BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber penyebab perceraian, di antaranya adalah kekerasan dalam rumah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 36 Tahun : 2015

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor


PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

PENELITIAN KAJIAN WANITA

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

Munculnya Sebuah Keluarga

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Muncul isu tentang kekerasan dalam rumah tangga hingga berujung dengan perceraian. Isu ini menjadi salah satu latar belakang munculnya masalah dalam penelitian ini. Banyak faktor dalam keluarga Bali masa kini yang berpotensi sebagai sumber penyebab perceraian, di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan (violence) merupakan salah satu manifestasi dari ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kekerasan yang dimaksud mulai dari kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan fisik. Perbedaan dan sosialisasi gender yang amat lama mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan kaum laki-laki umumnya lebih kuat. Hal ini tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak mendorong dan memperbolehkan laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan bukan karena perempuan lemah atau kurang setia, melainkan karena kekuasaan dan stereotipe gender yang dilabelkan pada perempuan (Fakih, 1996 : 15). Cukup banyak terjadi kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap perempuan, bahkan perempuan terhadap laki-laki, tetapi kekerasan yang dimaksud, dalam hal ini, khususnya kekerasan yang berkaitan dengan menifestasi ketidakadilan gender dalam rumah tangga penyebab perceraian perempuan Bali, dan mayoritas menjadi korbannya adalah perempuan/istri. 1

2 Kekerasan yang paling menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan. Lembaga yang menurut pandangan bangsa Indonesia maupun menurut ajaran agama Hindu adalah lembaga yang sakral, telah melahirkan ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender yang hingga kini dianut masyarakat Bali yang masih cukup kuat mengikat masyarakat pendukungnya. Sejak berlakunya UU No.23 Tahun 2004, jenis kekerasan fisik yang berkadar berat hingga menyebabkan kerban dirawat di rumah sakit, tampaknya sudah semakin berkurang dilakukan dibandingkan sebelum tahun 2004. Namun apa pun jenis kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan/istri dalam rumah tangga merupakan salah satu manifestasi dari ketiakadilan gender yang tetap perlu dikritik atau diantisipasi. Disamping karena bertentangan dengan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, juga bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu. Isu kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian didukung oleh data jumlah angka perkara perceraian tahun 2004 hungga 2015 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan misalnya tahun 2004 jumlah perkara perceraian yang diputus di Pengadilan Negeri Denpasar berkisar 181, tahun 2005 hingga 2008 berjumlah 301 kasus, dan akhir tahun 2009 berjumlah 346 kasus, akhir tahun 2010, ada 360 kasus, akhir tahun 2011 naik sebanyak 496, hingga akhir Desember 2012 kasus gugatan perceraian yang diputus naik menjadi 567 (Data diolah dari data statistik Perkara Perdata Perceraian tahun 2008-2012). Dari Tribun Bali menunjukkan bahwa perceraian di Bali tahun 2014 hingga akhir Oktober 2015

3 angka cerai tertinggi adalah Denpasar 1. 415 kasus (Tribun Bali, 6 Desember 2015 : 1). Jumlah perkara perceraian di atas sudah termasuk jumlah perkara perceraian perempuan Bali. Secara khusus Jumlah data perkara perceraian perempuan Bali yang berhasil diketahui dari Buku Register Induk Perkara Perceraian yang berhasil ditemukan berkisar 30 hingga 50 kasus perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan informan yang bercerai antara tahun 2004-2015 lebih banyak perceraiannya melalui penyelesaian di pengadilan 0,27% dibandingkan sebelum tahun 2004, ada 0,05%. Munculnya gerakan global tahun 1963 bertujuan untuk meningkatkan martabat perempuan yang masih termarginalisasi karena perbedaan gender. Pemerintah Indonesia ikut berpartisipasi dalam beberapa kali konvensi yang dilaksanakan di berbagai negara. Misalnya Konvensi Perempuan sedunia IV yang diselenggarakan di Beijing (September 1995), antara lain, menghasilkan kesepakatan bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk melihat mengapa terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (Hubeis, 2010 : 6) Sudah hampir 20 tahun terakhir sejak lahirnya hasil kesepakatan Konvensi Perempuan sedunia IV, masalah gender telah menjadi wacana di setiap berbincangan, baik di media massa maupun media elektronik. Masalah gender adalah masalah masyarakat dunia. Demikian halnya di Indonesia, tidak terkecuali Bali. Hampir semua uraian tentang program mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di kalangan organisasi pemerintah dan nonpemerintah di Bali

4 memperbincangkan masalah gender. Berbagai upaya pun dilakukan dari melakukan penyuluhan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna menanamkan pemahaman tentang masalah ketidakadilan gender, karena baik laki-laki terutama perempuan, dapat menjadi korbannya. Apa sesungguhnya masalah gender itu? Hingga kini masalah gender masih menimbulkan ketidakjelasan, kesalahpahaman dalam masyarakat karena mengungkap mengenai masalah gender berarti mengungkap masalah perempuan, dan mengungkap masalah perempuan sama dengan membongkar budaya dan struktur. Hal ini dapat diartikan menggoncang struktur dan budaya patrilineal yang sudah tertanam kuat dan oleh sebagian masyarakat pendukungnya dianggap bersifat sangat pribadi karena sama halnya dengan menggugat privilege yang mereka miliki dan sedang dinikmati. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sebagai ideologi dijadikan isu mendasar dalam rangka menjelaskan hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita (Fakih, 1999 : 6) Munculnya masalah gender sesungguhnya sudah melalui proses sejarah yang sangat panjang. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan berbagai masalah gender, antara lain adalah ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem, budaya dan struktur, sebab, baik laki-laki terutama perempuan, menjadi korban dari budaya dan struktur tersebut. Faktor-faktor ideologi, struktur, dan kultural, ketiganya saling berkait secara dialektika mengukuhkan sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan (Tjandraningsih, 1996 : 4).

5 Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan kepada semua pejabat, termasuk gubernur, bupati, wali kota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian atas kebijakan dan program yang responsif gender (Hubeis, 2010 : 5). Gerakan feminis untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pun mendapat respons positif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah di Bali. Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan tidak hanya memandang aspek biologisnya tetapi juga dikaitkan dengan sifat dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Proses pembelajaran ini kemudian dijadikan landasan berpikir dan falsafah hidup karena dianggap benar sehingga menjelma menjadi ideologi (Murniati, 1993 : 4). Pola asuh ini telah menggiring anak laki-laki memiliki sifat maskulin yang dominan, sebaliknya perempuan mempunyai sifat yang feminin yang dominan (Tim Rifka Annisa, 2003 : 34 ; Susilastuti, 1993 : 31). Perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya itu sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan atau digugat sepanjang tidak menimbulkan ketidakadian gender. Namun, karena kenyataannya perbedaan dan pembagian peran, sifat, ataupun status antara laki-laki dan perempuan melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender, hal itulah yang menjadi masalah gender. Menurut Derrida, sumber dari ketidakadilan gender itu perlu dibongkar dan dikritik

6 karena dapat melahirkan ketimpangan dalam masyarakat modern, bahkan postmodern seperti saat ini. Pengertian gender, baik dalam sebagai konsep maupun ideologi identik dengan ideologi patrilineal yang hingga kini masih dianut masyarakat Bali. Ideologi budaya patrilineal yang dikonstruksi secara sosial dan budaya dan tertanam sangat lama itu tumbuh menjadi tradisi, keyakinan, peraturan adat, stereotip (pelabelan negatif) terhadap perempuan, dan mitos, kemudian disosialisasikan secara turuntemurun, akhirnya dijadikan sebagai landasan hidup atau landasan berpikir, baik laki-laki maupun perempuan, ideologi budaya tersebut dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan dianggap sebagai kondrat yang tidak dapat atau sangat sulit untuk diubah. Mengacu pada teori hegemoni Gramsci (Barker, 1999 : 467), ideologi patrilineal tidak hanya dapat melahirkan kelas penguasa dan kelas subordinat, namun juga memiliki kemampuan untuk mengikat dan memengaruhi kelas subordinat. Agar kelas yang dikuasai tunduk terhadap kelas penguasa, maka kelas subordinat tidak hanya menerima dan mengakui ideologi kekuasaan tersebut, tetapi juga harus melakukan persetujuan atas subordinasi mereka. Berbeda pada masa lalu, di kalangan masyarakat Bali kekerasan dalam rumah tangga hampir tidak terdengar. Praktik kekerasan dalam rumah tangga zaman kerajaan duhulu diyakini jarang yang terungkap. Menurut informasi yang diperoleh dari A.A.Gde Putra Agung, hal itu disebabkan masih tebalnya rasa malu jika terjadi cekcok dalam keluarga dan juga karena perkawinan bagi umat Hindu dilakukan melalui upacara agama sehingga dinilai sakral oleh karena itu, perceraian pun tabu

7 untuk dipraktikkan. Pada masa sekarang perceraian sudah tidak lagi menjadi hal yang sulit meskipun harus ditempuh dengan proses pergulatan batin yang tidak mudah pula. Jika direnungkan kembali, bukankah ajaran Hindu banyak menanamkan pemahaman, bagaimana menghargai perempuan dalam rumah tangga, menyenangkan perempuan, sehingga menjadi sosok ibu yang membanggakan keluarga, karena sesuai dengan ungkapan, kebahagian keluarga ada di telapak kaki perempuan/ibu. Di dalam Weda Smrti (III.61) disebutkan, antara lain: -Wanita harus dihormati dan disanjung oleh ayah mereka, kakak-kakak mereka, suami dan ipar yang menghendaki kesejahteraan mereka. -Di mana wanita dihormati, di sana para Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada karya yang berpahala. -Di mana keluarga wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi keluarga di mana wanita tidak menderita ia akan selalu sejahtera. -Pada keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan istri dengan suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal (Pudja, 1983 : 73). Perkawinan merupakan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diakui oleh undang-undang, dan menyangkut mengenai hak dan kewajiban tertentu yang mengikat kedua belah pihak yang bersatu menjadi satu kesatuan dan dalam hubungannya dengan anak-anak yang terlahirkan dari akibat perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Hindu merupakan perintah agama dan juga kewajiban umat manusia untuk mendapatkan keturunan. Dengan adanya perkawinan ini akan timbul suatu kehidupan keluarga lengkap dengan anak-anak, yang dalam agama Hindu disebutkan sebagai jalan dalam melepaskan derita para leluhur atau orang tuanya yang sudah meninggal (Swastika, 2009 : 42).

8 Perceraian bagi umat Hindu sedapat mungkin dihindari karena perceraian bagi umat Hindu di Bali tabu dan pantang untuk dipraktikkan. Pengertian perkawinan secara keseluruhan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (grehasta asrama) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsana, 2002 : 3). Dengan demikian, keluarga adalah suatu jalinan ikatan pengabdian antara suami-istri, dan anak. Oleh karena itu seharusnya hal tersebut disadari agar orang tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, yaitu tidak menyakiti dan menyengsarakan diri sendiri ataupun orang lain sebagaimana yang dituangkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 90 (Jaman, 2008 :11), sebagai berikut : Artinya : Niyacchayaccha samyaccha cendriyani manastatha, pratisedhyesvavadyesu durlabhesvahitesu ca. Karena itu kehendaknya dikekang, diikat kuat-kuat pancaindra dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan sesuatu tercela, sesuatu yang sukar untuk dicapai, atau melakukan sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan. Dalam zaman Weda, kedudukan perempuan sangat tinggi dan sangat terhormat. Weda Smrti sebagai dasar ajaran agama Hindu mengajarkan suatu perkawinan harus didasari atas kesetiaan antarpasangan suami-istri, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri. Suami istri yang terikat dalam ikatan perkawinan mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dan yang lain (Pudja, 1983, 345).

9 Ajaran agama Hindu telah mendidik ke pada kaum laki-laki untuk menghargai atau menghormati perempuan. Apabila ajaran ini dapat dilakukan, maka Weda menjamin dalam keluarganya akan menemukan kebahagiaan. Dewasa ini terjadi pengingkaran terhadap janji suci, dimulai dari hal yang kecil, kesalahpahaman, cekcok, meluas hingga menjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pasangan terhadap pasangan lainnya dalam rumah tangganya. Dalam ajaran agama Hindu tidak dikenal adanya diskriminasi. Tradisi Hindu mengenal yang Maha Suci, mengandung, baik atribut feminin maupun maskulin, karena tanpa memberi penghargaan yang layak pada kualitas feminin, sebuah agama tidaklah lengkap dan akan menghasilkan konsekuensi negatif (Takwin, 2001 :75). Agama Hindu juga melukiskan Dewa yang selalu berdampingan dengan Dewi yang berkedudukan sebagai sakti-nya yang merupakan prabawa (wibawa). Kedua unsur laki-laki dan perempuan tersebut dalam agama Hindu dikenal dengan konsepsi Ardhanareswari, Ardha berarti setengah belahan yang sama (Bandem, 2000 : 19). Ini adalah contoh, bagaimana ajaran agama Hindu sangat menjunjung tinggi akan arti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam ajaran Hindu juga tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki (S ukarma, 2007 : 65). Dalam ajaran Hindu tidak dikenal bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Ini artinya laki-laki

10 dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan. Kedua makhluk Tuhan yang berbeda jenis memang tidak sama. Namun, makhluk itu diciptakan untuk saling melengkapi, bukan saling menyakiti satu dengan yang lainnya (Wiana, 2011 : 1). Di sisi lain, agama Hindu sangat melindungi dan menghormati kedudukan perempuan dalam keluarga/rumah tangga atau dengan kata lain, sangat tidak dibenarkan oleh agama Hindu untuk melakukan segala jenis kekerasan terhadap perempuan. Tiap zaman menurut Hindu, perempuan dalam kehidupannya mendapatkan kehormatan sesuai sesuai dengan posisi dan perannya masingmasing, misalnya pada zaman Weda perempuan disejajarkan dengan Dewa-Dewi, zaman Upanisad sebagai yang terpelajar, zaman Ramayana dan Mahabharata sebagai pelindung keluarga, zaman Smrti sebagai ibu pemelihara keluarga, semuanya mempunyai keistimewaan. Demikian halnya dengan pemerintah Indonesia yang sangat memperhatikan dan sangat peduli terhadap kelangsungan masyarakat sosialnya, khususnya dalam masalah perkawinan secara tegas membuat undang-undang perkawinan sebagai bentuk perhatian dan dapat memberikan rasa aman terhadap setiap pasangan yang ingin membangun rumah tangga melalui suatu ikatan perkawinan. Perkawinan menurut pandangan Hindu dapat dikatakan selaras dengan tujuan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah: ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

11 Artinya : Perkawinan itu adalah ikatan lahir dan batin, seharusnya dilakukan atas dasar saling menyayangi dan mencintai, mendapat restu orang tua kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, dilakukan secara tulus, tanpa unsur paksaan. Perkawinan berdasarkan Hindu dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau UU No.1 tahun 1974 tersebut seharusnya dapat dijadikan benteng untuk mempererat mahligai perkawinan umatnya agar tidak mudah retak, namun sebaliknya, belakangan ini semakin marak terdengar dan menjadi wacana publik isu tentang adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan/istri yang berujung perceraian. Berbeda dengan perempuan yang hidup dalam masyarakat dengan sistem parental, seperti di daerah Jawa dan Sunda, atau masyarakat dengan sistem matrilineal seperti masyarakat Minangkabau, ketika terjadi perceraian, perempuan tidak akan menghadapi banyak keruwetan adat seperti masyarakat Bali dengan budaya patrilinealnya. Jadi, kalau perempuan tidak bahagia dalam perkawinannya, dia dapat bercerai tanpa beban berat, tanpa menghadapi banyak masalah budaya dan struktur karena perbedaan gender. Kenyataan ini menimbulkan keyakinan bahwa terutama perempuan yang hidup dalam masyarakat yang menganut budaya patrilineal seperti di Bali, sudah tentu akan menghadapi berbagai manifestasi ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender berkaitan dengan perceraiannya. Masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender khususnya dalam perceraian belum banyak mendapat perhatian dari pihak lain.

12 Oleh karena itu masalah ini sangat perlu diungkap secara kritis dan mendalam. Untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman terhadap masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender bukanlah pekerjaan mudah apalagi dengan memasukkan konsep kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi merupakan tanggung jawab setiap komponen dan masyarakat Bali secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk secara terus menerus melakukan berbagai upaya dengan cara yang elegan, bukan melalui cara yang konfrontatif. Dengan latar belakang masalah tersebut, peneliti ingin mengungkap dan mengkajinya secara mendalam dan kritis dengan rumusan permasalahan sebagai berikut: 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut muncul beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Mengapa terjadi Perceraian Perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? 2. Bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? 3. Apa implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender? 1.3 Tujuan Penelitian

13 Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman tentang ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender khususnya yang dihadapi oleh perempuan Bali berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar. Masalah ini sangat perlu diungkap dan diantisipasi karena selama ini masalah gender dalam perceraian belum banyak mendapatkan perhatian untuk dilakukan penelitian secara mendalam. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memahami dan menganalisis penyebab perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender; 2. Memahami dan menganalisis penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender; 3. Menginterpretasi dan menganalisis implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender. 1.4 Manfaat Penelitian

14 Penelitian ini mempunyai dua manfaat penting yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang ilmu sosial dan budaya khususnya bidang ilmu sejarah untuk lebih memfokuskan kajian ilmiahnya terhadap sejarah kontemporer tentang kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, yakni menambah khazanah ilmu pengetahuan yang kritis tentang isu gender karena sesuai dengan salah satu kajian utama Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana yakni fokus terhadap masalah-masalah kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi termasuk isu tentang gender hubungannya dengan kekuasaan ideologi budaya. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak terkait, seperti: (1) Pihak yang proaktif, masyarakat, pemerintah, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,

15 lembaga bantuan hukum, pusat pelayanan terpadu dan pemberdayaan perempuan khususnya di Kota Denpasar dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu acuan dalam mengantisipasi, menyosialisasikan, memberikan pelayanan dan melakukan pemberdayaan, terutama yang berkaitan dengan masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender khususnya berkaitan dengan perceraian. (2) Masyarakat Bali, baik laki-laki maupun perempuan, dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai pedoman dalam menanamkan pemahaman tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender khususnya berkaitan dengan perceraian.