BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai mual, muntah, kembung, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah dan rasa terbakar. (1) Dalam praktek sehari-hari, dispepsia adalah salah satu dari penyakit yang paling sering dijumpai di klinik. Dispepsia memiliki diagnosis banding yang mirip dengan berbagai penyakit di saluran pencernaan bagian atas dan gejalanya sangat bervariasi. Faktor risiko dispepsia adalah usia di atas 45 tahun, jenis kelamin wanita, obesitas, kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, riwayat minum obat tertentu atau jamu tertentu yang berefek samping terhadap lambung seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS), obat untuk nyeri atau pegal dan infeksi Helicobacter pylori. (2) Dispepsia sebagai masalah kesehatan menurut studi di Amerika menunjukkan prevalensi tinggi pada orang dewasa tiap tahun antara 25% populasi. (3) Sementara itu prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. (4) Dengan beban rujukan pasien yang besar ini, pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas dan histopatologi merupakan pemeriksaan penunjang penting dalam diagnosis dispepsia, selain itu pemeriksaan tersebut juga menentukan biaya perawatan kesehatan. Oleh karena itu dispepsia menghabiskan biaya kesehatan nasional yang besar dan juga sangat berpengaruh pada kualitas hidup penderitanya. Saat ini infeksi Helicobacter pylori dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional, sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan penanganan infeksi H. pylori. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara infeksi 1
H. pylori dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan atau gejala dispepsia. (5,6) Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar Lampung yang tergolong RS tipe C, yaitu berdasarkan Permenkes RI Nomor 986/Menkes/Per/11/1992 merupakan rumah sakit yang didirikan di kota atau kabupaten-kabupaten sebagai fasilitas kesehatan tingkat 2 yang menampung rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (puskesmas atau poliklinik atau dokter pribadi). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, provinsi Lampung memiliki demografi masyarakat pada tahun 2015 sebagai berikut, persentase penduduk miskin sejumlah 13,53%, persentase pertumbuhan ekonomi 5,13%, jumlah penduduk tahun 2015, 8,1 juta jiwa (4,16 juta laki-laki, 3,96 juta perempuan). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung juga menyebutkan dispepsia sebagai penyakit ke sepuluh dalam daftar 10 penyakit terbanyak di provinsi Lampung pada 2015 dengan jumlah kasus 62.813. Berdasarkan data dari bagian rekam medis RS Imanuel Bandar Lampung pada tahun 2014 dan 2015, dispepsia termasuk 10 penyakit tersering yang ditemukan di RS tersebut pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Meskipun demikian studi tentang profil penderita dispepsia dan hasil endoskopi di RS tersebut belum ada. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah penelitian ini adalah: 1) Berapa angka kejadian sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi di Rumah Sakit Imanuel Bandar Lampung periode Januari-Desember 2015. 2) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan usia. 3) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan jenis kelamin. 2
4) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan keluhan utama. 5) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan faktor risiko. 6) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan tanda bahaya. 7) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. 8) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan hasil histopatologi. 9) Bagaimana distribusi pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi periode Januari-Desember 2015 berdasarkan pemeriksaan bakteri H. pylori. 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui gambaran pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi di Rumah Sakit Imanuel Bandar Lampung periode Januari-Desember 2015. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pasien sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi di RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung periode Januari-Desember 2015 dengan peninjauan dari beberapa faktor. 1.4 Manfaat Karya Tulis ilmiah 1.4.1 Manfaat Ilmiah (Akademis) Manfaat akademis dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai sindrom dispepsia agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang dispepsia serta memberikan gambaran penderita dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi di RS Imanuel Bandar Lampung periode Januari-Desember 3
2015, yang juga dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut tentang sindrom dispepsia. 1.4.2 Manfaat Praktis (Klinis) Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kejadian dari sindrom dispepsia yang dilakukan tindakan endoskopi di RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung selama tahun 2015 yang ditinjau dari beberapa faktor. 1.5 Landasan Teori Definisi sindrom dispepsia menurut konsensus Rome II tahun 2000 (7) disepakati adalah keadaan tidak nyaman atau nyeri yang berpusat pada abdomen bagian atas. Biasanya ditandai oleh salah satu atau lebih gejala utama area gastroduodenal berikut: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, atau sensasi cepat kenyang. Gejala harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Setelah pemeriksaan penunjang diagnostik, dispepsia dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional atau non-ulcer. Dispepsia organik adalah dispepsia dengan kelainan struktural pada pemeriksaan endoskopi. Kelainan struktural yang dimaksud dapat berupa ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, ulkus duodenal, duodenitis dan proses keganasan. Dalam konsensus Rome III tahun 2006 (1) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai: 1) Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati atau epigastrik, rasa terbakar di epigastrium. 4
2) Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut. 3) Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terkahir sebelum diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi atas: 1) Post Prandial Distress Syndrome di mana pasien merasa penuh setelah makan dalam porsi yang biasa atau rasa cepat kenyang sehingga tidak dapat menghabiskan porsi makan regula; 2) Epigastric pain syndrome di mana pasien mengeluh nyeri atau rasa terbakar, hilang timbul, berpusat di epigastrium. Rasa nyeri ini tidak ada pada bagian perut lainnya atau pada daerah di dada. Endoskopi adalah pemeriksaan penunjang dan gold standard dalam menangani sindrom dispepsia. Berikut hal-hal yang menjadi indikasi endoskopi, yaitu apabila penderita berusia lebih dari 45 tahun dengan dispepsia awitan baru, atau penderita berusia kurang dari 55 tahun namun memiliki salah satu atau lebih tanda bahaya (anemia, perdarahan, muntah terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10% tanpa sebab jelas, disfagia yang memberat, odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan lambung atau duodenum, riwayat keganasan esofagus, riwayat ulkus peptikum, massa intraabdomen, dan limfadenopati). Pada aplikasi klinis biasanya endoskopi segera dilakukan sebagai langkah awal dalam penatalaksanaan dispepsia. Selain identifikasi kelainan struktural dengan endoskopi, dapat juga dilakukan sekaligus biopsi jaringan untuk pemeriksaan H. pylori dan melihat gambaran histopatologi. 5