BAB I PENDAHULUAN. tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Otoritas Negara dalam Penguasaan Hak Atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat pula

BAB I PENDAHULUAN. dan isi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. rakyat Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor

BAB I PENDAHULUAN. empat untuk menyuplai pasokan barang kebutuhan dalam jumlah yang banyak.

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana yang sangat penting dalam menunjang. pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pembangunan yang meningkat pesat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Fokus Media UUD 1945 dan Amandemennya. Bandung: Fokus Media

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya pembangunan dapat diketahui suatu daerah mengalami kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan manusia bermasyarakat pada zaman ini, sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS JAMINAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS HAK PENGELOLAAN

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71

Oleh: Retno Arifingtyas NIM. E BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Secara konstitusional Undang-undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat

BAB I PENDAHULUAN. lembaga perbankan sudah dikenal di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank

BAB I PENDAHULUAN. besar. Oleh karena itu untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. bagi kemakmuran dan kesejahteraan, bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya.

BAB I PENDAHULUAN. pemilikan tanah sebgai sebesar besarnnya untuk kemakmuran rakyat. 1. menetapkan kemajuan yang sudah dicapai. 2

PENGELOLAAN ADMINISTRASI TANAH-TANAH ASSET PEMERINTAH GUNA MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya. 4. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROVINSI JAWA BARAT WALI KOTA DEPOK PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 32 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan UUD 1945 dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Bangsa Indonesia saat ini sedang melaksanakan berbagai kegiatan

PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang merdeka dan berkembang saat ini Indonesia sedang. melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan nasional khususnya

BAB I PENDAHULUAN. 1 A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Madar Maju, Badung, 1998, hlm.6

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cumacuma)

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERAN BPN DALAM KONSOLIDASI TANAH DI KABUPATEN KLATEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG

Lex Administratum, Vol. V/No. 4/Jun/2017

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. tidak bertambah akan tetapi justru makin berkurang. Dampaknya untuk

BAB I PENDAHULUAN. diusahakan atau digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang nyata. perlindungan hukum bagi rakyat banyak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini menimbulkan banyak masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembangunan untuk

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

DIKLAT PENGADAAN TANAH KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang.

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015. HAK WARGA ATAS TANAH PENGGANTI YANG DIBEBASKAN OLEH PEMERINTAH 1 Oleh : Cindy P.

dalam penulisan ini khususnya properti.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup. Hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Adanya kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat dengan semakin berkembangnya jaman karena jumlah populasi penduduk yang semakin mengalami banyak peningkatan. Meskipun jumlah populasi penduduk mengalami peningkatan, tetapi jumlah tanah yang tersedia tidak semakin bertambah, hal itu mengakibatkan pemerintah harus bekerja secara ekstra guna mengatur pengelolaan tanah agar peruntukkan tanah dapat berjalan secara efektif dan efisien serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas umum. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum membutuhkan banyak tanah untuk pembangunannya. Agar kebutuhan tanah untuk pembangunan dapat terpenuhi dengan baik tanpa harus ada pihak lain yang dirugikan, maka harus ada pengaturan pengadaan tanah yang pasti. Selain itu didalam pelaksanaan pengadaan tanah juga dibutuhkan adanya independensi panitia pengadaan tanah selaku aparat yang menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan pengadaan tanah yang berlaku. Dalam hal ini sebagai panitia pengadaan tanah bertindak sebagai penghubung dan penengah

2 antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak atas tanah. Independensi biasa digunakan dalam konsep politik, akan tetapi dalam penulisan skripsi ini, independensi yang dimaksud adalah independensi dalam konsep kedudukan panitia pengadaan tanah dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai independensi panitia pengadaan tanah, penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian independensi. Independensi berasal dari kata dasar Independence yang berarti The state of quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs, whether external or internal without countrol by other country 1. Pengertian Independensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan, tetapi memiliki persamaan kata yaitu mandiri, kemandirian, bebas yang memiliki makna tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk aktifitasnya, bebas, otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau lembaga lain, dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat suatu keputusan 2. Apabila dikaitkan dengan definisi tersebut, berarti independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan pengadaan tanah dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana Panitia Pengadaan Tanah berkedudukan sebagai pihak yang otonom dan mandiri dalam proses pengadaan tanah, sehingga dalam 1 Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition, West group:united States of America, 1999 page 773. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 655.

3 menjalankan kedudukannya, Panitia Pengadaan Tanah harus memiliki sikap ketidak berpihakan, sehingga tidak mengusung kepentingan salah satu pihak, meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah. Sehubungan dengan adanya kedudukan Panitia Pengadaan Tanah sebagai penyelenggara dari kepentingan umum tersebut, maka dibentuklah berbagai macam peraturan tentang pengadaan tanah yang dapat mempermudah Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugasnya. Ada berbagai macam peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah di Indonesia. Peraturan yang menjadi landasan utama lahirnya peraturan tentang pengadaan tanah adalah Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ( selanjutnya disebut UUD 1945 ) yang menyatakan bahwa: bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan kepada negara Republik Indonesia, harus dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka lahirlah Undang Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( selanjutnya disebut UUPA). Di dalam UUPA ini terdapat pasal yang mengatur tentang kewenangan Negara yang merupakan penjabaran dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut adalah Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan meyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

4 c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dari isi pasal di atas dapat diketahui bahwa Negara oleh Undang-Undang di berikan kewenangan dalam hal peruntukkan, penggunaan dan persediaan, akan tetapi kewenangan yang diberikan kepada Negara itu harus dijalankan secara bijaksana dan berprioritas kepada kemakmuran rakyat seperti yang tertuang pada Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi: Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dalam isi Pasal 2 ayat (3) UUPA tersebut terlihat bahwa meskipun diberikan kewenangan, Negara dalam melaksanakan kewenangannya harus dapat bersikap netral dan tidak boleh mengusung kepentingan pihak manapun dalam menjalankan kewenangannya agar dapat tercipta keadilan dan kemakmuran rakyat secara merata. Setelah munculnya UUPA, maka di bentuklah berbagai peraturan tentang pengadaan tanah yaitu: 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang selanjutnya disebut dengan PMDN No. 15 Tahun 1975; 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Keppres No. 55 Tahun 1993;

5 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006; 4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2012. Dari adanya peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut dapat menjadi pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah untuk memperoleh hak milik atas tanah dari masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum, karena di peraturan pengadaan tanah tersebut terdapat pengaturan yang mengatur mengenai kedudukan dari Panitia Pengadaan Tanah. Dengan adanya pedoman tersebut, diharapkan Panitia Pengadaan Tanah dapat independen dalam menjalankan tugasnya, sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan adanya penyelenggaraan pengadaan tanah. Pada kenyataannya dari berbagai peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, ada peraturan yang Panitia Pengadaan Tanahnya Independen maupun yang Dependen. Salah satu peraturan yang menunjukkan tidak adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam proses pengadaan tanah bisa dilihat dari Peraturan PMDN No. 15 Tahun 1975.

6 Dalam peraturan ini dapat dilihat adanya susunan anggota dari panitia pembebasan tanah yang tertuang dalam Pasal 2 yang bunyinya: (1) Susunan keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah terdiri dari Unsur: a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota. b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota. c. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota. d. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota. e. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota. f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota. g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota. h. Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan anggota. (2) Dalam hal-hal tertentu Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat mengetuai sendiri Panitia tersebut dalam ayat (1) di atas. (3) Gubernur Kepala Daerah dapat menambah anggota Panitia Pembebasan Tanah, apabila ternyata untuk menyelesaikan pembebasan tanah ini diperlukan seorang ahli. (4) Gubernur Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah Tingkat Propinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi seperti dimaksud dalam ayat (1) di atas sepanjang tanah yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau jika menyangkut proyek-proyek khusus. Pada isi pasal tersebut terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia pembebasan tanah terdiri atas pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya perwakilan dari pihak yang berasal dari masyarakat maupun perwakilan dari pihak akademisi yang dilibatkan dalam kepanitiaan. Sehingga dalam posisi seperti ini panitia pengadaan tanah tidak dapat independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara kepentingan umum karena panitia

7 pengadaan tanah akan sulit untuk bersikap profesional tanpa mengusung kepentingan salah satu pihak dalam proses pengadaan tanah. Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 terdapat susunan anggota kepanitiaan pengadaan tanah yang tertuang dalam Pasal 7 yang berbunyi: Susunan Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) terdiri dari : 1. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap Anggota; 2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota; 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Anggota; 4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai Anggota; 5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian, sebagai Anggota; 6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai Anggota; 7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai Anggota; 8. Asisten Sekretaris Wilayah Desa Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan Anggota; 9. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Sekretaris II bukan Anggota. Dari isi pasal di atas terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia pengadaan tanah melibatkan Lurah/Kepala Desa yang mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena pengadaan tanah, sehingga Lurah/Kepala Desa tersebut merupakan lambang adanya perwakilan dari pihak masyarakat yang dilibatkan dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia pengadaan tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa

8 dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan kepentingan dari masyarakat. Selain itu tidak ada keterlibatan akademisi dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang berdampak pada semakin kecilnya kemungkinan untuk dapat bersikap profesional dan independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah. Dari penjelasan yang telah penulis uraikan, maka terlihat bahwa indepedensi Panitia Pengadaan Tanah dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 juga masih belum terlihat. Adanya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang telah ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, maka dibentuklah Perpres 36 Tahun 2005. Dalam peraturan ini terdapat Pasal yang mengatur mengenai adanya keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi: Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi Dalam substansi Pasal 1 ayat (12) di atas terlihat adanya keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah yang profesional dan independen sehingga panitia pengadaan tanah dapat lebih obyektif dalam menentukan besarnya ganti kerugian. Dengan kondisi yang demikian, independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan ini sudah lebih baik dari pada peraturan yang sebelumnya.

9 Meskipun Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Peraturan terakhir yang mengatur tentang pengadaan tanah adalah UU No. 2 Tahun 2012. Peraturan ini merupakan peraturan yang menunjukkan adanya independensi Panitia Pengadaan Tanah. Adapun Latar belakang dibuatnya Undang-Undang ini diharapkan dapat lebih memberikan jaminan terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum yang pengadaan tanahnya mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Dari adanya latar belakang pembuatan UU No. 2 Tahun 2012 ini terlihat bahwa pemerintah mengedepankan nilai-nilai keadilan sebagai penyelenggara pengadaan tanah sehingga panitia pengadaan tanah dalam peraturan perundangan dapat bersikap lebih independen. Hal tersebut bisa dilihat dari isi Pasal 1 ayat (11) yang berbunyi: Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah. Dari isi pasal tersebut terlihat bahwa adanya unsur penilai pertanahan yang sudah berkompeten di bidangnya, sehingga dapat melakukan penilaian secara obyektif terhadap harga tanah dan penilai pertanahan tersebut harus bertanggung jawab atas penilaian yang telah dilaksanakannya. Apabila ada pelanggaran terhadap kewajiban penilai akan dikenakan sanksi baik administratif maupun pidana seperti yang tertuang dalam Pasal 32. Dari adanya pasal-pasal yang mengatur secara tegas terhadap penilai pertanahan, bahkan diatur pula sanksi apabila terjadi

10 kelalaian dalam menjalan tugas dan kewajibannya, maka menurut pendapat penulis dapat dilihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum pada UU Nomor 2 Tahun 2012 sudah cukup independen karena telah mengedepankan rasa keadilan antara pihak instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah dan panitia pengadaan tanah tidak bertindak secara sewenang-wenang. Keberadaan peraturan - peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang telah dibahas secara garis besar di atas berfungsi sebagai pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah dalam kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum. Selain itu dari keempat peraturan pengadaan tanah itu terlihat adanya perbedaan komposisi dari panitia pengadaan tanah antara tiga peraturan pengadaan tanah yang lama dengan peraturan pengadaan tanah terbaru yaitu UU No. 2 Tahun 2012. Adanya perbedaan komposisi yang penulis paparkan di atas terlihat bahwa dari peraturan lama sampai dengan peraturan terbaru yang mengatur tentang pengadaan tanah dapat dinilai ada tidaknya upaya dari Panitia Pengadaan Tanah untuk dapat lebih independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan tanah. Pada kenyataannya, Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan kedudukannya sebagai pelaksana dari kepentingan umum tidak independen karena masih terlihat adanya sikap berpihaknya Panitia Pengadaan Tanah terhadap instansi yang memerlukan tanah dalam penetapan ganti kerugian sehingga merugikan pemilik. Hal itu dapat dilihat dari kasus eksekusi tanah milik warga Kelurahan Lemah Ireng, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang Jawa Tengah.

11 Eksekusi tanah yang dilakuka tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo yang menggunakan landasan hukum Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006. Proses eksekusi dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 29 September 2012. Dalam proses eksekusi terjadi kerincuhan karena warga masyarakat tidak setuju dengan adanya eksekusi tanah tersebut. Ketidak setujuan warga disebabkan karena jumlah ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan pemilik tanah dan harga ketika membeli tanah tersebut sehingga mereka merasa dirugikan 3. Dengan adanya kasus eksekusi tanah tersebut para pemilik tanah telah dirugikan, sehingga terlihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi tersebut lebih berpihak pada kepentingan dari Instansi yang memerlukan tanah. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai adanya independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, maka penulis akan mengkajinya secara lebih mendalam dalam penulisanskripsi yang berjudul: Independensi Panitia Pengadaan Tanah Dalam Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dan alasan pemilihan judul maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: - Apakah terdapat independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan tanah untuk 3 http://www.yiela.com/view/artikel/2802898/warga-menolak-eksekusi-tanah-lemah-ireng- Semarang-ricuh, dikunjungi pada tanggal 7 Februari 2016 pukul 07.00.

12 pembangunan bagi kepentingan umum dari tiap tiap peraturan yang pernah berlaku di Indonesia? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah: - Untuk mengetahui ada atau tidaknya independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam masing-masing peraturan pengadaan tanah - Untuk dapat mengetahui tolak ukur apa saja yang digunakan untuk mengukur Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. D. Manfaat Penulisan Hasil kajian penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat dan kontribusi: 1. Manfaat Teoritis a. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya maupun bidang agraria pada khususnya yakni dengan mempelajari beberapa bahan literatur yang ada kemudian di kombinasikan dengan perkembangan hukum yang muncul di dalam kehidupan masyarakat. b. Sebagai acuan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum agraria dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. c. Sebagai pengetahuan dasar dari kajian mengenai independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

13 2. Manfaat Praktis Hasil kajian ini dapat menjadi sumbangan informasi bagi kepada para pembaca mengenai independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan tanah. Agar para pembaca dapat mengetahui tugas tugas dari panitia pengadaan tanah sehingga dapat diketahui panitia pengadaan tanah independen atau tidak dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum. E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum bukan hanya aturan hukum atau prinsip hukum 4. Di dalam penulisan ini apakah peraturan pengadaan tanah sudah memberikan ruang terhadap panitia pengadaan tanah untuk lebih independen atau tidak dengan memperhatikan norma hukum dan prinsip hukum dalam menjalakan perannya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. Jenis pendekatan Jenis pendekatan yang dipakai di dalam penulisan ini adalah jenis pendekatan Perundang-Undangan Pendekatan ini dilakukan dengan cara melihat 4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, h. 47.

14 segala Undang-undang dan regulasi terkait isu hukum yang sedang diteliti. Pendekatan ini peneliti dapat melihat konsistensi antara regulasi satu dengan yang lainnya. Metode pendekatan Perundang-undangan peneliti dapat melihat dasar filosofi atau dasar pemikiran mengapa peraturan tersebut di keluarkan 5 dan dengan cara membandingkan peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang berlaku di Indonesia, yaitu PMDN No. 15 Tahun 1975, Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpress No 65 Tahun 2006 dan UU No. 2 Tahun 2012. 3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum merupakan proses dalam kajian normatif dan sifatnya mutlak, karena sumber hukum primer adalah objek bahan kajian yang akan ditulis: a. Bahan hukum Primer: 1. UUD 1945. 2. UUPA. 3. PMDN No. 15 Tahun 1975, serta peraturan pelaksanaannya : a. PMDN No 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. 4. Keppres No. 55 Tahun 1993, serta peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan 5 Ibid h.142.

15 Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut Perka BPN No. 1 Tahun 1994. 5. Perpres No. 36 Tahun 2005jo Perpres No. 65 Tahun 2006. Beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah diubah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengedaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut Perka BPN N o. 3 Tahun 2007. 6. UU No. 2 Tahun 2012, beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut Perpres No 71 Tahun 2012. b. Bahan Hukum Sekunder Buku-buku yang berkaitan dengan hukum agraria, khususnya materi pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

16 c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum lain yang tidak terdapat di dalam perudang undangan atau di dalam buku buku literatur. F. Sistematika Penulisan Sesuai dengan ketentuan penulisan hukum, maka penulisan hukum ini dibagi dalam tiga bab, yang masing-masing bab memiliki isi dan uraian tersendiri, namun antara bab yang satu dengan yang lain masih berhubungan dan saling mendukung, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah yang merupakan pengantar untuk masuk dalam pokok permasalahan yang akan dibahas. Di bagian latar belakang permasalahan ini berisi penjelasan secara singkat mengenai independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dari setiap peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Perumusan masalah memberikan penggambaran kepada penulis tentang obyek kajian dalam menentukan sasaran yang akan diteliti. Metode Penelitian Dalam bab ini yang dipergunakan yaitu Metode Pendekatan dan Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

17 BAB II PEMBAHASAN Di dalam bab pembahasan ini dimuat kerangka pemikiran yuridis normatif yang diambil dari sumber pustaka dan Peraturan Perundang-Undangan (bahan hukum primer). Dalam bab ini dibagi terdiri dari tiga bagian, yaitu: a. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka terdapat penjelasan mengenai dari Otoritas Negara Dalam Penguasaan Hak Atas Tanah, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam setiap peraturan tentang pengadaan tanah, dan pengertian dari kepentingan umum serta unsur-unsur dari pengadaan tanah. b. Hasil Penelitian Didalam hasil penelitian diuraikan pasal-pasal yang terkait dengan independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. c. Analisis Dalam bagian analisis ini di paparkan mengenai analisis independensi Panitia Pengdaan Tanah berdasarkan tolak ukur independensi di setiap peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sehingga dapat diketahui ada tidaknya independensi Panitia Pengadaan Tanah di masingmasing peraturan pengadaan tanah.

18 BAB III PENUTUP Dalam bab penutup ini akan disampaikan mengenai pokok pikiran yang dapat ditarik dari uraian bab-bab yang ada sebelumnya. Selanjutnya dibentuk dalam sebuah kesimpulan. Dalam bab ini juga berisi tentang pemikiran, serta saran-saran yang akan diberikan penulis.