BAB I PENDAHULUAN. Fisika telah begitu populer di Indonesia, tetapi hanya dari sisi abu-abu.

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Pola Scaffolding terhadap Kemampuan Analogi Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuliani Susilawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. (SMA)/Madrasah Aliyah (MA). Fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di SMA

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

I. PENDAHULUAN. permasalahannya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Konsep dan prinsip

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. secara kualitatif maupun kuantitatif serta membantu sikap positif terhadap

BAB I PENDAHULUAN. materi perkuliahan, kegiatan perkuliahan, dan asesmen. Asesmen merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Muhammad Gilang Ramadhan,2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

JIPFRI: Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika dan Riset Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti belajar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut kemudian diatur

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

PENGEMBANGAN MODEL ASESMEN PROBLEM ISOMORFIK DENGAN ANALISIS BERBANTUAN KOMPUTER UNTUK PEMBELAJARAN FISIKA PADA KONSEP KALOR

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASSESSMENT ISOMORPHIC DAN RUBRIKNYA PADA MATERI HUKUM II NEWTON BERBASIS MULTIREPRESENTASI

FISIKA SEKOLAH 1 FI SKS

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. panas. Pada zaman modern sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian belajar dalam kehidupan sehari-hari seringkali diartikan yang kurang

61. Mata Pelajaran Fisika Kelompok Teknologi dan Kesehatan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matematika pada umumnya identik dengan perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan di sekolah dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PREDICT- OBSERVE-EXPLAIN-WRITE (POEW) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA PADA SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 11 PALU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVII/Mei 2013 METODE DISKUSI KELOMPOK BERBASIS INQUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

SELING Jurnal Program Studi PGRA ISSN (Print): ; ISSN (Online): X Volume 4 Nomor 1 Januari 2018 P

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang gejala-gejala alam yang didasarkan pada hasil percobaan dan

10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika pada umumnya dianggap sulit oleh sebagian besar siswa

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pembelajaran : SMA Negeri 9 Makassar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BIOLOGI DAN RUANG LINGKUP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR

BAB I PENDAHULUAN. (1) penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan; (2) proses pembelajaran

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH VEKTOR YANG DIREPRESENTASIKAN DALAM KONTEKS YANG BERBEDA PADA MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari, seperti perhitungan dalam jual-beli, menghitung kecepatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Politeknik sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

I. PENDAHULUAN. erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu pembelajaran harus

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pembelajaran : SMA Negeri 9 Makassar

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan kemampuan untuk memperoleh informasi, memilih informasi dan

2014 PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER DALAM PEMBELAJARAN OPERASI PERKALIAN BILANGAN CACAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yosia Marin, 2015

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dampak globalisasi saat ini sangat berpengaruh bagi perkembangan IPTEK dan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Metode

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik yang dapat memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan baik

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fisika telah begitu populer di Indonesia, tetapi hanya dari sisi abu-abu. Fisika dikenalkan kepada anak mulai dari SD dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam hingga SMA di mata pelajaran fisika secara mandiri. Mata pelajaran fisika lebih dikenal sebagai mata pelajaran yang menakutkan dibandingkan sebagai mata pelajaran yang menarik. Kata fisika selalu dikaitkan dengan rumus yang susah dan harus dihafal, daripada fisika dikaitkan dengan gejala-gejala alamiah yang menarik dan bermanfaat. Jadi, dari awal menjadi siswa atau sebagian besar masyarakat indonesia sudah memiliki persepsi yang kurang utuh terhadap ilmu fisika. Selama ini, sebagian besar guru lebih memilih target siswa mampu dan dapat mengerjakan soal ujian fisika, bukan pada siswa mampu menyelesaikan permasalahan dengan konsep fisika. Ditambah dengan dikejarnya target nilai minimal UN, sehingga tidak heran muncul rumus-rumus singkat untuk menyelesaikan soal-soal ujian fisika. Hal ini dibuat lebih ironi dengan munculnya bimbingan belajar yang menitikberatkan penyelesaian soal-soal fisika bukan pada pemahaman fisika itu sendiri. Sehingga pemahaman tentang fisika memang dikenal dengan banyak rumus, hitungan, dan hafalan rumus. Ketika dihadapkan dengan soal fisika, baik pada saat ulangan harian, ulangan umum, maupun ujian, rumus yang telah dihafal seketika menjadi hilang.

2 Hal itu dikarenakan siswa masih bingung dalam penggunaan rumus yang tepat dalam menyelesaikan soal fisika. Siswa merasa kebingungan dalam menentukan rumus yang tepat untuk menyelesaikan soal ketika siswa baru menghadapi soal. Jadi, ketika menghadapi soal, siswa tidak merasa bingung mengenai konsep yang digunakan untuk menyelesaikan soal. Hal tersebutlah yang menyebabkan siswa merasakan harus menghapal banyak rumus. Apabila semua siswa memiliki pemikiran yang sama, maka fisika merupakan pelajaran hafalan layaknya pelajaran yang berbasis sosial. Padahal, fisika merupakan cabang dari ilmu alam yang tidak terlalu banyak membutuhkan hafalan melainkan kemampuan analitis. Sebagaimana telah dipaparkan oleh menteri tentang fungsi dari pelajaran fisika di SMA yaitu: i) Menyadarkan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME, ii) Memupuk sikap ilmiah yang mencakup; jujur dan obyektif terhadap data, terbuka dalam menerima pendapat berdasarkan bukti-bukti tertentu, kritis terhadap pernyataan ilmiah, dan dapat bekerja sama dengan orang lain, iii) Memberi pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menyusun laporan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara tertulis dan lisan, iv) Mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, v) Menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, serta memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah. (Depdiknas, 2003). Merujuk dari fungsi yang ke-4, maka kita dapat nyatakan bahwa pelajaran fisika bukanlah pelajaran hafalan. Baik itu hafalan materi, konsep, maupun rumus. Melainkan pelajaran yang memerlukan kemampuan mengembangkan berpikir analitis dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika yang dipelajari untuk setiap permasalahan.

3 Berdasarkan hasil studi pendahuluan di salah satu SMA Negeri di Kota Cianjur dengan 15 orang responden menunjukkan bahwa 57,14% (8 orang) siswa senang belajar fisika, namun 76,90% (11 orang) dari mereka kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep fisika secara mendalam. Sebanyak 85,71% (12 orang) siswa menyatakan bahwa mereka lebih banyak tahu mengenai rumus-rumus dibandingkan dengan konsep fisikanya yang mengakibatkan adanya kesulitan dalam menyelesaikan permasalah-permasalahan fisika. Hal ini pun terjadi tatkala siswa diberikan contoh soal terlebih dahulu, kemudian mengerjakan soal yang mirip dengan contoh soal tersebut. Ternyata, hanya 2 orang siswa dari 15 orang yang dapat mengerjakannya dengan baik. Ketika soalnya berubah konteks, kedua siswa ini pun keliru dalam menjawab permasalahan dengan perubahan konteks tersebut, sehingga dapat terlihat bahwa siswa memang benar-benar kurang menguasai konsep fisika. Hal lebih lanjut dari kasus tersebut dapat kita lihat dari kemampuan analogi siswa yang juga kurang, karena untuk menghubungkan satu permasalahan dengan permasalahan lainnya walaupun terdapat kemiripan, siswa tetap merasa kebingungan dan tidak bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk memenuhi keinginan pemerintah yang telah mencantumkan fungsi dari pelajaran fisika, maka hal yang harus diperhatikan yaitu kemampuan berpikir analitis. Kemampuan berpikir analitis tersebut salah satunya yaitu kemampuan menalar atau kemampuan analogi. Penalaran atau kemampuan analogi yang dimiliki siswa tersebut sangat dibutuhkan sekali dalam pelajaran fisika. Kemampuan analogi siswa tidak boleh kurang. Apabila kemampuan analogi siswa kurang, maka siswa akan terus

4 menghafal banyak rumus bukan memahami konsep. Hal itu dikarenakan pelajaran fisika yang sudah bisa dianalogikan dengan kehidupan sehari-hari maupun dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Bila kemampuan analogi yang dimiliki siswa cukup tinggi, maka rumus yang banyak akan terasa sangat sedikit karena dalam pengerjaan soal sudah menggunakan kemampuan menganalogikan rumus berdasarkan konsep fisika yang digunakan. Sesuai dengan hasil observasi di salah satu sekolah menengah negeri, secara umum menunjukkan apabila siswa diberi contoh soal, maka siswa tersebut akan mengerti dengan apa yang telah dijelaskan. Sehingga siswa dapat mengerjakan soal dengan baik jika soal yang diberikan sama atau identik (tidak memiliki perbedaan konteks) dengan contoh soal yang diberikan. Perihal tersebut akan berbeda jika soal yang diberikan memiliki konteks yang tidak identik. Ketika siswa diberi soal ataupun masalah yang tidak identik dengan contoh soal yang diberikan, maka secara umum siswa akan mengalami kesulitan dalam penyelesaiannya. Soal yang diberikan secara tidak identik atau bisa disebut juga memiliki konteks yang berbeda menyebabkan siswa harus berpikir lebih keras. Kesukaran siswa untuk menjawab pertanyaan yang tidak memiliki keidentikan tetapi memiliki kesamaan konsep dalam jawabannya disebabkan karena kemampuan analogi yang kurang. Pengembangan kemampuan analogi yang kurang menyebabkan siswa merasa kesulitan untuk menganalogikan jawaban yang sebenarnya telah dipelajari di dalam contoh soal.

5 Di dalam penelitian Shih Yin-Lin kemampuan analogi siswa diukur menggunakan soal isomorfik. Soal isomorfik menurut Hayes dan Simon (Shih- Yin Lin dan Chandralekha Singh, 2011) dalam bahasa sederhana, memiliki makna bahwa masalah isomorfik didefinisikan sebagai masalah yang dapat dipetakan satu sama lain dalam hubungan satu-persatu dalam solusinya dan kemudian beranjak pada pemecahan masalah. Isomorphic problems are defined as problems that can be mapped to each other in a one-to-one relation in terms of their solutions and the moves in the problem solving trajectories. Sehingga, ketika ada dua permasalahan yang dipetakan satu sama lain maka dibutuhkan satu penghubung yang merupakan cara pemecahannya. Jadi, ketika ada dua atau lebih soal dalam satu materi, maka penyelesaian soal-soal tersebut cukup satu, bukan di tiap satu soal memiliki satu solusi penyelesaiannya. Merujuk pada hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, pengambilan data yang digunakan merupakan soal mata pelajaran fisika berbentuk soal isomorfik, dari 12 responden hanya tujuh responden yang menjawab soal isomorfik tersebut. Tetapi tidak semua pertanyaan yang disajikan dijawab oleh responden. Hal itu cukup untuk melihat bahwa ketika siswa diberikan permasalahan atau soal yang memiliki konteks yang berbeda tidak bisa secara langsung diberikan. Diperlukan penghubung antara materi dengan soal maupun antara soal dengan soal. Hal yang dijadikan sebagai penghubung berupa bantuan atau dalam istilah pendidikan dikenal dengan nama scaffolding. Melihat dari kondisi yang telah dipaparkan mendorong peneliti melakukan penelitian agar siswa dapat mendeskripsikan kemampuan analoginya dalam

6 pembelajaran fisika. Kemampuan analogi tersebut dikembangkan dengan melalui pola pembentukan siswa atau scaffolding. Secara umum menurut Shih-Yin Lin dan Chandralekha Singh terdapat tiga pola scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran fisika melalui tes isomorfik. Pemberian scaffolding yang berbeda pada tes isomorfik yang diberikan akan memungkinkan terjadinya perbedaan pengembangan kemampuan analogi siswa dalam menjawab soal yang disediakan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memberikan judul penelitian ini Analisis Pola Scaffolding pada Tes Mata Pelajaran Fisika dengan Soal Isomorfik B. Rumusan Masalah Berlandaskan dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang dapat dirumuskan secara umum adalah Pola scaffolding manakah yang dapat mempengaruhi kemampuan analogi siswa?. Pertanyaan tersebut dapat dijabarkan menjadi pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tingkat kemampuan analogi siswa ketika diberikan tes soal isomorfik? 2. Apakah terdapat pola hubungan antara pola scaffolding dan kemampuan analogi? 3. Bagaimana kekonsistenan antara pola scaffolding pada tipe soal deskriptif dan pola scaffolding pada tipe soal skema?

7 C. Batasan Masalah Supaya permasalahan yang dikaji tidak terlalu luas, maka masalah yang ditinjau: Kemampuan analogi siswa dibatasi pada banyaknya pola jawaban siswa yang benar saat diberikan tes mata pelajaran fisika berupa soal isomorfik. Pada saat siswa dapat mengerjakan soal kuis yang isomorfik dengan soal latihan yang telah diberikan sebelumnya, dengan langkah-langkah penyelesaian soal dengan banyak pola jawaban yang benar, maka akan diperoleh skor yang besar sehingga siswa dapat dikatakan memiliki kemampuan analogi baik. Kemudian, pola scaffolding dibatasi pada 3 pola, yaitu pola 1 (pemberian soal latihan dan petunjuk kesamaan soal), pola 2 (pemberian soal latihan dan pengerjaan kembali soal), dan pola 3 (pemberian contoh soal, petunjuk penyelesaian soal, dan persamaan) D. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas, scaffolding dalam tes 2. Variabel terikat, kemampuan analogi siswa E. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pola scaffolding yang dapat mempengaruhi kemampuan analogi siswa. Tujuan khusus dari penelitian yang dilakukan yaitu: 1. Untuk mengetahui tingkat kemampuan analogi siswa. 2. Untuk mengetahui pola hubungan antara pola scaffolding dan kemampuan analogi.

8 3. Untuk mengetahui kekonsistenan antara pola scaffolding pada tipe soal deskriptif dan pola scaffolding pada tipe soal skema. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya yaitu: 1. Bagi peneliti a. Memberikan penjelasan tentang pola scaffolding dan soal isomorfik yang dapat mempengaruhi kemampuan analogi siswa. b. Mengaplikasikan kemampuan yang telah diperoleh selama menjalani perkuliahan. 2. Bagi guru fisika di sekolah a. Memberikan penjelasan tentang pola scaffolding yang dapat mempengaruhi kemampuan analogi siswa. b. Dapat mengetahui cara tercepat agar siswa bisa lebih cepat memahami konsep dan dapat memecahkan soal fisika dengan tepat. 3. Bagi siswa a. Dapat mengembangkan kemampuan analogi siswa dalam pelajaran fisika. b. Dapat membuat siswa menjadi lebih cepat dalam mengerjakan permasalahan fisika yang memiliki kesamaan (isomorfik). G. Definisi Operasional 1. Scaffolding dalam tes didefinisikan sebagai suatu bantuan yang dilakukan dalam pembangunan kemampuan dasar siswa untuk membimbing siswa dalam

9 memecahkan soal dalam tes pembelajaran. Pemberian scaffolding dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah-masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Scaffolding yang digunakan dalam penelitian ini tidak semua bentuk, tetapi hanya difokuskan pada pemberian soal latihan, contoh soal, petunjuk kesamaan soal, pengerjaan soal kembali, dan petunjuk penyelesaian soal (keyword). Petunjuk penyelesaian masalah hanya diberikan pada satu kelas saja, begitu pula dengan petunjuk kesamaan soal dan pengerjaan soal kembali, tetapi untuk pemberian soal latihan, diberikan kepada dua kelas eksperimen. Sedangkan untuk contoh soal, hanya diberikan kepada satu kelas yang diberikan petunjuk penyelesaian soal (keyword). 2. Kemampuan analogi didefinisikan sebagai kemampuan untuk membandingkan dua keadaan yang berbeda tetapi terdapat hubungan di dalamnya. Analogi terbagi menjadi dua yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif. Analogi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analogi induktif. Hal itu dikarenakan analogi induktif adalah analogi yang disusun dari prinsip yang sama pada dua keadaan yang berbeda. Instrumen yang digunakan yaitu berupa soal isomorfik dengan bentuk uraian yang terdiri dari dua soal yang memiliki kesamaan konsep tetapi memiliki perbedaan konteks. 3. Isomorphic Problem didefinisikan sebagai masalah yang dapat dipetakan satu sama lain dalam hubungan satu-persatu dalam solusinya dan kemudian beranjak pada pemecahan masalah yang hampir sama atau memiliki kesamaan dengan permasalahan sebelumnya. Ketika ada dua atau lebih soal dalam satu

10 materi, maka penyelesaian soal-soal tersebut cukup satu, bukan di tiap satu soal memiliki satu solusi. Soal isomorfik yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk uraian yang terdiri dari dua soal dengan salah satu soal dijadikan sebagai contoh soal dan soal latihan, sedangkan soal lainnya dijadikan sebagai soal yang akan diteskan (soal kuis).