BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah melalui sekolah menengah kejuruan (SMK). Pendidikan kejuruan adalah bagian sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan dan sepanjang hidup serta segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA SELF MONITORING DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 3 PURWOKERTO. Al Khaleda Noor Praseipida

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan sangat penting. Hal ini disebabkan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk mencapai tujuan pembangunan, karena sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perekonomian, perindustrian, dan pendidikan. yang diambil seseorang sangat erat kaitannya dengan pekerjaan nantinya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah pengalaman baru yang menuntut siswa untuk

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan negara,

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL GURU-SISWA DENGAN SELF-REGULATED LEARNING PADA SISWA SMAN 9 SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah diharapkan mampu. memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif kepada para siswa guna

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK DITINJAU DARI BELAJAR BERDASAR REGULASI DIRI (SELF REGULATED LEARNING) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dengan tugas yang dihadapi pada setiap masa

BAB I PENDAHULUAN. menyadari pentingnya memiliki pendidikan yang tinggi. Untuk mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa adalah pemuda yang mempunyai peran besar dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan siswa sering melakukan prokrastinasi tugas-tugas akademik. Burka dan Yuen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naima Hady, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

I. PENDAHULUAN. Bagian ini akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Efektivitas Konseling Rasional Emotif Behavioral Dalam Meningkatkan Self-Regulated Learning Siswa

BAB I PENDAHULUAN. impian masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bangsa, maju tidaknya suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas pendidikan bangsa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Solihah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia seutuhnya. Dalam undang-undang No 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa

Universitas Kristen Maranatha. Lampiran 1. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas. Kuesioner Self-efficacy

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diajarkan di sekolah menengah atas (SMA). Mata pelajaran ekonomi juga diujikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di dalam bidang pendidikan. Perubahan perubahan tersebut menuntut

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka menjadi. pemerintah, masyarakat, maupun keluarga. Namun demikian, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya para pencari kerja di Indonesia tidak di imbangi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Seiring dengan laju pembangunan saat ini telah banyak

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SELF-EFFICACY PESERTA D IDIK D ALAM MENGHAFAL AL-QUR AN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sehari-hari manusia. Nevid (2005) berpendapat bahwa kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring ketatnya persaingan didunia pekerjaan, peningkatan Sumber Daya

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN SELF REGULATED LEARNING PADA SISWA SMA NEGERI 2 WONOGIRI. Naskah Publikasi

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan tanggung jawab yang diemban seorang guru bimbingan dan

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI AKADEMIK DENGAN PENYESUAIAN DIRI AKADEMIK PADA MAHASISWA RANTAU DARI INDONESIA BAGIAN TIMUR DI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang khususnya di dunia usaha sangat begitu ketat dan diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. banyak perusahaan yang menuntut pegawainya berpendidikan minimal sarjana,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kawan-kawan menjelaskan bahwa perubahan dibedakan menjadi empat lapis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan kuat. Selayaknya pula seorang

BAB I PENDAHULUAN. semua orang terlahir dengan bakat berwirausaha, namun sifat-sifat kewirausahaan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut maka terjadi banyak perubahan di segala bidang termasuk di bidang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pencari kerja. Orang yang mencari kerja lebih banyak, sehingga banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. inteligensi adalah faktor utama yang menentukan academic performance. Para

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan yang diperlukan dalam pembelajaran matematik. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah label yang diberikan kepada seseorang yang sedang menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. siswa agar memiliki kesiapan untuk memasuki dunia kerja. Para siswa SMK

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. kata, mahasiswa adalah seorang agen pembawa perubahan, menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Pendidikan kejuruan, atau yang sering disebut dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang diterapkan di Indonesia sendiri ternyata menjadi salah satu sistem yang dinilai dapat membawa manfaat positif bagi masyarakat di Indonesia. Dijelaskan dalam Petunjuk Teknis Direktorat Pembinaan SMK tahun 2015 bahwa salah satu strategi yang digunakan dalam kurikulum SMK adalah tidak hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill, namun juga dengan kemampuan di luar akademik atau soft skill. Muatan soft skill inilah yang kemudian menjadi keunggulan lulusan SMK sebagai generasi-generasi profesional yang siap bekerja. Menurut anonim pada tanggal 5 Desember 2011 dalam Pusat Data Dinas Pendidikan Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2001 menjelaskan bahwa salah satu dari tiga tolok ukur utama keberhasilan pembangunan pendidikan di Jawa Timur adalah meningkatnya rasio jumlah siswa SMK dibanding siswa SMA. Mengingat pentingnya pendidikan SMK sebagai program pengentasan kemiskinan dan pengangguran, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menetapkan lima prioritas pembangunan pendidikan, salah satunya adalah pembinaan pendidikan SMK dengan target kinerja meningkatkan rasio jumlah siswa SMK dibanding siswa SMA dari 45% : 55% pada 1

2 tahun 2009 menjadi 60% : 40% pada tahun 2014. Lain halnya dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, meskipun tidak menerapkan tolok ukur tersebut, menurut anonim tahun 2014 dalam Data Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014, di Provinsi Jawa Tengah sendiri, jumlah peserta didik SMK hampir mencapai dua kali lipat jumlahnya dari peserta didik SMA. Dengan demikian, usaha pemerintah dalam menjadikan SMK sebagai instansi pendidikan yang dapat dipilih oleh masyarakat untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan sudah mulai nampak. SMK pada prosesnya menekankan sistem pembelajaran pada teori, pengembangan pengetahuan, dan pelatihan yang menuntut siswa untuk memiliki keterampilan tertentu (Abror & Jati, 2016, h. 2). Sistem pembelajaran tersebut tentunya dirancang untuk membentuk siswa agar siap dalam memasuki dunia kerja yang sesuai dengan program keahliannya. Demikian pula dengan siswa SMK yang seharusnya menyadari bahwa keahlian kompetensi yang dijalani menuntut mereka untuk memiliki strategi yang tepat dalam usaha mencapai cita-cita, khususnya ketika sudah memasuki dunia kerja. Penting bagi siswa SMK untuk memiliki kemampuan mengatur, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi setiap aktivitas pembelajaran. Hal yang membedakan siswa SMK dengan siswa SMA adalah selain dituntut unggul dalam mata pelajaran, mereka juga harus mampu menyeimbangkan dengan tugas dan praktikum sesuai dengan kejuruannya. Berbeda dengan siswa SMA yang di kurikulumnya tidak terdapat kejuruan keahlian, maka siswa SMK harus memiliki strategi

3 agar kemampuan dalam mata pelajaran dan pengerjaan tugas maupun praktikum dapat berjalan dengan seimbang. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan pengaturan diri. Zimmerman (dalam Schunk, 2012, h.545) mengatakan bahwa pengaturan diri merupakan proses memfokuskan pikiran, tindakan, dan perasaan agar menjadi sistematis untuk pencapaian tujuan. Kemampuan untuk mengatur diri dalam proses belajar ini sering disebut dengan Self Regulated Learning (SRL). SRL dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan regulasi diri dalam pembelajaran. SRL merupakan pendekatan yang penting dalam proses pembelajaran. Menurut Zimmerman & Schunk (dalam Schunk, 2012, h. 168) SRL adalah proses dimana perilaku, kognisi, dan pengaruh dipertahankan oleh individu dan diorientasikan pada pencapaian tujuan. Proses pembelajaran tersebut diatur sendiri oleh individu terhadap proses-proses kognitif agar proses belajar berjalan sukses (Ormrod, 2009, h. 38). Menurut Gagne (dalam Latipah, 2010, h. 111) unsur-unsur yang memengaruhi proses pembelajaran agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut. SRL memberikan pandangan mengenai pentingnya tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh (Zimmerman dalam Latipah, 2010, h. 111). Kemampuan memiliki SRL ini dibutuhkan siswa agar mampu mengatur, mengarahkan, mengendalikan, dan memonitor dirinya sendiri terhadap tugas-tugas pembelajaran.

4 Sejalan dengan penelitian Jannah (2015, h. 80) menunjukkan bahwa tingkat SRL siswa kelas XI SMK Informatika Bandung masih tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan dengan fakta kelas XI masih banyak yang memiliki nilai di bawah KKM. Hal tersebut dikarenakan siswa mengalami kesulitan membagi waktu belajar dan istirahat. Hal lain juga disebutkan bahwa siswa rata-rata sudah memiliki berbagai rencana untuk mencapai prestasi tetapi belum terealisasi sepenuhnya. Siswa menyadari bahwa nilai yang mereka peroleh belum maksimal, tetapi siswa belum mampu melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki nilai tersebut. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Novitayati (2013, h. 49) pada siswa SMK Negeri 3 Malang, ditemukan lebih dari 60% siswa memiliki SRL yang rendah. Dibuktikan dengan banyaknya siswa yang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di sekolah, mencontek tugas teman, dan kurangnya kedisiplinan siswa dalam pengumpulan tugas yang diberikan. SRL merupakan kombinasi antara keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa lebih mudah, sehingga membuat siswa lebih termotivasi (Glynn, dkk., dalam Latipah, 2010, h. 112). Siswa yang belajar dengan menggunakan SRL mampu mentransformasikan kemampuan mentalnya menjadi berbagai keterampilan dan strategi akademik (Zimmerman dalam Latipah, 2010, h. 112). SRL sejatinya tidak hanya berfokus pada persoalan akademik, tetapi juga kegiatan di luar kegiatan akademik. Siswa yang memiliki SRL yang tinggi akan lebih memilih kegiatan-kegiatan yang dapat

5 menunjang cita-citanya, atau paling tidak, mereka dapat mengontrol seberapa penting kegiatan itu untuk dilakukan tanpa harus mengganggu kegiatan lainnya. Peran positif SRL terletak pada penentuan tujuan, perencanaan, dan memonitor diri sendiri yang menjadi aspek penting bagi prestasi anak dan remaja (Anderman dkk. dalam Jannah, 2009. h. 81). Covey (2001, h.160) menyebutkan bahwa individu yang lebih banyak mengisi kegiatan mereka di kuadran dua, yaitu kuadran penting dan tidak mendesak, merupakan pribadi yang efektif. Individu yang efektif memeriksa segala sesuatu yang perlu dikerjakan, lalu menyusun prioritas hal-hal yang lebih utama. Seperti misalnya mengerjakan PR tepat waktu, atau menolak ajakan teman untuk bermain ketika akan ujian. Sama halnya dengan siswa yang memiliki SRL tinggi, tentunya mampu memilah kegiatan apa saja yang dikategorikan dalam kuadran penting dan tidak mendesak. Mereka cenderung lebih mempersiapkan rencana apa saja yang hendak dicapai, dan menganggap bahwa untuk mencapai hal tersebut perlu dilakukan usaha-usaha yang menunjang. Menurut Jannah (2015, h. 81) siswa dengan SRL tinggi dikatakan sebagai siswa yang berhasil. Artinya, siswa dapat mencapai cita-citanya karena mampu secara kognisi, perasaan, dan tindakan mengatur apa yang harus mereka lakukan. SRL yang tinggi juga akan berpengaruh pada aktivitas siswa, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan lainnya. Kemampuan mengatur diri tentunya akan berdampak pada penggunaan waktu siswa dalam melakukan aktivitas. Apabila

6 siswa dapat mengatur waktu, maka aktivitas akan menjadi teratur dan tentunya menghindarkan siswa dari kelelahan fisik maupun psikis. Sebaliknya, siswa yang kesulitan mengatur diri dan mengatur waktu akan cenderung melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pencapaian cita-cita. Contoh kecil di kehidupan nyata, siswa dengan SRL rendah memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam tawuran. Kegagalan siswa dalam proses belajar karena rendahnya SRL juga dapat menyebabkan frustrasi yang akan semakin menghambat proses pencapaian cita-cita. Selain itu, apabila siswa dibiarkan memiliki SRL rendah maka akan berdampak pada kelulusan. Siswa akan kesulitan dalam memenuhi standar kelulusan minimal yang setiap tahunnya naik. Siswa SMK merupakan generasi yang dibentuk untuk siap bekerja. Kemampuan untuk meregulasi diri tentu sangat dibutuhkan dalam dunia pekerjaan. Menurut Latipah (2010, h.111), SRL berperan penting karena dewasa ini semakin banyak orang yang berganti pekerjaan secara terus menerus karena ketidaksesuaian dalam pekerjaan tersebut. Hal lain yang menekankan pentingnya memiliki SRL adalah siswa berpotensi mengalami kesulitan mencari pekerjaan apabila tidak mampu merencanakan dan mengatur diri maupun kegiatannya. Fakta lain di lapangan, menurut anonim pada tanggal 10 Agustus 2015 menyatakan bahwa menurut Badan Pusat Statistik jumlah tenaga kerja di Indonesia terhitung mulai bulan Agustus 2014 mencapai 182,99 juta orang. Dari jumlah tersebut, 7,24 juta orang di antaranya berstatus pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka paling banyak

7 salah satunya adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang berjumlah 11,24 persen dari total jumlah pengangguran. Jumlah lulusan SMK yang menganggur ini ternyata lebih banyak dibandingkan dengan lulusan SMA yang hanya 9,55 persen. Informasi tersebut dijelaskan oleh anonim pada tanggal 19 Desember 2008, bahwa salah satu penyebab banyaknya jumlah lulusan SMK yang menganggur karena belum adanya link and match antara kompetensi lulusan SMK dengan kualifikasi keahlian yang dibutuhkan dunia industri. Artinya peningkatan mutu kompetensi siswa sangat dibutuhkan agar dapat menghadapi tantangan globalisasi. Informasi tersebut membuktikan bahwa kompetensi lulusan siswa SMK berperan penting dalam persiapan memasuki dunia kerja. Siswa dengan SRL yang tinggi tentu akan lebih siap menghadapi dunia kerja dengan memaksimalkan mutu kompetensi yang dimilikinya. Berbekal kemampuan akademik dan keahlian kejuruan, siswa yang memiliki SRL tinggi mampu merencanakan dan mengatur mengenai apa saja yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Maka dapat disimpulkan bahwa SRL berperan penting dimiliki oleh siswa SMK, mulai dari proses belajar di sekolah, di rumah, hingga di dunia kerja. Semakin tinggi SRL yang dimiliki siswa maka semakin tinggi pula potensi keberhasilan untuk mencapai cita-cita. Harapan bahwa penting bagi siswa untuk memiliki SRL yang tinggi demi pencapaian cita-cita, ternyata tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Fakta yang ditemukan berdasarkan wawancara singkat peneliti pada bulan Oktober 2015 dengan lima siswa SMK Negeri 4 Semarang, justru mengungkap rata-rata siswa memiliki SRL yang

8 rendah. Ditandai dengan masih seringnya terlambat ke sekolah, atau menunda tugas karena memprioritaskan tugas lainnya. Informasi yang didapatkan peneliti menunjukkan bahwa rata-rata siswa di SMK Negeri 4 Semarang masih sering terlambat datang ke sekolah, bahkan hampir setiap hari ada siswa yang terlambat. Selain itu siswa juga sering melakukan kecurangan akademik, seperti mencontek baik ketika ujian maupun dalam pengerjaan tugas. Beberapa siswa mengaku jika mereka baru akan memulai mengerjakan tugas di hari pengumpulan tugas, dengan mencontek tugas milik temannya. Sama halnya ketika akan menghadapi ujian, salah satu siswa mengaku sudah mencoba belajar jika akan menghadapi ujian, namun tetap saja godaan untuk mencontek besar. Pada akhirnya siswa lebih memilih untuk mencontek daripada berusaha mengerjakan ulangan secara mandiri. Berdasarkan fakta di atas peneliti dapat melihat indikasi rendahnya SRL pada siswa, ditandai dengan siswa masih kurang mampu mengatur dirinya dalam aktivitas belajar seperti sering mengerjakan tugas mendekati hari pengumpulan, atau kurangnya persiapan belajar sehingga mereka mencontek ketika ujian. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Pujiati dan Widiyastuti (dalam Puspitasari dkk., 2013, h. 2) yang menjelaskan bahwa beberapa bukti mengenai rendahnya SRL ditandai dengan perilaku datang terlambat ke sekolah, melakukan kecurangan akademik seperti mencontek saat mengerjakan tugas atau ulangan, dan tidak menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Ketidakmampuan mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM),

9 rendahnya kemauan untuk mengerjakan tugas dengan optimal, rendahnya kemauan siswa untuk meminta perbaikan jika ada nilai yang tidak memenuhi KKM, seringnya menggunakan sistem sistem kebut semalam (SKS), dan tidak memiliki jadwal belajar yang rutin juga termasuk dalam ciri-ciri siswa dengan SRL rendah (Pujiati & Widiyastuti dalam Puspitasari dkk., 2013, h.5). Proses pembelajaran tidak lepas dari beberapa faktor yang memengaruhinya. Menurut Schunk (2012, h. 185) salah satu faktor yang memengaruhi proses pembelajaran adalah self-efficacy atau efikasi diri, yang di dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan academic selfefficacy. Schunk & Pajares (dalam Usher & Pajares, 2008, h. 751-752) membuktikan bahwa siswa yang memiliki academic self-efficacy yang tinggi maka mereka memiliki kemampuan untuk memonitor waktu belajar mereka agar lebih efisien, bekerja keras, lebih sering mengevaluasi kemajuan dalam aktivitas belajar, dan mengatasi masalah secara lebih efisien. Hal tersebut mengindikasikan tingginya SRL. Menurut Adicondro & Purnamasari (2011, h. 23) self-efficacy yang tinggi menyebabkan munculnya SRL yang juga tinggi, sama halnya dengan academic self-efficacy yang akan memengaruhi SRL pada siswa. Siswa dengan academic self-efficacy yang tinggi memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mengatur dan menyelesaikan tugas akademik yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Hal tersebut akan berdampak pada SRL yang juga tinggi, dimana siswa mampu mengelola pengalaman belajar secara efektif dengan berbagai cara sehingga mencapai hasil yang optimal.

10 Salah satu penelitian mengungkap bahwa salah satu faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya SRL selain academic self-efficacy adalah kedekatan keluarga, atau dalam hal ini peneliti menyebut dengan family closeness. Hasil penelitian Lee, dkk (2007, h. 783) menunjukkan bahwa family closeness memiliki korelasi positif terhadap SRL pada siswa. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara family closeness dengan SRL yang ditandai dengan adanya kecenderungan siswa untuk mengatur waktu belajar dengan bijak, memonitor proses pembelajaran mereka sendiri, mengkondisikan suasana belajar agar dapat berkonsentrasi, atau mencari bantuan pada orang tua atau teman sebaya jika menghadapi kesulitan dalam mempelajari mata pelajaran. Lee, dkk (2007, h. 784) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa ketika siswa memiliki family closeness dengan anggota keluarganya, siswa dapat merasa lebih aman sehingga memiliki kemauan untuk menggunakan kemampuan SRL. Siswa akan menentukan tujuan atau cita-cita mereka kemudian menunjukkan performa lebih baik untuk mencapai tujuan atau cita-cita tersebut. Hal ini tentunya berkaitan tingginya SRL dimana mereka akan melakukan perencanaan terhadap tujuan mereka, kemudian mengatur bagaimana mereka akan melakukan rencana-rencana tersebut, memonitor, serta mengevaluasinya, Menurut Allen, dkk., (dalam Santrock 2002, h. 41) bahwa kedekatan orang tua dengan anak dapat membantu siswa dalam penyesuaian emosional. Siswa dengan family closeness yang tinggi

11 memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik, cenderung percaya diri dalam melaksanakan proses pembelajaran, memiliki strategi belajar, mengatur waktu secara bijaksana, memilih tempat belajar yang dapat meningkatkan konsentrasi, dan mencari bantuan terhadap keluarga, guru, atau teman sebaya. Santrock (2002, h. 41) juga mengungkapkan bahwa family closeness yang tinggi dapat menghindarkan siswa dari rasa cemas maupun potensi perasaan depresi yang berkaitan dengan proses pembelajaran di usia transisi seperti pada siswa SMK. Hal penting yang diungkapkan dalam penelitian Lee, dkk (2007, h. 779) adalah ketika siswa memiliki tingkat family closeness yang tinggi, siswa akan merasa aman, dan memiliki keinginan menggunakan strategi SRL untuk mencapai tujuan atau cita-cita. Dari pendapat beberapa ahli mengenai academic self-efficacy dan family closeness tersebut menunjukkan bahwa keduanya memengaruhi SRL pada siswa. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi SRL diantaranya adalah faktor individu (pribadi), perilaku dan lingkungan. Academic self-efficacy termasuk dalam faktor individu (pribadi) dan family closeness termasuk dalam faktor lingkungan. (Zimmerman dalam Adicondro & Purnamasari, 2011, h. 19). Hal tersebut menunjukkan bahwa academic self-efficacy dan family closeness termasuk dalam faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya SRL pada siswa. Academic self-efficacy menentukan besar kecilnya keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan aktivitas belajar sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Selain academic self-efficacy, family closeness juga merupakan prediktor untuk memprediksi tinggi

12 rendahnya SRL (Lee, dkk., 2007, h. 784). Siswa dengan tingkat family closeness yang tinggi, siswa akan merasa aman, dan memiliki keinginan menggunakan strategi SRL untuk mencapai tujuan atau cita-cita. Didukung oleh hasil penelitian Lee, dkk (2007, h. 783) yang menunjukkan ada korelasi positif yang signifikan antara family closeness dengan SRL. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi family closeness pada siswa maka semakin tinggi pula SRL yang dimiliki siswa. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui SRL ditinjau dari academic self-efficacy dan family closeness pada siswa SMK. B. Tujuan Penelitian Sesuai dengan judul penelitian yang diajukan, maka tujuan penelitian tersebut, yaitu untuk mengetahui hubungan antara self regulated learning (SRL) ditinjau dari academic self-efficacy dan family closeness pada siswa SMK. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan psikologi, khususnya psikologi pendidikan. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self regulated learning, academic self-efficacy dan family closeness.

13 Selain itu juga diharapkan dapat memberi referensi untuk meningkatkan SRL pada siswa SMK.