BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

dokumen-dokumen yang mirip
adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

JURNAL DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MELANGGAR PASAL 339 KUHP

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau disparitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan : guna mencapai cita-cita nasional, salah satu landasan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB I PENDAHULUAN. satu tindak kriminal yang semakin marak terjadi adalah persetubuhan, ironisnya

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat banyak yang memperbincangkan tentang pornografi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. lebih menciptakan rasa aman dalam masyarakat. bermotor dipengaruhi oleh faktor-faktor yang satu sama lain memberikan

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi disparitas pidana menyebabkan pemidanaan yang berbeda sedangkan disisi lain disparitas pidana merupakan bentuk kreasi dari hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Adanya disparitas pidana membawa kecemburuan bagi masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh putusan hakim, serta muncul persepsi negatif terhadap lembaga pengadilan yang membuat masyarakat semakin acuh dan tidak peduli terhadap penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat menganggap bahwa tindakan main hakim sendiri menjadi salah satu cara yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah, karena kekecewaan mereka terhadap lembaga peradilan yang dianggap tidak adil dalam menjatuhkan putusan. Keadaan tersebut tentunya bertentangan dengan konsep rule of law yang ada di negara ini, di mana pemerintahan diselenggarakan berdasarkaan hukum dan di dukung oleh lembaga yudikatif yaitu lembaga pengadilan sebagai sarana untuk menegakkan hukum di 1

Indonesia, apa yang terjadi bila masyarakat Indonesia sendiri tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Terjadinya disparitas pidana tentunya tidak terlepas dari faktor undangundang yang berlaku serta ketentuan hukum pidana yang memberi kebebasan yang luas kepada hakim untuk menjatuhkan jenis pidana (strafmoot). KUHP kita menganut sistem alternatif hukuman misalnya pidana penjara, denda dan lainnya. Adanya disparitas pidana memang dibenarkan apabila memiliki dasar pembenar yang jelas, disparitas yang tidak mempunyai dasar yang kuat akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Disparitas pidana sudah lama menjadi perbincangan hukum dan tentunya menimbulkan keresahan di masyarakat yang bertanya-tanya apakah faktor penyebab disparitas pidana itu dapat terjadi, apakah faktor hakimnya atau peraturan perundang-undangan. Dari banyak faktor yang ada, akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas, misalnya ada dua orang yang sama-sama melakukan tindak pidana pembunuhan dengan cara yang sama dan akibat yang sama meskipun sama-sama menggunakan Pasal 339 KUHP bisa jadi hukuman yang dijatuhkan itu berbeda. Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan 1. Masalah disparitas pidana akan terus terjadi karena jarak sanksi pidana berdasarkan takarannya terlalu luas karena tidak ada standar merumuskan 1 Moeljatno, 2008, Asas-AsasHukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 25. 2

sanksi pidana. Selama ini upaya yang dilakukan untuk meminimalisir disparitas pidana dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan. Hakim-hakim di Indonesia telah menyadari mengenai persoalan disparitas pidana, meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, namun dalam beberapa putusan Hakim Agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang proposional. Penjatuhan pidana yang proposional adalah penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan dan kejahatan yang telah dilakukan. Pada intinya proposional menurut masyarakat adalah penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Alasan mengapa pelaku melakukan tindak pidana, bagaimana cara pelaku melakukan tindak pidana, serta dampak apa yang ditimbulkan atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut, seharusnya menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Pada dasamya suatu keputusan hakim adalah suatu karya untuk menemukan hukum, yaitu untuk menentukan suatu, peraturan hukum yang digunakan untuk mengatur masyarakat. Maka dari itu, hakim dituntut untuk mengetahui fakta-fakta kejadian yang dianggap benar dan berdasarkan fakta tersebut, kemudian hakim baru dapat menerapkan hukum yang berlaku bagi si pelaku tindak pidana. Keputusan hakim haruslah beralasan sehingga dapat dipertanggung jawabkan bukan saja terhadap kepentingan langsung terdakwa tetapi juga terhadap kepentingan masyarakat umum. Seharusnya keputusan hakim 3

mencerminkan keadilan karena itu hakim tidak boleh mengambil keputusan secara sewenang-wenang. Sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman, hakim seharusnya menjunjung tinggi kepercayaan umum terhadap penyelenggaraan pengadilan yang jujur dan adil. Asas legalitas menegaskan bahwa dalam menentukan perbuatanperbuatan yang dilarang didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam atau jenis pidana yang diancamkan 2. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Asas legalitas melindungi masyarakat dari kesewenangan hakim dalam menentukan hukuman bagi pelaku tindak pidana, termasuk tindak pidana pembunuhan. Rumusan delik, sebab akibat yang ditimbulkan harus menjadi tolok ukur hakim dalam menentukan hukuman apa yang pantas diberikan kepada pelaku tindak pidana, karena lembaga peradilan sebagai sandaran bagi masyarakat dalam memperoleh keadilan yang hakiki akan goyah, karena apabila hakim dalam mengambil keputusan dengan sewenangwenang maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan akan berkurang. Selain mempelajari dan menganalisis kasus yang diberikan kepadanya, hakim juga harus menggunakan hati nuraninya dalam menjatuhkan putusan. Tugas hakim merupakan tugas yang berat karena mungkin saja terhadap 2 Ibid, hlm. 27 4

kasus tertentu la harus menjatuhkan atau memberikan hukuman yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Di dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 pasal 1 ayat (5) ditentukan bahwa hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka menunjukkan bahwa suatu negara menjunjung tinggi keadilan bagi kesejahteraan masyarakatnya, apabila dijalankan sesuai dengan peraturan dan etika seorang hakim. Seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diberikan kepadanya, hakim harus menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan jujur, adil, dan tidak memihak siapapun tanpa terkecuali. Adapun kewajiban mengadili tercantum pada pasal 1 angka 9 KUHAP : mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari uraian pengertian mengadili tersebut diharapkan hakim dapat memutus perkara pidana misalnya perkara pembunuhan tanpa adanya disparitas pidana. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Melanggar Pasal 339 KUHP. 5

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah faktor faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan melanggar pasal 339 KUHP? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana pada pelaku tindak pidana pembunuhan melanggar pasal 339 KUHP. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian adalah untuk: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum pidana, tentang pidana di dalam KUHP dalam kaitannya dengan tindak pidana pembunuhan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi Penegak hukum 6

Penegak hukum khususnya hakim agar dalam penjatuhan putusan dalam perkara tindak pidana pembunuhan dapat meminimalisir terjadinya disparitas pidana. 2. Bagi Masyarakat Agar masyarakat dapat lebih mengawasi penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pembunuhan khususnya mengenai pemidanaan dan disparitas pidana. 3. Bagi Penulis Bagi penulis, penelitian ini dapat mengetahui lebih detail tentang disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang yang berjudul Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Melanggar Pasal 339 KUHP adalah merupakan hasil karya asli bukan hasil plagiat dari karya terdahulu atau orang lain. Sepengetahuan peneliti belum ada penelitian dengan judul dan permasalahan yang sama, oleh karna itu peneliti menampilkan beberapa penelitian terdahulu sebagai pembanding : 1. Alfon Herliyan Maryanto seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2009. a. Judul : Tinjauan terhadap dampak disparitas pidana dalam putusan perkara tindak pidana korupsi. b. Rumusan masalahnya adalah: 7

1) Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yang menimbulkan disparitas pidana dalam kasus korupsi. 2) Bagaimana dampak disparitas pemidanaan dalam putusan hakim yang menjatuhkan putusan pada kasus korupsi tersebut. c. Hasil penelitian ini : 1) Ada beberapa hal yang menimbulkan disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi antara adanya perbedaan pandangan hakim terhadap baik buruknya pelaku tindak pidana korupsi, adanya perbedaan penafsiran mengenai falsafah pemidanaan dari seorang hakim, adanya perbedaan dari alat bukti dalam sidang pengadilan, perbedaan pandangan terhadap nilainilai kehidupan, adanya perbedaan penilaian dari seorang hakim atau sebab terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dan sikap terdakwa tindak pidana korupsi di pengadilan. 2) Dampak yang ditimbulkan oleh adanya disparitas pidana berdampak bagi terdakwa yakni terdakwa tidak akan menghormati hukum dikemudian hari, hal ini disebabkan terdakwa merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam upaya menegakan hukum di Indonesia. Dampak bagi masyarakat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja 8

aparat penegak hukum di Indonesia tidak konsekuen dalam upaya penegakan hukum. 2. Jonathan Alfrat Hutabarat seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2011. a. Judul: Disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di pengadilan negeri Sleman. b. Rumusan masalahnya adalah: 1) Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di pengadilan negeri Sleman? 2) Apakah pembedaan putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dapat di benarkan menurut hukum pidana. c. Hasil penelitian ini adalah faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pidana korupsi di pengadilan negeri Sleman adalah: 1) Faktor perundang-undangan, yaitu adanya kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hakim dalam melaksanakan persidangan memperhatikan ketentuan-ketentuan atau sistem peradilan yang sesuai dengan etika profesi dan yang terdapat dalam kekuasaan perundang-undangan kekuasaan kehakiman. Faktor internal penyebab timbulnya disparitas pidana yang berasal dari hakim yaitu timbulnya disparitas pidana berasal dari hakim meliputi latar belakang hakim, pendidikan hakim, umur hakim, karena hal tersebut mempengaruhi putusan yang 9

dijatuhkan oleh hakim terhadap suatu tindak pidana.faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar diri hakim, yaitu berasal dari terdakwa dan pandangan masyarakat terhadap perkara yang dihadapi yaitu meliputi latar belakang dilakukannya tindak pidana oleh pelaku, jenis kelamin pelaku tindak pidana, faktor umur terdakwa, serta rasa keadilan dalam masyarakat. 2) Perbedaan putusan pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dapat dibenarkan menurut hukum pidana karena di atur dalam hukum positif Indonesia, namun harus ada perbedaan yang rasional/masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat, maksudnya adalah di mana putusan tersebut mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Di samping hal tersebut ada landasan hukumnya yaitu pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Undang-undang No. 48 tentang kekuasaan kehakiman maupun undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 3. Rikso Siahaan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2003. a. Judul: Disparitas pidana dalam tindak pidana korupsi. b. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Apa saja yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana korupsi dan pertimbangannya? 10

2) Bagaimanakah dalam terjadinva disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Hasil penelitiannya adalah: 1) Faktor ketentuan undang-undang yang memberikan kebebasan pada hakim dalam lembaga peradilan yang merdeka, bebas memilih berat ringannya suatu pidana yang akan dijatuhkan pada suatu perkara tindak pidana korupsi, karena tersedia baginya jenis berat ringannya pidana dalam pengancaman pidana dalam undang-undang untuk mendapatkan pidana yang paling tepat. Faktor pertimbangan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi, di mana selalu berdasarkan pada pertimbangan obyektif yang menyangkut teknis yuridis, jumlah kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa, maupun pertimbangan subyektif/ psikologis seperti usia pelaku, sikap dalam persidangan, batik, sopan, belum pernahmelakukan tidakan hukum. Hal ini merupakan kebiasaan hakim untuk membedakan terdakwa atau dengan terdakwa, yang lain dalam setiap memeriksa dan memutus perkara. Rasionalitas hakim yang menjadi dasar putusannya, yang dipengaruhi oleh proporsionalisme hakim yang bersangkutan dalam menangani perkara, untuk melihat apakah rasionalisme itu pantas atau tidak dengan teori pemidanaan dan tujuan pidana, menjadi faktor yang menentukan dalam terjadinya disparitas pidana. 11

2) Dalam memeriksa dan memutus pidana korupsi, hakim hanya berdasarkan pada fakta yang terjadi dan dikaitkan dengan kemungkinan pencegahan/pemberantasan korupsi, dengan alasan demi ketepatan, kepastian hukum dan keadilan. Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana korupsi pada dasarnya dapat dibenarkan, sepanjang memiliki alasan-alasan atau dasar pertimbangan yang dapat di pertanggungjawabkan (rasional), yaitu dijatuhkan berdasarkan, pada teori pemidanaan, mempertimbangkan tentang tujuan serta memperhatikan beberapa pedoman pidana yang relevan, terutama dikaitkan dengan masalah pemberantasan korupsi. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya terletak pada fokus permasalahan yaitu tentang disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan. Perbedaan lain adalah lokasi penelitian karena dilakukan di pengadilan negeri Bantul yang di khususkan pada tindak pidana pembunuhan. F. Batasan Konsep 1. Disparitas Pidana Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas 3. 2. Pidana 3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.52-53 12

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan /dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana 4. 3. Pelaku Tindak Pidana Pasal 55 KUHP ditentukan : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan suatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Ada 4 kategori pelaku tindak pidana : a. Pelaku (pleger) b. Yang menyuruh-lakukan (doenpleger) c. Yang turut serta (medepleger) d. Penganjur (uitlokker). 4. Pembunuhan Menurut pasal 339 KUHP : Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang di lakukan dengan maksud 4 Ibid, hlm. 54. 13

untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, maupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, di ancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan Penelitian ini adalah Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum atau data sekunder. 2. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam Penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang berupa: 1) Buku II bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa kekuasaan 338-350 KUHP. 2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukurn Acara Pidana (KUHAP) 3) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. 14

b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder meliputi literatur, hasil penelitian, makalah, dokumentasi, artikel, berkas perkara, serta pendapat-pendapat ahli hukum mengenai disparitas pidana dalam tindak pidana pembunuhan. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari Kamus Umum Bahasa Indonesia. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Cara pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur, Undang-Undang, jurnal, media internet dan sumber data lainya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. b. Wawancara Wawancara yaitu cara pengumpulan data dengan mengajukan secara langsung beberapa pertanyaan yang menyangkut dengan masalah dalam penelitian ini terhadap hakim pengadilan negeri Bantul sebagai narasumber yaitu hakim Layli. 4. Metode Analisis Data Data yang berhasil di kumpulkan dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan metode kualitatif. Metode analisis kualitatif adalah metode analisis data yang didasarkan pada pemahaman dan pengolahan data secara sistematis yang diperoleh melalui hasil wawancara dan studi 15

kepustakaan dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan teoriteori berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang relevan dengan penulisan ini, kemudian ditarik kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian 5. 5. Proses berfikir Dalam menarik kesimpulan digunakan penalaran deduktif, bertolak dari proposisi umum yang kebenarannya telah di ketahui, dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus guna menjawab tentang disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan pasal 339 KUHP. I. Sistematika Penulisan Hukum / Skripsi Penulisan hukum / skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN Bab ini berisi uraian tentang pidana, tindak pidana pembunuhan, disparitas pidana, pelaku tindak pidana, putusan tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 339 KUHP, serta berisi tentang 5 Lexi J. Moleong, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Rosdakarya, hlm. 197. 16

bagaimana dampak yang di timbulkan dari adanya disparitas pidana. BAB III PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari apa yang diteliti dan ditulis berkaitan dengan judul penulisan yang diangkat. 17