BAB IV. Larangan Menikahi Pezinah Dalam Al-Qur an Surat An-Nur Ayat 3; Studi Komparatif Penafsiran Kiya Al-Haras Dan Ibnu Al-Arabi

dokumen-dokumen yang mirip
Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Munakahat ZULKIFLI, MA

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi rujukan umat islam. Petunjuk Allah dalam al-qur an tetap akan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap

BAB III AYAT-AYAT AL-QUR AN TENTANG MAHRAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR AN. A. Ayat-ayat tentang Mahram 1. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 22:

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

HUKUM MENIKAHI WANITA YANG SEDANG HAMIL (Bag-2)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

RISALAH PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM TAFSIR TEMATIK AL-QUR AN

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

ANALISIS PENDAPAT SITI MUSDAH MULIA TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Oleh : TIM DOSEN SPAI

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB III PENAFSIRAN AYAT 33 SURAT MARYAM

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT PENDAPAT MASJFUK ZUHDI DAN NURCHOLIS MADJID

PERNIKAHAN LINTAS AGAMA

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga yang islami, yakni rumah tangga yang berjalan di atas

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH SERTA AKIBAT HUKUMNYA PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF Oleh. Wahyu Wibisana

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

BAB V PENUTUP. mengambil kesimpulan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEBOLEHAN PENDAFTARAN PENCATATAN PERKAWINAN PADA MASA IDDAH

BAB III MENGENAL SURAT AL-NUR AYAT bumi. Di dalamnya cahaya disebutkan dengan pengaruh-pengaruh dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL OLEH SELAIN YANG MENGHAMILI. Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro

BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

WAWANCARA KEPADA PELAKU TALAK DI LUAR PENGADILAN


BAB I PENDAHULUAN. Hayyie Al-Kattani dkk, Jilid IX, Gema Insani, Jakarta, 2011, hlm.39

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

*** Tunaikanlah Amanah

Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

BAB IV ANALISIS TERHADAP TAFSIR TAFSIR FIDZILAL ALQURAN DAN TAFSIR AL-AZHAR TENTANG SAUDARA SEPERSUSUAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

LAMPIRAN TERJEMAHAN AYAT AL-QUR AN

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI Dr. Yusuf Al-Qardhawi. Pertanyaan:

Fidyah. "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

IRSYAD AL-FATWA SIRI KE-208: HUKUM WANITA MEMBUKA SYARIKAT SENDIRI

Bab 26 Mengadakan Perjalanan Tentang Masalah Yang Terjadi dan Mengajarkan kepada Keluarganya

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF AL-QURT{UBI< DAN SAYYID QUT{B TELAAH AYAT-AYAT SAJDAH

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bawah naungan Departemen Agama, dan secara akademik berada di bawah

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

1. Anjuran menikah bagi orang yang sudah berkeinginan serta memiliki nafkahnya dan anjuran bagi yang belum mampu untuk berpuasa

BAB IV ANALISIS METODOLOGIS FATWA HUKUM PIMPINAN WILAYAH (PW) MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH DALAM KONTEKS PEREMPUAN HAMIL DI LUAR NIKAH AKIBAT ZINA

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Ayat-ayat kawniyyah dalam pandangan al-ra>zi> adalah ayat-ayat yang

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

BAB IV ANALISIS HISTORIS DAN GENERALISASI. Seteah diadakan penelusuran kitab-kitab yang membahas asba>b al-wurud

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Di antara jalan untuk mencapai ketenangan jiwa dan hati yang dituntukan oleh syariat adalah menikah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI TUKAR-MENUKAR RAMBUT DENGAN KERUPUK DI DESA SENDANGREJO LAMONGAN

MACAM-MACAM MAHRAM 1. MAHRAM KARENA NASAB Allah berfirman:

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

Warisan Wanita Digugat!

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189)

??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

NOMOR : U-287 TAHUN Bismillahirohmanirohimi. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, setelah : MENIMBANG :

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB III RAGAM PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT DESA KEBOGUYANG KECAMATAN JABON KABUPATEN SIDOARJO TENTANG PERKAWINAN LOTRE

Transkripsi:

BAB IV Larangan Menikahi Pezinah Dalam Al-Qur an Surat An-Nur Ayat 3; Studi Komparatif Penafsiran Kiya Al-Haras Dan Ibnu Al-Arabi A. Metode Penafsiran al-haras dan Ibnu al-arabi terhadap Surat An-Nur Ayat 3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. 1. Metode Penafsiran Kiya al-haras Metode penafsiran Kiya al-haras dalam menafsirkan ayat diatas tidak lepas dari aspek tekstualitas ayat tersebut, diawal ia menjelaskan bahawa ayat tersebut berupa kalam Khabar yang mengandung makna nahi (larangan). 1 Sehingga dapat dipahami bahwa ayat tersebut mengandung masalah hukum atau dapat dikategorikan dalam ayat-ayat muhkama>t. Lafadz nahi pada ayat tersebut ditegaskan dengan penjelasan bahwa seorang pezinah hanya boleh menikahi pezinah pula atau bahkan orang musyrik. Sehingga mereka yang masih suci dilarang menikahi orang sudah berzina baik laki-laki maupun perempuan. 1 Kiya al-haras, Ahkam al-qur an, (Beirut: Da>r al-ilmiyag, 1983, Jilid 2) hal. 296 60

61 Akan tetapi sebelum menjelaskan dan menafsirkan ketentuan hukum yang berlaku pada tersebut diatas, lebih dahulu al-haras menjelaskan konteks sebab turunya ayat tersebut. Ia menjelaskan riwayat sebab turunya ayat, 58 Diriwayatkan bahwa turunya ayat berikatan dengan seorang laki-laki yang dikatakan Mur ad membawa tawanan yang memiliki teman pelacur di kota Makkah, kemudia ia bertanya kepada rasul, bolehkah saya menikahi seorang wanita tawanan (pelacur) kemudian rasul terdiam tanpa berpaling pada apapun hingga turun ayat ini lalu rasul bersabda kepada saya wahai Mur ad, sesungguhnya seorang laki-laki yang berzinah tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina. 2 Dengan demikian ayat tersebut pada dasarnya bagi al-haras mengandung makna hukum larangan menikahi, akan tetapi kemudian ia menjelaskan ayat yang telah me-nasahk ayat tersebut, yakni An-Nur ayat 32 tentang perintah menikahi permpuan yang bujang dan hamba sahaya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-nya) lagi Maha mengetahui. Ayat diatas secara jelas membolehkan menikahi atau mengawini orang-orang yang masih bujang sendiri meskipun ia merupakan bekas seorang budak laki-laki maupun perempuan yang seringkali telah disetubuhi 2 Ibid. 296

62 majikannya. Ayat ini dianggap telah me-nasahk ayat yang sebelumnya turun yakni An-Nur ayat 3. \al-haras menjelaskan pula tentang larangan menikahi seorang musyrik, sebab pada ayat diatas juga menjelaskan seakan memberikan pilihan bagi seorang pezinah boleh menikahi orang musyrik, sehingga keterangan surat al-baqarah ayat 221 berikut dinggap juga telah me-nasahk hukum dalam surat An-Nur ayat 3. : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

63 mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-nya (perintah-perintah-nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Kedua ayat tersebut, menurut sebagaian ulama telah me-nashk ayat tentang ketentuan hukum pada surat An-Nur ayat 3. Pada ayat pertama surat An-Nur ayat 32 men-nasahk terhadap ketentuan larangan menikahi orang yang berzina, sebab pada ayat terseb dijelaskan bahwa Allah menyuruh untuk menikahi mereka yang masih sendirian bujang dan hamba sahaya budak laki-laki atau perempuan. Sedangkan pada ayat yang kedua menurut al-haras adalah dalil yang me-nasahk terkait dengan pilihan menikahi orang musyrik yang telah dilarang pada ayat tersebut surat al- Baqarah ayat 221. 3 Namun disatu sisi yang dimaksud dalam ayat tersebut jika ditela ah lebih dalam, pada esensinya berkaitan dengan wath u bersetubuh bukan pada akad nikah. Sehingga menurut sebagian ulama mengatakan bahwa bersetubuhan zina hanya terjadi bagi pezina atau musyrik dan tidak terjadi dikalangan orang mukmin. 4 Hal ini dimaksudkan bahwa orang mukmin dalam bersetubuh hanya ada dalam akad nikah yang sah tidak dalam perbuatan zina. Sebab istilah zina sebenarnya sudah ada sejak sebelumnya adanya syari at islam, yang termasuk dari perbuatan orang jahiliyah. 5 3 Ibid. 298 4 Ibid. 5 Ibid. 296-298

64 Dengan demikian ketentuan hukum menikahi pezinah pada ayat diatas pada intinya merupakann bentuk larangan dalam nikah sehingga bersetubuh dengannya dilarang pula. Sebab pezinah diharamkan bersetubuh melainkan dengan pezinah pula. Hal ini selaras dengan sebab turunnya ayat yang berkenaan dengan pelacur masyarakat jahiliyah yang ditadak boleh dinikahi orang islam, akan tetapi akan menjadi boleh jika mereka telah bertaubat dan masuk islam, sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan ayat yang me-nasahk ayat ini. 6 Secara tekstualitas ayat tersebut, menurut al-haras memiliki ketentuan hukum terkait larangan menikahi pezinah telah di-nasahk dengan ayat lain yakni An-Nur 32. Sedangkan kontekstualitas yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, berkaitan dengan pelacur jahiliyah yang tidak boleh dinikahi. Sehingga ia lebih menggunakan kaidah al-ibrah bi khusus assabab la bi umum al-lafad (mengambil pelajaran dari sebab yang khusus bukan keumumanya lafad) dapat dipakai untuk memahami konteks ayat tersebut. Pada esensinya, perbuatan zina yang dilakukan oleh pelacur orang jahiliyah yang belum masuk islam, menjadi penyebab larangan nikah dalam ayat tersebut. sehingga menurut al-haras jika mereka pelacur jahili sudah bertaubat dan masuk islam tentunya larangan tersebut tidak berlaku lagi. Corak tafsir fiqhy juga sangat kental dalam penafsiran al-haras, ia banyak mengutip beberapa pendapat ulama Syafi iyah, diantaranya tentang 6 Ibid.

65 orang yang telah dihukum cambuk karena berzinah, maka ia hanya boleh menikah dengan orang yang sama dihukum cambuk dalam zina. Bahkan jika ia menikahi orang yang tidak berzinah maka mereka harus berpisah berdasarkan keterangan teks ayat tersebut 7. 2. Metode Penafsiran Ibnu al-arabi Ibnu Al-Arabi mengawali tafsirnya pada ayat diatas dengan menjelaskan beberapa riwayat terkait bentuk sebab turunnya ayat tersebut. menurut Al-Arabi terdapat enam riwayat yang berkait dengan sebab turunnya ayat ini 8. Anatara lain : a. Ayat tersebut berkaitan dengan laki-laki muslim yang meminta izin kapada rasul untuk menikahi perempuan dikenal dengan nama Ummu al-mahzul, yang dikenal sebagai pelacur perempuan dan ia berjanji akan menafkahi laki-lakinya tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat ini. b. sebab turunnya berkaitan dengan sahabat Mur ad sama seperti riwayat al-haras, yang pada intinya Mur ad meminta rasul menikahkannya dengan seorang pelacur jahili hingga turun ayat 3 surat An-Nur, kemudian rasul bersabda, wahai Mur ad, pezinah laki-laki tidak menikah kecuali dengan pezinah perempuan, dan sebalikanya pezinah perempuan tidak dinikahi kecuali pezinah laki-laki. 7 Ibid. 8 Ibnu al-arabi, Ahkam al-qur an, (Beirut: Da>r Kutub al-islamy, 2003, Jilid, 3) hal. 336-337

66 c. Berkaitan dengan Ahlus Shuffa yang hendak menikahi pelacur yang mereka datangi tempat tinggalnya lalu memakan makanan mereka kemudian turun ayat ini. Riwayat Ibnu Shaleh d. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa Pezinah laki-laki tidak boleh bersetubuh dengan pezinah perempuan dan begitu pula sebaliknya. e. Riwayat Ibnu Mas ud dan Hasan menganggap ayat tersebut berkaitan khusus dengan pezinah laki-laki yang telah didihukum (had) tidak boleh menikah kecuali dengan pezinah perempuan yang telah dihukum pula, dan begitu juga sebaliknya. f. Ayat tersebut berkaitan dengan larangan nikah bagi orang yang telah berzinah dengan orang yang masih suci. Beberapa riwayat diatas, tentunya juga dapat menjadi penjelas makna konteks ayat tersebut. Berdasarkan sebab turunya hampir semua riwayat menghubungkan turunnya ayat tersebut dengan seorang muslim yang hendak menikahi pelacur. Sehingga secara konteks yang menjadi obyek adalah pelacur (orang yang telah berzina) dengan orang yang masih suci. Sedangkan secara tekstualitas ayat tersebut, menurut Al-Arabi redaksi ayat merupakan bentuk khabar dalam shigat nahy (larangan), karena yang dimaksud dalam ayat tersebut mengindikasikan hubungan seorang pezinah dengan orang yang masih suci yang berlawanan jenis. Pemahaman tersebut diperoleh redaksi ayat yang mempersempit pilihan laki-laki pezinah dalam menentukan pasangan harus perempuan yang telah berzina pula.

67 Dengan demikian orang yang masih suci dari perbuatan zina tidak pantas dinikahi seorang pezina baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga jika ada dua pasangan berzinah, kemudia menikah maka menurut riwayat Ibnu Mas ud pada awalnya hubungan meraka dapat dikategorikan zina kemudian baru dikatakan nikah setalah mereka melakukan akad nikah. 9 Namun, Corak tafsir fiqhi Ibnu Araby masih terjebak dalam fanatisme madhab, sehingga pada ayat tersebut, ia lebih cenderung terhadap madzhab maliki yang dianggapnya lebih hati-hati dalam urusan hukum, meskipun disatu sisi ia juag menjelaskan perbedaan pendapat ulama fiqhi lain. Ibnu al-arabi menjelaskan pendapat Imam Malik yang menjadi rujukan utamanya bahwa, mereka boleh menikah apabila ma al-fa>sid (benih sperma dari hasil zina) telah berbuah. Hal ini tentu berbeda dengan pendapat imam Syafi I dan Hanafi berpandangan bahwa ma al-fa>sid tersebut bukan suatu keharaman untuk melaksanakan akad nikah, akan tetapi menurut Milik ma al-fasid tidak boleh bercampur dengan ma aliz>zah, karena hal tersebut sama dengan mencampur halal dan haram. Dalam perbedaan pendapat tersebut Ibnu al-arabi menyatakan bahwa pendapat Malik lebih teliti dan hati-hati ketimbang pendapat ulama fiqhi lainnya. 10 Perzinahan yang dilakukan oleh sebelah pihak seperti laki-laki yang mensetubuhi perempuan dari golongan anak kecil, gila dan perempuan yang 9 Ibid. 338 10 Ibid.

68 tidur (pemerkosaan), maka yang digolongkan berzinah adalah laki-lakinya. Sehingga dalam konteks ini perempuan yang dizinahi tersebut, dapat dinikahi laki-laki yang menzinahinya. Menurut menurut imam Malik dan kesepakatan seluruh ulama mereka boleh menikah jika ma al-fa>sid telah berbuah atau melahirkan. Akan tetapi imam Malik berbeda ketika melarang jika ma al-fa>sid atau janin belum berbuah. Sehingga kebolehan mereka menikah tergantung dari berbuahnya janin yang telah ditanam. Akan tetapi, secara umum Ibnu al-araby melalui riwayat dari Imam Ma>lik dari Yahya ibn Sa id dan Ibn Musayyib, menganggap bahwa ayat 3 surat An-Nur tersebut telah di-nasahk dengan ayat yang datang sesudahnya yakni ayat 33 surat An-Nur. Meskipun pada dasarnya imam Malik tidak sekapat dengan adanya konsep nasahk dalam al-qur an karena ia bahwa hal tersebut merupakan bentuk tahks}is} (pengkhususan). B. Studi Komparatif Penafsiran Kiya al-haras dan Ibnu al-arabi tentang Hukum Menikahi Pezinah dalam Surat An-Nur Ayat 3 Penafsiran al-haras dan Ibnu al-arabi memiliki persamaan dan perbedaan dalam beberapa hal, terkait dengan ketentuan hukum menikahi pezinah sebagaimana ayat 3 Surat An-Nur. Dalam hal ini penulis akan mengklasifikasin persamaan dan perbedaan keduanya dalam bentuk tekstualitas dan kontekstualitas ayat. 1. Tekstualitas

69 Secara tekstual ayat keduanya memiliki kesamaan bahwa ayat tersebut merupakan bentuk khabar yang mengandung makna nahy (larangan), sehingga penjelasan ayat tersebut berisikan larangan menikah bagi pezinah kecuali orang yang pernah berzinah pula. Keduanya juga sependapat bahwa orang yang telah berzinah tidak boleh menikahi seorang yang masih suci. Sehingga orang laki-laki yang telah dihukum berzinah hanya boleh menikahi perempuan yang juga telah dihukum sama dengannya. Dalam konteks ini mulai tampak perbedaanya ketika al-haras yang bermadzhab Syafi I membolehkan tanpa syarat apapun bagi mereka menikah, lain halnya Ibnu al-arabi yang cenderung dengan pendapatnya imam Malik, bahwa mereka boleh menikah jika ma alfasid janin yang ada dalam perut perempuannya berbuah atau melahirkan sehingga jelas keturunannya dan sebaliknya, mereka tidak dapat menikah jika masih ma al-fasid berbentuk janin. Meskipun keduanya juga secara umum sependapat bahwa ayat tersebut telah di-nasahki oleh ayat yang datang sesudahnya. Keduanya pula juga menerapkan kaidah muna>sabah, nasihk-mansuhk dan bahkan balaghah kalam, yang sama sebagai alat untuk memahami dan menafsirkan al-qur an. Hanya saja perbedaan keduanya lebih cenderung terhadap madzhabnya masing-masing, yakni al-haras yang berhaluan Syafi I sedangkan al-arabi yang bermadzhab Maliki. 2. Kontekstualitas

70 Kontektualiatas ayat tersebut dapat ditela ah dari riwayat sebab nuzul keduanya yang memiliki kesamaan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan pelacur jahili. Sehingga ayat tersebut pada dasarnya sudah jelas sebab nuzulnya, hanya saja pemahaman terhadap sebab nuzulnya berbeda. Al-Haras menganggap bahwa ketentuan hukum pada ayat tersebut pada esensinya secara kontesktual merupakan larangan menikahi pelacur jahily yang belum masuk islam. Namun, ketika mereka bertaubat dan masuk islam tidak akan berlaku lagi hukum tersebut. Sehingga menurut hemat penulis al-haras menggunakan kaidah al- Ibrah bi umum lafdi la bi khusus as-sabab untuk memahami secara kontekstual ayat tersebut. Sedangkan bagi al-arabi penjabaran riwayat mengenai konteks turunya ayat tersebut yang lebih banya dari al-haras, menempatkanya dalam kategori bi al-ma tsur dair beberapa riwayat yang telah diutarakan. Terdapat beberapa riwayat yang nukil al-arabi berbeda dengan al-haras seperti riwayat yang mengatakan bahwa larangan nikah bagi orang yang telah berzinah dengan orang yang masih suci dalam bentuk apapun. Kemudian ia juga mempertegas pendapatnya melalui Riwayat Ibnu Mas ud dan Hasan menganggap ayat tersebut berkaitan khusus dengan pezinah laki-laki yang telah didihukum (had) tidak boleh menikah

71 kecuali dengan pezinah perempuan yang telah dihukum pula, dan begitu juga sebaliknya. Perbedaan penafsiran keduanya terletak dari sumber yang dijadikan rujukan. Jika al-haras lebih cenderung terhadap pendapat ra yu-nya sedangkan al-arabi mendasarkan penafsirannya terhadap beberapa riwayat, sehingga dapat digolongkan dalam tafsir bi al- Ma tsur. Dengan demikian perbedaan penafsiran kedua tidak lepas dari metodologi yang digunakan dalam menafsiran ayat-ayat hukum. Metodologi tersebut tidak hanya berkaitan dengan kaidah dan sumber penafsiran, lebih dari itu kecenderungan aliran atau madzhab juga bagian dari metodologi. Sehingga jika jalur metodologi yang ditempuh mufassir berbeda, tentu akan berimplikasi terhadap perbedaan penafsirannya pula. Oleh karenanya perbedaan metodolgi tentang ketentuan hukum menikahi pezina yang digunakan oleh al-haras dan al-arabi mencakup bentuk dan aliran tafsir yang berbeda. Sehingga penafsiran mereka masih terikat dengan fanatisme madzhabnya masing-masing.