Op.Cit, halaman 200

26 2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembuktian terbalik murni sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 37. 34 Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, maka ketidakdapatan membuktikan itu digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16 UU No.31/1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No. 20/2001, maka penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 34 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 408

27 Sistem pembuktian demikian biasa disebut dengan sistem semi terbalik, tetapi tidak tepat jika disebut sistem terbalik murni. Tindak pidana korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan korupsi yang apabila tidak berhasil justru akan memberatkannya. Jaksa juga tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi. 35 Tindak Pidana korupsi selain suap menerima gratifikasi, penerapan pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37 A yang jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik atau berimbang terbalik. Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi (selain suap menerima gratifikasi) yang sekaligus didakwa pula mengenai harta bendanya sebagai hasil korupsi atau ada hubungannya dengan korupsi yang didakwakan, maka beban pembuktian mengenai tindak pidana dan harta benda terdakwa yang didakwakan tersebut, diletakkan masing-masing pada jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan dan berimbang. Beban pembuktian diletakkan secara berimbang dengan objek pembuktian yang berbeda secara terbalik, maka sistem pembuktian yang demikian dapat pula disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik. 36 Dikaji dari hukum pembuktian, UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, dikaji dari beban pembuktian, 35 Ibid, halaman 409 36 Lilik Mulyadi, Op.Cit, halaman 198

28 UU tersebut tetap mengacu adanya kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan dakwaannya di samping juga terdakwa mempunyai hak membuktikan pembalikan beban pembuktian (Pasal 37 ayat (1), (2), UU No. 31 Tahun 1999). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan delik baru yaitu delik pemberian atau dikenal dalam undang-undang tersebut sebagai delik gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian) yang terdapat dalam Pasal 12 B dan 12 C. Menurut penjelasan Pasal 12 B (1) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa: 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pemberian gratifikasi tersebut siap dilakukan oleh penuntut umum. 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tindak pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

29 Dilihat dari formulanya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik. Yang dijadikan delik ( perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana ) menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan gratifikasi -nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi itu. 37 Perlu diperhatikan bahwa untuk tindak pidana suap menerima grafikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sistem pembebanan pembuktian Pasal 37 tidak berlaku. Menurut Pasal 12B ayat (1) huruf b beban pembuktiannya ada pada jaksa PU untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima grafikasi, padahal Pasal 37 membebankan pembuktian kepada terdakwa. Korupsi suap menerima grafikasi yang nilainya kurang dari 10 juta rupiah berlaku sistem pembuktian biasa dalam KUHAP dan tidak berlaku sistem yang ditentukan dalam Pasal 37A maupun 38B, karena Pasal 12B ayat (1) huruf b tidak disebutkan dalam pasal 37A maupun Pasal 38B tersebut. Ketentuan pembebanan pembuktian menurut Pasal 37 dapat dihubungkan dengan Pasal 12B ayat (1) huruf a, maka sistem pembuktian menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik murni. Akan tetapi, apabila sistem pembebanan pembuktian semata-mata dilihat dari Pasal 12B ayat (1 huruf a dan b) tidak dipisahkan, maka sistem pembuktian seperti itu dapat disebut sistem pembuktian berimbang bersyarat, bergantung pada syarat-syarat tertentu-siapa yang memenuhi 37 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), halaman 109.

30 syarat itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Sistem seperti itu hanya ada pada tindak pidana korupsi. 38 Syarat ini berupa nilai penerimaan gratifikasi antara kurang dan atau di atas Rp 10 juta. Jika nilai penerimaan gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut nilainya kurang dari Rp 10 juta, untuk membuktikan kebenaran bahwa penerimaan itu sebagai suap yang dilarang oleh undang-undang, maka digunakan sistem pembuktian biasa sebagaimana adanya dalam KUHAP. Menurut Pasal 12 C ayat (1), apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KP-TPK), maka gratifikasi itu tidak dianggap sebagai pemberian suap. Berarti juga, tidak dapat dipidana. Baru dapat dipidana apabila si penerima tidak melapor. Perumusan Pasal 12 C ayat (1) ini terkesan sebagai alasan penghapusan pidana. Secara substansial, hal ini dirasakan janggal, karena seolah-olah sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima ditergantungkan pada ada/ tidaknya laporan (yang bersifat administratif procedural). 39 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pada Pasal 38 dibagi menjadi: Pasal 38 A Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 38 B 1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 38 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 407 39 Barda Nawawi, Op.Cit, halaman 111

31 Undang-undang ini wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya sebagaimana dimaksud ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara. 3. Tujuan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. 4. Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). 6. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dan perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Pasal 38 C : Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan bila perkara yang didakwakan itu adalah tindak pidana sebagaimana dimuat dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16 UU No.31 /1999 atau pasal 5 sampai dengan pasal 12 UU No.21/2001, maka terdakwa dibebani pembuktian bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi yang diajukan pada saat membacakan pembelaannya.

32 Terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh bukan dari hasil korupsi dan harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan bahwa seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara (Pasal 38B ayat 2). Tidak ditentukan adanya kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti pada ketentuan Pasal 37A ayat (3). 40 Tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang belum dimasukkan dalam dakwaan ini dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum pada saat membacakan surat tuntutan pada pokok perkara (Pasal 38B ayat 3). Terdakwa membuktikan bahwa harta bendanya bukan diperoleh dari korupsi diperiksa dalam sidang yang khusus memeriksa pembuktian terdakwa tersebut dan diucapkan dalam pembelaannya dalam pokok perkara, serta dapat diulang dalam memori banding maupun memori kasasinya (Pasal 38B ayat 4 dan 5). Ketentuan Pasal 38 B paada hakekatnya merupakan pembalikan beban pembuktian yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, malainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok. Ternyata hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12 B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38 B ayat (1). Artinya, dalam hal terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi (Pasal 12 B 40 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 409-410

33 ayat (1) huruf a), jaksa penuntut umum tidak diperkenankan untuk menuntut pula agar terdakwa dipidana perampasan barang in casu harta benda terdakwa yang belum didakwakan. Terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan tentang harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi, dalam hal terdakwa didakwa jaksa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik, tetapi khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37, karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda terdakwa. Terdakwa dalam membuktikan harta benda terdakwa yang didakwakan dengan menggunakan sistem semi terbalik (Pasal 37 A), sedangkan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah menggunakan sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 38 B). 41 Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi 41 Ibid, halaman 141

34 terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Eksistensi pembalikan beban pembuktian esensial dalam rangka untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aspek ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 2001, dengan redaksional bahwa: Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat premium remidium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini. 42 Di dalam Undang-Undang ini tidak ada mengatur mengenai perlindungan korban perkara tindak pidana korupsi. D. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di dalam konsiderannya, undang-undang ini lahir dikarenakan bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi 42 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

35 dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana Bering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana. Pasal 2 yaitu : Adapun hal-hal yang penting di dalam undang-undang ini diatur di dalam Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Ketentuan diatas menunjukkan bahwasanya perlindungan saksi dan korban sangat dilindungi di undang-undang ini dan azas kepastian, kemanfaatn dan keadilan ada di dalam undang-undang ini. Selanjutnya diatur pula mengenai asas dalam undag-undang ini yang diatur di dalam Pasal 3 yaitu : Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum.

36 Ketentuan tersebut mengaskan perlindungan saksi dan korban adalah mutlak harus dilakukan, sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya diatur pula mengenai tujuan dari undang-undang ini yang diatur di dalam Pasal 4 yaitu : Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Ketentuan diatas menunjukkan tujaun dari undang-undang ini sangat baik, karena saksi dan korban menginginkan rasa aman, sehingga mereka dapat memebrtikan keterangan tanpa harus mengalami rasa takut. Adapun ketentuan yang lainnya diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) mengenai hak saksi dan korban sebagaimana diterangkan berikut ini : Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

37 m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Ketentuan diatas menunjukkan bahwasanya seorang saksi dan korban berhak memperoleh keamanan serat memperoleh biaya. Dengan kata lain seorang saksi dan korban harus benar-benar mendapatkan haknya sebagaimana dari tujuan hukum yang baik itu sendiri.