BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah sebuah permasalahan yang diyakini dapat menghambat cita-cita bahkan

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Berjalan Indonesia Perkotaan + Perdesaan Laki-laki + Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak-anak penyandang tuna daksa (memiliki kecacatan fisik), seringkali

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULULUAN. di masyarakat terhambat. Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh ( Anak_

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tunadaksa seringkali digambarkan sebagai figur yang

AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT DAN ORANG SAKIT PADA SARANA DAN PRASARANA PERHUBUNGAN

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability

BAB 1 PENDAHULUAN. disabilitas fisik. Individu yang memiliki disabilitas fisik sudah sewajarnya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I. PENDAHULUAN UKDW. hidup seoptimal mungkin (Depkes RI, 2006). Di bidang pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. transportasi yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan sarana dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas tempat duduk. 1. prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perlindungan terhadap tenaga kerja yang di maksudkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB II TINJAUAN DIFABEL DAN PUSAT PELAYANAN DIFABEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia pasti berharap memiliki kondisi fisik yang sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel. optimalisasi proses pergerakan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan di tengah masyarakat modern memiliki tingkat persaingan

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju menuntut

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

BAB 1 PENDAHULUAN. transportasi. Peningkatan kebutuhan ini mendorong tumbuhnya bisnis jasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Ensiklopedia Umum (1977 : 129), disebutkan bahwa efektivitas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kota-kota di Indonesia tengah mengalami perkembangan populasi yang sangat

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 35 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I BAB I PENDAHULUAN

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN. A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern.

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : kerja Bagi Penyandang Disabilitas Netra. dapat dinyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan moda transportasi berbasis rel ini untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyandang cacat fisik dan mental. lalu. Data jumlah penyandang cacat yang tertera sebagai berikut.

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor transportasi merupakan salah satu subsektor penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pilangsari : yaitu desa yang berada di Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka yang tidak sedikit. Data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial (Kemensos) menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2010 penyandang disabilitas di Indonesia mencapai angka 11.580.117 jiwa atau sekitar 4,8% dari jumlah populasi seluruh masyarakat Indonesia dan sekitar 1.852.866 jiwa merupakan penyandang tuna daksa (www.republika.co.id). Tuna daksa berasal dari dua suku kata yaitu tuna yang berarti kurang dan daksa yang berarti tubuh. Departemen Kesehatan Indonesia (Depkes) mendefinisikan tuna daksa sebagai ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas gerak normal yang disebabkan karena adanya kelainan neuro-maskuler atau struktur tulang (www.depkes.go.id). Seseorang dapat menjadi penyandang disabilitas disebabkan karena beberapa hal, diantaranya kelainan bawaan, kondisi perinatal, penyakit dan kecelakaan (kecelakaan kendaraan bermotor, kebakaran, perang dan penyebab eksternal lain termasuk faktor alam dan lingkungan). Di Indonesia, salah satu penyebab banyaknya jumlah penyandang tuna daksa yaitu karena tingginya angka kecelakaan dan juga kejadian bencana alam. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan kelima dengan tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di dunia (www.republika.co.id). Individu yang awalnya normal lalu mengalami disabilitas karena kecelakaan atau bencana alam tentu memerlukan upaya yang lebih besar untuk dapat menerima kondisi disabilitas. Hal tersebut disebabkan karena mereka terlahir sebagai seseorang yang memiliki anggota tubuh lengkap, namun karena kecelakaan atau bencana alam, mengakibatkan 1

2 individu tersebut harus melakukan adaptasi dengan kondisi barunya. Hasil wawancara yang terdapat dalam sebuah surat kabar menjelaskan bahwa kehilangan salah satu anggota tubuh dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi bahkan memutuskan untuk bunuh diri. Banyak dari mereka, kata Dadan, yang mengalami depresi lantaran kehilangan kaki atau tangannya. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. (www.republika.com) Kekurangan anggota tubuh tentu saja dapat menimbulkan tekanan pada diri penyandang tuna daksa, terutama dalam hal mobilitas karena adanya keterbatasan pada fungsi organ tubuh yang tidak sempurna. Stres tersebut seharusnya dapat di kurangi dengan adanya sarana serta fasilitas yang ramah terhadap kondisi mereka. Namun kenyataannya, fasilitas dan sarana umum yang seharusnya dapat memudahkan penyandang tuna daksa untuk dapat hidup secara mandiri saat ini dapat dikatakan belum ramah terhadap penyandang tuna daksa. Patut disayangkan bahwa peningkatan jumlah penyandang tuna daksa tersebut tidak di imbangi dengan fasilitas kesehatan serta sosial yang memadai. Berikut ini merupakan beberapa kutipan dari media internet yang membahas mengenai kurangnya fasilitas yang kurang ramah terhadap penyandang disabilitas sehingga menghambat penyandang disabilitas untuk dapat beraktivitas secara mandiri. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) Kabupaten Sleman, Nurbandi mengakui terdapat fasilitas umum yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Fasilitas yang tidak ramah disabilitas tersebut diketahui sejak adanya laporan dari penyandang disabilitas sendiri. (www.republika.com) Beraktivitas menggunakan moda transportasi kereta api bagi kebanyakan orang terlihat sepele. Namun bagi penyandang keterbatasan fisik atau kaum difabel, menggunakan kereta api di Stasiun Solo Balapan bisa jadi masalah bagi mereka. Belum tersedianya peron tinggi di semua jalur kereta membuat rombongan penyandang difabel yang akan berangkat ke Yogyakarta menggunakan kereta Prambanan Ekspres ini kesulitan. Mereka yang menggunakan tongkat harus bersusah payah naik tangga, sedang yang berkursi roda harus diangkat sejumlah petugas agar bisa masuk ke dalam gerbong. Padahal bila prasarana bagi penyandang keterbatasan fisik di stasiun lengkap, mereka tidak perlu meminta bantuan petugas dan bisa mandiri seperti penumpang lainnya dan menikmati menggunakan transportasi kereta dengan nyaman. (www.tv.liputan6.com)

3 Peneliti juga melakukan wawancara pendahuluan dengan salah satu subjek yang menjadi penyandang tuna daksa karena mengalami kecelakaan ketika bekerja. Subjek menyebutkan bahwa hingga saat ini pun, subjek merasa masih banyak fasilitas umum yang belum memiliki akses yang dapat memudahkan dirinya untuk dapat beraktivitas secara mandiri. Subjek juga bercerita bahwa tekanan yang dialami penyandang tuna daksa selain dari kurangnya fasilitas juga berasal dari kondisi dan respon masyarakat terhadap penyandang tuna daksa. Kondisi tuna daksa pada sebagaian masyarakat masih dipandang sebagai sebuah aib dan cenderung dipandang sebelah mata. Penyandang tuna daksa di dalam masyarakat juga sering dipandang sebagai sosok yang tidak berdaya dan tidak dapat mengerjakan sesuatu yang berarti. Hal tersebut menyebabkan munculnya diskriminasi terhadap penyandang tuna daksa. Diskriminasi tersebut menyebabkan penyandang disabilitas terutama penyandang tuna daksa merasa tertekan, kurang percaya diri, rendah diri, minder dan merasa tidak berguna. Saat ini, diskriminasi yang dialami penyandang tuna daksa tidak hanya ketika berada di lingkungan masyarakat saja, namun meluas ke dalam lingkungan pendidikan serta lapangan pekerjaan. Kesempatan kerja dan pendidikan yang bisa mereka dapatkan menjadi lebih sempit. Banyak lapangan pekerjaan dan institusi pendidikan yang memberikan syarat untuk tidak menerima individu dengan kondisi tuna daksa. Hal tersebut dapat memberikan gambaran negatif mengenai kondisi yang harus dihadapi seorang penyandang tuna daksa yang memiliki keinginan untuk bekerja maupun menimba ilmu. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Tahun kemarin juga ada, tapi tidak semassif kali ini," kata Komisioner Ombudsman Budi Santoso di Jakarta, Selasa, 29 April 2014 (nasional.tempo.co) Beberapa bentuk diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas dapat dilihat dari kurangnya pemenuhan fasilitas dan akses-akses pendukung bagi penyandang disabilitas di tempat umum, penolakan secara halus maupun keras pada saat melamar pekerjaan, penolakan di bidang pendidikan seperti masih banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang menolak calon murid dan mahasiswa

4 penyandang disabilitas karena dirasa tidak mampu untuk menerima pelajaran yang diberikan. Padahal dalam Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 terdapat poin mengenai aksesibilitas yaitu kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. (www.kompasiana.com) Pada dasarnya penyandang tuna daksa mempunyai kebutuhan yang sama dengan individu normal, akan tetapi karena kekurangan yang ada pada fisiknya membuat mereka menemukan banyak kesulitan. Mereka dituntut untuk mampu menghadapi tantangan atau persaingan hidup sama seperti manusia normal lainnya. Padahal seharusnya penyandang tuna daksa mendapatkan hak khusus untuk hidup layak karena menurut UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas menyebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan, pekerjaan, penghidupan yang layak, perlakuan yang sama, rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan kesejahteraan sosial, dan hal yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat/kemampuan dan kehidupan sosialnya. (www.kpai.go.id) Proses adaptasi dan respon terhadap kondisi yang mereka alami yang diperoleh dari masyarakat merupakan stressor yang dirasakan oleh penyandang tuna daksa. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya penyandang tuna daksa yang merasa stres dan akibatnya banyak dari mereka yang putus asa serta hanya memohon belas kasihan dari orang lain. Hal tersebut terlihat dari banyaknya tuna daksa yang hanya mengemis dan memohon belas kasihan dari orang lain untuk dapat bertahan hidup. Sebuah fakta menarik muncul dari fenomena tuna daksa ini. Ditengah kekurangan yang mereka miliki, ternyata terdapat kisah hidup penyandang tuna daksa yang mampu bangkit dan berjuang untuk menjadi lebih baik. Salah satu contoh seorang tuna daksa yang mampu sukses melawan keterbatasannya adalah SS. SS merupakan seorang tuna daksa yang berasal dari Kota Mojokerto. Ia menjadi penyandang tuna daksa karena mengalami kecelakaan motor dan mengakibatkan kaki kanannya harus diamputasi. SS mengalami kecelakaan ini ketika masih berada di bangku SMA. Awalnya ia merasa impian dan rasa

5 percaya dirinya jatuh seketika. Namun keterbatasan yang dimilikinya tersebut tidak membuatnya menyerah, ia berusaha untuk bertahan hidup dengan bekerja di konstruksi bangunan. Pekerjaannya tersebut membuat kaki palsunya rusak dan SS tidak mampu untuk membeli kaki palsu yang baru sehingga ia berusaha untuk membuatnya sendiri. Berkali-kali SS menemukan kegagalan namun kerja keras dan kreativitas yang ia lakukan ternyata membuahkan hasil yang baik. SS tidak hanya menikmati hasil tersebut sendirian, ia berkeinginan untuk membantu teman-teman tuna daksa yang lainnya. Usahanya tersebut ternyata membuatnya di lirik oleh salah satu acara TV swasta, Kick Andy. Setelah SS di undang ke acara tersebut, tawaran demi tawaran untuk membuat kaki palsu tersebut terus berdatangan, bahkan SS dilibatkan dalam program Gerakan 1000 Kaki Palsu yang dicanangkan pemerintah. (www.kompasiana.com) Wawancara pendahuluan yang peneliti lakukan pada hari bulan Februari 2015 terhadap salah satu subjek juga menyebutkan bahwa walaupun awalnya subjek merasa tertekan karena kondisi yang ia alami, namun subjek memiliki keinginan untuk dapat terus belajar sehingga ia dapat menolong tuna daksa yang lain. Pada akhirnya subjek berhasil mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Penyandang Cacat Mandiri dan sebuah lapangan kerja bagi penyandang tuna daksa yang bernama Mandiri Craft. Peneliti melihat bahwa walaupun awalnya mereka merasa impiannya hancur, namun akhirnya kekurangan yang mereka miliki tidak menjadi sebuah rintangan atau alasan yang membuat dirinya menjadi rendah diri dengan kondisi yang ia alami namun ia mampu bangkit dan melawan tekanan tersebut. Kemampuan untuk bangkit dan mengatasi pengalaman negatif, bahkan dapat menjadi lebih kuat daripada kondisi sebelumnya tersebut oleh Henderson dan Milstein (2003) dinamakan resiliensi. Menurut teori yang diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (2002) proses resiliensi dapat menciptakan dan mempertahankan sikap positif dari individu yang telah melewati masa-masa berat.

6 Pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki kapasitas resiliensi di dalam dirinya. Resiliensi pada seseorang akan muncul jika individu tersebut mengalami suatu kondisi yang sangat menekan (stressor) dan individu tersebut mampu untuk beradaptasi serta bangkit dari tekanan yang dialaminya (Richardson, 2002). Seperti yang dikatakan oleh Earlino dan Ramirez (2007) bahwa resiliensi merupakan rasa untuk bangkit dan beradaptasi terhadap keadaan yang membuat seseorang terpaksa untuk berubah atau karena ada sesuatu yang menekan. Munculnya resiliensi dalam kehidupan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena adanya dukungan sosial dari keluarga maupun orang terdekat (Kumpfer, 1999). Kumpfer juga menjelaskan bahwa resiliensi pada seseorang juga dapat muncul karena adanya faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal individu seperti spiritual atau karakteristik motivasional, termasuk di dalamnya seperti kebermaknaan dalam hidup dan optimisme menyebabkan individu mampu menerima kondisi diri yang dialaminya sehingga ia tidak menjadikan kondisinya tersebut sebagai beban melainkan mampu mencari makna positif dari kondisinya. Ketidakmampuan kondisi fisik untuk melakukan fungsinya secara normal, kurangnya sarana dan fasilitas serta munculnya diskriminasi terhadap kondisi penyandang tuna daksa membuat penyandang tuna daksa merasa tertekan. Namun ditengah kondisi menekan yang dialami oleh penyandang tuna daksa ternyata terdapat individu yang mampu melawan keterbatasan dan bangkit dari pengalaman negatif tersebut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana dan faktor apa saja yang dapat menyebabkan munculnya kemampuan yang dinamakan resiliensi tersebut, khususnya pada penyandang tuna daksa.

7 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terjadinya resiliensi pada penyandang tuna daksa. C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi penelitian psikologi klinis, khususnya mengenai psikologi positif yang berkaitan dengan resiliensi pada penyandang tuna daksa. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai resiliensi pada tuna daksa serta menjadi salah satu kontribusi atau masukan yang dapat dikembangkan oleh Yayasan Penyandang Disabilitas dan mengetahui hal-hal apa saja yang dapat membantu penyandang tuna daksa agar bisa menjadi seorang yang resilien.