BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

dokumen-dokumen yang mirip
2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI KSDA DAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

SMP NEGERI 3 MENGGALA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 18/MEN/2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

I. PENDAHULUAN. Taman Hutan Raya (Tahura) Tongkoh terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

BAB. I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DI JAWA TENGAH

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

Transkripsi:

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL) A. Definisi Suaka Marga Satwa dan Kawasan Konservasi. Alam menyediakan segala macam kebutuhan yang dibutuhkan oleh semua mahluk hidup berupa hutan, air, tanah, makanan dan masih banyak lagi. Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies satwa yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12% (515 species, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya, Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Indonesia menjadi satu-satunya negara setelah Brazil, dan mungkin Kolombia, dalam hal urutan keanekaragaman ikan air tawar, yaitu sekitar 1400 spesies. Dalam hal keanekaragaman tumbuhan, Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia; yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Keanekaragaman palem di Indonesia menempati urutan pertama, mencapai 477, 225 endemik. Lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon 14

15 penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae) terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan 11. Manusia merupakan salah satu dari mahluk hidup yang ikut menyokong keberlangsungan ekosistem di bumi. Sebagaimana ekosistem itu merupakan ialah kompleks komunitas tumbuhan, binatang dan jasad renik yang dinamis dan lingkungan tak hayati/abiotik-nya yang berinteraksi sebagai unit fungsional 12. Manusia mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup semua mahluk hidup di bumi dan sebagai khalifah yang menjaga semua bentuk ciptaan Allah Subhahanawata la dari kerusakan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, manusia melalui berbagai cara dan alasan telah berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Ada beberapa upaya yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dampak negatif dari pemanfaatan alam sumber daya alam yang berlebihan, yaitu melalui pembentukan suaka marga satwa dan kawasan konservasi. 1. Suaka Margasatwa. Suaka margasatwa merupakan tempat dimana hewan liar hidup dan berkembang biak dalam lingkungan aslinya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyebutkan, Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman 11 www.menlh.go.id, Keanekaragaman Hayati, diakses pada 04 Februari 2017 12 Ibid hal. 1 15

16 dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya 13. Itu artinya suaka marga satwa ialah tempat dimana hewan liar dan juga tumbuhan langka maupun endemik mendapatkan perlindungan baik secara hukum serta secara sosial dari manusia. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem itu sendiri agar terus terjaga kondisi aslinya sampai masa yang akan datang. 2. Kawasan Konservasi. Potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia seperti yang diuraikan diatas, juga diikuti dengan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati itu sendiri. Ancaman kepunahan memang disadari sebagai suatu hal yang wajar karena faktor perubahan alam yang antara lain perubahan iklim global, akan tetapi derajat kepunahan yang melesat cepat bukanlah suatu hal yang dapat kita anggap wajar. Penyebab utama kepunahan tumbuhan dan satwa di antaranya adalah kehilangan, kerusakan, serta terfragmentasinya habitat tempat hidup, pemanfaatan secara berlebihan dan perburuan dan perdagangan ilegal. Hilang dan rusaknya habitat satwa disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya konversi hutan alam untuk perkebunan dan tanaman industri sebagai tuntutan pembangunan, pembalakan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan. Untuk mencegah dan menanggulangi hilangnya habitat satwa dan tumbuhan akibat aktivitas manusia tersebut maka dibutuhkanlah suatu kawasan 13 Pasal 1 angka 11 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

17 konservasi untuk mengembalikan fungsi semula suaka marga satwa yang jauh dari aktivitas manusia dan campur tangan manusia. Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan dimana konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundangundangan Indonesia yang berlaku, tidak memuat definisi konservasi secara jelas. Adapun pengertian kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan adalah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan hutan lindung. Kemudian secara spesifik dan lebih luas definisi konservasi dijelaskan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati Tahun 1992 (Convention on Biological Diversity 1992) pasal 2 yang menyebutkan, konservasi in-situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alam serta pemeliharaan dan pemukiman populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang 14. B. Dasar Hukum Yang Menetapkan Kawasan Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sebagai Wilayah Suaka Marga Satwa. Suaka Marga Satwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara geografis terbentang antara 98 30-98 42 BT dan 3 51 30-3 59 45 LU dengan luas 15.756 hektar. Pengelolaan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut berada pada Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, Bidang 14 Loc. Cit

18 KSDA Wilayah I Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara. Sebelum ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) tanggal 6 Agustus 1932 Nomor 148/PK yang disahkan dengan Besluit Seripadoeka Toean Besar Goevernoer dari Pesisir Timur Poela Pertja tanggal 24 September 1932 seluas 9.520 hektar. Sedangkan kawasan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) tanggal 8 Agustus 1935 Nomor 138 seluas 6.245 hektar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 Cq. Suaka Margasatwa 15. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara adiministratif terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura di Kabupaten Langkat. Kawasan seluas ±9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan ±6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang. Penataan kawasan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya Zelfbestuur Besluit Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan Berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita Acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 50 KM. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali 15 Ibid hal. 2

19 oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang sepanjang 74,78 KM. Untuk mengelola kawasan ini, Balai Besar KSDA Sumatera Utara membentuk pemangkuan hutan setingkat resor yang terdiri dari 3 (tiga) Resor Konservasi Wilayah yang berada di bawah koordinasi Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, yaitu: a) Resor Konservasi Wilayah Karang Gading & Langkat Timur Laut I berkedudukan di Desa Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang. b) Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut II berkedudukan di Pematang Sentang, Desa Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. c) Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III berkedudukan di Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat C. Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional Mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Kawasan Suaka Marga Satwa. Dua persoalan umum paling mendesak yang dihadapi masyarakat internasional pada saat ini adalah pembangunan dan perlindungan serta perbaikan lingkungan hidup dan, seperti yang akan tampak, kedua persoalan telah diberi prioritas dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan internasional lainnya. Kaitan antara kedua bidang ini dimana hukum internasional saat ini menganggap cara tersebut tidak akan memberikan dampak nyata secara instan, melainkan secara perlahan dan memberikan perubahan yang signifikan terhadap pembangunan dan lingkungan hidup.

20 Regulasi-regulasi dalam bidang Hukum Lingkungan Internasional yang merupakan cabang dari Hukum Internasional berawal dari Konferensi Stockholm 1972 yang mengeluarkan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Declaration on Human Environment 1972), yang menentukan bahwa sumbersumber daya alam bumi harus diamankan untuk keuntungan generasi-generasi sekarang dan generasi yang akan datang melalui perencanaan atau pengelolaan yang seksama dan bahwa kemampuan bumi untuk memproduksi sumbersumber daya alam vital dapat diperbaharui harus dipelihara serta, apabila mungkin diperbaiki atau ditingkatkan 16. Berlatar belakang dari Konferensi Stockholm Tahun 1972, maka pada tahun 1992 di Rio de Janeiro Brazil diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) sebagai tanggapan terhadap masalah lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang memprihatinkan, antara lain pencemaran, perusakan lingkungan hidup, serta pemborosan sumber daya alam. KTT ini telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim (Climate change) dan keanekaragaman hayati. Hasil utamanya, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan. Salah satu pengaturan Hukum Lingkungan Internasional yang lahir dari KTT Bumi tersebut adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity 1992) yang mengatur perlindungan dan pengelolaan mengenai suaka margasatwa. Dalam penjelasan pasal 2 Konvensi hal. 529-530 16 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2007,

21 Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity 1992) tersebut, dikatakan : konservasi in-situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alam serta pemeliharaan dan pemukiman populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang 17. Meskipun dalam pasal 2 tidak disebutkan secara spesifik mengenai suaka margasatwa, namun berdasarakan definisi kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan adalah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. Dan mengenai hal ini, para ahli melakukan perluasan makna dari pasal 2 tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bambang Pamulardi bahwa konservasi in-situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (Cagar alam dan Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam) 18. Untuk itu telah jelas bahwa suka margasatwa merupakan kawasan konservasi terlindungi yang lahir dari upaya langsung Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk melestarikan ekosistem dan lingkungan flora/fauna di habitat aslinya. Karena kawasan suaka margasatwa merupakan bagian dari konservasi in-situ, maka perlindungan dan pengelolaan terhadap 17 Ibid hal. 12 18 Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 186

22 suaka margasatwa tercantum dalam pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati mengenai Konservasi in-situ 19 sebagai berikut : a. Mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati; b. Mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pendirian, dan pengelolaan kawasan lindung atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya khusus untuk mengkonservasikan keanekaragaman hayati; c. Mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, dengan maksud menjamin konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutannya; d. Memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi yang berdaya hidup dari spesies di dalam lingkungan alaminya; e. Memajukan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan lindung dengan maksud untuk dapat lebih melindungi kawasan-kawasan ini; f. Merehabilitasi dan memulihkan ekosistem yang rusak dan mendorong pemulihan jenis-jenis terancam, di antaranya melalui pengembangan dan pelaksanaan rencana-rencana atau strategi pengelolan lainnya; 19 Pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati Tahun 1992

23 g. Mengembangkan atau memelihara cara-cara untuk mengatu, mengelola atau mengendalikan risiko yang berkaitan dengan penggunaan dan pelepasan organisme termodifikasi hasil bioteknologi, yang mungkin mempunyai dampak lingkungan merugikan, yang dapat memperngaruhi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan memperhatikan pula risiko terhadap kesehatan manusia; h. Mencegah masukanya serta mengendalikan atau membasmi jenisjenis asing yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies; i. Mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan antara pemanfaatan kini dan konservasi keanekaragaman hayati serta pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponennya; j. Tergantung perundang-undangan nasionalnya, menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktikpraktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu;

24 k. Mengembangkan atau mempertahankan perundang-undangan diperlukan dan/atau peraturan-peraturan bagi perlindungan jenisjenis dan populasi terancam; l. Mengatur atau mengelola proses dan kategori kegiatan yang sesuai, bila akibat yang nyata-nyata merugikan terhadap keanekaragaman hayati telah ditentukan seperti tersebut dalam pasal 7; dan m. Bekerja sama dalam penyediaan dana dan dukungan lainnya untuk konservasi in-situ yang dirumuskan dalam sub-sub ayat (a) sampai (l) di atas, terutama bagi negara-negara berkembang.