Al Ngatawi, Zastrouw Gerakan Islam Simbolik : Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta : LkiS hal Ibid, hal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penduduk Muslim dunia (Top ten largest with muslim population, 2012). Muslim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa

I. PENDAHULUAN. dan ingin meraih kekuasaan yang ada. Pertama penulis terlebih dahulu akan

[102] Ormas Dalam Bahaya Friday, 19 April :43

Polemik di balik istiiah 'Islam Nusantara'

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

POLRI KONSITITUSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA, BERKEYAKINAN DAN BERIBADAH

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan pulau dan

Mam MAKALAH ISLAM. Gerakan ISIS, Ancaman Ideologi dan Keamanan NKRI

KAJIAN SEPUTAR PILGUB DKI JAKARTA Media Survei Nasional

BAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial

Muhammad Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah Fa aliyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia.

Grafik 1: Transmisi Pengetahuan Agama 9.6. Grafik 2: Bertetangga dengan orang yang berbeda Suku dan Agama

PROSPEK ISLAM POLITIK

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Rilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

RADIKALISME AGAMA DALAM KAJIAN SOSIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun kedatangan Islam di Indonesia telah dimulai pada abad 7 Masehi, namun

BAB V ANALISIS SK GUBERNUR NO. 188/94/KPTS/013/2011 DALAM TEORI PERLINDUNGAN EKSTERNAL DAN PEMBATASAN INTERNAL PERSPEKTIF WILL KYMLICKA

Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis

BAB I PENDAHULUAN. harmoni kehidupan umat beragama di Indonesia. 1. Syiah di Sampang pada tahun 2012 yang lalu.

Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Menangani Garis Keras : Strategi dan Metode Penanganan Kelompok dan Faham Radikal

BAB I PENDAHULUAN. Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan secara legal bagi ilmu pengetahuan dan pengobatan, narkotika. banyak pula dipakai secara illegal atau disalahgunakan.

Ancaman Kebebasan Beragama Ahmadiyah Achmad Fanani Rosyidi

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

AHMADIYAH SEBAGAI PAHAM DAN GERAKAN KEAGAMAAN

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Terjadinya jual beli pasal di DPR itu salah satu bukti buruknya moralitas oknum atau bobroknya sistem?

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi: Hak untuk

Indonesia akan menyelenggarakan pilpres setelah sebelumnya pilleg. Akankah ada perubahan di Indonesia?

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi Penerimaan Asas

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL SURVEI SURVEI SYARIAH 2014 SEM Institute

BAB VI KESIMPULAN. Penulis menyimpulkan bahwa strategi perlawanan petani mengalami

MEMBANGUN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: Perspektif Sosiologis. Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel

Peristiwa apa yang paling menonjol di tahun 2009, dan dianggap paling merugikan umat Islam?

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

2015 DARI JALAN PAJAJARAN HINGGA ISTANA MERDEKA: PERJUANGAN GERAKAN SERIKAT PEKERJA PT DIRGANTARA INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. panjang, dari zaman sebelum Indonesia merdeka, masa Orde Lama, masa

Orang Kristen yang membunuh kaum Muslim jauh lebih sadis tidak pernah sedikit pun dibilang sebagai teroris.

BAB I PENDAHULUAN. dari yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara yang

BAB I PENDAHULUAN. disosialisasikan dan dipraktekan di Indonesia. 1. telah banyak kita jumpai berbagai gerakan dari ormas-ormas Islam dari Timur

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan bernegara. Hal ini terjadi karena mahasiswa adalah orang-orang yang

BAB IV RESPONS MASYARAKAT BLIMBING TERHADAP GERAKAN FRONT PEMBELA ISLAM

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu kelompok yang memiliki kepentingan yang sama serta cita-cita yang

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. UAJY yang terletak di jalan Babarsari no. 46, Yogyakarta. Peneliti memilih

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan

BAB VI P E N U T U P

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Aksi - aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kelompok Islam radikal secara

Sosialisme Indonesia

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

FOKUS PAGI MQ FM 92,3 FM Edisi : 16 Maret 2010 Topik: Hubungan Internasional Tema: Menilik Agenda Tersembunyi Obama

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 032 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

Survei Nasional: Dukungan dan Penolakan Terhadap Radikalisme Islam. Lembaga Survei Indonesia (LSI) Jakarta, 16 Maret 2005

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Habib Rizieq: "Indonesia bukan Negara Demokrasi"

BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN

BAHAYA RUU ORMAS. Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat(KKB)

I. PENDAHULUAN. Fenomena gerakan civil society senantiasa berbanding terbalik dengan kekuasaan

BAB V PENUTUP Pertama

Aksi 212: Rizieq Shihab datang

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN KEGIATAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA BARAT

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Bom Solo sebagai bentuk pengalihan isu yang mendera partai berkuasa?

Sebagai warga Bogor, tidakkah Anda bangga acara puncak kontes Miss World digelar di kota Anda?

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan tersebut penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Tatkala negara Khilafah Islam runtuh pada tanggal 3 maret 1924M,

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

BAB I PENDAHULUAN. realitas bisa berbeda-beda, tergantung bagaimana konsepsi

Akuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN NU SIDOARJO DALAM USAHA PEMBERDAYAAN CIVIL SOCIETY

IDEOLOGI GERAKAN ISLAM KONTEMPORER. Fundamentalisme, Islamisme, Salafisme, dan Jihadisme

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN Organisasi masyarakat yang berbasiskan pandangan Islam radikal seperti FPI dan MMI memiliki pandangan yang sangat kontradiktif tentang kekerasan. Kedua ormas ini memandang bahwa kekerasan bukanlah hal yang positif, namun di sisi lain keduanya menyepakati bahwa kekerasan dapat berguna dalam kondisi-kondisi tertentu. Front Pembela Islam Yogyakarta mengakui bahwa kekerasan merupakan bagian dari strategi gerakan mereka, tapi FPI Yogyakarta sendiri lebih sering terlibat kekerasan yang tidak ada hubungannya dengan tujuan organisasi ini. Majelis Mujahidin Indonesia, di sisi lain, menegaskan bahwa kekerasan tidak termasuk ke dalam strategi gerakan mereka serta berpendapat bahwa kekerasan sebisa mungkin harus dihindari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan merupakan bagian dari strategi gerakan FPI dan MMI. Front Pembela Islam mengakui bahwa mereka memiliki organ Laskar FPI dan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kekerasan seperti sweeping tempat-tempat maksiat. Fakta yang cukup menarik adalah kemunculan kekerasan justru terjadi di luar kegiatan sweeping, namun saat organisasi ini bentrok dengan Front Jihad Islam. Majelis Mujahidin Indonesia juga menunjukkan bahwa kekerasan adalah bagian dari strategi gerakan mereka. Majelis Mujahidin Indonesia terlibat aktif dalam kekerasan-kekerasan yang terjadi di Yogyakarta, khususnya dalam penyerangan Irsyad Manji dan Bramantyo Prijosusilo. Meskipun strategi organisasinya bersifat non-kekerasan, namun pernyataan-pernyataan yang diungkpkan oleh pengurus dan anggota MMI menunjukkan bahwa kekerasan dapat dipakai dalam situasisituasi tertentu. Semangat dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam seringkali dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan. Di sisi lain, penggunaan kata semangat juga dijadikan eufemisme untuk menghaluskan istilah kekerasan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak dapat mengalihkan kita dari fakta bahwa kekerasan bukanlah sebuah fenomena tunggal. Hal-hal seperti semangat atau naluri destruktif dan semacamnya tidak akan cukup

untuk memicu kekerasan khususnya yang berlandaskan identitas. Kekerasan dapat diibaratkan sebagai sebuah repertoar yang terdiri dari berbagai macam penyebab. Kedua ormas ini memiliki alasannya masing-masing pada saat melakukan kekerasan. Ormas FPI Yogyakarta, yang lebih sering mengalami kekerasan saat bentrok dengan sesama ormas dibandingkan saat sweeping,berdalih bahwa mereka adalah korban provokasi dari pihak lain. FPI Yogyakarta memang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang, khususnya dengan ormas Front Jihad Islam. Pertentangan itu menyebabkan keduanya seringkali terlibat dalam bentrokan dan serangkaian aksi kekerasan. FPI Yogyakarta justru tidak pernah melakukan kekerasan secara berlebihan pada saat melakukan sweeping tempat-tempat maksiat. Posisi kegiatan sweeping dalam strategi gerakan FPI Yogyakarta relatif berbeda dengan FPI di daerah lain. FPI di daerah-daerah lain cenderung menggunakan aksi sweeping sebagai sarana untuk menunjukkan kekuatan dan pengaruh mereka di hadapan masyarakat, sedangkan FPI Yogyakarta tidak. FPI Yogyakarta terhitung jarang melakukan kegiatan sweeping di masyarakat. Majelis Mujahidin Indonesia sejak awal terbentuknya telah menegaskan misinya untuk mewujudkan penerapan syariah Islam dan sistem kekhalifahan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip dasar organisasinya rilisan-rilisan yang tertuang di laman resmi mereka http://majelismujahidin.com/, buku-buku dan kajian-kajian yang diterbitkan oleh penerbitan Wihda Press milik mereka, serta pernyataan-pernyataan yang dilakukan oleh tokohtokoh MMI di berbagai kegiatan seperti seminar, diskusi, workshop dan lain sebagainya. 1 Majelis Mujahidin Indonesia juga dikenal sangat konsisten dalam memperjuangkan ideologinya tersebut. Penerapan sistem khilafah dan syariat Islam telah mereka usung sejak awal pembentukan organisasi MMI pada Kongres Mujahidin I tahun 2000. Penerapan syariah Islam yang disponsori oleh MMI juga mencakup banyak segi seperti moralitas, politik, ekonomi, sosial hingga isu-isu luar negeri. Majelis Mujahidin Indonesia juga menempuh jalur legal formal seperti melakukan berbagai tekanan untuk memasukkan syariah Islam ke dalam undang-undang atau peraturan daerah di berbagai penjuru Indonesia. 1 Terkait dengan hal ini, penulis memiliki pengalaman tersendiri. Saat penulis mengikuti seminar tentang ISIS di Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia pada tanggal 9 Agustus 2014, perwakilan dari Majelis Mujahidin Indonesia sangat gencar membela sistem khilafah yang diusung oleh ISIS, meskipun MMI sendiri tidak sepakat dengan cara-cara kekerasan yang digunakan ISIS. Pada akhirnya, seminar yang lebih ditujukan untuk membahas bahaya ISIS di Indonesia sempat bergeser ke perdebatan tentang sistem khilafah antara perwakilan MMI dan HTI dengan para pembicara yang terdiri dari KH Malik Madany (Nahdlatul Ulama), Zuly Qodir (akademisi) dan Prof Busyro Muqoddas (PUSHAM-UII).

FPI juga memiliki misi untuk menegakkan syariah Islam, namun FPI hanya berfokus pada soal-soal yang berkaitan dengan kemaksiatan. FPI belum pernah secara jelas menyatakan bahwa organisasinya bermaksud untuk menegakkan khilafah di Indonesia secara kaffah (menyeluruh). Syariah Islam dalam perspektif FPI hanya diberlakukan di tempat-tempat yang dianggap membahayakan moral masyarakat seperti pelacuran, tempat karaoke, perjudian, hiburan malaam, dan lain sebagainya. Prinsip syariah Islam ini pula yang dijadikan pembenaran bagi FPI untuk menggunakan metode-metode yang menjurus ke kekerasan seperti perusakan, intimidasi, sweeping, dan penyerangan. Keterlibatan FPI dalam proses penyusunan undangundang atau peraturan daerah pun biasanya hanya berkisar di isu-isu yang terkait dengan kemaksiatan dan penyakit masyarakat ini. Majelis Mujahidin Indonesia merupakan organisasi Islam yang memiliki kesadaran yang sangat tinggi untuk membentuk jaringan politik yang kuat dengan berbagai aktor lain. Majelis Mujahidin Indonesia memiliki jaringan dengan sesama organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Front Jihad Islam, Gerakan Anti Maksiat, Forum Umat Islam dan Majelis Ulama Indonesia. Majelis Mujahidin Indonesia juga memiliki hubungan dengan partai-partai Islam yang ada di Indonesia serta beberapa aktor politik lainnya. Aktor-aktor ini tentu saja memiliki perbedaan satu sama lain, baik dalam masalah ideologi, keanggotaan, maupun strategi gerakan. Hal ini menimbulkan pentingnya metode yang lebih moderat agar Majelis Mujahidin Indonesia dapat membangun sebuah jaringan yang konstruktif di antara aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda tersebut. Pemilihan strategi gerakan yang moderat juga didasari oleh pengalaman sebagian besar pengurus dan anggota MMI yang pernah mengalami tekanan yang besar dari negara pada era Orde Baru, saat mereka masih bergiat dalam jejaring Negara Islam Indonesia (NII) atau Komando Jihad (Komji). Meskipun ruang-ruang demokrasi Indonesia makin melebar paska- Reformasi 1998, namun MMI sangat menyadari bahwa tujuan organisasi mereka sebetulnya bertentangan dengan konstitusi negara ini. Hal ini menyebabkan MMI harus beradaptasi dengan ruang-ruang demokrasi tersebut melalui pemilihan strategi gerakan yang bersifat moderat. Strategi gerakan moderat melalui jalur-jalur seperti media, forum-forum seminar, demonstrasi damai merupakan bentuk kompromi yang dilakukan MMI agar dapat beradaptasi dengan iklim demokrasi Indonesia. MMI menyadari bahwa mereka membutuhkan ruang-ruang yang

disediakan demokrasi untuk dapat tetap beraktivitas sebagaimana organisasi lainnya sekaligus menghindari represi negara. Sikap MMI menyiratkan kontradiksinya tersendiri karena sistem khilafah yang mereka perjuangkan melalui cara-cara demokratis, pada dasarnya memiliki dasardasar yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Majelis Mujahidin Indonesia dikenal cukup ahli dalam memanfaatkan ruangruang demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Hal ini ditandai dengan kemunculan MMI dalam berbagai ruang publik seperti dalam seminar-seminar, kajian, media massa, hingga memuat media publikasi tersendiri (Wihda Press). MMI juga sangat aktif terlibat dalam aksi-aksi massa dalam isu-isu yang terkait dengan Islam. Tokoh-tokoh MMI khususnya ketua Lajnah Tanfidziyah, Ustad Irfan Suryahardi Awwas, dikenal sangat komunikatif dan piawai berbicara di hadapan publik. Majelis Mujahidin Indonesia juga dikenal memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang ditandai dengan proyek penerbitan terjemahan Al-Quran, program kursus bahasar Arab, fasilitasi pernikahan untuk mahasiswa, dan penerbitan buku-buku dari berbagai pemikir MMI khususnya Ustad Abu Bakar Baasyir dan Irfan S. Awwas sendiri. Strategi-strategi gerakan Majelis Mujahidin Indonesia yang telah dijabarkan di atas sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Jogja yang lebih terbuka, plural, kritis dan memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. 2 Dinamika organisasi dalam Majelis Mujahidin Indonesia dan Front Pembela Islam tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh-tokoh sentral di dalam masing-masing organisasi ini. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam organisasi MMI adalah Ustad Abu Bakar Baasyir dan Ustad Irfan Suryahardi Awwas, sedangkan di dalam FPI kita mengenal Habibe Rizieq Shihab untuk FPI Pusat dan untuk cabang Yogyakarta dikenal nama Bambang Tedy. Ustad Abu Bakar Baasyir merupakan mantan Amirul Mujahid MMI dan perannya sangat sentral sebagai simbol, ideolog terdepan, sekaligus perekat faksi-faksi yang ada di dalam MMI. 3 Di sisi lain, Ustad Irfan Suryahardi Awwas dapat dikatakan sebagai orang yang menata jaringan, mengurusi keorganisasian, sekaligus menjadi propagandis utama dari Majelis Mujahidin Indonesia. 2 Hasil wawancara dengan Eko Prasetyo (peneliti gerakan sosial Islam dan ketua Social Movement Institute) di kantor Social Movement Institute tanggal 25 Juni 2014. 3 Ibid.

Front Pembela Islam memiliki kecenderungan yang berbeda dengan Majelis Mujahidin Indonesia. FPI tidak nampak berusaha menjalin hubungan yang intens dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Hubungan antara FPI dan organisasi-organisasi Islam lainnya cenderung temporal, sesaat dan hanya berorientasikan isu semata khususnya isu-isu kemaksiatan maupun aliran yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah atau Syiah. Al-Zastrouw Ngatawi (2006) mencatat bahwa meskipun FPI merupakan organisasi yang relatif lebih bisa berbaur dengan masyarakat apabila dibandingkan organisasi seperti Hizbut Tahrir, MMI atau Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah, namun FPI terhitung jarang melakukan kerjasama dengan organisasi lainnya. Hubungan antara FPI dengan organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Laskar Jihad, dan Jamaah Tabligh bahkan cenderung tidak harmonis. 4 Kerjasama antara FPI dan organisasi-organisasi Islam lainnya hanya bisa dilakukan apabila FPI yang memimpin di depan dan menjadi pemimpin kegiatan, atau ada isu bersama yang layak untuk direspon secara bersama-sama sehingga dalam kegiatan ini tidak ada yang memimpin dan memimpin; semua menjadi pemimpin dengan cara membentuk aliansi aksi, seperti ketika aksi menentang Israel dan Amerika Serikat. 5 Pada saat FPI dan MMI mulai memobilisasi anggotanya untuk berbuat kekerasan, kedua ormas ini dapat dikategorikan sebagai kelompok vigilante. Vigilante atau vigilantism merupakan sebuah konsep mengenai keterlibatan orang-orang di luar aparat keamanan atau otoritas yang berwajib dalam menegakkan apa yang mereka yakini sebagai hukum sekaligus menciptakan ketertiban menurut versi mereka. Fenomena vigilantism merupakan bentuk tindakan sepihak dari beberapa unsur masyarakat yang membajak hukum dari otoritas yang berwenang dan menjadikannya sebagai alat pribadi. Dalam kasus-kasus semacam MMI dan FPI, mereka seringkali berdalih bahwa aparat yang berwenang sama sekali tidak mengambil tindakan atas hal-hal yang mereka anggap telah mengotori akidah Islam dan menimbulkan keresahan umat. Oleh karena itu, FPI dan MMI kemudian mengambil-alih peran negara sebagai aktor yang berkewajiban menindak serta mengembalikan ketertiban umum yang terganggu oleh tindakan beberapa unsur yang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Tindakan inilah yang justru menimbulkan gangguan keamanan 4 Al Ngatawi, Zastrouw. 2006. Gerakan Islam Simbolik : Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta : LkiS hal. 113. 5 Ibid, hal 113-114.

di masyarakat, mengingat mayoritas masyarakat Yogyakarta sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan hal-hal yang ditentang oleh MMI maupun FPI. Masyarakat Yogyakarta cenderung menerima komunitas Ahmadiyah, komunitas Syiah dan kelompok-kelompok lainnya yang menjadi sasaran kekerasan FPI maupun MMI. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan MMI justru bersifat kontraproduktif karena telah mengganggu kondisi keamanan kota Yogyakarta. Fenomena ketidakmampuan pemerintah dalam menindak hal-hal yang dianggap mencemari nilai-nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok fundamentalis ini merupakan salah satu prasyarat paling mendasar dalam terjadinya aksi-aksi vigilante. Rosenbaum dan Sederberg selanjutnya berpendapat bahwa the potential for vigilantism varies positively with the intensity and scope of belief that a regime is ineffective in dealing with the prevailing socio-political order. 6 Dalam perspektif gerakan sosial, ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi penyakit-penyakit masyarakat dan mengatasi pengotoran akidah Islam selanjutnya menjadi grievances yang digunakan sebagai master frame oleh FPI dan MMI dalam melakukan aksi-aksi mobilisasi massa. Front Pembela Islam selalu mengklaim bahwa mereka selalu berkoordinasi dengan pihak kepolisian sebelum melakukan penggerebekan tempat-tempat maksiat agar polisi dapat menindaknya terlebih dahulu. Kekerasan pada akhirnya muncul saat polisi tidak juga bertindak untuk merespon laporan dari FPI. Hal yang berbeda terlihat dari fenomena kekerasan FPI di Yogyakarta, dimana kekerasan murni muncul demi kepentingan ketua FPI Bambang Tedy tanpa ada iktikad baik untuk mematuhi peraturan hukum yang berlaku. Kekerasan yang dilakukan oleh Majelis Mujahidin Indonesia, khususnya dalam kasus Irshad Manji dan Bramantyo Prijosusilo, terjadi karena keduanya dianggap sengaja memprovokasi. Irshad Manji dianggap sengaja memancing keributan karena ia masih tetap menggelar diskusi bukunya di LKiS walaupun diskusi sebelumnya sudah dilarang. Kasus Bramantyo Prijosusilo juga terjadi karena para anggota MMI merasa terintimidasi dengan aksi Bramantyo Prijosusilo yang dianggap melecehkan organisasi mereka. Polisi saat itu dianggap tak berbuat apa-apa dan baru datang setelah pemukulan terhadap Bramantyo terjadi. 6 Dikutip dari Vigilante Politics (1976) oleh Jon Rosenbaum & Peter.C.Sederberg (.ed) hal 7.

FPI dan MMI dapat dikategorikan sebagai social-group-control vigilantism apabila meminjam tipologi yang dirumuskan oleh Rosenbaum & Sederberg (1976). Bertolak dari definisi yang dikemukakan oleh Rosenbaum dan Sederberg, kekerasan yang dilaksanakan oleh MMI pada dasarnya merupakan usaha untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini ke dalam sistem sosial di masyarakat. MMI berada dalam sebuah sistem sosial yang tercipta dalam kehidupan kota Yogyakarta, dimana berbagai macam kelompok berada di dalamnya. Kelompokkelompok tersebut, selain berbagi ruang yang sama, juga saling bersaing untuk memperjuangkan nilai-nilai mereka supaya dapat menjadi bagian dari sistem sosial yang mengatur kehidupan di kota ini. Keberhasilan suatu kelompok dalam memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam sistem sosial tentu saja akan berpengaruh terhadap posisi mereka di masyarakat. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan baik oleh FPI maupun MMI sebenarnya juga memiliki dimensi politis semacam ini. Dimensi politis dan kepentingan tersebut lebih terlihat dalam kasus-kasus kekerasan FPI cabang Yogyakarta yang terlibat kekerasan-kekerasan bermotif ekonomi maupun politis. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas Islam sebagian besar diawali oleh ketidakmampuan aparat keamanan dalam mempertahankan hukum sekaligus menegakkan ketertiban (law & order). Kondisi ini merupakan salah satu penyebab ormas-ormas Islam merasa berhak untuk mengambil-alih tugas aparat keamanan dalam menegakkan hukum, dan khususnya, menciptakan ketertiban yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Kasus kemunculan aksi main hakim sendiri tidak hanya menunjukkan kealpaan aparat keamanan dalam mengatasi isu-isu yang menjadi perhatian kelompok-kelompok vigilante, tetapi juga dalam menangani kelompok-kelompok vigilante itu sendiri. Kelompok-kelompok vigilante di Indonesia bisa hidup karena aparat keamanan cenderung enggan untuk menindak mereka, hampir sama seperti hal-hal yang dicap maksiat juga bisa hidup karena kepasifan aparat keamanan. Fakta ini menunjukkan bahwa eksistensi ormas-ormas vigilante dan musuh-musuh mereka sebenarnya bersumber dari satu hal yang sama, yaitu kurangnya inisiatif aparat keamanan dalam melakukan tindakan. Alasan keengganan ini bervariasi, tetapi alasan yang paling utama adalah ketiadaan reward yang memadai saat harus berurusan dengan aksi-aksi vigilante. 7 7 http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/police-say-theyre-scared-fight-religious-hard-liners/, diakses tanggal 7 Juli 2015 pukul 22.35