BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah masyarakat yang berdiam mulai dari ujung Aceh, Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Pandan, Jago-jago, Natal, Padang, Seterusnya Bengkulu dan Belitung. Masyarakat Melayu sebagai salah satu suku bangsa (ethnic group) yang ada di Sumatera Utara telah sejak dulu membentuk, mengembangkan adat, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan dasar itu adalah bagaimana cara mempertahankan hidupnya seperti kehidupan sesama manusia maupun dengan alam yang menjadi sumber penghidupannya sehari-hari. Dengan berkembangnya kebudayaan Melayu seiring dengan dinamika zaman, maka tempat tinggal yang dahulu fungsinya hanya sebagai tempat berlindung dari bencana alam, sedikit demi sedikit mengalami pergeseran walaupun dipihak lain masih dapat ditemukan bentuk-bentuk aslinya. Masyarakat Melayu yang menghuni daerah pantai tersebut memiliki pandangan khusus terhadap laut. Mereka menganggap laut sebagai sumber penghidupan utama. Oleh sebab itu, hubungan baik dengan penguasa laut mesti terbina secara harmonis, dengan demikian, tidak mengherankan apabila pada komunitas tersebut dikenal dengan 1
tradisi upacara menjamu laut. Walaupun demikian, tradisi yang dipercaya sejak dahulu itu, kini mengalami pergeseran yang disebabkan oleh perkembangan teknologi, tingginya tingkat pendidikan dan pengaruh kepercayaan samawi membawa peerubahan dalam cara-cara penyajian tradisi tersebut. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan semakin tingginya tingkat pendidikan para generasi muda serta adanya jalinan dan kerjasama (kontak) dengan masyarakat luar maka norma-norma yang diyakini dan dipercaya sejak dahulu itu, kini mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan ini berkaitan dengan aktivitas masyarakat yang mana dengan semakin baiknya tingkat kualitas hidup maka ada semacam tendensi untuk meninggalkan hal-hal yang tabu. Dalam hal ini, keyakinan atau agama (religion) yang dipegangnya bisa jadi merupakan salah satu faktor perubahan yang signifikan. Laut yang serba tidak pasti memaksa masyarakat nelayan mempersiapkan diri agar dapat mengandalikannya dalam upaya menyambung hidup. Menghadapi dunianya itu, mereka harus melakukan berbagai cara antara lain dengan kekuatan supranatural yang merupakan satu kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan yang kehidupannya sangat tergantung kepada kemurahan alam. Kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib dan kekuatan alam diyakini dapat membantu atau bahkan menghambat aktivitas dilaut harus diketahui. Oleh karenanya, masyarakat Melayu di pesisir Sibolga, mengenal salah satu ritual yakni kepercayaan tradisi mangure lawik dikatakan sebagai ritual karena dilakukan secara tetap pada waktu tertentu, tidak berubah waktunya dan 2
dilangsungkan secara turun-temurun. Tradisi Mangure Lawik adalah ritual sakral yang dipercaya memiliki kemampuan untuk membina hubungan baik dengan alam. Kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat akan diwariskan ke generasi-kegenerasi yang lebih muda melalui serangkaian tindakan. Bentuk transmisi pewarisan budaya tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi yaitu proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dilingkungannya, internalisasi (proses) maupun inkulturasi atau usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Proses pewarisan atau transmisi nilai-nilai kebudayaan yang berlangsung itu, biasanya dilakukan melalui pranata sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang juga selalu dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan kebudayaan adalah tradisi yang bersarat tradisional seperti tradisi mangure lawik. Saat ini, utamanya di kota-kota besar, eksitensi tradisi mengalami persoalan dimana para masyarakat dari beragam suku yang ada di perkotaan tidak lagi mengenal apalagi mempraktekkan tradisi yang pernah hidup pada masyarakat itu. Kondisi demikian tentunya melahirkan sebuah kekhawatiran bahwa beberapa tahun kedepan akan semakin banyak bahagian-bahagian dari identitas atau ciri khas milik bangsa Indonesia yang hilang. Mengingat fungsi dan makna tradisi yang penting dalam menumbuhkan nilainilai atau kesadaran kolektif tadi, maka perlu dilakukan sebuah upaya komprehensif (mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas) untuk merekonstruksi (penyusunan kembali) dan merevitalisasi atau upaya menghidupkan kembali tradisi itu sendiri. Upaya seperti ini diperlukan guna menumbuhkan kembali identitas khas kolektif 3
yang dimiliki oleh masyarakat Melayu yang sudah mulai punah. Hal ini menjadi penting sebab dalam setiap tradisi masyarakat terkandung nilai-nilai luhur yang selama beberapa waktu dinilai efektif membantu proses pembentukan karakter jiwa, keharmonisan masyarakat antara sesama maupun dengan alam. Tradisi mangure lawik atau menjamu laut dilakukan oleh masyarakat Sibolga yang mayoritas bertempat tinggal didaerah pesisir dimana sumber penghidupannya adalah menangkap ikan (nelayan). Mengingat pada masa awal bahwa masyarakat Melayu yang menganut paham animisme (kepercayaan kepada roh-roh) dan dinamisme (kepercayaan kepada benda-benda) diperkirakan mempunyai konsep tradisi yang mereka lakukan yakni sebagai jalan membina interaksi antara anggota masyarakat dengan penguasa alam. Bertambah besarnya tantangan yang dihadapi kelompok masyarakat serta semakin mempercepat meningkatnya keyakinan mereka terhadap roh-roh orang meninggal, pohon besar, penguasa laut dan bumi. Masuknya paham ajaran agama samawi seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ikut pula membawa perubahan dalam cara-cara menyajikan tradisi tersebut. Tradisi mangure lawik bagi masyarakat Sibolga merupakan bagian dari kebudayaan tradisional yang mengalami perjalanan yang cukup lama dan memiliki langgam dan jiwa tertentu, sehingga mempunyai fungsi dan manfaat untuk masyarakat yang mempercayainya. Pada dasarnya sejalan dengan perkembangan zaman yang dinamis, telah banyak mengalami perubahan dalam bentuk tata cara melakukan tradisi tersebut namun manfaat serta implikasinya terhadap lingkungan dan masyarakat yang tidak berubah. 4
Berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan laut seperti menangkap ikan kerap dibarengi dengan adanya pantangan-pantangan (taboo) untuk dilakukan. Pantangan itu antara lain yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari yang dilakukan di laut pada saat upacara mangure lawik dilakukan, yang memiliki waktu selama tiga hari. Nelayan di Sibolga mengenal pandangan ini secara cermat dan harus dihindari agar kelak aktifitas tradisi yang dilakukan mendapat berkat dari penguasa laut. Sebagai sumber penghidupan harus dapat dicermati secara seksama, dan kekuatan yang dilakukan didalamnya, apa yang diambil untuk penghidupan, bagaimana cara memperolehnya, dengan alat apa dan bagaimana cara membuat alat tersebut sebagai cara mempermudah menaklukkan laut. Dengan demikian pula terdapat bagaimana masyarakat memandang laut, bagaimana menjinakkannya dan bagaimana untuk melindungi laut tersebut sebagai cara untuk melestarikannya. Dari fenomena diatas, sangat menarik perhatian penulis untuk menelitinya, karena ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi upacara Mangure Lawik (menjamu laut) masih tetap dilakukan oleh masyarakat Melayu pesisir Sibolga, yaitu sebagai wujud syukur seraya memanjatkan doa kepada Tuhan, menjalin ikatan tali persaudaraan yang erat antar sesama nelayan dan harapan menjaga kelestarian laut seperti terumbu karang, serta fungsi dan manfaatnya bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. 5
1.2 Rumusan Masalah Dari berbagai asumsi serta uraian latar belakang diatas, sekaligus untuk menjamin tercapainya hasil penelitian yang diinginkan, maka berikut ini disusun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah? 2. Bagaimanakah fungsi dan makna simbolis dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah : 1. mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisit Sibolga Tapanuli Tengah. 2. mengetahui bagaimana makna serta fungsi dari simbol-simbol dalam upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. 6
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitiaan ini adalah sebagai berikut : 1. Memberi sumbangan secara teoritis tentang berbagai bentuk kepercayaan tentang tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga, Tapanuli Tengah. 2. Memperkuat identitas nelayan Melayu khususnya di Sibolga sebagai kelompok yang memiliki perhatian terhadap pelestarian lingkungan. 3. Inventarisasi dan dokumentasi khasanah budaya lokal yang hampir punah akibat modernisasi. 4. Sebagai bahan referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya dengan tema yang sejenis yang belum dikaji dalam penelitian ini. 5. Menambah wawasan dan menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakat Sibolga Tapanuli Tengah atas warisan budaya dari tradisi Mangure Lawik tersebut. 7