BAB V PENUTUP A. SIMPULAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah Negara. Pendidikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE SKRIPSI ANDI SETYAWAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat dirasakan oleh setiap warga negara. Dengan adanya pendidikan terjadi

TRIANI WIDYANTI, 2014 PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KETAHANAN PANGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB 1 PENDAHULUAN. Posisi siswa..., Andi Setyawan, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. sikap dan keterampilan peserta didik. Pelaksanaannya bukanlah usaha mudah

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

Kurikulum SD Negeri Lecari TP 2015/ BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem. Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 menyatakan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. No.20 tahun 2003 juga memuat hakikat pendidikan yang menjadi tolok ukur

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, mengembangkan gagasan dan perasaan serta dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat pendidikan merupakan salah satu cara mencerdaskan, membudayakan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai suatu wadah yang berperan sebagai penyampaian ilmu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan hasil studi dan pengembangan model konseling aktualisasi diri

BAB I PENDAHULUAN. dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang. negara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku-perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang direncanakan. diluncurkan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sepanjang hayat. Berbagai desain model dan metode pembelajaran di Indonesia

BAB I LANDASAN KURIKULUM AL-ISLAM, KEMUHAMMADIYAHAN DAN BAHASA ARAB DENGAN PARADIGMA INTEGRATIF-HOLISTIK

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang. memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu hal yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah wahana untuk mengembangkan dan melestarikan. dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. mencakup segi intelektual, jasmani dan rohani, sosial maupun emosional.

PLEASE BE PATIENT!!!

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang

BAB I PENDAHULUAN. miliar giga byte informasi baru di produksi pada tahun 2002 dan 92% dari

KURIKULUM DESKOMVIS BERCIRIKAN BUDAYA LOKAL

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA IMPLEMENTASI KTSP DALAM PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar

BAB I PENDAHULUAN. dan bahkan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul betul

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keberhasilan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab terhadap pembentukan sumber daya manusia yang unggul. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan

BAB II IHWAL NILAI NASIONALISME DAN BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK SERTA SILABUS. Pada bab II akan dijelaskan tentang hal-hal dibawah ini.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan dan tidak dapat berfungsi maksimal dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Motivasi dalam proses belajar merupakan hal yang sangat penting.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi

I. PENDAHULUAN. salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan. antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, strategi pembelajaran dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan seni (Ipteks) yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

BAB I PENDAHULUAN. dipenuhi. Mutu pendidikan yang baik dapat menghasilkan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3, bahwa:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan pengajaran sejarah bertujuan agar peserta didik mampu mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai animal educandum dan animal

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dikutip dari Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban sebagai warga negara yang baik. Pendidikan pada dasarnya merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia masih belum selesai dengan problematika sarana dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Biologi. Diajukan Oleh: RATIH ROSARI A

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem

BAB I PENDAHULUAN. merealisir hal tersebut Menteri Agama dan Menteri P dan K. mengeluarkan keputusan bersama untuk melaksanakan pendidikan agama

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurikulum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN ISLAM DAN SISDIKNAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Anshari (1979:15) mengemukakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya harus memiliki pendidikan yang baik. Sebagaimana tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dan nilai-nilai. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan dalam era global menuntut berbagai perubahan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

Transkripsi:

101 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Memperoleh pendidikan pada dasarnya merupakan suatu hak bagi tiap individu. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu sendiri, namun justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai makhluk alamiah yang dilahirkan di dalam lingkungan alamiahnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya di dalam lingkungan alamiahnya itu. Di sinilah terletak kebebasan dan keterikatan manusia di dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasi kemanusiaan manusia merupakan suatu proses pembebasan, dan inilah yang menjadi makna dasar dari pendidikan bagi manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemanusiaaannya. Maka manusia juga berhak mengenyam pendidikan dengan memposisikan dirinya sebagai subjek yang berhak untuk menentukan apa saja pengetahuan yang ingin ia peroleh. Pendidikan adalah suatu sarana untuk mendewasakan manusia, maka sudah sepatutnya pendidikan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada individu untuk mengeksplor pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam proses pendidikan tanpa adanya proses intervensi dari pihak lain. Pendidikan pada hakikatnya tidak memiliki tujuan di dalam dirinya sendiri, juga tidak mempunyai tujuan yang ditentukan dari luar. Sebagai makhluk yang bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun terikat pada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan manusiawi. Apabila pendidikan mempunyai makna pembebasan manusia dan mengembangkan kemampuan untuk memilih dan berdiri sendiri dari manusia. Maka, pengetahuan memiliki nilai pembebasan dan bukan mengkungkung horizon penglihatan manusia. Oleh sebab itu, pengetahuan bukanlah suatu yang absolut tetapi merupakan pengertian-pengertian yang tertunda maknanya. Pengetahuan tidak akan terlepas dari struktur kekuasaan yang memiliki

102 pengetahuan itu. Pengetahuan yang dimiliki dalam perkembangan manusia merupakan suatu kebenaran yang terus menerus disempurnakan atau suatu kebenaran yang tertunda Jika pendidikan telah masuk pada ranah institusi negara, maka tujuan pendidikan yang ditentukan oleh negara merupakan kesepakatan bersama yang patut harus dihormati. Karena, sebagai suatu kesepakatan, tujuan pendidikan bukanlah merupakan suatu dogma yang tidak berubah bahkan merupakan patokan yang terus bergerak ke depan untuk lebih menyempurnakan upaya untuk memerdekakan warganya. Berbagai Undang-Undang peraturan yang mengatur tentang pendidikan, tidak seharusnya diartikan sebagai pembatasan kebebasan manusia. Justru untuk memperkuat pembebasan manusia dari berbagai ikatan. Berbagai bentuk peraturan pendidikan tersebut merupakan tuntutan untuk mewujudkan kesepakatan bersama di dalam lingkungan publik namun membebaskan anggotanya di dalam perwujudan kemerdekaan pribadinya di dalam ruang lingkup kehidupan personal. Ruang-ruang publik akan berakhir ketika ruang lingkup personal memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mewujudkan kebebasan itu. Selanjutnya, kebebasan personal yang akan merugikan kebebasan sesamanya akan berakhir jika anggotanya telah sepakat mewujudkan kesepakatan bersama di dalam ruang lingkup publik. Inilah ciri dari negara demokrasi yang berwajah kemanusiaan. Hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang membudaya, dia hidup di dalam budayanya dan dia menciptakan atau merekonstruksikan budayanya itu sendiri. Karena manusia dilahirbesarkan dalam suatu habitus kebudayaan dalam masyarakat sosial. Maka masyarakat sosial berdasarkan tradisi memiliki mekanisme di dalam mendidik calon anggotanya. Sebagai calon anggota dari masyarakat sosial, masyarakat berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada individu. Namun, individu juga memiliki hak untuk menafsirkan atau memanfaatkan tradisi yang telah turun temurun. Individu tetap memiliki kebebasan dan kemerdekaan

103 dan daya kreatif untuk mengembangkan budayanya sendiri, oleh sebab itu pendidikan memberikan tempat kepada kreativitas individu. Ketika Freire memfungsikan pendidikan sebagai alat perjuangan politik dengan tujuan agar individu memiliki hak dan tindakan politik. Maka pendidikan di arahkan pada suatu aksi kultural untuk dapat memecahkan berbagai macam problem sosial dalam masyarakat. Sedang, dalam Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan hanya terpaku pada ranah pendidikan formal (sekolah) di mana pendidikan difungsikan sebagai sarana pencerdasan dan pematangan individu dalam segi intelektual, tanpa adanya suatu proses pendewasaan diri dan pematangan individu secara sosial. Baru setelah penetapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006 arah pendidikan nasional lebih menekankan pada upaya pengintegrasian intelektual dan sosial kemasyarakatan dengan pendekatan pendidikan yang memperhatikan lokalitas. Guru sebagai tenaga pendidik tidak sepatutnya merampas kemerdekaan anak didiknya. Ia harus membuka ruang-ruang terbuka untuk berkembangnya kemerdekaan peserta didik. Seorang guru harus bersikap objektif dalam membantu memerdekakan peserta didiknya. Seorang tenaga pendidik bukanlah satu-satunya nara sumber dalam perolehan informasi. Proses pendidikan seharusnya berlangsung dua arah dengan sama-sama menempatkan siswa dan guru dalam posisi yang sama yaitu sebagai subjek. Guru dituntut untuk mampu bersikap dialogis terhadap murid agar dalam proses pendidikan tidak boleh ada dominasi antara guru dan murid. Proses belajar mengajarpun bukanlah suatu ajang mengkungkung kemerdekaan siswa tetapi sebaliknya memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi kreativitas serta menemukan sendiri berdasarkan kemampuan memilih dari peserta didik. Proses belajar mengajar berupa indoktrinasi, menghapal dari buku, yang menekankan pada mengikuti sistem gaya bank sangat bertentangan dengan kemerdekaan berpikir peserta didik. Oleh sebab itu, dalam Sistem Pendidikan Nasional diharapkan mampu mengadaptasi konsep pendidikan kesadaran kritis Freire, agar siswa mampu berpikir kritis dan tidak mudah menerima informasi begitu saja yang ia dapatkan dari guru. Dengan sikap yang kritis maka diharapkan akan muncul kreatifitas-kreatifitas siswa dalam

104 pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga, kelak ilmu pengetahuan tidak hanya jalan di tempat, namun juga dapat berkembang seiring perkembangan zaman. Berbicara mengenai pendidikan formal, maka tidak akan terlepas dari pembuatan dan pelaksanaan kurikulum sebagai acuan dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang akan dihayati oleh peserta didik di dalam lingkungan pendidikan. Di dalam pendidikan formal kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman, ilmu pengetahuan yang akan dihayati oleh peserta didik. Namun bukan berarti seluruh pengalaman manusia ditumpahkan di dalam kurikulum sekolah. Sekolah bukanlah replika dari kehidupan nyata, namun merupakan abstraksi dari perjalanan kehidupan manusia. Adalah tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia baik yang telah lalu maupun yang akan datang di dalam kurikulum pendidikan formal. Karena itu dalam pendidikan formal (sekolah) tidak mungkin diajarkan berbagai kompetensi yang akan digunakan oleh peserta didik di dalam menghadapi kehidupan. Kehidupan itu sendiri adalah kehidupan yang terbuka, oleh sebab itu kompetensi hari ini mungkin usang untuk hari esok. Yang seharusnya diajarkan adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar keterampilan hidup yang telah terakumulasi di dalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan bermafaat untuk masa depan yang belum tentu. Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung semenjak pasca kemerdekaan telah banyak merubah sub sistem pendidikan nasional (kurikulum) ke arah yang jauh lebih baik. Ketika dahulu kurikulum lebih menekankan pada pengembangan aspek intelektual, kini kurikulum nasional mencoba untuk mengintegrasikan muatan-muatan lokal sebagai bahan kajiannya. Hal ini tentunya dilakukan karena lingkungan sosial merupakan lingkungan awal pembentuk jati diri individu. Sehingga, diharapkan sekolah (pendidikan formal) mampu memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika-problematika sosial. Jika hal ini terus dikembangkan maka siswa akan menjadi subjek penting dalam proses pendidikan dan pendewasaan lingkungan sosial. Dan terakhir, dari serangkaian pemaparan tentang posisi siswa sebagai subjek di atas. Maka, model pendidikan yang terbaik diterapkan dalam sistem pendidikan nasional adalah model pendidikan yang desentralistik dan

105 memperhatikan lokalitas, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku dan etnik. Karena keberagaman inilah, maka tidak diperlukan suatu standar dalam pencapaian hasil pendidikan, mengingat sarana dan prasarana penunjang di masing-masing daerah tidaklah sama, begitu juga dengan tenaga pendidik yang tidak sama kualitasnya antara satu daerah dengan daerah lain. Undang-undang tentang pendidikanpun sudah seharusnya direvisi agar secara tegas dan tertulis menempatkan siswa sebagai subjek dalam proses pendidikan yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. B. Relevansi Pengangkatan problem posisi siswa dalam pendidikan sebagai tema dalam skripsi ini dirasa masih sangat relevan dengan kehidupan praktis. Pendidikan merupakan bentuk kegiatan yang akan selalu berlangsung seumur hidup manusia. Manusia akan selalu belajar dan menggali potensi diri lewat pendidikan, karena pendidikan merupakan proses kegiatan sepanjang hayat dan melibatkan manusia sebagai subjek di dalamnya, maka masih sangat dimungkinkan pengkajian secara filosofis dalam pendidikan. Kajian secara filosofis sangat dimungkinkan mengingat manusia sebagai subjek dalam pendidikan merupakan makhluk filosofis yang akan selalu mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Begitu pula dalam hal perolehan pengetahuan lewat pendidikan, manusia akan terus menerus mencari hakikat dari pengetahuan yang ingin digelutinya dengan berupaya terlibat langsung, dan mengkritisi jalannya proses pendidikan tersebut. Pengangkatan tema mengenai posisi siswa sebagai subjek dirasa penting karena dalam Sistem Pendidikan di Indonesia posisi siswa belum benar-benar ditempatkan sebagai subjek dalam pendidikan. Siswa masih diposisikan sebagai objek yang hanya begitu saja menerima pelajaran yang disampaikan oleh tenaga pendidik, tanpa memiliki hak apa-apa untuk memilih, menentukan, dan memutuskan apa yang terbaik dan tidak baik bagi dirinya. Berbagai macam peraturan tentang pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah belum secara jelas, tegas, dan tepat dalam menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan. Pemerintah lebih cenderung membuat peraturan yang berisi bagaimana

106 menciptakan suatu sistem pendidikan yang mampu mencerdaskan siswanya secara intelektual, tanpa memperhatikan aspek psikologis dan afektif siswa. Peraturan yang berlaku sekarang lebih banyak menekankan pada muatan-muatan apa saja yang sekiranya harus ada dalam mata pelajaran, mata pelajaran apa saja yang harus diberikan, serta target-target ketuntasan belajar siswa. Dengan adanya peraturan seperti ini, maka terlihat bahwa pemerintah ingin mengatur dan menentukan apa yang terbaik bagi siswa, tanpa memperhatikan keinginan siswa itu sendiri untuk mendapatkan pengetahauan apa saja yang sebenarnya ingin mereka dapatkan. Oleh karena itu, pembahasan posisi siswa sebagai subjek dalam skripsi ini masih sangat relevan dan diharapkan dapat membantu dalam memperbaiki pendidikan Indonesia. Pemilihan filsafat pendidikan Paulo Freire sebagai kerangka analisis lebih dikarenakan karena pemikiran-pemikiran Freire masih sangat kental terhadap upaya pembebasan opresi yang dialami siswa, dan yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana seharusnya pendidikan mampu menempatkan manusia sebagai manusia. Pendidikan Indonesia diharapkan mampu untuk memberikan ruang kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan sendiri apa yang terbaik dan ingin dipilih oleh siswa sendiri. Tidak hanya itu, pendidikan Indonesia diharapkan mampu membebaskan dominasi dalam proses pendidikan, sehingga tidak akan ada pihak yang teropresi dalam pelaksanaan proses pendidikan. C. Saran Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan di atas, maka saran yang ingin diajukan adalah penataan ulang konsep pendidikan nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa sebagai subjek dalam pendidikan. Penataan ulang konsep pendidikan akan bersinggungan erat dengan penegakan peraturan legal dalam bidang pendidikan. Perjalanan kebijakan pendidikan di Indonesia mulai dari awal masa kemerdekaan hingga sekarang cenderung belum menempatkan siswa sebagai subjek dan memberikan hak seutuhnya kepada siswa untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dalam perolehan pengetahuan. Belum ada peraturan

107 yang secara eksplisit mengatur peran dan fungsi siswa sebagai subjek dan sekaligus pihak yang berhak ambil bagian dalam menentukan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, sangat disarankan kepada pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk dapat meninjau ulang berbagai peraturan pemerintah tentang pendidikan agar lebih memihak kepada siswa. Tidak hanya faktor belum maksimalnya penetapan konsep pendidikan yang memihak kepada siswa secara eksplisit. Beberapa peraturan tentang pendidikan memang secara implisit menyebutkan posisi siswa sebagai subjek dan memiliki hak pula dalam perolehan informasi antara murid yang satu dengan yang lain. Namun, karena tidak gamblangnya peraturan ini berdampak pada belum maksimalnya pelaksaanaan peraturan tersebut. Dalam berbagai contoh masih banyak tenaga pendidik yang menganggap dirinya sebagai sosok sentral dalam proses pendidikan. Padahal, seharusnya guru sebagai tenaga pendidik berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam perolehan pengetahuan, dan tidak boleh mendominasi jalannya proses pendidikan. Siswa seharusnya juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri untuk mencari tahu sendiri pengetahuan yang ingin mereka peroleh. Guru tidak seharusnya menjejalkan seluruh pengetauan kepada muridnya, dan membiarkan murid pasif dengan hanya menerima begitu saja pengetahuan yang diberikan kepada gurunya. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan khusus yang mengatur tentang hubungan dan posisi antara guru dan murid. Sehingga, kelak tidak aka nada lagi dominasi dalam proses pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik seharusnya sadar bahwa dalam proses perolehan pengetahuan, posisi di antara kedua belah pihak (guru-murid) harus setara agar kedua belah pihak dapat saling mengisi terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka impilaksinya adalah transfer pengetahuan yang terbuka dua arah dan saling melengkapi. Proses pendidikan seperti inilah yang diharapkan oleh Freire dengan pendidikan dialogisnya dan juga diharapkan mampu diterapkan dalam system pendidikan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pelatihan serta training-treaining pada tenaga pendidik, agar bisa berperan sebagai fasilitator yang dialogis yang dapat menciptakan model-model pembelajaran yang dialogis dan berjalan dua arah.

108 Belajar dari Freire bahwa pendidikan seharusnya mampu menjadi dasar dalam kehidupan sosial dan politik. Maka sangat disarankan kepada pemerintah dan satuan terkecil pendidikan (sekolah) untuk mampu mengintegrasikan nilainilai yang ada dalam masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hal ini bertujuan agar sekolah tidak hanya menjadi tempat pengembangan intelektual, namun juga sebagai tempat yang mampu menjaga nilai-nilai sosial yang telah lama terbentuk dalam masyarakat agar kelak siswa juga mampu berkontribusi aktif dalam memecahkan berbagai problematika yang ada di lingkungan sosialnya. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang ditetapkan semenjak tahun 2006 dirasa membawa angin segar dalam perbaikan pendidikan Indonesia yang lebih memperhatikan siswa sebagai subjek dalam pendidikan yang juga memiliki hak dalam menentukan kurikulum yang akan diberikan. Selain itu, pemberlakukan kurikulum ini juga memberikan ruang yang luas bagi pemberdayaan lokalitas di lingkungan sekitar sekolah tersebut berada. Sehingga, secara langsung siswa sebagai personal di dalam masyarakat sosial dapat langsung berpartisipasi dalam pengembangan lokalitas setempat. Pemberlakukan kurikulum ini dirasa merupakan langkah awal perbaikan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan ke depannya pemerintah dapat terus mengkaji dan merevisi kurikulum ini menjadi lebih baik agar tetap memfokuskan target pada pengembalian hak siswa dalam pendidikan, dan upaya kontribusi pendidikan pada ranah sosial.