SINEMATEK DAN SINEPLEKS TRPADU DI YOGYAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
SINEPLEX DAN SINEMATEX DI YOGYAKARTA Dengan pendekatan desain arsitektur post modern

STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR MORPHOSIS

SINEMATEK TERPADU DI YOGYAKARTA

SINEMATEK DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. terlihat di kota Yogyakarta. Ini terlihat dari banyaknya komunitaskomunitas

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan,

PUSAT PELATIHAN DAN PRODUKSI FILM TELEVISI DI SEMARANG

SEMARANG MUSIC CENTER

BAB I PENDAHULUAN. kepada yang menonton, dan juga merupakan bagian dari media massa.

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman

SEKOLAH TINGGI PERFILMAN JAKARTA SKRIPSI

RUMAH PRODUKSI PENGADEGAN STUDIO INDONESIA DI JAKARTA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Judul Perancangan 2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Presentase Jumlah Pecinta Seni di Medan. Jenis Kesenian yang Paling Sering Dilakukan Gol. Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

Gedung Pameran Seni Rupa di Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Art Centre Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk hidup yang bergerak aktif dengan segudang

Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

GEDUNG PERTUNJUKAN MUSIK KLASIK DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya

BAB I PENDAHULUAN. para rumah produksi film berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu film, yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN. Q : Menurut Bapak, apa itu Animasi Pendek? Q : Menurut bapak, animasi pendek yang bagus itu seperti apa?

SEKOLAH TINGGI FILM DAN TELEVISI DI JAKARTA Dengan Penekanan Desain Konsep Arsitektur Renzo Piano

KRITERIA PENILAIAN Faslitasi Pembuatan Film Pendek dan Dokumenter 2012

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah gambar hidup yang sering disebut movie. Film secara kolektif sering

BAB I PENDAHULUAN. olehnya. Bahkan kesenian menjadi warisan budaya yang terus berkembang dan maju.

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya sebagai media hiburan saja melainkan sebagai media komunikasi

1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR (LP3A) REDESAIN GEDUNG BIOSKOP MENJADI CINEPLEX DI WONOSOBO

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bagas Laksawicaka Gedung Bioskop di Kota Semarang 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

RUMAH MUSIK DI SEMARANG Dengan Penekanan Desain Arsitektur Modern

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu sisi pendidikan dilaksanakan

TUGAS AKHIR 131/ BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film

Wawancara Berikut hasil ringkasan wawancara dengan Gotot Prakosa dan Wahyu Aditya yang dikutip dari wawancara yang dilakukan oleh Raissa Christie:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. LP3A Teater Universitas Diponegoro, Semarang. 1.1 Latar Belakang

GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Produksi film di Indonesia kian hari kian berkembang, mulai dari yang

PUSAT KEBUDAYAAN SUNDA DI BANDUNG PENEKANAN DESAIN TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA

BAB 1 PENDAHULUAN. Auditorium Universitas Diponegoro 2016

ABSTRAK. : Antonime, Film Pendek, Film Pendek Bisu, Pantomime, Produser

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Eksistensi Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi adalah sebuah kebutuhan manusia dan bisa dibilang yang utama,

Pusat Seni Rupa Kontemporer untuk Anak-Anak di Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni media rekam atau film merupakan cabang kesenian yang bentuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1994 TENTANG PENYELANGGARAAN USAHA PERFILMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 METODE PERANCANGAN. berisi sebuah paparan deskriptif mengenai langkah-langkah dalam proses

CLUB HOUSE Di kawasan perumahan kompleks VI PKT Bontang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Seni Fotografi Semarang. Ilham Abi Pradiptha Andreas Feininger, Photographer,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di bidang seni, film merupakan suatu fenomena yang muncul secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

SEKOLAH TINGGI FILM DAN TELEVISI DI SEMARANG PENEKANAN DESAIN KONSEP ARSITEKTUR PAUL RUDOLPH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. dan sajian teknisnya kepada masyarakat umum. 3 Film adalah sebuah karya cipta

ANALISIS TINDAK TUTUR PADA DIALOG BUKU CATATAN SEORANG DEMONSTRAN SOE HOK GIE SUTRADARA RIRI REZA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Koentjaranigrat (seniman). Majalah Versus Vol 2 edisi Februari 2009

SEMARANG CINEMA CENTER Dengan Penekanan Desain Eco-Architecture

SEKOLAH TINGGI SENI MUSIK DI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Eksistensi Proyek

FASILITAS KOMUNITAS KOMIK INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LATAR BELAKANG TUJUAN LATAR BELAKANG. Eksistensi kebudayaan Sunda 4 daya hidup dalam kebudayaan Sunda

HOTEL BINTANG EMPAT DENGAN FASILITAS PERBELANJAAN DAN HIBURAN DIKAWASAN PANTAI MARINA SEMARANG

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN

GEDUNG SENI PERTUNJUKAN DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR POST-MODERN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana

AKADEMI BALET DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ANALOGI GERAK BALET DALAM DESAIN ARSITEKTUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

SEKOLAH TINGGI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL DI YOGYAKARTA Penekanan Desain Konsep Arsitektur Modern

GALERI ARSITEKTUR JAKARTA

Transkripsi:

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR SINEMATEK DAN SINEPLEKS TRPADU DI YOGYAKARTA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh : E. DWI ERNAWATI NIM. L2B 096 222 Periode 73 November 2000 April 2001 JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2001

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film merupakan media pembensan untuk mengungkapkan berbagai rasa dari pembuatnya dengan cakupan penyampaian ekspresi dan imajinasi yang sangat lengkap, karena merupakan media audio visual elektronik. Emile Cohl menggambarkan bahwa film merupakan alat untuk menghidupkan gambar-gambar dua dimensional yang diam dan mati. Edwin S. Poter menamakannya sebagai alat bercerita yang mimesisdari alam semesta, George Milier menamakannya sebagai eksistensi dari panggung yang penuh trik, ibarat transformasi dari panggung sirkus yang bisa diulangulang menontonnya. Sedangkan film sendiri memiliki pengertian : karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi masa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada seluloid, pita video, atau hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan sebagainya.¹ Film dipandang sebagai medium komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan dan media ekspresi seni untuk pengungkapan kreatifitas dari berbagai cabang seni serta medium budaya yang dapat melukiskan kehidupan manusia dan watak dari sebuah bangsa. Segala sumber tentang film menjadi karya yang dibicarakan, ditelaah, dianalisa dan dipersoalkan. Hal ini terlihat pada fungsi film bagi berbagai kalangan seperti :

1) Bagi masyarakat penonton, film berfungsi sebagai media hiburan ataupun pengetahuan 2) Bagi para sineas-sineas, film merupakan sarana pengekspresian seni, kreatifitas dan pemenuhan hidup. 3) Bagi pengusaha, film merupakan lahan usaha yang potensial 4) Bagi pemerintah, pendidik dan budayawan, film merupakan media penerangan, pendidikan dan pengembangan budaya bangsa. Dalam perkembangannya film (jenis, gaya dan bentuk film, antara lain : film documenter, film cerita dan film eksperimental) telah banyak mengalami perubahan pada gaya, teknik, maupun media serta tampilan yang mengemas film itu sendiri. Berkembang tidaknya film, sarat denga muatan dalam film tersebut, berupa pengertian-pengertian atau symbol-simbol dan bersosiasikan suatu pengertian serta mempunyai konteks dengan lingkungan yang menerimanya. Penerimaan suatu film dapat dilihat pada pernyataan Istvan Szabo, sutradara Hongaria, sewaktu menjadi anggota juri Festifal Film Berlin, February 1985 (marsell, 1985) Film itu seumpama buahbuahan, ada yang suka apel, ada yang suka pisang, dengan begitu sebenarnya susah menentukan film yang satu lebih baik dari film yang lain. Oleh karena itu film yang merupakan produk budaya, seni, teknologi, ppendidikan, penggambaran secara hidup keadaan masyarakat serta suatu kondisi keberadaan seni dan gambaran hidup dalam frame dengan cara yang beragam pengungkapannya, berhak untuk hidup apapun bentuknya dan publik yang akan menilainya di masyarakat. 1. Perkembangan Film Dalam perkembangan kehidupan film, karya yang diharapkan menjadi wacana dan informasi bagi masyarakat tenggelam oleh semangat

komersialisme dengan kurang ditunjang kreatifitas dan seni sehingga film bukan semata-mata barang dagangan tetapi juga mengandung nilai-nilai cultural edukatif. Tujuan menghibur pun menjadi tujuan utama tanpa memperhatikan kualitas dan nilai pesan yang ingin disampaikan. Untuk itu diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam agar lebih luwes menyikapi perkembangan film didunia masyarakat modern dan dinamis agar memotivasi Character Building masyarakat, memberi citra positif pada masyarakat yang melihatnya melalui kacamata sosial politik (Gatot Prakosa, 1997). Lesunya dunia perfilman Indonesia sebenarnya tidak disebabkan oleh matinya kreatifitas para sineas, melainkan melalui mekanisme pasar yang di jalankan pelakunya, pemodal, pemerintah, pemilik gedung bioskop, tidak akomodif terhadap film itu sendiri. Walaupun demikian banyak sineas yang berdedikasi terus mencoba berkarya dan justru menhasilkan karya karya yang sangat layak dari segi mutu, laku dan mendidik. Diantaranya film-film non cerita, film pendek yang informasinya sangat terbatas untuk diketahui tidak seperti mainstream (film Hollywood) yang bersifat komersial yang merabk dikalangan masyarakat. Hal tersebut mendorong dibutuhkannya suatu wadah yang dapat memuat berbagai karya film secara bersamaan dalam satu tempat, menyandingkan perbandingan yang seimbang antara unsure mutu dan laku, unsure mendidik, apresiasi serta rekreasi, sebagai upaya pembinaan dan pengembangan perfilman lewat media ini. 2. Kebangkitan Film Perfilman di Indonesia lebih berorientasi pasar (komersialisme), karena sekarang ini cukup banyak film-film bagus dan bermutu yang tidak tertayang sehingga tujuannya utuk menjadi wacana publik dan media

apresiasi tidak tertampung. Kenyataan ini terlihat pada banyaknya film dan sineas yang memperoleh penghargaan, malah dri dunia internasional lewat suatu festival, tetapi tidak dinegeri sendiri karena tidak terpampang untuk masyarakat, menjadi suatu yang asing dan tidak akrab dan jarangnya film nasional bermutu diputar untuk tujuan menjadi sebuah wacana yang akan diapresiasikan oleh penontonnya sendiri bahkan untuk tujuan menghibur. Kebijakan perfilman yang ada, menyebabkan ketidakmunculan media film yang dianggap mengandung bobot seni, sehingga kehilangan peningkatan mutu sinematografis. Hal ini sering terjadi juga dengan Indonesia adalah perkembangan dunia film berawal dari suatu kebangkitan terhadap koreksi pijakan film yang lebih baik. Merosotnya film nasional berawal dari banyaknya film asing yang merebak, tetapi dalam keadaan ini muncullah sineas muda yang potensial dalam karyanya, seperti Slamet Raharjo, Eros Djarot, Gatot Prakosa, Ernison Sinaro, dan genrasi baru Garin Nugroho, nan Triveni Achnas, Mira Lesmana. Tetapi diantara sineas sendiri mengalami keraguandalam penyampaian karya-karya mereka ke publik luas. Belum ada kejlasan dalam hal pendistribusian karya-karya film amatir yang dapat menyebabkan menyurutnya karya semangat para sineas muda. Kenyataan ini menuntut disediakannya suatu tempat untuk karya-karya dalam suatu wadah apresiasi yang layak dan akomodif terhadap sinema baru Indonesia yang tidak terkonsentrasi pada pusat (Jakarta), dengan kemunculan bentuk apresiasi baru yang dimotori oleh generasi muda, seperti Pekan Film Eropa di Yogyakarta, Internasional Art Film Festival di Yogyakarta, Festival Film Alternatif di Bandung dan terakhir Jakarta Internasional Film Festival (JIF Fest) Yogyakarta sebagai kota pendidikan, seni dan budaya memiliki kontribusi yang besar terhadap apreasiasi seni, termasuk didalamnya film, terlihat dengan banyaknya aktivitas di bidang

perfilman antara lain dengan adanya pecan film, festival, dan pemutaran fim oleh kelompok-kelompok bai instituisi kampus maupun pecinta film. 3. Sinematek dan Sinepleks Sebagai Ruang Apreasiasi Film Ada beberapa film (film-film jenis documenter, animasi, seni, eksperimental, film cerita pendek, film cerita panjang) yang tidak bisa diputar di gedung-gedung bioskop komersial, memerlukan wadah baik ruang maupun jaringan bagi apreasiasi terhadap film tersebut secara leluasa oleh publik. Kebebasan mengapresiasi dan kesemaptan yang seimbang antara wadah film alternatif dan film mainstream. Ruang (bangunan fasilitas pembinaan dan perkembangan perfilman) ini sebagai bagian dari sisi sudut pandang yang berbeda pada jalur distribusi pasar yang berorientasi komersial maupun tidak (apresiasi). Jadi bukan meniadakan tetapi sebagai ruang alternatif yangmenawarkan sudut pandang lain, menampilkan dua hal dalam satu wadah, sehingga ketika semua kesempatan dalam wadah sinepleks dan sinematek terpadu, kembali publik sebagai audien yang akan menilainya. Dari uraian tersebut diatas, terlihat masyarakat sangat kurang dalam usaha memperlakukan film sebagai produk budaya yang dapat ditonton, dipelajari, dicermati, dikritik sebagai suatu produk kesenian, dihargai sebagai usaha dan eksplorasi manusia dalam menggambarkan kehidupan sekitarnya. Perhatian ditekankan pada penumbuhan iklim kreatif yang tinggi melalui kelompok-kelompok atau organiasi duniafilm yang mandiri, pertemuan dan bengkel kerjasama, ruang tayang alternatif, bagi pementasan film alternatif maupun film mainstream (Film Hollywood) serta festivalfestival maupun kompetisi film yang beragam. Permasalahan yang muncuul

adalah bagaiman mewujudkan wadah pembinaan dan pengembangan yang dapat menampung semua jenis film dalam satu tempat sesuai dengan tuntutan fungsi ruang pemutaran, ruang workshop, perpustakaan, pencahayaan, sirkulasi, dan sebagainya dalam bentuk tawaran alternative dalam mengampresiasikan dan menghibur. B. Batasan Permasalahan Menyediakan ruang alternatif bagi film sebagai media hiburan dan forum refleksi, diskusi, presentasi, dan festival. Dunia film memerlukan ruang untuk pembinaan dan pengembangan sebagai suatu bagian bentuk apresiatif, yang menawarkan sisi pandang lain. Pembahasan arsitektural lebih ditekankan pada penerapan konsep penayanngan untuk sesuatu yang menghibur dan apresiasi yang komunikatif (bertujuan untuk mendapat informasi dan bertukar pengalaman seta wacana bau tentang film dan muatannya) dan rekreatif (kegiatan informal menghibur) terhadap penonton. C. Tujuan dan Sasaran 1) Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah merumuskan pedoman perencanaan dan perancangan untuk membuat sebuah fasilitas pembinaan dan pengembnagan perfilman, yang mampu mewadahi perilaku keruangan dan aktivitas sebagai tempat apresiasi dan hiburan/rekreasi film dalam bentuk sinepleks dan sinematek perpadu. 2) Sasaran Sasaran yang hendak dicapai berupa proposal perancangan media film Sinematek dan sinepleks sebagai tempat bertemunya insan film, pengamat, peminat, instituisi, dan masyrakat dalam

mengapreasiasikan film melalui festival, seminar, forum diskusi, workshop, kine klub, dan rujukan literatur film. D. Lingkup Pembahasan Pembahasan dibatasi pada permasalahan arsitektural, sedangkan pembahasan permasalahan non-arsitekural dimaksudkan hanya untuk mempertajam pembahasan utama. Pembahasan film dipakai untuk menentukan keunikan media ekspresi seni, sebagai tindak lanjut kearah penterjemahan dan pengungkapan fisik dalam bahasan arsitektur. E. Metodologi Metodologi digunakan adalah : 1) Metode pengumpulan data Dalam pengumpulan data digunakan dua metode, yaitu metode pendataan primer yaitu pengumpulan data melalui observasi lapangan dan wawancara dengan berbagai pihak terkait, dan metode pendataan sekunder yaitu pengumpulan data melalui studi literatur, hasil dari studistudi yang telah dilakukan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. 2) Metode pembahasan Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu dengan mengumpulkan dan mengidentifikasikan data, melakukan studi banding, kemudian menganalisa dan menarik kesimpulan, menerapkan batasan dan anggapan serta menentukan program ruang. F. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan ini disusun menjadi :

BAB I BAB II BAB III BAB IV PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang, batasan permasalahan, permasalahan, tujuan, lingkup pembahasan, metodologi dan sistematika pembahasan. TINJAUAN SINEMATEK DAN SINEPLEKS TERPADU Berisi tinjauan jenis film (film alternatif dan film mainstream) dan pendistribusiannya kepada masyarakat, tinjauan apreasiasi film untuk memahami kegiatan dan wadah pengapresiasian film, sinematek dan sinepleks ruang film alternatif dan film mainstream, tinjauan media tyang film, sinepleks sebagai bioskop film mainstream, media tayang film alternatif, sinematek sebagai bioskop film alternatif. TINJUAN SINEMATEK DAN SINEPLEKS TERPADU SEBAGAI WAHANA APRESIASI FILM DI YOGYAKARTA Kajian tentan tinjjauan kota yogyakrta, potensi kota yogykarta, budaya dan masyarakat Yogyakarta, potensi dan pendukung keberadaan sinematek terpadu sebagai wahana apresiasi film di Yogyakarta (Kota Yogyakarta sebagai pusat pengembangan wisata budaya dan seni, kota Yogyakarta sebagai pusat pendidikan), keberadaan wahana apresiasi film di kota Yogyakarta. KESIMPULAN, BATASAN DAN ANGGAPAN Berisi kesimpulan, batasan dan angapan

BAB V PENDEKATAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Kajian mengenai pendekatan pemilihan lokasi, pendekatan ruang, kegiatan dan kebutuhan ruang, persyaratan ruang, penyusunan ruang (kaitan kegiatan, pola hubungan ruang), pendekatan konsep ruang (bentukrung apresiasi dan pemutaran film komersial) akustik ruang, pencahayaan ruang, penampilan bangunan, BAB VI LANDASAN PROGRAM PERANCANGAN ARSITEKTUR Dasar-dasar perancangan, konsep filosofi, konsep tapak, konsep arsitektural (ruang-ruang, tata hubungan ruang, bentukan masa, penampilan bangunan, akustik dan pencahayaan).