BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB I PENDAHULUAN I.1.

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

COMPUTER VISION UNTUK PENGHITUNGAN JARAK OBYEK TERHADAP KAMERA

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SAMPLING DAN KUANTISASI

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

2. TINJAUAN PUSTAKA. Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM

PEMBENTUKAN MODEL DAN PARAMETER UNTUK ESTIMASI KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN DATA LIGHT DETECTION AND RANGING

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

Gambar 8. Lokasi penelitian

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 2 STUDI REFERENSI

Bab II Teori Dasar 2.1 Representasi Citra

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan jati di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan secara baik dan dikelola menurut asas kelestarian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada Desember 2012 mengungkapkan bahwa Indonesia menghasilkan produksi kayu jati mencapai 40 juta kubik pada 2012. Adapun dari sekitar 80% kayu berasal dari hutan tanaman lestari dan 20% berasal dari hutan alam. Hutan alam di Pulau Jawa menyumbang 70% produksi kayu jati. Pihak Kemenhut menargetkan produksi kayu jati untuk tahun 2013 diharapkan mengalami peningkatan sebesar 5% dari tahun sebelumnya. Untuk mewujudkan peningkatan hasil produksi kayu jati dibutuhkan data pendukung, salah satunya data tentang informasi geospasial. Kebutuhan akan data kebumian yang memberikan informasi geospasial terus berkembang, dan real world yang menjadi obyek pemetaan juga cepat mengalami perubahan. Penyediaan data harus dapat mengimbangi kebutuhan dan perubahan tersebut, sehingga diperlukan suatu metode pemetaan yang cepat dan efisien. Dibutuhkan suatu teknologi yang menghasilkan data output yang memiliki keakuratan tinggi, efisien, dan menjangkau daerah yang luas. Kebutuhan akan data kebumian semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan wilayah, aplikasi di bidang kehutanan, pertambangan, pengukuran topografi, dan lain-lain. Salah satunya adalah data Digital Terrain Model (DTM) atau Model Terrain Digital yang menggambarkan topografi suatu daerah. Kebutuhan adanya DTM yang berketelitian tinggi semakin meningkat. Salah satu teknik baru untuk pengadaan DTM berketelitian tinggi adalah dengan menggunakan Airborne Laser Scanning (ALS) (Sutanta, 2002). Airborne Laser Scanning atau LIDAR (Light Detection and Ranging) merupakan teknologi baru dalam dunia survei dan pemetaan dengan menembakkan sinar laser (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) yang dipasang pada wahana pesawat udara survei kecil atau holikopter. Teknologi ini merupakan 1

2 sistem penginderaan jauh sensor aktif, dimana sumber energi berasal dari sensor yang terpasang pada platform. Energi yang dibangkitkan oleh sensor dipancarkan ke obyek dan dikembalikan kembali ke sensor sesampainya di obyek. Sistem LIDAR tersebut mampu menembakkan laser untuk akuisisi data sampai 200.000 titik per detik atau 200 KHz. Sistem Laser Scanning memberikan hasil geometris dalam hal jarak, posisi, attitude, dan koordinat (Ackermann, 1999). Teknologi LIDAR menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan metode konvensional pengumpulan data topografi. Kerapatan lebih tinggi, akurasi yang lebih tinggi, lebih sedikit waktu untuk pengumpulan data dan pengolahan, hampir semua sistem otomatis, bebas dari pengaruh cuaca, memerlukan titik kontrol tanah minimum, dan data tersedia dalam format digital sejak dari awal (Lohani, 1996). Laser dapat dipancarkan sampai dengan 200 khz yang dapat mengukur hingga 200.000 pulsa pancaran laser per detik. Pengambilan data pada survei LIDAR dapat dilakukan siang maupun malam hari dengan syarat kondisi cuaca yang memungkinkan pesawat untuk terbang. Survei LIDAR dapat dilakukan malam hari, karena sensor LIDAR memancarkan energi sendiri berupa sinar laser. Sinar laser mampu melakukan penetrasi terhadap vegetasi untuk mencapai tanah di bawahnya, sehingga memungkinkan untuk melakukan pengukuran di area yang tertutup vegetasi dan area yang tidak mampu dilakukan pengukuran secara konvensional. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan untuk penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: 1. Data LIDAR yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 1 Tile, setiap Tile berdimensi 1 km x 1 km. Hal tersebut dimaksudkan untuk membatasi report dari keseluruhan proses yang telah dikerjakan pada pengolahan Digital Terrain Model. 2. Penghitungan jumlah pohon jati dibedakan menjadi dua area, yaitu area dengan kerapatan tinggi dan area dengan kerapatan rendah. 3. Lokasi proyek pengambilan data adalah daerah perkebunan jati di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur dengan topografi yang relatif datar.

3 I.3. Tujuan Proyek ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pohon jati pada perkebunan jati dengan menggunakan data DSM dari data LIDAR. I.4. Manfaat Manfaat dari proyek ini adalah dapat memberikan kontribusi untuk penghitungan jumlah pohon dan mempercepat pekerjaan dibandingkan dengan cara manual. I.5. Landasan Teori I.5.1. Definisi DTM, DEM, dan DSM. Digital Elevation Model (DEM) adalah penyajian persebaran titik diskrit yang merepresentasikan distribusi spasial elevasi permukaan yang berubah-ubah dengan referensi ketinggian atau datum tertentu (Meijerink, 1994). DEM menyajikan permukaan bumi dengan tidak menampilkan fitur vegetasi, bangunan, dan struktur buatan manusia lainnya. Digital Terrain Model (DTM) hampir sama dengan DEM yakni representasi relief dari terain serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan manusia, namun DTM mencakup unsur-unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan. (ASPRS, 2007). Digital Surface Model (DSM) mirip dengan DEM atau DTM, dengan perbedaan adalah DSM menggambarkan elevasi dari permukaan atas bangunan, pohon, menara, dan fitur lainnya yang terletak di atas tanah terbuka. Gambar I.1 menunjukan ilustrasi tentang perbedaan antara DTM dengan DSM.

4 Gambar I.1. Ilustrasi DTM dan DSM (Sari, 2010) I.5.2. Light Detection And Ranging (LIDAR) I.5.2.1. Penjelasan tentang LIDAR. Lidar atau Airborne Laser Scanning adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat udara survei kecil atau holikopter. Laser (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation), didapatkan dengan melewatkan sinar dengan frekuensi tertentu ke sebuah prisma sehingga sumber cahaya yang relatif lemah dapat menempuh jarak yang jauh dengan sedikit reduksi (Sutanta, 2002). LIDAR merupakan teknologi baru dalam dunia survei dan pemetaan dengan menembakkan sinar laser dengan memanfaatkan emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser (point clouds). Point clouds adalah kumpulan titik dalam koordinat tiga dimensi dari permukaan obyek sehingga dapat disusun menjadi sebuah model tiga dimensi (Sari, 2010). Rentang atau jarak antara scanner-target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh dari GPS dan IMU dapat menentukan lokasi target dengan akurasi yang tinggi dalam ruang tiga dimensi (Liu, dkk., 2007). Gambaran dari teknologi LIDAR dapat dilihat pada Gambar I.2.

5 Gambar I.2. Prinsip teknologi LIDAR (Liu, dkk., 2007) Untuk mendapatkan data range setiap pantulan sinar yang dikembalikan ke data recorder maka dilakukan waveform signal processing. Waveform signal processing merupakan prosedur pengolahan data LIDAR dengan menggunakan algoritma signal processing, yaitu metode pulse range secara Gauss. Pada metode ini setiap bagian signal laser yang mengenai objek akan membentuk echo pulse berupa tampilan grafik Gauss (Sari, 2010). Proses pembentukan echo pulse ditampilkan pada gambar I.3. Gambar I.3. Pembentukan echo pulse (RIEGL, 2010a)

6 Gambar I.3. mengilustrasikan pembentukkan echo pulse saat penyiaman LIDAR. Pulsa berwarna merah merupakan signal laser yang dipancarkan ke target, sedangkan warna biru adalah echo pulse yang terbentuk dari bagian signal laser yang mengenai obyek. Setiap bagian signal laser yang mengenai obyek akan membentuk echo pulse berupa tampilan grafik Gauss dengan bentuk unik. Prinsip dasar digitasi full waveform adalah lebar echo pulse menunjukkan kekasaran permukaan, volumetric, dan kemiringan permukaan obyek. Amplitudo dari echo pulse menunjukkan reflektivitas obyek. Jarak antar echo pulse menunjukkan tinggi target sedangkan posisi echo pulse menunjukkan jarak absolut target. Dalam pengolahannya, informasi echo signal diolah dalam bentuk kurva Gaussian yang digunakan untuk mengestimasi lokasi masing-masing echo dan bentuk scattering-nya, seperti ditunjukkan pada gambar I.4. Gambar I.4. Waveform Signal Processing (RIEGL, 2010a) Dari gambar tersebut, dijelaskan bahwa ketika signal menyentuh reflektivitas permukaan bumi, maka signal tersebut akan membentuk echo pulse yang merupakan signal analog. Dalam interval waktu tertentu, signal analog akan disampel dan di konversi ke signal digital yang menghasilkan digital data stream. Data stream disimpan dalam RIEGL data recorder berdasarkan waktu pengukuran perjaanan signal untuk off-line post processing selanjutnya. Pada tahap ini signal dapat

7 disempurnakan sehingga dapat dianalisis secara detil untuk menghasilkan informasi jarak, tipe, dan parameter obyek (Sari, 2010). I.5.2.2. Prinsip kerja LIDAR. Sensor LIDAR memancarkan sinar laser ke obyek atau permukaan bumi oleh transmitter, kemudian dipantulkan kembali setelah membentur obyek atau permukaan bumi. Pantulan tersebut direkam oleh sensor receiver sebagai data jarak. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu (tl) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung dengan persamaan berikut (Wehr, 2009). Range: RR = 1 2 cc. tttt... (I.1) Range Resolution: RR 1 2 cc. tttt.......(i.2) Maximum Range: RR 1 mmmmmm cc. tttt 2 mmmmmm....(i.3) Range Accuracy: 1 cc RR tt 2 rrrrrrrr...........(i.4) SS/NN Dalam hal ini: R = jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) c = konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s) tl = Travelling time (ns) R = Range bin (m) t = Optical pulse width or sample interval (s) S / N = Single pulse signal-to-noise ratio RR mmmmmm = Maximum range from the sensor to the object (m) tttt mmmmmm = Maximum travelling time (s) RR = RMS range accuracy (m) tt rrrrrrrr = time elapsed to reaching maximum amplitude

8 Karena jarak yang harus dilewati sinar laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor ke titik target dan kembali ke sensor, sehingga faktor pembagi 2 harus dimasukkan. Laser scanner dapat dibagi ke dalam beberapa unit: laser ranging unit, opto-mechanical scanner, control and processing unit. Laser ranging unit terdiri dari pemancar laser dan penerima elektro-optik. Gambar I.5. menunjukkan tentang laser scanner yang dibagi ke dalam beberapa unit. Gambar I.5. Tipikal sistem LIDAR (Wehr dan Lohr, 1999). Sinar laser hasil pancaran dan pantulan yang diterima sensor melewati lubang pada ranging unit berupa garis lurus dari scanner sampai suatu titik objek yang secara bersamaan direkam interval waktu tertentu posisi titik oleh GPS dan orientasinya direkam inertial measurement unit (IMU). Sistem laser scanner secara keseluruhan terdiri dari laser scanner, sistem posisi dan orientasi (POS), diwujudkan dengan mengintegrasi diferensial GPS (DGPS) dan inertial measurement unit (IMU), dan unit kontrol optik (Wehr dan Lohr, 1999). Laser scanner memiliki komponen alat yang disebut Laser Range Finder. Cara kerja Laser Range Finder (LRF) adalah berupa penyiam laser yang mengeluarkan pulsa optis dan pulsa tersebut akan dipantulkan dari obyek dan kembali ke alat penerima. Rentang waktu antara pulsa dipancarkan sampai kembali dicatat oleh oskilator yang memiliki kemampuan pengukuran tinggi. Waktu yang diperlukan laser untuk kembali ke

9 sensor merupakan parameter penentu untuk menghitung jarak dari sensor ke satu titik target. I.5.2.3. Komponen sistem LIDAR. LIDAR adalah sebuah sistem yang tersusun dari beberapa komponen yang bekerja bersama-sama. Komponen-komponen ini terbagi menjadi segmen udara dan segmen tanah (Sari, 2010). Segmen udara terdiri dari wahana terbang, sensor laser, Inertial Measurement Unit (IMU), GPS, airborne data recorder, airborne computer, dan kamera digital. Sedangkan segmen tanah terdiri dari titik kontrol tanah yang digunakan untuk melakukan pengamatan GPS dan perangkat pengolahan data LIDAR (software dan hardware). Sistem koordinat fix platform biasanya dengan pusat di IMU, posisi laser scanner dihubungkan dengan IMU, dan posisi IMU dihubungkan dengan GPS (Wehr, 2009). Rentang waktu antara pulsa dipancarkan sampai kembali dicatat oleh oskilator yang memiliki kemampuan pengukuran tinggi. Waktu yang diperlukan laser untuk kembali ke sensor merupakan parameter penentu untuk menghitung jarak dari sensor ke satu titik target. Gambar I.6. menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem LIDAR. Gambar I.6. Sistem LIDAR (Sutanta, 2002).

10 1. Aerial Platform. Sistem LIDAR harus dipasang di pesawat survei atau helikopter sebagai platform saat akuisisi data pada kegiatan survei LIDAR. Sistem dapat disetting di dalam maupun di luar platform. Pusat koordinat platform biasanya terletak di IMU. Helikopter biasanya digunakan dalam aplikasi dimana lebar area yang dipetakan kecil, daerah memanjang (saluran listrik, pemetaan koridor, pemetaan topografi dan batimetri di sepanjang garis pantai), pemetaan daerah kecil (bandara, tambang terbuka), ketika ketinggian sangat rendah (untuk akurasi yang lebih tinggi dan pengukuran titik dengan kerapatan padat), dan saat kecepatan terbang rendah diperlukan (pemetaan banjir). Gambar I.7. menunjukan contoh wahana udara (helikopter) yang digunakan untuk membawa peralatan LIDAR saat proses pengukuran. Gambar I.7. Wahana udara pembawa sensor laser (RIEGL, 2010b) 2. Laser scanner unit. Karena LIDAR merupakan sistem penginderaan jauh sensor aktif, sehingga terdapat sensor untuk memancarkan energinya sendiri. Sensor menembakkan sinar laser ke objek kemudian merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek, sehingga diperoleh data jarak.

11 Kekuatan sensor LIDAR berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu: kekuatan laser yang dihasilkan, cakupan pancaran sinar gelombang laser, dan jumlah sinar laser yang dipancarkan tiap detiknya (Alif, 2010). 3. Inertial Navigation System (INS). INS merupakan singkatan dari Inertial Navigation System. Dalam pengukuran LIDAR komponen ini digunakan untuk menentukan dan menghitung orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan roll, pitch, dan yaw (heading) pada tiap pusat proyeksi LIDAR. INS dengan peralatan berupa Inertial Measurement Unit (IMU) melakukan pengukuran terhadap pergerakan dan rotasi pesawat terhadap sumbu X (roll), sumbu Y (pitch), dan sumbu Z (yaw). Sistem LIDAR yang dipasang pada platform bergerak dapat bergeser keluar dari rencana jalur terbang karena pengaruh angin. Pergerakan pesawat dapat mempengaruhi ketelitian dan hasil pengukuran. Sehingga diperlukan IMU untuk mengatasi hal tersebut. Gambar I.8 menunjukkan alat IMU yang biasanya digunakan saat pengukuran LIDAR. Gambar I.8. Inertial Measurement Unit (IMU) (AEROcontrol) (RIEGL, 2010b) 4. Global Positioning System (GPS). Merupakan sistem penentuan posisi tiga dimensi (3D) secara teliti. GPS receiver dipasang di titik referensi sebagai base station di tanah. Pada tubuh pesawat juga terdapat Airborne GPS (AGPS) sebagai rover. Receiver GPS juga berfungsi untuk merekam lintasan pesawat (trajectory) selama penerbangan. Airborne GPS dapat menghasilkan ketelitian horisontal 5 cm

12 dan vertikal 10 cm, sedangkan IMU dapat menghasilkan attitude (sikap) dengan akurasi dalam beberapa sentimeter (Liu, 2008). Penentuan posisi pusat proyeksi LIDAR dapat dilakukan secara differensial. Penentuan posisi secara differensial dapat digunakan untuk penentuan posisi obyek-obyek yang diam maupun bergerak. Prinsip penentuan posisi secara differensial adalah: a. Memerlukan minimal 2 buah receiver, satu ditempatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya (monitor station). b. Posisi titik ditentukan relatif terhadap monitor station c. Efektivitas dari differencing process sangat tergantung pada jarak antara monitor station dengan titik yang akan ditentukan posisinya (semakin pendek semakin efektif). d. Titik yang ditentukan posisinya bisa diam (statik) maupun bergerak (kinematik). e. Bisa menggunakan data pseudorange atau data fase. f. Ketelitian posisi yang diperoleh bervariasi dari tingkat menengah sampai tinggi. Data GPS yang telah dihasilkan kemudian diolah secara post processing dan kemudian digabungkan dengan data IMU sehingga diperoleh koordinat yang terdefenisi secara geografis. GPS dipasang pada wahana pesawat dan di tanah (Alif, 2010). GPS yang dipasang di tanah berfungsi sebagai base dan GPS yang dipasang pada pesawat berfungsi sebagai rover. I.5.2.4. Kemampuan Penetrasi Laser. Kemampuan penetrasi merupakan kemampuan atau kekuatan dari sinar laser untuk melakukan penetrasi atau menerobos di antara vegetasi atau obyek lainnya untuk mencapai tanah di bawahnya. Kemampuan penetrasi laser dapat mempengaruhi akurasi hasil pengukuran ALS. Dengan kemampuan ini memungkinkan untuk melakukan pengukuran di area yang tertutup vegetasi dan area yang tidak mampu dilakukan pengukuran atau pemetaan secara konvensional. Namun, kemampuan laser untuk melakukan penetrasi akan berbeda pada setiap tutupan lahan di permukaan bumi. Pada penelitian ini menggunakan lima

13 daerah tutupan lahan, yaitu daerah tebangan (clearcut), daerah vegetasi (uncut vegetation), jalan tanah (soil road), daerah tambang (open pit area), dan tanah terbuka (barren ground). Kemampuan laser dalam melakukan penetrasi tergantung dari PRR, reflektivitas obyek, dan tinggi terbang pada waktu akuisisi data ALS. PRR merupakan besarnya pulsa laser yang dipancarkan dari sensor setiap detiknya, dengan kata lain merupakan tingkat kemampuan sensor dalam merekam hasil pantulan laser. Reflektivitas obyek adalah kemampuan yang dimiliki obyek untuk mengembalikan sinar laser yang mengenai titik target suatu obyek. Semakin besar tingkat kereflektivitasan suatu obyek maka semakin besar kekuatan pantulan pulsa laser yang diterima oleh penerima elektro-optik. Reflektivitas obyek tersebut akan berbeda untuk tutupan lahan yang berbeda pula. Pada gambar I.9. menunjukan diagram tentang kekuatan laser dalam menembus obyek yang diukur. Gambar I.9. Kekuatan laser dalam menembus obyek (RIEGL, 2010a) I.5.2.5. Karakteristik Point Clouds. Point clouds hasil pengukuran LIDAR dapat didefinisikan menjadi 2 macam komponen, yaitu ground dan non-ground feature. Titik ground merepresentasikan 18 tanah gundul (bare ground) pada suatu area. Titik non-ground merupakan hasil pantulan laser yang mengenai suatu obyek sebelum laser sampai di terain. Obyek-obyek tersebut berada di atas terain, berupa fitur yang terbentuk secara alamiah maupun struktur buatan manusia. Contoh non-ground feature: pohon, bangunan, semak belukar, dan jembatan. Untuk mendapatkan bare ground yang sebenarnya dilakukan proses identifikasi ground return dari return lain

14 (seperti vegetation return dan building return) sesuai dengan kemampuan full waveform system yang dimiliki LIDAR. Identifikasi ini dapat mempengaruhi ketelitian elevasi karena kesalahan dalam mengidentifikasi, terutama pada daerah yang memiliki tutupan permukaan bervariasi dengan vegetasi padat. Dalam kasus tertentu beberapa bentuk terain sulit untuk diklasifikasikan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Seperti untuk mengidentifikasi jurang yang memiliki bentuk topografi ekstrim dan mengidentifikasi suatu tanggul yang berdekatan dengan bangunan. Dalam survei LIDAR, akuisisi data banyak diperoleh point clouds yang berasal dari vegetasi, bangunan, dan fitur buatan manusia lainnya. Padahal untuk memproduksi DEM ground unsur-unsur tersebut harus diklasifikasikan ke dalam non-ground feature. Klasifikasi menunjukkan persebaran titik-titik ke dalam kelompok atau layer yang sama yang memiliki kesamaan karakteristik. Contohnya klasifikasi persebaran titik ke dalam vegetasi, bangunan, atau ground class di mana setiap kelas menunjukkan informasi alamiah. Proses klasifikasi dilakukan karena setiap tutupan lahan memiliki karakteristik yang berbeda, seperti tekstur obyek. Kanopi yang lebat pada permukaan obyek dapat mengganggu pantulan laser yang diterima oleh penerima elektro-optik. Gangguan ini dapat mengakibatkan titik pantulan apakah berasal dari vegetasi atau dari tanah yang sebenarnya, sehingga menyebabkan akurasi hasil penyiaman LIDAR dapat terganggu. Semakin rendah tinggi terbang platform mengakibatkan kekuatan laser berupa PRR semakin besar, namun konsekuensinya adalah jumlah data yang diproses dan disimpan menjadi besar. Raw data yang disimpan dalam Airborne Data Recorder mengandung suatu file data tentang intensitas data. File intensitas data mengandung informasi mengenai kemampuan atau kekuatan pantulan pulsa laser. Keakuratan tiap titik target yang diakuisisi berbanding lurus dengan besarnya sinyal echo yang ditangkap sensor (Harnanto, 2012). I.5.2.6. Sumber kesalahan LIDAR. Suatu paket sistem LIDAR terdiri dari beberapa komponen-komponen yang saling terintegrasi. Di mana setiap komponen alat memiliki ketelitian dan sumber kesalahan yang berbeda. Ketelitian alat mempengaruhi hasil akhir dari penyiaman data LIDAR. Ketelitian yang diperoleh dibanding dengan luasnya area yang dipetakan dalam waktu singkat tentu sangat

15 sempurna. Akan tetapi, untuk mendapatkan ketelitian pada tingkatan tertentu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Hodgson (2004), kesalahan elevasi berasal dari kesalahan dalam sistem pengukuran LIDAR, kesalahan horizontal (horizontal displacement), point labeling error, kesalahan surveyor, dan kesalahan interpolasi. Kesalahan dalam sistem pengukuran LIDAR merupakan hasil akumulasi bersumber dari sensor atau platform dan kesalahan posisi pada kontrol GPS atau INU. Pergeseran horisontal terkait dengan akurasi pengukuran dipengaruhi oleh terain, terutama kelerengan. Pada dasarnya, kecenderungan sensor untuk memiliki kesalahan dalam pengukuran horisontal terkait dengan kesalahan vertikal jelas melalui lereng (slope). Kesalahan interpolasi (interpolation error) merupakan hasil dari berbagai faktor, seperti algoritma yang digunakan, variasi terain, dan distribusi pengamatan titik (Raber, 2003). LIDAR point labeling error merupakan kesalahan dalam mengidentifikasi ground dan non-ground dalam proses mendapatkan barren ground yang sebenarnya. Kesalahan pergeseran horizontal (x,y) berhubungan dengan kesalahan vertikal (z), sehingga pada daerah akuisisi yang memiliki topografi berupa lereng. Kesalahan elevasi yang dihasilkan akan menjadi faktor perambatan kesalahan pergeseran horisontal. Meskipun dilakukan pengukuran tanpa kesalahan vertikal, kesalahan nilai elevasi akan tetap terjadi karena adanya pengaruh kesalahan horisontal. 1. Kesalahan acak (random errors) Kesalahan acak menyebabkan ketidak tepatan koordinat yang diperoleh yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LIDAR. Menurut Habib (2008), terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation noise, dan range noise) pada sistem pengukuran LIDAR dalam menghasilkan point cloud. a. Position noise. Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman. b. Orientation noise (sikap atau mirror angles). Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horizontal dari pada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman.

16 c. Range noise. Range noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang, tetapi dependen terhadap sudut penyiaman. 2. Kesalahan sistematik Harus dilakukan koreksi terhadap data yang mengandung kesalahan sistematik. Kesalahan sistematik dapat dipengaruhi kesalahan bias dalam sistem pengukuran ALS dan parameter kalibrasi untuk menentukan point clouds. Dalam BMGS (2006) dijelaskan bahwa pengaruh dari kesalahan sistematik dalam pengukuran sistem dan parameter kalibrasi dalam menghasilkan point clouds sebagai berikut: a. Bore-sighting offset error (spasial offset antara sinar laser yang ditembakkan ke titik dan unit GPS/INS) akan mengakibatkan pergeseran secara konstan. b. Sudut bias (IMU atau mirror angles) akan mempengaruhi koordinat horizontal lebih kuat daripada koordinat vertikal. c. Range bias terutama akan mempengaruhi ketinggian daripada koordinat horizontal. I.5.3. Hubungan Antara Unit IMU/INS, GPS, dan Laser Scanner Hubungan antara unit IMU/INS, GPS dan laser scanner serta sistem koordinat tanah dapat dilihat pada gambar I.10. Gambar I.10. Hubungan antara sistem referensi koordinat (Habib, 2008)

17 Hubungan antara unit IMU/INS, GPS dan laser scanner serta sistem koordinat tanah diwujudkan dalam persamaan berikut ini. XX GG = XX 0 + RR yyyyyy, pppppppp h, rrrrrrrr PP GG + RR yyyyyy, pppppppp h, rrrrrrrr RR ωω, φφ, KK RR αααα Keterangan: XX GG XX 0 PP GG ρρ RR αααα : vector laser footprint. 0 0...(I.5) ρρ : vektor antara origin di tanah dengan sistem koordinat IMU. : offset antara unit laser dan sistem koordinat IMU (bore-sighting offset). : vektor jarak dari laser scanner ke titik obyek. : matrik rotasi hubungan unit laser dan sistem koordinat laser beam dengan α dan β merupakan mirror scan angle. RR yyyyyy, pppppppp h, rrrrrrrr : hubungan matrik rotasi sistem koordint tanah dan IMU. RR ωω, φφ, KK : hubungan matrik rotasi sistem koordinat IMU dan unit laser (angular bore sighting). Koordinat setiap titik laser didapatkan dari hasil pengukuran jarak oleh sensor laser yang menembakkan berkas cahaya ke permukaan obyek dan merupakan fungsi persamaan jarak. Pengukuran GPS, pengukuran IMU, dan parameter kalibrasi yang terdiri dari bore-sighting offset yaitu offset antara laser unit dan sistem koordinat IMU serta angular bore-sighting yaitu rotasi hubungan antara IMU dengan sistem koordinat laser unit (Sari, 2010). Berdasarkan persamaan I.5. diketahui terdapat enam parameter transformasi, tiga parameter pergeseran, dan tiga parameter perputaran. Terdapat beberapa sistem referensi pada sistem koordinat LIDAR, yaitu: sistem referensi instrumen, sistem referensi penyiaman, sistem referensi INS, dan sistem referensi earth tangential (ET). Gambar I.11a menunjukan hubungan antara laser scanner, INS dan GPS dan variasi sistem referensi. Gambar I.11b menunjukkan hubungan antara sistem ET dan WGS84.

18 Gambar I.11. (a) Hubungan antara laser scanner, INS dan GPS dan variasi sistem referensi dan (b) Hubungan antara sistem ET dan WGS84 (modified, Lohani, 1996) Sistem referensi yang membentuk ET dengan sumbu X menunjuk ke arah utara sebenarnya, sumbu Z menuju ke pusat massa bumi, dan sumbu Y mengikuti aturan tangan kanan. Sistem referensi instrumen ditunjukkan garis warna hitam pada gambar I.11a dengan pusat laser output mirror pada sumbu Z sesuai arah penyiaman laser, sumbu X sesuai dengan arah terbang pesawat, dan sumbu Y melengkapi sistem tangan kanan. Namun karena pergerakan pesawat yang dipengaruhi oleh turbulensi, sehingga sistem referensi instrumen akan berputar sesuai dengan pergerakan pesawat. Sistem referensi penyiaman pada gambar I.11a ditunjukkan garis warna merah dengan Z merupakan arah pancaran signal laser. Sumbu X bertepatan dengan sistem referensi instrumen sumbu X. Menurut Lohani (1996), pada sistem referensi penyiaman, arah sumbu z ditetapkan sesuai sudut pemindaian sesaat η. Origin sistem referensi INS didefinisikan sebagai garis putus-putus warna biru dengan X, Y, Z sebagai roll, pitch, dan yaw dari platforms. Sumbu X sejajar hidung pesawat dan sumbu Y sejajar sayap kanan platforms pada sistem koordinat tangan kanan. INS memberikan nilai roll, pitch, dan yaw. Penentuan koordinat titik

19 target penyiaman dapat dihitung koordinatnya menggunakan scan width, jarak laser ke titik target di obyek, dan koordinat pada sistem referensi ET saat sensor menembakkan sinyal laser. I.5.4. Orthophoto Orthophoto adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, 1993). Orthophoto secara geometrik ekivalen terhadap peta garis konvensional dan peta simbol planimetrik yang juga menyajikan posisi ortografik obyek secara benar. Beda utama antara orthophoto dengan peta adalah orthophoto terbentuk oleh gambar kenampakan, sedangkan peta menggunakan garis dan simbol untuk mencerminkan kenampakan. Orthophoto dibuat dari foto perspektif (biasanya foto udara) melalui proses yang disebut rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran letak gambar oleh kemiringan sumbu kamera dan relief. Pada foto miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung pada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan bumi, dan ketinggian. Dalam proses peniadaan pergerakan letak oleh relief pada sembarang foto, variasi skala juga dihapus sehingga skala menjadi seragam pada seluruh foto. Proses orthophoto secara digital dilakukan dengan menggunakan frame lensa kamera (panjang fokus dan dimensi foto), data DEM (digital elevation model), dan titik kontrol tanah (Wolf, 1993). Gambar I.12. merupakan salah satu contoh kamera digital yang digunakan untuk mengambil foto pada saat proses pengukuran LIDAR. Gambar I.12. Kamera digital IGI DigiCAM (LIDAR.co.id)

20 I.5.5. Klasifikasi Klasifikasi adalah proses untuk membedakan antara beberapa obyek permukaan tanah, sebagai contoh: bangunan, jalan, semak dan pohon. Obyek-obyek tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kelas yang berbeda pada klaster titik. Klasifikasi berdasarkan obyek banyak menarik perhatian di bidang penginderaan jauh dekade terakhir ini karena tidak seperti metode klasifikasi klasik yang beroperasi secara langsung pada piksel tunggal. Pendekatan ini beroperasi pada obyek yang sebelumnya telah dikelompokkan melalui proses segmentasi. Ide dasar dari proses ini adalah mengelompokkan piksel-piksel berdampingan menjadi obyek spektral yang homogen melalui segmentasi kemudian dilanjutkan proses klasifikasi pada obyek sebagai unit proses terkecil (Schirokauer, dkk., 2006). Gambar I.13 menunjukkan salah satu contoh klasifikasi berbasis obyek pada peta tutupan lahan. Gambar I.13. Klasifikasi berbasis obyek pada peta tutupan lahan (Aplin, dkk., 1999) Klasifikasi berbasis obyek atau yang dikenal object based classification dikembangkan sebagai bagian dari klasifikasi lingkungan untuk pemetaan dengan vektor dan raster. Klasifikasi berbasis obyek merupakan solusi untuk kesulitan yang berhubungan dengan klasifikasi berbasis piksel. Klasifikasi berbasis obyek memiliki keakuratan yang lebih baik dibanding dengan klasifikasi berbasis piksel (Aplin, dkk., 1999). Keuntungan yang lain dari klasifikasi berbasis obyek antara lain, klasifikasi ini lebih fokus untuk obyek-obyek di dunia nyata, peta yang dihasilkan dari metode klasifikasi berbasis obyek akan lebih mudah dikenali dan langsung dapat digunakan untuk analisis (Wu, dkk., 2007). Keunggulan yang paling utama adalah informasi

21 hasil klasifikasi berbasis obyek dapat diintegrasikan dengan data spasial lainnya pada sistem informasi geografis dan digunakan secara luas dalam analisis spasial (Geneletti dan Gorte, 2003). Pendekatan dengan cara klasifikasi berbasis obyek umumnya menggunakan dua cara. Pertama, metode region growing dapat digunakan untuk kelompok piksel yang berdekatan dangan nilai-nilai spektral yang sama (Gao, dkk., 2006). Kedua, metode edge detection dapat digunakan untuk mengidentifikasi diskontinuitas (batas atau tepi obyek) seluruh gambar. Batas-batas tersebut dapat diekstraksi dan digunakan untuk membangun poligon untuk obyek berbasis klasifikasi (Carleer, dkk., 2005). Kedua cara tersebut memiliki manfaat jika pada saat klasifikasi tidak tersedia data spasial tambahan. Terdapat kelemahan dalam kedua cara tersebut yaitu benda-benda yang berasal dari citra mungkin tidak sepenuhnya mewakili struktur obyek yang diinginkan secara akurat. I.5.6. Segmentasi Segmentasi adalah proses pembagian sebuah citra ke dalam sejumlah bagian atau obyek. Segmentasi merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam analisis citra secara otomatis, sebab pada prosedur ini obyek yang diinginkan akan disadap untuk proses selanjutnya, misalnya: pada pengenalan pola. Prinsip segmentasi menurut Gonzalez dan Wintz (1987) didasarkan pada dua sifat nilai intensitas: 1. Diskontinuitas Citra dipisahkan atau dibagi atas dasar perubahan yang mencolok dari derajad kecerahannya. Aplikasi yang umum adalah untuk deteksi titik, garis, area, dan sisi citra. a. Deteksi tepi Penentuan tepian suatu obyek dalam citra merupakan salah satu wilayah pengolahan citra digital yang paling awal dan paling banyak diteliti. Proses ini seringkali ditempatkan sebagai langkah pertama dalam aplikasi segmentasi citra, yang bertujuan untuk mengenali obyek-obyek yang terdapat dalam citra ataupun konteks citra secara keseluruhan.

22 Deteksi tepi berfungsi untuk mengidentifikasi garis batas (boundary) dari suatu obyek yang terdapat pada citra. Tepian dapat dipandang sebagai lokasi piksel dimana terdapat nilai perbedaan intensitas citra secara ekstrem. Sebuah edge detector bekerja dengan cara mengidentifikasi dan menonjolkan lokasi-lokasi piksel yang memiliki karakteristik tersebut. b. Deteksi titik Mengisolasi suatu titik yang secara signifikan berbeda dengan titik-titik di sekitarnya. Persamaan: R T..... (I.6) Keterangan: T = treshold positif R = nilai persamaan Kernel yang dipergunakan: 1 1 1 1 8 1 1 1 1 c. Deteksi garis Mencocokkan dengan kernel dan menunjukkan bagian tertentu yang berbeda secara garis lurus vertikal, horisontal, diagonal kanan maupun diagonal kiri. Persamaan : R i > R j dimana i j...... (I.7) Filter-Filter untuk deteksi Garis: Horizontal: -1-1 -1 2 2 2-1 -1-1 Vertikal: -1 2-1 -1 2-1 -1 2-1

23 Diagonal kanan: -1-1 2-1 2-1 2-1 -1 Diagonal kiri: 2-1 -1-1 2-1 -1-1 2 2. Similaritas Mempartisi citra menjadi daerah-daerah yang memiliki kesamaan sifat tertentu (region based). a. Thresholding Thresholding adalah cara paling sederhana untuk melakukan segmentasi, dan digunakan secara luas dalam banyak aplikasi pengolahan citra. Thresholding ini didasarkan pada gagasan bahwa suatu daerah yang yang sesuai dengan daerah lain yang berbeda dapat diklasifikasikan dengan menggunakan fungsi rentang yang diterapkan untuk nilai-nilai intensitas dari piksel suatu citra. b. Region growing Pendekatan ini memerlukan criteria of uniformity, memerlukan penyebaran titik seeds atau dapat juga dengan pendekatan scan line, kemudian dilakukan proses region growing. Kekurangan dari pendekatan ini adalah belum tentu menghasilkan wilayah-wilayah yang bersambungan. Prosedur region growing adalah pengelompokkan piksel atau subregion menjadi region yang lebih besar. Mulai dengan sekumpulan titik benih (seed), dari titik-titik tersebut region diperluas dengan menambahkan titik-titik tetangganya (neighbourhood) yang memiliki properti yang sama (misal: gray level, tekstur, warna), jika tidak ada lagi titik tetangga yang dapat ditambahkan lagi, maka proses untuk region tersebut dihentikan.

24 c. Region spiltting and merging i) Regiom merging jika dua piksel yang berdekatan adalah sama, maka meraka dapat digabungkan dalam satu wilayah tertentu. Jika dua daerah yang berdekatan secara kolektif cukup mirip, daerahdaerah itu juga dapat digabungkan. Kesamaan kolektif ini memiliki karakteristik yang sama: a. Kriteria sebagian besar intensitas (nilai intensitas rata-rata) b. Kriteria yang lebih banyak dapat diterapkan c. Kriteria Batas d. Kombinasi dari kriteria ii) Region splitting dalam prosesnya region splitting dan merging membagi citra menjadi sekumpulan region acak yang kemudian menggabungkannya atau membaginya hingga terpenuhi syarat segmentasi. Algoritma yang digunakan bersifat rekursif (recursi) dalam matematika dan ilmu komputer diartikan sebagai fungsi yang dalam defenisinya mengimplementasikan dirinya sediri, pendekatan ini memanfaatkan quadtree. Segmentasi multiresolusi termasuk kedalam segmentasi berdasar klasifikasi dimana segmentasi multiresolusi mengenali obyek menggunakan algoritma iteratif, segmentasi dimulai dengan tingkatan per piksel dikelompokkan sampai mewakili jenis obyek. Batas jenis obyek ditentukan dengan memberikan parameter skala. Penentuan obyek bentuk dengan cara memisahkan parameter bentuk berdasarkan homogenitas. Hasil dari multiresolusi segmentasi digunakan untuk membangun sebuah jaringan hirarki obyek pada citra secara simultan mewakili informasi citra pada resolusi spasial yang berbeda. Obyek pada citra yang telah membentuk jaringan, sehingga tiap obyek citra akan mengenali obyek lain yang memiliki kesamaan (neighbourhood), super object, dan sub-objek (Gitas, 2004). I.5.7. Pohon Jati Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi, pohonnya besar, berbatang lurus, dan dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 meter (Yanu, 2008). Pohon jati juga memiliki daun yang besar dan akan menggugurkan daunnya sendiri

25 saat musim kemarau. Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1.500 2.000 mm/tahun dan suhu 27 36 C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Batang pohon jati yang bagus biasanya dipanen saat berumur sekitar 30 tahun. Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Myanmar, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Myanmar. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Myanmar. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati. Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis. Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal, serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. I.5.8. Kanopi Istilah-istilah dalam vegetasi meliputi kanopi, tajuk dan tegakan. Masingmasing pengertian dari istilah tersebut yaitu tajuk merupakan liputan daun pada vegetasi, tetapi hanya terdiri dari satu pohon. Kanopi merupakan kumpulan dari beberapa tajuk pada satu pohon. Tegakan merupakan satu kesatuan dari pohon (Yanu, 2008). Gambar I.14 menunjukkan suatu gambaran bentuk kanopi pohon. Kanopi Gambar. I.14. Bentuk kanopi pohon (Yanu, 2008)

26 Pemetaan vegetasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi manual yang menggunakan berbagai kunci interpretasi dan juga digital dengan mengelompokkan piksel yang memiliki nilai pantulan yang berdekatan, selain itu juga dapat dilakukan dengan data lapangan. Kedua cara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, penggunaannya tergantung pada tujuan dari dilakukannya pemetaan vegetasi tersebut. Kerapatan kanopi vegetasi secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kerapatan horizontal dan kerapatan vertikal. Kerapatan horizontal berkaitan dengan tingkat penutupan permukaan tanah oleh vegetasi, sedangkan kerapatan vertikal berkaitan dengan ketebalan kanopi secara vertikal yang pada umumnya berhubungan dengan jumlah strata (layer). I.5.9. Uji Ketelitian Kelas Hasil penghitungan jumlah kanopi pohon secara ekstraksi otomatis dapat berbeda dengan hasil penghitungan langsung di lapangan. Oleh karena itu perlu diketahui apakah perbedaan yang ada tersebut cukup signifikan. Adanya selisih yang signifikan tersebut ditentukan oleh besarnya toleransi ketelitian kelas. Ketelitian kategori/kelas adalah ketelitian masing-masing jenis kategori/kelas menurut ketentuan dari Short (1982). Ketentuan Short (1982) menyatakan bahwa ketelitian minimum dengan kategori/kelas (dalam persen) adalah sama atau lebih besar dari 85% pada selang kepercayaan 95%. Ketentuan tersebut menggunakan rumus : p = p ± {1.96 [(p ).(q )/n]½ + 50/n} (I.8) dalam hal ini : p = ketelitian tiap kategori/kelas (dalam persen) p = c/n (dalam persen) c = jumlah sampel pada tiap kategori/kelas yang benar n = jumlah sampel pada tiap kategori/kelas q = 100 p