BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase-fase kehidupan sejak ia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia menggunakan fungsi panca indera dan bagian-bagian tubuh lainnya, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian, adil dan merata, serat pengutamaan dan manfaat dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN PUSAT PELATIHAN NASIONAL ATLET PARALIMPIK I - 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

KEMANDIRIAN PADA DEWASA DIFABEL NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi. Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahkluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah sebuah permasalahan yang diyakini dapat menghambat cita-cita bahkan

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Manusia Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh ( Anak_

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : kerja Bagi Penyandang Disabilitas Netra. dapat dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna. Tercapainya prestasi

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

BAB I PENDAHULUAN. penyandang cacat fisik dan mental. lalu. Data jumlah penyandang cacat yang tertera sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sportifitas dan jiwa yang tak pernah mudah menyerah dan mereka adalah

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PEMBERDAYAAN WARGA DIFABEL: KUNCI SUKSES PENGGALIAN POTENSI DALAM BIDANG BISNIS

BAB I PENDAHULUAN. membuat progam latihan untuk pembinaan kondisi fisik seorang atlet. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik kecacatan yang dialami dari lahir maupun karena kecelakaan yang mengakibatkan seseorang menjadi cacat. Kondisi yang tidak sempurna membuat penyandang difabel memiliki keterbatasan dan hambatan dalam menjalani kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela; aib; 4) Tidak (kurang) sempurna (Alwi, 2005). Penyandang difabel akan mengalami kesulitan dalam mobilitasnya. Untuk mengenal lingkungan dan berkomunikasi bagi penyandang difabel yang memiliki kelainan pada penglihatan, penyandang difabel memerlukan sarana khusus, seperti tongkat, buku-buku Braille, kaca mata bantu, dan sebagainya. Penyandang difabel yang memiliki kelainan lain seperti cacat kaki membutuhkan bantuan kruk dan kursi roda untuk dapat berjalan melakukan aktivitasnya dan masih banyak lagi. Penyandang difabel sering dianggap tidak berguna di masyarakat, bahkan penyandang difabel sendiri sering beranggapan bahwa dirinya hanya merepotkan orang-orang disekitarnya. Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor- 1

2 faktor penyebabnya, baik faktor dari dalam (bawaan/congenital) maupun faktor dari luar (lingkungan setelah individu lahir/kecacatan mendadak), mempunyai pandangan negatif terhadap kondisi cacatnya, dan menjadi subjek stereotype prejudice serta limitation baik dari masyarakat yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak mampu (Lahey, 2004). Lebih parahnya lagi banyak reaksi yang timbul oleh penyandang difabel yang mengalami kecacatan secara mendadak (kecelakaan) akan menjadi kehilangan semangat hidup, tidak bisa menerima kenyataan dan cenderung menganggap dunia ini tidak adil bagi penyandang difabel. Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk seseorang melakukan sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih kecil (Nurkolis dalam Dermanto, 2007). Tidak heran bila penyandang difabel menjadi depresi dan mengakhiri hidupnya bagi difabel yang mengalami kecacatan secara mendadak. Perubahan drastis tersebut, seperti kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan, terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan pada awalnya ia memiliki fisik yang normal, mampu beraktivitas dengan baik, tidak ada hambatan fisik untuk melakukan sesuatu, bekerja, berolah raga, berlari, dan lain-lain tiba-tiba dihadapkan pada kondisi cacat yang membuat individu menjadi terbatas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, mengurus diri sendiri, bekerja (Burns dalam Hutapea, 2010). Setelah mengalami perubahan fisik, penyandang difabel harus membiasakan diri dengan keadaanya yang baru agar bisa beraktifitas seperti pada saat penyandang difabel belum mengalami kecacatan. Bukan hanya membiasakan diri dengan keadaan

3 fisik, tapi juga menata kembali mental mereka agar bisa menerima keadaan yang kini dialami dan lebih percaya diri. Penyandang difabel memerlukan dukungan secara psikis dari orang terdekat maupun masyarakat di sekitar. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya lebih tabah lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal. Sedangkan individu yang mengalami kecacatan setelah lahir (apalagi setelah individu memasuki masa dewasa) ketika individu sudah membangun cita-cita dari awal, mempunyai tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, bekerja dan lain-lain, maka individu akan mengalami tekanan psikologis yang berat karena setelah terjadi kecelakaan dan divonis cacat mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi, diskriminasi oleh lingkungan, alienasi, helpless perasaan rendah diri, stereotype negatif (seperti helpless, dependent dan merepotkan orang lain, orang yang malang dan perlu dikasihani), worthless (Radler dalam Hutapea, 2011). Dukungan dari orang-orang terdekat penyandang difabel sangat berarti bagi penyandang difabel, paling tidak sebagai semangat dan dorongan bagi penyandang difabel untuk tetap menjalani kehidupan. Di masyarakat, sering terlihat penyandang difabel yang tidak mendapat dukungan dari orang lain untuk melakukan sesuatu. Masyarakat memandang penyandang difabel sebagai orang yang lemah, yang memerlukan bantuan orang lain karena kekurangan yang dimilikinya. Masyarakat kurang memandang bahwa penyandang difabel juga memiliki kemampuan, kemampuan yang juga dimiliki

4 masyarakat non difabel. Masyarakat lebih mendiskriminasikan penyandang difabel dalam segala hal, penyandang difabel dianggap berbeda dalam hal segalnya baik secara fisik maupun kedudukannya di masyarakat. Masyarakat tidak memikirkan bagaimana agar penyandang difabel bisa menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya, mempunyai kehidupan seperti masyarakat non difabel pada umumnya tidak dipandang sebelah mata. Secara psikologis, penyandang difabel harus menanggung beban rasa rendah diri. Sedangkan secara fisik, penyandang difabel menerima perlakuan yang kurang wajar, misalnya hambatan dalam belajar, penyesuaian dalam kehidupan mayarakat, mencari pekerjaan, aksesibilitas. Berdasarkan pernyataan dari SW seorang penyandang difabel bahwasannya waktu kecil SW sering menangis ketika melihat saudara dan temantemannya bisa berjalan dan berlari. Setiap pagi SW seringkali menatap iri tujuh saudaranya yang dengan riang berangkat sekolah. SW ingin sekolah tapi kata orang tuanya sekolah untuk orang cacat adanya di Solo. Jarak dan biaya menjadi kendala bagi anak dari keluarga sederhana ini. Akhir tahun 2006 SW menemukan titik terang dalam hidupnya. Berdasarkan informasi seorang teman, ia mengajukan diri bergabung dengan Mandiri Craft. Ia pun diterima di Mandiri Craft. Bersama ke-26 temannya, SW yang kini menggunakan kursi roda membuat kerajinan berupa mainan. SW menuturkan bahwa ia senang bisa mempunyai komunitas difabel. SW merasa punya teman senasib sepenanggungan. Di Mandiri Craft, SW sebagai penyandang difabel merasa sangat dihargai, sedang di luar SW cuma dipandang sebelah mata, tambahnya (www.bulaksumur.com).

5 Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan kepada dua orang penyandang difabel dapat diketahui bahwa informan mengalami kondisi syok yang dirasakan hingga saat ini. Kedua informan tersebut terkadang merasa bingung dengan masa depannya. Informan sempat merasa bahwa dirinya tidak akan mampu menjalani kehidupan dengan kondisi yang tengah dialami sekarang. Selain itu kedua informan juga merasa rendah diri ketika harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik di rumah ataupun di sekolah. Rasa iri dan minder seringkali menghinggapi kedua informan ketika berinteraksi dengan teman-temannya. Kondisi kedua informan inilah yang menggambarkan remaja difabel yang masih memiliki psychological well being negatif. Meskipun saat ini kedua informan tersebut sedang melakukan proses untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan kondisi yang dialaminya sekarang. Anak berkebutuhan khusus di Indonesia bila dilihat dari data statistik jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2005 adalah: Tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa, tuna rungu 602.784 jiwa. Jumlah seluruh penyandang cacat ada 4.783.267 jiwa (www.inklusi.com).

6 Tabel 1 Data penyandang cacat di kota Surakarta tahun 2010 Kecamatan Cacat Tubuh Tuna Netra Tuna Mental Tuna Rungu/Wicara Laweyan 114 43 91 51 Serengan 41 23 130 16 Pasar Kliwon 86 59 72 38 Jebres 81 62 44 47 Banjarsari 176 91 152 47 Jumlah 498 278 489 199 Sumber : BPMPPPA dan KB Kota Surakarta 2010 (Prasetyo, 2010) Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa di Kota Surakarta pada tahun 2010 terdapat 498 orang penyandang cacat tubuh, 278 tunanetra, 489 orang tuna mental dan 199 orang tuna rungu/ wicara. Kecacatan bukan merupakan penghalang bagi penyandang difabel untuk berprestasi jika memang penyandang difabel mau untuk berusaha, banyak penyandang difabel yang memperoleh prestasi dari berbagai bidang. Tidak hanya bidang akademis, individu mampu memainkan berbagai alat musik dan bermain musik sebagai grup (band), banyak penyandang difabel yang mampu mengharumkan nama bangsa melalui olah raga. Individu yang mengalami kecacatan yang mampu bersaing dalam bidang olahraga, bahkan sudah diakui dunia melalui ASEAN PARA GAMES di Solo pada 16 Desember 2011. Dari cabang renang dua medali diraih oleh atlet renang difabel dari Indonesia, Perak diraih Heri dan Perunggu diraih Lamri. Dari cabang panjat tebing, atlet penyumbang medali emas kategori speed track putra yakni Abudzar Yulianto.

7 Sedangkan medali emas untuk kategori speed track putri diraih Fitriyani, atlet panjat tebing asal Yogyakarta. (http://metrotvnews.com). Potensi-potensi yang muncul pada atlet ASEAN PARA GAMES tersebut diatas lebih dikarenakan adanya dorongan dari diri mereka untuk menunjukan potensi diri. Psychological well being merupakan dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well being-nya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well being-nya meningkat (Ryff & Singer, 2006). Pada intinya, psychological well being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidak puasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995). Ryff (1995) mendefinisikan psychological well being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Menurut Ryff & Singer (2006) dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well being-nya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well being-nya meningkat Psychological well being seseorang akan berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Ketika individu memiliki kondisi psychological well being

8 yang baik maka individu mampu berfungsi secara psikologis dengan baik. Dengan demikian individu optimal dalam mengerjakan segala tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu, individu memiliki hubungan-hubungan baik yang positif dengan orang lain, individu mampu berpegang pada keyakinannnya, individu mampu menangani lingkungan disekitarnya, dan secara umum ia menjadi manusia yang lebih baik dalam hidupnya. Bila hal ini dispesifikasikan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn dalam Sumule, 2008). Penyandang difabel yang memiliki psychological well being yang tinggi akan mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, sedangkan penyandang difabel yang memiliki psychological well being yang rendah akan terpuruk dengan keadaannya sebagai penyandang difabel. Jika setiap penyandang difabel mempunyai semangat yang tinggi untuk maju seperti atlet-atlet penyandang difabel, maka mereka tidak akan menganggap kecacatan sebagai suatu penghalang dalam kehidupan mereka dan kekurangan tersebut cenderung menjadi motivasi untuk berprestasi bagi mereka. Namun masih banyak remaja penyandang difabel yang belum bisa menjalani kehidupannya dengan baik, banyak remaja difabel yang belum bisa mengembangkan dirinya untuk lebih berprestasi dengan kondisinya yang sekarang.

9 Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalahnya adalah bagaimanakah psychological well being pada remaja difabel?. Maka dari itu penulis mengambil judul Psychological Well Being Pada Remaja Difabel. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam dan mendeskripsikan psychological well being pada remaja difabel. C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tentang Psychological Well Being pada Remaja Difabel dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat : 1. Untuk penyandang difabel, diharapkan dengan penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk lebih memahami potensi yang dimiliki sehingga penyandang difabel memiliki psychological well being yang positif. 2. Untuk orang tua penyandang difabel, diharapkan orang tua penyandang difabel memberikan dukungan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana guna menggali dan mengambangkan potensi yang dimiliki oleh putraputrinya sebagai penyandang difabel. 3. Bagi peneliti lain diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian yang sejenis.